Naruto © Masashi Kishimoto
Ballad of The Winter © Yue. Aoi
Image by Asha. 3
Rate : T
Character : Sasuke.U x Sakura.H
Genre : Romance/Friendship
Note : OOC, Typo
.
.
Jari-jari kurus bak sebatang lidi menari dengan lincah diatas tuts-tuts hitam putih, menghasilkan alunan nada menenangkan jiwa bak nyanyian malaikat. Beberapa puluh pasang telinga mendengarkan alunan nada itu dengan seksama, seolah berusaha meresapi alunan nada ke dalam seluruh tubuh mereka.
Lelaki berambut hitam itu masih duduk di kursi kayu berwarna senada dengan piano yang sedang dimainkan nya. Iris onyx nan kelam bagaikan langit malam tak berbintang itu menatap kosong ke arah piano sementara jari-jari nya menari dan menghasilkan alunan nada yang membius para pendengar sekaligus dirinya sendiri.
Ya, lelaki itu bermain piano untuk membius diri nya sendiri. Ia selalu melakukannya setiap kali bermain piano, jiwa nya berkelana meninggalkan raga nya yang sedang duduk di depan piano, menghasilkan nada-nada penenang jiwa.
Jari-jari itu berhenti menari, alunan musik telah berhenti dan lelaki itu berdiri. Hening sesaat sebelum terdengar suara tepuk tangan bergemuruh terdengar di seluruh penjuru café. Lelaki itu menundukkan kepala dan tersenyum tipis –begitu tipis untuk disadari- dan membuat tepuk tangan serta tatapan memuja penuh gairah untuk memiliki ditunjukkan para gadis-gadis.
Lelaki itu tak menghiraukan tatapan dan gemuruh tepuk tangan serta turun dari panggung kecil. lelaki itu datang, memainkan lagu dan menerima tatapan memuja penuh apresiasi yang sama setiap minggu nya.
Dan seperti biasanya, kali inipun lelaki itu merasakan sensasi yang sama setiap ia turun dari panggung. Sensasi menyakitkan yang sama kembali menyusup ke dalam hati terdalam nya, memudarkan tatapan polos dan senyum tipis yang ditunjukkan lelaki itu dalam hati nya setiap ia berada di café dan memainkan lagu.
Terdengar suara ponsel dan lelaki itu segera menekan tombol serta mendekatkan ponsel ke telinga setelah ia menyalakan ponsel itu dan melirik sekilas nama sang penelpon.
Seorang wanita berusia empat puluhan berbicara di seberang telepon dengan suara manja, membuat kening lelaki itu berkerut dan tubuh nya bergidik jijik.
"Baiklah. Aku akan segera menemuimu. Tunggulah sebentar."
Telepon dimatikan dan lelaki itu memasukkan ponsel ke dalam saku blazer. Senyum telah menghilang sepenuhnya dan kini wajah lelaki itu terlihat datar seperti biasanya, menyembunyikan kemuraman yang hendak terpatri di wajah rupawan lelaki itu.
.
.
"Sakura, minggu depan kita harus datang ke café ini lagi. Akan kupastikan aku datang tiga jam sebelum pertunjukkan dimulai agar bisa duduk di meja paling dekat dengan panggung," ujar seorang gadis berambut pirang sambil menyesap gelas green tea latte ketiga nya yang tersisa setengah.
Gadis berambut merah muda yang merupakan satu-satu nya lawan bicara gadis berambut pirang itu menatap sahabat nya dengan tatapan acuh tak acuh. Ia mengendikkan bahu nya dan berkata, "Minggu ini adalah minggu ketiga kau mengajakku ke café ini hanya untuk mendengarkan lelaki itu bermain piano selama satu setengah jam, Yamanaka Ino."
Ino menggelengkan kepala dan menatap Sakura dengan jengkel. Mereka telah bersahabat sejak middle school dan sering menghabiskan akhir pekan bersama. Namun kini ia tak mengerti mengapa sahabat nya tak menunjukkan antusiasme pada Sasuke, sang pianis café yang tampil setiap minggu pada jam yang sama.
"Jangankan seminggu sekali, jika dia tampil di café ini setiap dua hari sekalipun aku akan tetap datang," ucap Ino sambil tersenyum membayangkan wajah lelaki itu di benak nya.
Sakura menggelengkan kepala menatap Ino yang terlihat begitu antusias. Beginilah Ino jika sudah tertarik dengan seorang lelaki, ia akan menunjukkan antusiasme berlebih. Gadis itu juga bersikap seperti itu saat ia baru saja memulai hubungan dengan Shikamaru, lelaki yang telah menjadi mantan kekasih sekaligus sahabat nya.
"Apa yang menarik dari lelaki bernama Sasuke itu, huh?"
"Astaga, forehead!" Ino memekik keras hingga pengunjung café yang duduk dibelakang meja mereka meliriknya dan membuatnya menundukkan kepala karena malu.
Dengan suara pelan Ino berkata, "Kau tidak sadar dengan pesona Sasuke? Kurasa kau kelainan, forehead."
Sakura mengenyitkan dahi, ia agak tidak suka jika disebut kelainan. Namun jika dilihat dari reaksi gadis-gadis pengunjung café lainnya, sepertinya ucapan Ino memang benar.
"Harus kuakui permainan piano lelaki itu memang baik. Namun aku tak mengerti mengapa orang-orang begitu terpesona padanya."
"Nah, kau baru saja menyebutkan salah satu alasan untuk terpesona pada lelaki itu," Ino menjentikkan jari tanpa sadar. "Permainan piano lelaki itu sangat baik dan enak didengar. Selain itu wajah lelaki itu tampan dan ia seolah tersenyum sepanjang satu setengah jam ia bermain piano. Tatapan nya yang lembut itu benar-benar meluluhkan hati. Dan ia seolah bermain piano dengan jiwa nya."
