Cerita ini punya salah satu penulis fenomenal sekarang a.k.a Erisca Febriani. Cerita ini udah lama banget dibuat oleh Eris, saat jaman-jaman gue masih suka nyabein Justin Bieber. Dan kemarin gue nemuin cerita ini di file-file lama gue, gue lupa judulnya, tapi gue suka ceritanya. Makanya gue mau berbagi ke kalian-kalian hehe...
Summary :
Sehun dan Luhan adalah sepasang kekasih, yang saling mencintai. Sehun yang mempunyai cita-cita menerbitkan sebuah novel mengenai kisah percintaannya bingung untuk membuat endingnya. Apakah Happy ending atau malah sebaliknya.. (Sehun-Luhan GS-Irene-Jongin) Hunhan Hunren
Untitled
Sehun's View
Aku kembali memutar mata elangku, berpendar lantas mendelik menatap kearah Xi Luhan. Dia adalah cinta pertamaku, gadisku, seseorang yang sudah menemani hariku selama tiga bulan terakhir ini. Aku menarik senyum tipis merasakan nadiku bergetar tiap kali mata elangku berusaha menatap sepasang mata rusanya dengan intens. Rasanya, ada getaran kecil berusaha masuk menyerupai partikel dan mendadak merayapi sekujur dadaku. Membuat pleura paru-paruku menjadi ciut dan menyusut. Jeez. Aku mengecup sekilas pipinya yang mulus, dan dalam beberapa detik pipinya yang berwarna putih kapas itu langsung bersemu diselimuti warna merah muda. Aku terkekeh lagi dengan sebelah lenganku memeluk pinggul mungilnya erat. Mencium aroma tubuhnya beraroma gummy, seperti permen karet strawberry. Aku sangat suka aroma ini. Aku mendekatkan wajahku, mengubur pipiku disekitar helaian rambut cokelatnya yang tertiup hembusan angin dipadang dandelion.
Sepasang bola mataku menatap lurus. Duduk diatas padang dandelion, menikmati musim panas, merasakan hembusan angin sejuk adalah hal yang paling disukai. "Aku ingin kau bertemu dengan orang tuaku"Suara alto lembutnya kembali berdengung pelan ditelingaku, seperti sebuah simfoni atau nyanyian paling indah menurutku. Aku berdeham kecil, menanggapinya dengan santai.
"Tentu saja, aku mau"ujarku lagi. Luhan memutar bola matanya lagi, wajahnya yang lembut menatapku heran dengan dahi mengernyit. Aku menarik senyum geli lantas mencium pipinya lagi. "kau serius?"tanyanya mengulang, menurutku sekedar sebuah pertanyaan formalitas. Aku sangat-sangat serius. Lazimnya, aku tidak pernah merasa seyakin ini, aku sangat mencintai Luhan. Dia cinta pertamaku, kupikir apa salahnya untuk selangkah lebih maju dengan menemui kedua orangtuanya lebih cepat. Itu tidak terdengar seperti sebuah ironi picisan kan?
Hembusan nafas Luhan yang hangat menerpa lembut permukaan wajahku. Aku menatapnya hangat, menegasi bahwa aku sangat yakin dalam setiap perkataanku. Aku tidak pernah ingkar, berbohong atau apapun. Aku selalu serius, terlebih dengan Luhan. Gadis itu memeluk tubuhku erat-erat, aku merasakan tubuhnya yang mungil bersandar didadaku, mendengar detak jantungnya yang berdebur seperti ombak. Aku membaui aroma rambutnya lagi merasa ada kupu-kupu mengigiti lambungku tiap kali aku melakukan hal-hal seperti ini. "Well, aku sudah mengatakan hal itu kepada kedua orang tuaku dan mereka mengundangmu untuk makan malam dirumahku hari ini" Luhan mengangkat wajahnya lagi. Bulu matanya yang lentik terlihat mengerjap didepanku, dia sempurna, sangat cantik. Aku menyisingkan helaian rambut yang menempel disisi permukaan pipinya menghalangi bola mataku untuk melihat wajah cantiknya lebih jelas lagi. Jari-jariku melingkar, menyentuh ujung hidungnya menimbulkan gerakan sensotis disana.
Luhan tersenyum lagi. Senyum yang sangat aku sukai. "bukan sebuah masalah, aku akan datang kerumahmu nanti malam"bisikku dan spontan membuat Luhan tersenyum makin lebar, bibirnya mengecup singkat bibirku. Aku bisa merasakan bibirnya yang lembab dan hangat menyentuh permukaan bibirku dan aku merasakan seperti ada sengatan tawon menyengat sekujur kulitku sekarang. Barusan itu hebat. Aku terkekeh geli, Luhan mendelik, menatapku lewat sepasang bola mata rusanya yang menawan. Tatapan itu selalu berhasil menciptakan manuver keras meliuk didadaku, menerjang diriku dalam sebuah gelombang hangat dan selalu berhasil membuatku tenggelam dalam pesonanya.