Sakura menatap Ino, berusaha mencerna setiap inti dari kalimat dibalik kekaguman yang terkesan tak rasional. Sakura mengikuti kursus piano selama satu setengah tahun hingga saat ini dan setidaknya ia memiliki pengetahuan musik yang lumayan. Dan ia pun mengakui jika Sasuke bermain piano dengan penuh penghayatan, seolah meresapi setiap alunan nada yang keluar dari tuts-tuts hitam putih yang disentuh nya.
Namun Ino mengatakan jika lelaki itu seolah tersenyum dan menatap lembut sepanjang satu setengah jam permainan piano itu? Sakura berusaha memastikan jika ia tak salah dengar.
Awalnya Sakura juga berpendapat seperti itu lima belas menit pertama mendengarkan permainan Sasuke. Namun persepsinya berubah dan semakin banyak ia mendengar permainan Sasuke, ia semakin yakin dengan persepsi baru nya.
Menurut Sakura, lelaki itu terlihat seolah tersenyum pada kali pertama ia mendengarnya dan ia memang begitu meresapi permainan nya. Namun sejatinya, 'senyum' lelaki itu yang terkadang tanpa sadar benar-benar terpatri di wajah nya terkesan palsu. Lelaki itu seolah menangis setiap mengerakkan jemari nya untuk menari diatas tuts-tuts piano untuk menghasilkan nada dan tatapan lelaki itu begitu sendu. Selain itu lagu-lagu yang dimainkan lelaki itu tak ada satupun yang bernada ceria, kecuali jika diminta salah seorang pengunjung.
"Apa yang menarik dari seseorang yang berpura-pura tersenyum diatas panggung, pig? Ia bahkan tak pernah memainkan lagu bernada ceria jika bukan permintaan pengunjung."
"Apa peduli ku? Yang penting ia rupawan dan senyum nya manis. Itu saja," jawab Ino tanpa berharap mendengarkan pendapat Sakura mengenai lelaki bernama Sasuke itu. "Minggu depan kau akan menemaniku ke café,kan? Kali ini aku juga berencana mengajak Hinata dan Tenten."
Sakura mengendikkan bahu dan berkata dengan kepasrahan yang tersirat dalam suara nya, "Terserahlah. Pokoknya minggu depan yang terakhir."
"Yay! Kau yang terbaik, forehead."
Sakura membiarkan Ino memeluk diri nya dengan erat sebagai perwujudan antusiasme. Setidaknya, minggu depan adalah yang terakhir dan ia akan terbebas dari kunjungan rutin ke café setiap minggu.
.
.
Sasuke mengenakan pakaian tidur setelah membasuh tubuh dengan handuk. Ia melangkah menuju tempat tidur dan mendapati wanita berambut merah panjang dengan kulit kencang tanpa sedikitpun keriput di usia empat puluhan. Wanita itu mengenakan pakaian tidur dari sutra tipis yang terbuka di bagian dada dan pendek sambil menatap Sasuke dengan tatapan menggoda.
"Sasuke-kun, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menemuiku. Kau tahu, suamiku sedang keluar kota dan baru akan kembali dua minggu lagi. Aku kesepian."
Sasuke memaksakan diri untuk menahan rasa jijik dan sedikit tersenyum, "Tentu saja. Aku tak akan membiarkan kau kesepian, Kushina-obasan."
Wanita berambut merah itu mengerucutkan bibir dengan kesal, "Aaah…. Sudah kubilang jangan panggil aku Kushina-obasan. Panggil saja Kushina-chan. Lalu hari ini kau juga tak mengangkat teleponku hingga membuatku harus menelpon beberapa kali."
"Maaf. Aku sedang tampil dan tak bisa menjawab teleponmu, Kushina-chan," ujar Sasuke dengan lidah kelu.
"Apakah uang bulananmu kurang, Sasuke-kun? Sudah kubilang kau tidak perlu bekerja lagi."
Sasuke menggelengkan kepala, "Cukup, kok. Hanya saja aku suka bermain piano. Lagipula nanti dobe akan curiga."
"Dobe? Maksudmu Naruto-kun? Kau kurang ajar! Berani-berani nya menyebut putra ku seperti itu!" ucap Kushina dengan nada merajuk.
Sasuke mendesah pelan. Sejak awal ia merasa aneh dan tidak nyaman ketika harus bersama dengan Kushina. Hingga kini iapun masih belum terbiasa, apalagi jika harus memanggil wanita itu 'Kushina-chan' meskipun wanita itu notabene adalah ibu dari sahabat nya, Uzumaki Naruto.
Hati kecil Sasuke terkadang menjerit dan ia terkadang malas meladeni Kushina jika perasaan sedang mengambil alih diri nya dan sejenak 'membunuh' logika nya. Naruto adalah sahabat sekaligus rival yang telah dianggap sebagai saudara, begitupun dengan Naruto. Ia merasa tak sampai hati jika harus menjadi perusak keluarga Naruto dengan menjadi lelaki simpanan Kushina, apalagi jika harus bercinta dengan wanita itu.
Sasuke tak pernah benar-benar menikmati momen bercinta dengan Kushina dan ia terkadang memerlukan waktu agak lama untuk bereaksi atas tubuh wanita itu ketika wanita itu sendiri sudah bergairah. Namun entah bagaimana Kushina tetap bersedia menjadikan Sasuke simpanan meskipun Sasuke yakin ia jauh lebih buruk dibanding suami Kushina dalam urusan ranjang.
"Maaf. Aku terbiasa memanggilnya seperti itu. Terkadang dia memang-" ucapan Sasuke terputus dengan bibir Kushina yang telah menekan bibir nya dengan cepat.
"Kau benar, Sasuke-kun. Dia memang agak bodoh, tidak seperti kau yang pintar. Coba saja Naruto sedikit mirip denganmu."
Sasuke tersenyum dan berkata, "Tidak usah dipikirkan, Kushina-chan. Ia juga memiliki hal baik yang tidak kumiliki, begitupun sebaliknya."
"Aah… kau benar, Sasuke-kun. Aku beruntung memiliki lelaki tampan dan berkepribadian bagus sepertimu," ujar Kushina sambil menatap Sasuke lekat-lekat dan mengecup bibir Sasuke dengan singkat, kemudian memeluknya dengan erat.
"Tidur, yuk. Kau pasti lelah setelah 'bermain' selama dua ronde, kan?" usul Kushina sambil mengusap punggung Sasuke dengan manja.
Sasuke segera berbaring dengan tubuh Kushina yang masih memeluknya. Ia mengecup kening Kushina dan berbisik, "Oyasumi."
"Oyasumi, Sasuke-kun."
Tak sampai lima menit kemudian Kushina telah tertidur pulas dan Sasuke segera melepaskan pelukannya serta berbalik arah membelakangi Kushina. Tubuh Sasuke sangat lelah, namun mata nya tak mau terpejam barang sedetikpun.
Sasuke terlarut dalam pikirannya sendiri, mengenai diri nya saat ini dan masa depan serta kekhawatirannya. Sesungguhnya Sasuke tak ingin hidup seperti ini. Ia hidup dalam perasaan bersalah dan ketakutan setiap hari, perasaan yang membuatnya muak.
Namun tak ada pilihan jika ia ingin tetap bertahan pada impian nya. Ada hal yang perlu dikorbankan jika ingin mendapatkan sesuatu, baik besar maupun kecil. Dan dalam meraih impian, Sasuke telah mengorbankan tubuh dan perasaan nya hingga merelakan diri hidup dalam perasaan bersalah pada Naruto dan perasaan hina pada dirinya sendiri.
Sasuke membutuhkan uang untuk meraih impian nya sebagai seorang pianis. Untuk mengambil kuliah musik di Jepang saja sudah memerlukan uang yang cukup banyak dan setelahnya ia ingin melanjutkan studi di sekolah musik yang berada di Eropa. Status nya sebagai anak panti asuhan yang tak diinginkan menutup jalan nya untuk meraih impian tak tahu diri nya,
Sejak lahir hingga berusia tujuh belas tahun, Sasuke percaya jika ia tak memiliki orang tua dan berusaha meyakinkan diri jika orang tua nya memang telah meninggal, bukan tak menginginkannya. Ia tak mengerti mengapa para donatur yang berkunjung ke panti asuhan terkesan menghindarinya dan tak seorangpun berniat mengadopsinya saat anak-anak lain di panti asuhan satu persatu mulai meninggalkan panti bersama keluarga baru mereka dan digantikan dengan anak-anak lain nya.
Hingga pada ulang tahun yang ke tujuh belas, Sasuke dihadapkan pada realita menyakitkan yang ia harap tak perlu diketahuinya. Pemilik panti memberikan sebuah surat dan kalung emas dengan bandul inisial nama nya, serta penjelasan mengenai asal usul nya sebagai putra haram dari keluarga konglomerat Uchiha.
Uchiha Mikoto, nyonya keluarga Uchiha, mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh supir hingga hamil. Keluarga Uchiha berbaik hati membiarkan Mikoto mempertahankan kehamilan dan 'melenyapkan' supir beserta keluarga nya serta menyerahkan anak itu ke panti asuhan. Saat itu berita mengenai pemerkosaan Mikoto menjadi berita yang terkenal meskipun tak menampilkan identitas Mikoto secara eksplisit di surat kabar. Wajah Sasuke yang sangat mirip dengan Mikoto telah menunjukkan identitas orang tua nya dan membuatnya dihindari bagaikan seonggok kotoran oleh para donatur.
Sasuke tak ingin percaya akan perkataan pemilik panti, namun isi surat lengkap dengan tanda tangan ibu nya mengatakan hal yang sama. Setelahnya, ia meninggalkan panti setelah pemilik panti itu memintanya pergi dengan rasa sakit di hati nya.
Sasuke yang saat itu tak memiliki tempat tinggal dan uang menginap di rumah Naruto dan pada akhirnya ditawari untuk menjadi 'simpanan' Kushina. Meskipun ia menolak pada awalnya, namun akhirnya ia bersedia dan hubungan nya dengan Kushina berlanjut hingga saat ini.
"Kuso," gumam Sasuke sambil menekan dada nya dan memejamkan mata nya. Setetes air mata mengalir dari mata nya yang telah basah setelah ia tanpa sadar terlarut dalam pikiran nya dan malah mengingat masa lalu yang ingin dilupakan nya.
Tak peduli seberapa keras usaha Sasuke untuk mengenyahkan ingatan mengenai masa lalu nya, ia tak bisa melakukannya. Kalaupun bisa, ia tetap tak bisa mengubah realita dan takdir.
Sasuke merasa cemburu pada Naruto. Meskipun Naruto bodoh, setidaknya lelaki itu memiliki harga diri, moral dan latar belakang keluarga yang baik. Sasuke tak bisa membeli semua yang dimiliki Naruto dan tak dimiliki dirinya. Ia juga tak bisa menghindari karma yang diterima nya, karma sebagai putra haram dari seorang nyonya terhormat dan pemerkosa.
Rasa kantuk membuat Sasuke berhasil memejamkan mata pada akhirnya dan ia memeluk guling dengan erat serta tertidur dengan luka besar tak kasat mata yang menganga di hati nya, luka yang selamanya tetap basah dan tak akan tersembuhkan.
.
.
Sakura merasa benar-benar jengkel hari ini. Ia yakin akan mendapat nilai jelek setelah lupa belajar untuk tes yang diadakan oleh dosen nya. Ia khawatir akan kehilangan beasiswa jika IP semester ini dibawah tiga koma lima. Selain itu, Sakura kesal dengan dosen serta anggota klub mahasiswa yang diikutinya yang terus bergantung padanya dan mempercayakan nya untuk melakukan tugas-tugas penting ketika ia sudah sangat lelah dan memerlukan waktu untuk diri sendiri. Lalu Ino juga terus membicarakan Sasuke seolah tidak memiliki topic pembicaraan lain dan diperparah dengan Hinata dan Tenten yang juga begitu antusias dengan Sasuke yang diceritakan Ino.