Aku memang belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Luhan. Belum pernah sama sekali, masalahnya adalah kedua orang tua Luhan sangat sibuk, mereka sangat sulit untuk dibuat janji bertemu setidaknya aku begitu paham bagaimana bisnis orang tua Luhan. Padahal, terkadang aku merasa kasihan pada gadis itu. Kau pasti tahu bagaimana rasanya menjadi seorang anak semata wayang yang selalu ditinggal sendirian oleh kedua orang tuanya maka dari itu aku berpikir untuk selalu ada di sisi Luhan. Aku mendesah panjang. Benakku berputar, mendadak mengingatkanku pada potongan kejadian enam bulan yang lalu saat dimana aku dan Luhan pertama kali berkenalan. Kami berkenalan dikampus, dan dia sudah berhasil membuatku tertarik sejak pertama kali. Memang rasanya sangat sulit untuk bisa menemui dirinya mengingat popularitasku yang selalu digandrungi anak-anak gadis membuat Luhan selalu menjauh dan menghindar tiap kali aku menemuinya.
Lantas, hingga akhirnya pada suatu hari aku berhasil menyatakan cinta pada Luhan dan aku hanya perlu menunggu selama tiga menit untuk mendengar jawabannya bahwa dia juga mencintaiku. Rasanya sangat sulit dideskripsikan, aku sangat senang kali itu. Rasanya, lebih bahagia dibanding memenangkan sebuah lotre, lebih baik dibanding mendapat kado hadiah indah dari keluarga saat musim natal, jauh lebih baik dibanding perayaan Halloween dan dadaku menjadi lebih hangat seperti berlindung didepan sebuah perapian kayu bakar. Itu pengalaman paling indah dalam hidupku. Aku pikir, semua orang yang pernah jatuh cinta pasti merasakan semua perasaan itu. Aku tidak pernah merasa heran jika ada seorang filsup mengatakan bahwa cinta adalah racun dunia. Karena tiap kali seseorang merasakan jatuh cinta, dia merasa buta dan lupa dengan segala hal.
"Sehun-ah, kau melamun?"suara lembut Luhan menyahut lagi. Aku tersentak kaget terlalu bergelayut pada klise itu lantas memutar wajahku untuk menatapnya. "Tidak, hanya mengingat tentang kisah kita dulu"tukasku lagi. Luhan tersenyum. Aku mendesah lagi, menghembuskan nafasku dengan tenang dan normal. Luhan itu seperti sebuah aspirin untukku, aku mempunyai sebuah cita-cita untuk mendirikan perusahaan percetakan dan menerbitkan satu novel yang menceritakan tentang kisahku bersama Luhan. Tentang kisah cinta pertamaku, aku akan membuatnya, pasti. Namun aku masih sangat bingung bagaimana dengan kisah endingnya. Akankah aku akan hidup bahagia bersama Luhan? Atau mungkin nanti ada sesuatu yang memisahkan diriku bersama Luhan. Aku sangat ingin sekali kisah cintaku pada Luhan seperti Adam dan Eve, dimana mereka berpisah selama seratus tahun lamanya setelah diturunkan dari surga kebumi dan akhirnya dengan penantian yang panjang mereka bertemu lagi, dengan cinta, kerinduan dan kasih sayang yang masih tetap sama.
"aku dengar, kakekmu mewariskan perusahaan percetakannya untukmu ya?"Suara Luhan terdengar jelas ditelingaku, aku mengangguk lagi. Itu sangat benar. Aku memang mendapat satu warisan paling berharga, salah satu aset dari kakekku yang mewariskan perusahaan percetakannya untukku, tentu aku sangat senang karena itu adalah sebuah aset dan peluang yang bisa aku dapatkan sebagai cara menerbitkan novel. Aku merasakan bola mata rusa Luhan memandangku dengan pelik.
"Jadi, kau sudah menyelesaikan tentang novel yang menceritakan kisah cinta kita?"Pertanyaan itu kontan membuatku tersenyum lagi."aku masih bingung bagaimana nanti kisah endingnya"kata-kata itu meluncur begitu saja, dan rasanya menyebabkan dadaku sedikit sesak. Bukan apa-apa, aku hanya merasa tidak terpikir bagaimana jika Luhan ternyata bukan jodohku. Aku sangat berharap bahwa dia akan menjadi pendamping hidupku selamanya.
"Ya, kau bisa saja langsung membuat ending yang bahagia seperti aku dan kau menikah lalu membina sebuah keluarga"Aku tertawa kecil mendengar kalimatnya, sepertinya memang sangat gampang namun tidak semudah itu. Aku merasakan ada sesuatu sangat ganjal sekali jika aku membuat jalan cerita yang seperti itu, terdengar tidak konsisten. Aku ingin mendalami cerita itu lebih eksplisit, sama seperti apa yang terjadi dalam kisah cintaku bersama Luhan.
"aku pasti akan membuat kisah endingnya perlahan-lahan"tukasku lagi dan membuat rusa mungilku mengangguk mengerti. Gadis itu tersenyum kearahku, senyum yang membuat dadaku berdesir hangat, pelan dan nyaman. Aku kembali merengkuh bahunya erat-erat, bahkan hingga saat ini aku masih begitu yakin bahwa Luhan memang jodohku. Aku berharap bahwa dia memang seseorang yang benar-benar mampu mengisi hatiku, sampai nanti.