Sakura memutuskan untuk mengemudi menuju taman terdekat serta menikmati senja sendirian. Sesekali ia perlu menenangkan diri tanpa keberadaan teman-teman nya yang mayoritas berisik. Keheningan dapat membantunya menjernihkan pikiran dan meredam emosi nya.
Sakura memperlambat laju mobil ketika sudah dekat dengan taman dan memparkir mobil nya di tempat parkir terdekat dengan taman. Ia turun dari mobil dan berjalan memasuki taman yang mulai sepi pada pukul setengah enam sore.
Di taman hanya terdapat beberapa lansia yang masih menikmati senja sambil bercakap-cakap dan tertawa. Sakura memutuskan untuk berjalan-jalan dan mengelilingi taman yang luas itu selama satu atau dua kali putaran dan setelahnya ia akan pulang.
Sakura melangkahkan kaki menuju daerah taman yang lebih sepi. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan langit yang mulai gelap dan ia berpikir untuk segera kembali ke mobil serta pulang.
Namun iris emerald nya mendapati objek familiar yang membuatnya penasaran. Di kejauhan, Sakura mendapati sosok Sasuke yang sedang duduk di kursi yang tak jauh dari kolam air mancur. Tatapan lelaki itu menatap ke arah langit, namun ia seolah sedang menerawang dan tatapannya kosong. Raut wajah lelaki itu sulit terbaca.
Sakura merasa penasaran dengan apa yang dipikirkan lelaki itu. Otak nya memerintahkannya untuk tidak menghiraukan lelaki itu, namun ia malah melangkah mendekati Sasuke.
Kini Sakura hanya berjarak sekitar satu meter dari Sasuke, namun lelaki itu masih tak menyadari keberadaan Sakura. Sakura menatap lelaki itu dan mencoba mengikuti arah pandang lelaki itu. Lelaki itu menatap langit dan tatapan lelaki itu benar-benar kosong!
Sakura merasa ngeri dan khawatir lelaki itu berpikir untuk melakukan sesuatu yang konyol. Sakura segera mendekati lelaki itu dan berusaha menimbulkan suara langkah kaki yang berisik, namun ia terhenti saat ia berjarak dua puluh sentimeter dari lelaki itu.
"Sasuke-" Sakura tanpa sadar memanggil lelaki itu dan langsung mengatupkan mulut nya.
Kali ini lelaki itu menoleh dan mengernyitkan dahi, "Siapa kau?"
Bagus! Kali ini Sakura terkesan seperti stalker dan ia merasa malu pada dirinya sendiri. Sasuke tidak mungkin mengenalinya dan ia juga tak ingin dianggap seperti orang yang ingin ikut campur dengan urusan orang lain.
"Kau mengikutiku, huh?!" ucap Sasuke dengan nada yang sama sekali tidak ramah.
Sakura membelalakan mata dan menggelengkan kepala. Ia saja tidak tertarik dengan Sasuke, untuk apa mengikuti lelaki itu? Lagipula ini merupakan kali pertama ia bertemu Sasuke diluar café dan ia tak pernah mengira akan melihat Sasuke sendirian di tempat umum.
"Mengikutimu? Untuk apa aku melakukannya? Kurasa waktu ku terlalu berharga jika digunakan untuk mengikutimu."
Sasuke berpikir sejenak, ucapan gadis itu ada benar nya. Ia merasa malu dengan kalimat kelewat narsistik yang terlontar dari nya. Lagipula ini merupakan kali pertama ia bertemu gadis itu dan biasanya ia akan langsung sadar jika seseorang mencoba mengikuti nya atau mengusik kehidupan pribadi nya.
"Kau siapa? Salah satu pengunjung café?"
Sakura menganggukan kepala dengan terpaksa dan memperkenalkan diri, "Nama ku Haruno Sakura dan aku berkunjung ke café setelah temanku memaksa menemaninya."
Sakura tersenyum tipis, namun ia tak mengulurkan tangan. Ia dengan sengaja mengatakan kunjungan ke café yang dilakukan secara terpaksa agar ia tak terkesan seperti fans lelaki itu.
"Oh."
Demi tuhan! Sakura merasa ingin menarik Ino ke tempat ini sekarang juga! Lelaki ini sungguh tak punya tata krama. Sakura belum pernah berkenalan dengan seseorang yang tak menyebutkan nama nya ketika berkenalan atau setidaknya tersenyum. Ino harus melihat hal ini dan penilaian gadis itu terhadap Sasuke akan turun drastis.
"Pulanglah. Jangan duduk di taman sendirian dengan tatapan kosong seperti itu. Kau bisa kerasukan hantu," ujar Sakura dengan serius, mengucapkan nasihat yang selalu dikatakan ibu dan nenek nya kepadanya.
Sasuke tertawa sinis mendengar ucapan Sakura yang terkesan seperti takhayul. Jika hantu merasuki tubuh nya, maka ia malah patut bersyukur karena hantu bersedia memilihnya yang hina dan tak diinginkan siapapun ini untuk dirasuki.
"Kurasa aku patut bersyukur jika hantu bersedia merasukiku. Setidaknya masih ada yang mau memilihku, hn?"
Sakura mengernyitkan dahi mendengar apa yang diucapkan lelaki itu dengan suara agak pelan yang masih dapat didengar Sakura.
"Hentikan! Jangan berbicara seperti itu! Nanti malah menjadi kenyataan."
Sasuke tersenyum sinis mendengar ucapan gadis itu. Ia memang percaya pada hantu, namun setidaknya ia tak akan mengucapkan hal-hal yang terkesan seperti takhayul itu, apalagi ada orang asing.
"Apakah kau berpikir aku serius mengatakan hal seperti itu, idiot?"
Sakura mengepalkan tangan erat-erat, menahan diri untuk tidak membentak lelaki itu. Ia tak mengerti bagaimana lelaki itu dibesarkan hingga tak memiliki sopan santun. Ia yakin siapapun orang tua lelaki itu, pasti adalah orang yang sangat buruk.
"Hey! Kau ini diajarkan sopan santun, tidak, sih? Kau mengataiku idiot padahal kau tidak mengenalku! Kau punya tata krama, tidak?!"
Sasuke tersentak dengan ucapan Sakura dan untuk sesaat ia terdiam. Ia merasa kesal dengan ucapan gadis itu, namun apa yang diucapkan gadis itu memang benar. Ia sama sekali tak memiliki tata krama dan pengurus di panti asuhan hanya mengajarkan untuk mengucapkan 'maaf' dan 'terima kasih' di saat tertentu.
Rasa bersalah seketika melanda Sakura tepat setelah ia menyelesaikan ucapan nya. Suasana hati nya sedang buruk dan ia tak terima dikatai idiot. Namun ia tak seharusnya mengucapkan kalimat seperti itu dan seharusnya lelaki itu marah padanya. Namun reaksi lelaki itu malah lebih aneh lagi, ia hanya diam saja.
"Maaf. Aku tak bermaksud mengucapkan kalimat seperti itu. Tadi aku hanya sedang emosi. Maaf, ya," Sakura menundukkan kepala dengan penuh rasa bersalah.
"Kau benar. Aku memang tak diajarkan sopan santun dan tak memiliki tata krama," ucap Sasuke dengan sangat pelan dan hati yang kembali terasa nyeri.
Sakura mendelik dengan penuh keterkejutan mendengar ucapan lelaki itu, "Eh? Kau bilang apa?"
"Tidak."
Iris emerald Sakura tak memandang wajah Sasuke. Ia menatap ke arah langit jingga dengan matahari yang hampir sepenuhnya turun dari singgasana nya. Ia menatap langit dengan penuh antusiasme tanpa peduli jika sebenarnya Sasuke juga sedang memandang ke arah yang sama.
Tak ada percakapan dan keheningan memuakkan mengalir diantara mereka. Sakura merasa aneh dengan keheningan yang tercipta diantara dirinya dan Sasuke. Bukan berarti ia berisik, namun ia hanya merasa aneh dengan keheningan ketika ia sedang bersama dengan seseorang.
"Ternyata sunset di tempat ini bagus juga."
"Kau belum melihat di tempat lain yang lebih bagus, hn?"
Sasuke tersentak dengan apa yang diucapkannya sendiri tanpa sadar. Ia tak mengerti sejak kapan ia menjadi pria yang banyak bicara pada orang asing. Biasanya ia akan merasa risih dengan orang asing, namun ia berubah menjadi orang yang berbeda saat bersama dengan Sakura. Ia telah bersumpah untuk tak membiarkan dirinya berdekatan dengan wanita manapun demi melindungi perasaan nya sendiri, namun kini ia malah berinteraksi dengan wanita dan malah membuka diri terhadap Sakura.
"Lebih bagus? Dimana?"
"Daikanrasha."
Sakura menganggukan kepala. Sunset memang terlihat bagus jika dilihat dari daikanrasha, namun ia tak ingin menaiki daikanrasha sendirian dan tak memiliki kekasih untuk diajak menaiki daikanrasha. Mayoritas teman nya tidak tertarik dengan pemandangan di ferris wheel itu dan satu-satunya orang yang bisa ia ajak adalah Naruto, namun ia juga tak mungkin meminta lelaki itu menemaninya setiap ia ingin naik daikanrasha.
"Ya, disana memang bagus, sih. Tapi pemandangan di daikanrasha tak bisa dilihat setiap saat, kan? Maksudku, rasanya canggung kalau harus naik daikanrasha sendirian."
"Hn."
Sakura melirik jam di ponsel nya dan ia tak sadar jika saat ini pukul enam lewat lima belas menit. Ia bahkan belum makan malam dan perut nya mulai terasa lapar.
"Oh ya, aku harus pulang sekarang. Kurasa kau sebaiknya juga pulang dan kau tak seharusnya duduk di taman sendirian seperti tadi."
"Hn."
Sasuke melirik Sakura yang kini telah berbalik dan berjalan menjauhinya. Ia merasa konyol telah merasa senang dengan perhatian yang ditujukan gadis itu padanya. Ia sungguh berharap dapat kembali bertemu dengan gadis itu dan dapat menemukan gadis itu diantara pengunjung café minggu depan.
.
.
Minggu inipun Ino begitu antusias dengan kunjungan ke café. Ia bahkan datang pukul dua siang demi mendapat meja terdekat dengan piano ketika pertunjukkan piano sendiri dimulai pada pukul lima.
Dan di café inilah Sakura kini berada. Ia berada di meja terdekat dengan piano, ikut menikmati alunan musik yang dimainkan lelaki itu. Segalanya masih sama seperti minggu lalu, jari-jari yang sama yang menari dengan lincah di atas tuts piano, permainan penuh penjiwaan yang sama, juga ekspresi wajah yang sama.
Namun yang berbeda adalah keceriaan yang terpancar dari lelaki itu, menggantikan kemuraman yang selalu disembunyikan nya dengan tatapan lembut dan raut wajah datar.
Sore ini lelaki itu memilih memainkan Paganini 18th Variation, lagu romantis yang biasanya hanya dimainkan jika ada permintaan. Biasanya, lelaki itu akan memainkan Moolight Sonata, Winter dari Vivaldi atau bahkan lagu bertema kematian.
Sakura menatap sosok Sasuke yang dapat dilihatnya dari samping dan tanpa sengaja lelaki itu juga melirik kearah nya. Selama beberapa detik, mereka saling bertemu pandang dan lelaki itu kembali mengalihkan pandangan dengan jari-jari yang tak berhenti menari diatas tuts-tuts.
Hanya diperlukan waktu beberapa detik bagi Sasuke untuk menunjukkan pesona nya pada Sakura dan membuat gadis itu menyadari nya. Kini Sakura mengerti mengapa Ino begitu mengagumi Sasuke hingga mau datang ke café setiap minggu.