Xi Luhan's View
Aku sudah memakai gaun terbaikku sekarang, menyiapkan makan malam untuk Sehun yang akan bertemu dengan kedua orangtuaku. Aku memandangi pantulan diriku dicermin, memandangi seorang gadis cantik dalam balutan gaun berwarna Biru. Aku membasahi bibirku, merasakan aroma dan rasa lipgloss buah-buahan yang melapisi permukaannya membuatnya sekilas terlihat glossy dan mengkilat. Aku kembali mendesah, menghembuskan nafasku perlahan lantas mulai melangkah pelan keluar kamar bertemu dengan kedua orang tuaku. Tanganku mulai memutar kuncinya dua kali, hingga pintu yang semula terkunci rapat itu kini terbuka sedikit bersamaan saat aku menekan knopnya. Aku memicingkan kelopak mataku lagi. Mendengar suara teriakan keras dari ruang tengah,aku mengerutkan kening mendengar suara Eomma mengutuk dan menyatakan umpatan. Kalimat penuh amarah.
Aku tidak akan pernah heran dengan semua ini. Aku mengigiti bibirku keras-keras, kenapa disaat seperti ini justru mereka masih sempat sekali bertengkar. Aku sangat tahu dan aku sangat mengerti bahwa mereka memang sama sekali tidak pernah menyadari keberadaanku dirumah ini, mereka tidak memperdulikan bagaimana hancurnya diriku saat mendengar suara keras mereka mengumpat, bahkan Appa membabi buta dan selalu menampar Eomma didepan mataku. Aku tahu mereka berselingkuh, melihat Eomma tiba-tiba membawa seorang laki-laki kerumah tanpa sepengetahuan Appa. Aku tidak tahu apa yang semestinya aku lakukan. Aku ingin berbicara, namun Eomma terlalu sering menamparku, mencubiti diriku, memukuli diriku waktu kecil untuk tutup mulut dan tidak mengatakan apa-apa kepada Eomma.
Mereka semua sama saja. Eomma selalu berselingkuh dan Appa cenderung temperamental, ringan tangan dan pengonsumsi alkohol akut. Sudah sangat tidak asing lagi melihat botol vodka mewah berkeliaran ditengah meja, dan aku juga sering melihat seorang wanita asing dibawa Appa kerumah. Aku pikir mereka tidak pernah menyadari kehadiranku dirumah ini. Aku berusaha menahan nafasku, berharap agar air mataku tidak menetes dan merusak dandananku malam ini. Aku berjalan, keluar dari kamar lantas memutar sepasang mata rusaku menatap kearah dua orang yang berdebat didepanku. Suaraku bergetar, aku mengigit bibirku kuat-kuat untuk meredam tangisku sekarang.
"tolong jangan rusak acaraku untuk hari ini"suaraku berbisik membuat emma dan appa yang bertengkar didepanku tiba-tiba memutar kepalanya, menatapku dengan pandangan terkejut. Aku berusaha untuk menatap sepasang bola mata mereka berharap agar aku menemukan setitik kasih sayang disana atau setidaknya sedikit perasaan yang menandakan bahwa mereka peduli denganku, menyadari keberadaanku didalam kehidupan mereka. Aku anggota keluarga mereka. Darah daging yang menyatukan mereka berdua. Tapi aku sama sekali tidak menemukan apapun. Yang aku temukan hanyalah tatapan ketus, tajam dengan rahang mengeras.
"Just shut the fuck up! Kau tidak mengerti apa-apa, sekarang masuk kekamarmu"Suara Eomma berdengung seperti sebuah petir yang menghantam batok kepalaku. Aku mnegigit bibirku lagi. "aku mohon, berhenti. Tolong anggap aku ada dirumah ini. Sehun ingin datang, dan aku tidak mau dia melihat kalian bertengkar didepannya"ujarku lagi mendadak membuat Eomma terdiam. Sepasang bola matanya yang beku perlahan-lahan memudar. Aku mengambil nafas panjang-panjang, berusaha menguasai emosi yang menggebu-gbeu nyaris meledak dalam eksplosif dalam diriku.
Aku kembali mendengus, tersentak mendengar bunyi suara mobil berhenti tepat didepan rumah. Sepasang mata rusaku mengerjap. Itu pasti Sehun, dia sudah datang. Pikirku lagi. Kedua orang yang berada didepanku ini selama beberapa menit terdiam, tidak melakukan gerakan apapun seakan mulai mengerti dengan perasaanku. Aku melangkah, berjalan menuju kepintu ingin menyambut kedatangan Sehun kedalam rumahku untuk makan malam bersama. Hembusan angin malam menyerbu bahuku yang terbuka saat aku sudah berada didepan pintu. Aku melihat sepatu contribute muncul menyembul dari balik pintu, diikuti tubuh Sehun kini sudah berdiri jelas didepan mobil. Menutup pintu dengan tangannya, lantas menatapku dengan seulas senyum. Dia tampan, sekali, seperti biasanya terlebih dengan kemeja formalya sekarang. Aku ikut tersenyum, mendekat kearahnya lantas memeluk pungggungnya erat.
"dimana orang tuamu?"Suara husky itu terdengar, suara Sehun bertanya kearahku. Aku menengadah, menatap sepasang mata elangnya yang hangat kemudian tersenyum tipis. "didalam, aku akan mengenalimu dengan kedua orangtuaku"ujarku lagi lantas memeluk lengannya, membawanya untuk masuk kedalam rumah. Sehun melangkah masuk, tersenyum manis berharap bahwa dia bisa menarik perhatian orang tuaku malam ini. Aku membawanya terus masuk kedalam, melewati buffet berkayu mahoni tinggi yang merapat didinding rumah. Ada satu lampu Kristal besar berpendar ditengah ruangan dan banyak guci-guci artistik bernilai estetika berjajar disebelah buffet. Aku menarik mataku, mendekat untuk menemukan dimana Eomma dan Appa sekarang.
Sebelum aku benar-benar melihat mereka. Mendadak, aku merasakan Sehun mengepalkan kedua tangannya. Aku mengernyit, memutar wajahku untuk melihat Sehun kali ini. Aku mengernyit heran saat melihat sepasang mata elangnya memicing dan dalam waktu beberapa menit, aku merasakan rahangnya mengeras, dengan urat-urat leher menyembul dari balik kulit pucatnya. Aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sehun menatapku lagi kali ini dengan bola mata tajam, beku dan ketus membuatku meneguk ludahku tiba-tiba. "Ada apa?"tanyaku heran, diselimuti perasaan gusar melihat ekspresinya yang begitu membuatku ketakutan. Sehun sama sekali tidak pernah menatapku sedemikian rupa.
"Katakan, apa mereka berdua itu orang tuamu?"bola mata Sehun menunjuk kearah Eomma dan Appa yang ada beberapa langkah dari posisiku. Aku merasakan tubuhku menegang, ada sesuatu yang janggal dan asing menurutku. Aku melihat ligamen dan otot telapak tangan Sehun membentuk tinju, merasakan ototnya menegang lantas mengeras, jakunnya berulang kali naik turun melakukan gerakan persitaltik berulang-ulang. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan Sehuin? ada apa dengan kedua orang tuaku?
"Shit!"Suara Sehun mengumpat kesal, melampiaskan kemarahan yang dapat aku tangkap dari mata elang tajamnya. Aku mengigit bibirku, aku tidak pernah melihat Sehun seperti ini. Dia aneh, sangat aneh didepanku. Aku melangkah mundur menatapnya tidak mengerti, menatapnya intens seakan ingin meminta sebuah penjelasan lebih jelas lagi. Suara geletukkan giginya yang beradu terdengar begitu tajam. "Jadi, kau adalah anak dari dua orang ini?"Aku merasakan tubuhku benar-benar menegang, seperti dililit sebuah kawat berduri yang membuat sekujur kulitku menjadi terkoyak-koyak tajam. Jantungku melompat keperut, jumpalitan disana, darahku berdesir dengan cepat seperti deburan ombak.
"aku tidak mengerti"
"bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada anak dari dua orang yang nyaris membunuh Appaku?"Aku menggeleng cepat, merasakan kelopak mataku memanas. Air mataku ingin tumpah sekarang. Sehun menatapku penuh kebencian, tidak suka, muak dan jijik seakan aku adalah seonggok sampah yang sangat kotor untuk disentuh. Aku membasahi bibirku, diterjang perasaan gusar yang mampu menenggelamkan diriku dalam-dalam. Aku sama sekali tidak tahu ada apa, apa maksud dari kata-kata Sehun.
"Jaga ucapanmu Sehun! apa maksudmu?"Gertakku kesal dan emosi. Pandangan Sehun mampu membuatku hancur, rapuh dan ingin terjatuh sekarang. Aku merasakan sekujur tulangku ingin rontok, berjatuhan diatas lantai. Aku tidak pernah ingin dia menatapku seperti itu seakan-akan aku adalah musuh bebuyutannya. Aku Xi Luhan, kekasihnya. Kenapa dia justru menatapku seperti itu?
"Kau harus tahu bahwa Eommamu ini adalah wanita yang pernah menggoda Appaku, dia pernah berusaha menipu Appa ku, ingin meniduri Appa ku dan Appa mu adalah seseorang yang pernah menembak Appa ku, hingga dia masuk rumah sakit dan nyaris mati. Kenapa kau tidak pernah bilang dari awal? Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta padamu? Bukankah seharusnya aku membencimu?"Suara Sehun itu seperti sebuah besi panas yang berdesis dan menusuk tajam bagian dalam telingaku, rasanya pedih sekali. Sakit. Aku merasakan sekujur dadaku seperti ditusuk-tusuk jarum yang panas membuat hatiku terkoyak, rapuh dan pecah berhamburan. Ini tidak mungkin, itu tidak benar. Bagaimana mungkin semua ini terjadi?
"Jaga omonganmu, Fuck!"Aku mendengar suara Appa mengumpat. Dia langsung menerjang, menghantam rahang pipi Sehun keras hingga dia jatuh tersungkur dilantai dengan kedua lubang hidung mengeluarkan beberapa tetes darah. Aku mendadak terdiam, aku bingung apa yang semestinya aku lakukan. Air mataku menetes, berlinang dan membasahi seluruh permukaan wajahku. Sehun menerjang Appa, dua orang itu mengalami baku hantam didepanku. Aku berteriak keras berharap agar mereka menghentikan semua ini, kenapa menjadi seperti ini? kenapa semuanya hancur, berantakan. Aku melihat Appa jatuh tersungkur, wajahnya memerah. Sehun mengepalkan tangannya terkepal sempurna sementara Eomma hanya diam dengan sepasang bola mata menatap tidak peduli. Apa yang ada dipikiran mereka semua? "Sehun-ah, hentikan!"aku menarik lengan Sehun, menghentikan tindakannya yang membabi buta, tidak terkontrol sama sekali. Menunjukkan ekspresi liar dan buas. Aku menarik nafas, Sehun langsung menghempaskan tanganku keras-keras, mendorong tubuhku hingga tersungkur kebelakang.