Kini ketika Sasuke telah menunjukkan sedikit keceriaan, Sakura telah menangkap pesona wajah tampan dengan tubuh atletis serta tatapan tajam nan memikat milik Sasuke, sang atraksi utama dari café itu.
Pertunjukkan telah selesai dan Sakura ikut bertepuk tangan bersama pengunjung lain. Kali ini, ia tak sekadar bertepuk tangan mengikuti pengunjung di sekeliling nya. Ia bertepuk tangan dengan antusiasme tulus dari lubuk hati terdalam nya.
Sasuke berjalan menuruni panggung, namun kali ini ia tak lagi berpikir untuk segera meninggalkan café. Ia bahkan tak segera menyalakan ponselnya dan memilih untuk menikmati minuman di café sebelum pulang.
"Hey, Sakura. Kau datang ke café lagi?"
Sakura menoleh saat mendengar suara baritone yang memanggilnya dan ia mendapati Sasuke yang berdiri dihadapan nya.
Ino, Hinata dan Tenten menatap Sasuke dan Sakura bergantian. Tatapan mereka dipenuhi kecemburuan sekaligus penasaran. Mereka ingin tahu seperti apa hubungan Sakura dengan Sasuke.
"Sasuke-kun, duduklah bersama kami," ucap Ino sambil tersenyum dan menatap penuh harap.
"Tidak, aku hanya sebentar saja."
Sakura melirik Sasuke yang berdiri tak jauh dari tempat duduk nya. Ia tak mengira lelaki itu akan menyapa nya terlebih dahulu dan ia merasa senang.
"Ya. Temanku ini memaksaku datang lagi," Sakura mengerucutkan bibir dan menunjuk Ino.
Ino tersenyum pada Sasuke sebelum mengalihkan pandangan pada Sakura, "Minggu ini yang terakhir, kok. Setelahnya aku tidak akan memaksamu menemaniku lag. Lagipula sekarang ada Tenten yang bisa menemaniku."
Kekecewaan menyeruak di hati Sasuke saat ia mendengarkan ucapan Sakura dan Ino. Minggu ini, ia lebih ceria dan antusias dibandingkan biasanya karena ia berharap dapat bertemu lagi dengan gadis berambut merah muda itu. Sejak pertemuan dengan Sakura di taman, ia terus memikirkan gadis yang telah meninggalkan kesan di hati nya.
Sakura tak sadar jika Sasuke beberapa kali mencuri pandang kearahnya saat memainkan piano. Ketika lelaki itu bermain biola untuk lagu Vivaldi Spring, iris onyx itu tertuju sepenuhnya pada Sakura yang duduk di kursi terdepan seolah mendedikasikan lagu itu untuknya.
"Tidak terakhir, kok. Mungkin bulan depan aku akan datang lagi," ujar Sakura sambil tersenyum tipis.
'Mungkin' bukan merupakan kepastian. Namun Sasuke menjadikan hal itu sebagai harapan dan ia berharap bulan depan akan bertemu lagi dengan Sakura.
"Sasuke-san, hari ini penampilanmu menarik, lho. Kalau saja kau lebih sering memainkan lagu ceria, penampilan mu pasti akan semakin menarik."
"Kau suka lagu ceria?"
"Tergantung. Namun aku lebih suka lagu ceria dibandingkan lagu sedih."
"Hn."
Sasuke mencatat baik-baik apa yang disukai Sakura dalam benak nya. Ia berpikr untuk lebih banyak memainkan lagu ceria sehingga gadis itu akan senang ketika datang ke café lagi.
.
.
Sudah dua minggu berlalu dan Sasuke tak lagi menemui Sakura di café. Gadis itu tak pernah datang lagi dan ia hanya mendapati gadis berambut pirang yang selalu bersama dengan Sakura datang bersama teman nya yang berambut cepol dan berambut indigo digerai.
Sasuke tak bisa berhenti memikirkan Sakura. Ia bahkan lebih memperhatikan sekeliling dan apa yang dikenakannya saat berpergian dengan pemikiran jika ia mungkin bertemu lagi dengan Sakura. Ia juga berkunjung ke taman tempat ia bertemu Sakura selama beberapa hari, namun ia tetap tak menemui gadis itu meskipun sudah menunggu berjam-jam.
Sepanjang hidup nya, Sasuke tak pernah membayangkan jika ia pada akhirnya akan melakukan hal konyol dan merasakan jatuh cinta dengan begitu singkat. Awalnya, ia mengira jika ia takkan pernah merasakan jatuh cinta dengan kondisi nya dan ia merasa senang sekaligus sedih di saat yang sama ketika ia dapat jatuh cinta.
Ia senang karena akhirnya dapat merasakan cinta seperti yang dirasakan orang-orang lain nya. Namun ia juga merasa sedih karena harus melupakan perasaan nya. Ia tak akan menunjukkan perasaan nya, apalagi menyatakan dan memperjuangkannya. Ia merasa dirinya tak pantas bersama dengan Sakura yang ia yakini merupakan gadis baik-baik. Sekalipun Sakura tak keberatan bersamanya, ia juga merasa tak tega membiarkan gadis itu dimiliki oleh orang sepertinya. Ia tak pantas mendapatkan sesuatu yang baik.
Suara ponsel membuat Sasuke tersadar dari pemikiran nya dan ia segera mengangkat ponsel nya.
"Moshi-moshi."
"Teme, ingin naik daikanrasha tidak?" terdengar suara cempreng Naruto di seberang telepon.
"Hn? Sekarang?"
"Tentu saja. Kau tidak ingin melewatkan sunset, kan? Makanya cepat datang sekarang kalau kau mau."
"Tunggu aku."
Sasuke segera mematikan telepon dan meraih kunci motor besar nya. Ia memiliki janji dengan Kushina pukul setengah delapan malam dan ia masih memiliki waktu sebentar untuk menikmati sunset.
.
.