"mulai sekarang kita putus! Aku tidak akan pernah sudi berhubungan dengan orang-orang brengsek seperti kalian semua! Bullshit!"Air mataku benar-benar menetes, membuat maskaraku luntur meninggalkan jejak noda-noda hitam dipipi, blush on dan eyeshadowku sudah bercampur menjadi satu warna abstrak. Aku mengigit bibirku keras, lebih kuat lagi berusaha mengatasi rasa sesak yang makin menjadi-jadi. Aku berlari, bangkit mengejar Sehun yang kini sudah melangkah pergi keluar pintu. Aku berlari tersaruk, berharap dia berbalik dan memeluk tubuhku, aku sama sekali tidak bisa melihat sepasang mata elangnya menatapku penuh kebencian dan rasa muak. "Hun ah , maafkan aku… "Suaraku bergetar. Tapi dia sama sekali tidak peduli, punggungnya yang kokoh terus saja menjauh dariku. Punggungku bergetar, mata rusaku menatapnya penuh harap.
Aku berlari mengejar Sehun yang sudah masuk kedalam mobilnya, aku mendekat dipintu mobilnya yang sudah tertutup diiringi bantingan dan gebrakan keras dari tangannya. Aku mengetuk kaca jendela mobilnya, berharap dia keluar sekarang, menemuiku, tapi aku hanya mendapat mata elang tajam yg mentapku penuh intimidasi, penolakan dan rasa muak yang menjalar menusuk-nusuk dadaku. Mobil itu langsung melaju dengan kecepatan sangat cepat. Tanpa memperdulikan aku disini sekarang, meninggalkan diriku. Aku merasakan duniaku berputar, disergap kegelapan dan rasa kesepian amat dalam. Sehun sudah membenciku. Dia muak padaku dan semua ini karena Eomma dan Appa, karena mereka berdua yang tidak pernah memperdulikan diriku. Aku sama sekali tidak pernah tahu bahwa semuanya akan seperti ini.
Aku ingin Sehun bersamaku. Aku menenggelamkan diriku didalam telapak tanganku, pandanganku menjadi benar-benar gelap diterjang kesunyian, hening dan sunyi yang mengelilingiku. Aku terjebak, gelap dalam sebuah lubang yang dalam hingga aku sendiri tidak mampu berdiri dari lubang itu. Aku berharap dan sempat berpikir, bahwa malam ini akan menjadi malam spesial sepanjang hidupku karena Sehun bertemu dengan orang tuaku, menghabiskan waktu dengan mengobrol, bercanda, tertawa namun semua itu hanya ilusi, mimpi belaka karena yang terjadi sekarang adalah Sehun menjadi membenciku, Sehun memutuskanku. Aku menarik nafasku, sesenggukan didepan rumahku sekarang.
Tidak ada lagi yang peduli.
Mereka semua membenciku.
Sudah satu minggu ini Sehun menjauhiku, dia membenciku. Tidak ada lagi sepasang mata elang yang selalu menatapku dengan hangat yang selalu membuatku nyaman.. Aku tidak bisa mendapatkan itu lagi karena tiap kali aku memandangnya, dia justru menatapku dengan tajam, penuh intimidasi dan penuh kebencian, seakan aku adalah seorang musuh sejatinya. Aku sangat mengerti bagaimana perasaan Sehun. Dia membenciku karena menganggap aku seperti kedua orang tuaku, seperti Appa yang nyaris membunuh Appanya dan seperti Eomma yang nyaris membuat keluarganya bercerai, diliputi huru-hara. Tapi semua itu bukan salahku, kenapa Sehun menjauhiku? Rasanya, aku ingin berbicara padanya. Aku ingin mengatakan kepadanya untuk tidak menjauhiku. Aku tidak bisa jauh-jauh darinya, dia yang selalu menemani hati-hariku sekarang sudah tidak ada lagi, dia menjauh, sangat jauh bahkan nyaris seperti seseorang yang tidak mengenalku. Aku mengusap air mataku lagi melihat Sehun sedang mengobrol dengan Irene didalam cafetaria. Mereka sangat dekat, Irene adalah kapten dancer kampus. Aku tidak heran mengapa dia bisa menyukai Sehun, Sehunku, mantan kekasihku tapi sampai sekarang masih belum ada satu orang pun yang berhasil menggantikan posisi Sehun.
"Luhan, berhentilah menangis"aku menengadah, mendengar suara bass berbisik kearahku. Aku melihat sepasang bola mata milik Jongin menatapku. Dia adalah sahabatku, selain Sehun. Aku tersenyum kecil, kembali mengusap air mata yang tersisa diwajahku. Berharap agar air mata ini bisa berhenti mengalir atau setidaknya ada yang mengusap air mata itu, aku berharap bahwa orang itu Sehun. Dia meminjamkan aku bahu kekar dan kokohnya sebagai tempatku terlelap disana, diselimuti kenyamanan yang aku dapat dari pelukannya.