Daikanrasha lumayan ramai dengan pengunjung yang mengantri untuk masuk ke dalam ketika Sasuke tiba di Palette Town. Mata nya menatap sekeliling dan berusaha menemukan sosok lelaki berambut pirang yang katanya telah menunggu nya.
"Sasuke-san!"
Iris onyx Sasuke bertemu pandang dengan gadis berambut merah muda yang berdiri tak jauh darinya. Jantung Sasuke berdebar tak terkendali dan ia melengkungkan sudut bibir membentuk seulas senyum pada Sakura.
"Hn."
"Kau sendirian, Sasuke-san?"
"Tidak, sedang menunggu teman."
"Oh, ya? Aku juga sedang menunggu teman,"
Ponsel Sakura berbunyi dan ia segera membuka tas nya. Di saat yang bersamaan, ponsel Sasuke juga berbunyi dan lelaki itu mengernyitkan dahi dengan heran.
From : Naruto
Sakura-chan, maaf ya aku batal naik daikanrasha bersamamu. Mobil ku tiba-tiba mogok di tengah jalan. Sekarang aku sedang menunggu orang bengkel untuk datang dan menderek mobil ku.
Oh ya, kau bertemu dengan teman ku tidak? Nama nya Sasuke dan rambut nya berwarna hitam ditata mencuat seperti bokong ayam. Aku mengajaknya naik daikanrasha bersama kita dan dia sudah datang. Kalau dia mau, ajak saja dia untuk naik daikanrasha bersamamu.
Sakura membelalakan mata saat membaca pesan Naruto. Ia tak keberatan jika Naruto mengajak teman yang tak dikenalnya. Namun kini ia merasa canggung jika hanya berdua dengan Sasuke.
Sakura melirik tiket yang sudah terlanjur dibelinya. Ia tak mau naik daikanrasha sendirian. Namun ia terlalu malu untuk mengajak Sasuke naik daikanrasha bersama.
"Sasuke-san, teman ku tiba-tiba saja batal menemaniku naik daikanrasha. Jadi aku memiliki tiket daikanrasha tak terpakai. Ini untukmu saja," Sakura daikr
Sasuke menatap tiket yang diserahkan Sakura dan ia tak langsung menerima nya. Ia telah menerima pesan dari Naruto yang mengatakan jika ia membatalkan janji untuk naik daikanrasha bersama dan ia juga mengajak Sakura, si gadis berambut merah muda. Ia merasa bimbang apakah harus mengajak Sakura naik daikanrasha bersama atau tidak.
"Bukankah kau seharusnya memiliki janji dengan Naruto, hn? Bagaimana jika aku menggantikan Naruto menemanimu?"
Sakura menganggukan kepala. Ia bersyukur Sasuke mengajaknya naik daikanrasha bersama sehingga ia tidak perlu pulang dengan kecewa.
"Apakah tidak merepotkan? Arigato, Sasuke-san!"
"Hn."
Sasuke berjalan meninggalkan Sakura dan menuju loket untuk membeli tiket. Sakura mememperhatikan sosok lelaki itu dari belakang dan terkejut dengan betapa menawan nya sosok lelaki itu meski dari belakang sekalipun.
Sakura memutuskan untuk mengantri untuk menaiki wahana terlebih dahulu. Terdapat lima orang di depan Sakura dan ia melirik Sasuke yang baru saja selesai membeli tiket.
Sasuke mengantri di belakang Sakura dan tak mengajak gadis itu berbicara sama sekali. Jantung nya berdebar keras dan ia merasa canggung. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan pada Sakura meskipun ia memiliki puluhan pertanyaan yang siap diajukan nya pada Sakura.
"Sasuke-san, darimana kau mengenal Naruto? Aku tak menyangka kalian berdua saling mengenal," Sakura mencoba berbasa-basi untuk memulai percakapan.
"Sekolah. Kami selalu berada di kelas yang sama sejak middle school hingga lulus."
"Wah… ternyata kalian cukup akrab?"
"Hn. Kau sendiri mengenal dobe darimana?"
Sakura mengernyitkan dahi mendengar julukan yang diberikan Sasuke pada Naruto. Dalam hati ia mengamini apa yang dikatakan Sasuke. Naruto benar-benar bodoh dan konyol hingga membuatnya jengkel.
"Kami merupakan teman satu fakultas. Omong-omong, kau juga kuliah, Sasuke-san?"
"Hn."
"Kau engambil jurusan apa? Musik?"
"Hn."
Seorang petugas mengintervensi percakapan mereka dan mengulurkan tangan sebagai pertanda meminta karcis. Sakura dan Sasuke segera menyerahkan karcis dan petugas itu merobek karcis serta mengembalikan pada Sakura dan Sasuke.
"Silahkan," ujar petugas lain nya sambil mempersilahkan Sakura dan Sasuke masuk ke dalam bilik daikanrasha.
Sakura dan Sasuke masuk ke dalam bilik dan duduk berseberangan. Petugas mulai menutup pintu dan daikanrasha mulai bergerak naik perlahan. Terdapat banyak bilik daikanrasha dan setiap satu putaran menghabiskan waktu kira-kira dua puluh menit.
Sasuke menatap Sakura yang kini duduk berhadapan dengan nya. Ia hampir membuka mulut untuk menanyakan pertanyaan pada Sakura, namun ia kembali mengatupkan bibir rapat-rapat. Otak nya seolah kosong dan ia tak tahu bagaimana memulai percakapan.
Wajah Sakura memerah saat ia menyadari Sasuke terus menatapnya. Ia merasa gugup dan sedikit risih, namun tidak berani untuk bertanya.
"Omong-omong, apakah kau mempelajari piano sejak kecil?"
Pertanyaan Sakura membuat Sasuke kembali teringat dengan masa kecil nya. Sasuke menganggukan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Sakura.
"Oh, benarkah? Beruntung sekali, pantas saja kemampuan musik mu begitu hebat. Bahkan kau juga bisa bermain biola?" Tanya Sakura dengan nada cemburu dibalik intonasi suara nya.