"aku akan membantumu untuk mengatakan perasaanmu pada Sehun"ujar Jongin lagi, aku menatapnya lemah. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang semestinya aku lakukan, aku seperti seseorang yang kehilangan arah, kehilangan kompas untuk melanjutkan perjalanan, kehilangan peta sebagai penunjuk kemana semestinya aku berjalan, aku tahu sekarang apa yang telah terjadi. Sehun membenciku. Sangat, sangat membenciku. Dia menganggap bahwa aku adalah anak dari seorang appa pembunuh dan seorang eomma tukang penggoda. Sehun nyaris saja kehilangan appanya dan semua itu karena orang tuaku. Aku mengigit bibirku, melihat Sehun memandangku sekarang. Namun aku sama sekali tidak menemukan tatapan hangat dari pandangannya. Aku merasakan bahwa tatapan itu seperti sebuah api yang mampu membuatku terbakar, menyebarkan sensasi panas dalam diriku. Jongin mengusap pundakku lembut, jarinya mengusap rambutku seakan menegaskan lebih nyata bahwa semua akan baik-baik saja, semuanya akan kembali seperti semula, semuanya akan sama seperti dulu. Tapi aku tidak yakin, aku tidak percaya bahwa Sehun akan kembali seperti kemarin.
"Hm, kau suka dance kan? Apa kau sudah dengar tentang lomba dance yang akan diselenggarakan pihak kampus?"Aku memutar wajahku mendengar kata-kata Jongin. Aku mengernyit lantas tiga detik selanjutnya menggeleng tidak tahu. Aku tidak mendengar tentang berita itu sebelumnya, aku memang sangat suka menari, waktu aku kecil aku sering menari untuk melupakan kesedihanku. Jongin tersenyum tipis kearahku.
"Kau bisa ikut lomba itu"ujar Jongin lagi. Aku memutar mata rusaku, berharap bahwa Sehun akan memberi semangat untuk mengikuti lomba dance. Tapi aku tahu itu tidak akan pernah terjadi lagi. Aku merasakan kelopak mataku memanas sekarang, aku sangat berharap bahwa Sehun mendukungku atau setidaknya memberi sedikit empati. "kau harus ikut, kau pasti bisa"Jongin menyemangatiku membuatku memutar wajah, menatap wajahnya. Aku mengangguk lagi, aku masih punya Jongin disisiku. Dia sahabatku, yang akan mendukungku. Aku mengangguk setuju, yakin dan percaya.
"Aku akan ikut"
"Kau bisa daftar sekarang, aku akan menemanimu"ujarnya beranjak bangkit. Aku ikut berdiri, sepasang mata rusaku melirik kearah Sehun dan Irene yang sudah melangkah keluar cafetaria. Ada pisau tajam mengiris-iris dadaku sekarang, rasanya aku tidak bisa melihat Sehun bersama gadis lain. Aku ingin berada disisinya, bukan Irene. Aku menghela nafas lagi, mengikuti langkah Jongin berjalan menuju tempat pendaftaran lomba yang biasanya diurus oleh Kristal. Aku masih berjalan dengan pikiran berputar-putar, membayangkan Sehun bersama Irene, memeluk pinggangnya. Aku ingin Sehun memperlakukan aku seperti itu. Aku mohon. Langkah Jongin berhenti, tepat didepan ruang pendaftaran itu. Ada Kristal disana. Aku tersenyum menatap gadis manis yang tersenyum kearahku.
"Aku ingin daftar menjadi kontestan lomba"Suara itu mendadak membuatku memutar wajahku lagi. Aku melihat Irene didepanku, bersama Sehun disisinya. Jeez. Aku mengigit bibirku, melihat sepasang mata elangnya dari dekat. Sehun didepanku sekarang. biasanya, jika aku bertemu dengan Sehun. Dia akan memelukku, mencium bibirku atau setidaknya mencubit pipiku gemas tapi sekarang justru dia sama sekali tidak menegurku, tidak melirikku sama sekali seakan dia memang sama sekali tidak mengenalku. Aku melihat satu tangan Sehun memeluk pinggul Irene. Aku tidak bisa berada disini. Aku tidak bisa. Aku terisak lagi lantas memutar tubuhku untuk berlari, meninggalkan Jongin.
Aku menangis, air mataku tumpah membasahi wajahku untuk kesekian kalinya. Aku mengigiti lidahku merasakan rasa perih membabi buta menyebar disekujur tubuhku sekarang rasanya sangat menyesakkan, menyakitkan sekali, menyedihkan, sungguh. Aku tidak pernah membayangkan bahwa tatapan hangat Sehun yang biasanya tertuju padaku mendadak hilang, musnah sama sekali tidak meninggalkan jejak atau noda setitikpun. Dia menatapku tajam, panas, seperti api. Aku berlari menjauh dari mereka semua.
Aku butuh ketenangan.
Aku butuh waktu
Untuk benar-benar bisa menerima semuanya, mengerti bahwa Sehun tidak lagi menjadi milikku. Aku berusaha untuk percaya bahwa sosok itu sudah tidak ada lagi disisiku.