"Permainan biola ku tidak terlalu baik," ujar Sasuke dengan serius. Ia merasa agak risih dengan ucapan Sakura. Ia tak pernah menganggap diri nya beruntung. Menurutnya, semua orang yang ditemuinya jauh lebih beruntung darinya tanpa mereka sadari.
"Oh, ya? Menurutku lumayan, lho. Setidaknya kau masih bisa bermain, kan?"
"Hn."
Tak ada percakapan selanjutnya dan mereka berdua terdiam. Tiga kali bertemu Sasuke membuatnya sadar jika lelaki itu bukanlah orang yang banyak bicara. Ia bahkan harus memutar otak untuk mengajak lelaki itu berbicara hingga menanyakan pertanyaan yang tidak penitng dan membuat dirinya terlihat seperti gadis yang terlalu banyak bicara.
Bilik daikanrasha hampir mencapai puncak dan tatapan Sasuke tertuju pada matahari terbenam yang terlihat dibelakang tubuh Sakura. Jantung nya berdebar keras dan ia kesulitan untuk fokus memperhatikan objek manakah yang menarik perhatian nya, Sakura kah atau matahari kah?
Matahari yang terlihat di belakang tubuh Sakura terlihat berbeda. Matahari yang terbenam di belakang Sakura merupakan paduan yang indah dan menarik.
Sakura memutar tubuh nya agar dapat melihat langit jingga kemerahan dari tempatnya duduk. Ia tersenyum dan berkata, "Pemandangan yang indah. Rasanya aku jadi ingin melihatnya setiap hari."
"Hn."
Mereka berdua kembali terdiam dan menikmati pemandangan yang tersaji sambil larut dalam pikiran masing-masing. Daikanrasha mulai bergerak turun dan Sakura tak melepaskan tatapan dari matahari itu. Ia merasa senang dapat mengamati matahari dari segala posisi ketika ia masuk ke dalam bilik daikanrasha.
"Sasuke-san, kalau kau memiliki waktu luang, bolehkah kau menemaniku naik daikanrasha lagi?" ucap Sakura sambil berusaha menahan rasa malu atas sikap nya yang begitu agresif.
"Kau begitu menyukai matahari terbenam, hn?"
"Ya, bukankah kau menyukai nya juga?"
"Hn."
"Ya, aku merasa tidak enak jika harus mengajak Naruto. Aku malas naik daikanrasha sendirian, sementara Naruto sebenarnya tidak terlalu suka menikmati matahari terbenam. Teman-teman ku yang lain sama sekali tidak tertarik dan menganggap hobi ku aneh. Makanya lebih baik mengajak orang yang juga menikmati matahari terbenam untuk menikmati bersama-sama."
Sasuke menganggukan kepala. Ia juga sadar jika Naruto menerima ajakan nya semata-mata hanya untuk menyenangkan dirinya. Ia tak memiliki banyak teman dan orang-orang di sekeliling nya tak lebih dari sekadar relasi. Ia tak mungkin mengajak orang yang tidak cukup dekat dengan nya untuk pergi bersama-sama.
"Kau tidak khawatir dengan persepsi orang lain mengenai hobi mu? Kau bahkan mengajakku naik daikanrasha bersama?"
Ucapan Sasuke terdengar seperti sindiran bagi Sakura dan membuat gadis itu benar-benar malu. Ia mengira Sasuke akan menerima ajakan nya dan kini ia menyesal telah mengajak lelaki itu. Ia bahkan tak tahu apapun mengenai kehidupan lelaki itu. Ia hanya tahu jika lelaki itu bermain piano di café seminggu sekali selama satu setengah jam dan lelaki itu berkuliah di fakultas musik di universitas yang tidak ia ketahui. Lelaki itu mungkin saja telah memiliki kekasih tanpa sepengetahuan nya.
"Umm… tidak. Orang-orang bebas memiliki persepsi dan aku memilih dianggap aneh asalkan tetap menjadi diri sendiri."
Terdapat keseriusan dibalik ucapan Sakura dan Sasuke menyadarinya. Sasuke merasa dirinya begitu munafik, terutama setelah mendengar ucapan Sakura. Ia berusaha begitu keras untuk disukai orang lain dengan menyembunyikan keburukan-keburukan dalam dirinya sendiri. Ia berpura-pura menjadi lelaki baik-baik ketika ia sendiri adalah lelaki tanpa harga diri.
"Omong-omong, soal ajakanku yang tadi, aku tidak serius, kok," ucap Sakura sambil berpura-pura tersenyum. Di dalam hati nya, ia begitu kecewa.
Ekspresi kecewa Sakura seolah menyayat hati Sasuke dan meremukkan jiwa nya.
Entah kenapa, hati lelaki itu terasa sakit saat ia melihat ekspresi kekecewaan Sakura. Ia tak mengerti mengapa ia merasakan nya ketika ia tak seharusnya merasakan hal seperti itu.
"Minggu depan, temani aku menaiki daikanrasha lagi. Kita bertemu di tempat tadi pukul setengah enam sore."
Ucapan Sasuke membuat Sakura tersentak. Ia yakin lelaki itu hanya kasihan dan mengajaknya bertemu lagi minggu depan. Namun ia merasa senang, setidaknya ia telah menemukan orang dengan hobi yang sama dengan nya dan memiliki teman untuk melakukan hobi bersama-sama.
Rasa sakit di hati Sasuke yang dirasakannya ketika melihat ekspresi kekecewaan Sakura menghilang seketika saat ia menyadari gadis itu telah kembali tersenyum. Ketika Sakura menatap nya sambil tersenyum, jantung nya seolah hendak melompat keluar dari rongga dada nya.
Kini Sasuke tersadar jika ia telah benar-benar jatuh cinta pada Sakura, dan jatuh cinta membuatnya merasa perasaan nya kacau dan bahagia di saat yang sama, bagaikan sebuah roller coaster.
-TBC-