Sehun's View
Ada rasa muak menjangkiti diriku. Rasanya memang sakit, menyedihkan sekali melihat orang yang sebelumnya kau cintai mendadak menjadi seseorang yang kau benci. Aku masih tetap mencintai Luhan. Aku tidak bisa melupakan gadis rusa itu dari hatiku, membuangnya jauh-jauh dari pikiranku itu sama seperti menyakiti diriku sendiri, aku berusaha memberontak, memberikan sebuah perlawanan keras tiap kali aku berusaha untuk melupakan dirinya karena aku mengerti dan aku tahu satu hal; itu tidak akan mungkin.
Sepasang mata elangku melirik Irene. Gadis itu menatapku tersenyum dengan tangannya mengenggam tanganku erat-erat. Dia akan menjadi kontestan perlombaan dance yang diadakan dikampus dan, pemenangkan akan menggantikan posisi Kristal sebagai kapten dancer. Aku menghela nafas saat memutar bola mataku kearah samping kanan. Ada Luhan disana, bersama Jongin. Rasa muak dan benci itu mendadak menggeluti diriku habis-habisan, saat dimana aku berusaha menatapnya justru aku teringat dengan kedua orang tuanya yang berniat menghancurkan keluargaku.
Aku begitu ingat, saat dimana Appaku ditembak oleh Appanya. Appa ku nyaris mati kali itu. Dan Eommaku nyaris bercerai karena Eommanya yang sengaja membuat keluargaku berantakan. Aku mendesah panjang, bertanya-tanya mengapa harus Luhan yang aku cintai? Atau kenapa Luhan adalah anak dari kedua orang paling brengsek itu. Aku sendiri tidak mengerti, apa jawaban yang akan aku temukan. Apakah mungkin, ini adalah kisah ending dari novel tentang kisah cintaku bersama Luhan? Ironi sekali, aku tidak berjodoh dengan Luhan. Rasanya tidak mungkin lagi menjalin cinta dengannya setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Aku menjadi begitu benci sekali, aku seolah sudah mengkhianati keluargaku jika masih berhubungan dengan Luhan maka dari itu aku mengambil langkah untuk menghindar, jauh-jauh dari kehidupannya. Mata Elangku memutar kearah depan, kearah panggung melihat satu persatu kontestan yang menampilkan dance mereka. Aku sama sekali tidak menikmati ini, aku hanya berniat memberi dukungan pada Irene. Tidak lebih dari itu, terlebih mengetahui bahwa Luhan ikut menjadi kontestan rasanya aku sangat tidak sudi untuk duduk disini, menonton pertunjukkannya. Aku benci dia. Irene lantas mengecup sekilas pipiku saat aku mendengar namanya dipanggil melalui suara microphone yang berdengung memenuhi seluruh ruangan pentas besar ini.
"Doakan aku…"bisiknya. Aku tersenyum, mengangguk pasti. Irene langsung berdiri, beranjak bangkit dari posisinya sekarang lantas mulai melangkah menuju keatas panggung. Tepuk tangan membahana, musik mulai bersuara dan gadis berambut pink itu mulai menggoyangkan tubuhnya. Aku memandangi pertunjukkannya antusias, bertepuk tangan, memberikan semangat dan rasa simpatik. Aku kembali memutar mata elangku kearah Luhan, dia sedang memandangku dengan air mata berlinang dipipinya. Entah kenapa, aku merasakan—seperti batu—yang mengganjal didadaku. Rasanya sakit sekali melihat dia menangis, tersiksa karenaku tapi satu bisikkan mempengaruhi jalan pikiranku.
Jangan tatap dia, seharusnya kau membenci Luhan. Batinku berdesis, berbisik, tersembunyi. Aku menggeletukkan gigi, berusaha melawan batinku. Aku memang membencinya. Aku membenci Luhan. Aku memicingkan kelopak mataku, memandangi Irene diatas panggung lantas kembali bertepuk tangan saat selama satu setengah menit dia selesai menari. Gadis itu membungkukkan badannya, lantas mulai berjalan turun dari panggung diiringi suara tepuk tangan riuh. Aku menarik senyum, menyambut Irene. Dan telingaku berdengung lagi mendengar nama Luhan disebut.
Gadis itu ikut melangkah keatas panggung. Aku merasa muak, mata elangku menatapnya tajam, penuh kebencian. Sepasang mata rusanya sempat menatapku intens, dalam seakan meminta diriku untuk menyemangati dirinya. Itu tidak akan mungkin, aku sudah membencinya. Aku hanya terdiam, tidak melakukan gerakan apapun selain memandangnya penuh amarah. Luhan menunduk, memutar bola matanya untuk tidak menatapku lagi kemudian beralih ketengah panggung saat mendengar musik mulai bersuara lagi, memenuhi seluruh ruangan. Gadis itu mulai menggerakkan badannya. Aku tahu, Luhan sangat suka menari. Dia sangat suka berjoget didepanku.
Luhan bilang, bahwa menari selalu berhasil membuatnya melupakan kesedihannya. Bahkan, salah satu cita-cita terbesarnya adalah menjadi seorang dancer terkenal dan populer didunia. Aku mendesah panjang, merasa untuk tidak menatapnya. Jangan tatap dia, sekarang. Batinku memerintah. Aku menghembuskan nafas, menunjukkan seraut wajah tidak peduli. Aku memang tidak peduli dengan Luhan. Aku sama sekali tidak bertepuk tangan atau mendukungnya sama sekali. Aku bisa merasakan mata rusanya menatap kearahku, dia kecewa padaku.
Aku membalasnya dengan ekspresi ketus. Aku memang betul-betul membencinya, aku muak dengannya, tentu.
Luhan's View
Sakit.
Perih.
Perasaan itu yang sekarang mendominasi hatiku, rasanya sangat sakit melihat orang yang aku cintai ternyata sama sekali tidak mendukungku. Sehun sangat berubah, dia seperti orang asing untukku. Aku turun dari panggung dengan sejuta perasaan kecewa. Sehun tidak menatapku hangat, seperti dia menatap Irene. Dia menatapku muak, benci dan marah seakan aku memang adalah seseorang musuh sejatinya. Aku tahu itu. Dia sudah sangat membenci diriku. Aku menunduk, berusaha menutupi wajahku dengan rambut yang tergerai. Aku kembali duduk disebelah Jongin. Aku merasa begitu malu pada diriku.
"Ssst, penampilanmu luar biasa"suara Jongin bertekur lagi membuatku mengangkat wajah dan berusaha untuk tersenyum, Jongin menyemangati diriku. Tapi aku tetap tidak bisa memaafkan diriku sendiri, aku pikir Sehun memang sudah seharusnya menjauhiku. Dia tidak pantas untukku, dia jauh lebih cocok mendapatkan pendamping yang terbaik dan aku sangat rela jika dia menjadi membenciku agar semua orang memang menjauhiku. Semua orang meninggalkanku, membiarkanku terpuruk tanpa ada seseorang yang peduli. Aku diam sekarang, menunggu pengumuman.
Aku pikir, aku tidak peduli apakah aku menang atau tidak. Aku memang sangat berharap memenangkan perlombaan ini, menjadi kapten dancer lantas mengejar cita-citaku menjadi seorang dancer terkenal tapi mengingat tentang Sehun, Eomma dan Appa mendadak membuat harapanku benar-benar sirna, tidak ada seseorang yang peduli padaku, tidak ada yang mau mendukungku. Mereka semua membuatku terpuruk. Aku terdiam, menghela nafas dan memejamkan mataku lelah. Rasanya, aku ingin tertidur sekarang lantas bermimpi bahwa aku masih bersama dengan Sehun. Dia masih ada disisiku atau aku akan terbangun dari tidur dalam posisi masih sama seperti semula, membayangkan bahwa semua ini hanyalah sebuah bunga tidur yang buruk. Aku mengigiti bibirku, merasakan ada semut pengigit menggerogoti dadaku sekarang membuat luka disana, dan sewaktu-waktu dapat menganga lebar. Aku terlelap, tidak mendengarkan apapun selain tepuk tangan riuh membahana.
Mendadak, aku merasakan Jongin mengguncang bahuku keras. Aku tersentak lantas kembali membuka kedua kelopak mataku, aku menatap laki-laki tan didepanku yang berbinar menatapku, aku hanya memicingkan kelopak mataku heran. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya membuat Jongin sedemikian rupa. "Kau tidak dengar? Kau menang!"ujarnya bersunggut-sunggut antusias, histeris. aku dengan bola mata nyaris melotot. Tidak, itu tidak mungkin.
"cepat naik keatas panggung, kau menang.. Luhan"Ada kupu-kupu yang beterbangan didadaku sekarang. Rasanya sangat menyenangkan, ini benar? ini bukan mimpi kan. Aku menutup bibirku dengan telapak tangan sama sekali tidak menyangka lantas menarik tubuh Jongin erat-erat, tenggelam dalam pelukanku. Aku menangis dibahunya, dia mengusap punggungku lembut dan hangat membuat benakku teringat dengan Sehun. Biasanya, dia yang akan memelukku sekarang. Memberiku sebuah dukungan dan semangat. Aku mengusap air mataku lantas mengangguk dan mulai menjauh untuk naik keatas panggung. Sepasang mata rusaku memutar, memandang Sehun. Dia masih tetap seperti tadi. Memandangku acuh, penuh olokkan yang efeknya seperti sebuah pisau yang menusuk-nusuk dadaku. Aku menangis diatas panggung. Bukan, aku merasa bahagia namun dilain sisi aku sedih. Karena aku tidak bisa merasakan kemenanganku disisinya, itu menyakitkan.
Aku mendengar tepuk tangan riuh kearahku. Aku mengangguk dalam-dalam, aku tidak pernah menyangka aku akan memenangkan kompetisi dance ini lantas menjadi kapten dancer. Kau tahu, itu adalah cita-citaku sejak dulu, aku ingin menjadi seorang dancer. Salah satu alasan terbesar mengapa aku mengambil jurusan seni. Aku menghela nafas, berusaha melegakan paru-paruku yang terasa sesak dan cidera. Seharusnya Sehun bisa memelukku sekarang, menyambutku, memberiku sebuah dukungan paling berarti, memberiku semangat untuk bangkit. Tapi sekali lagi aku tahu;
Itu tidak akan mungkin.
Author's View
Irene mengepalkan tangannya dalam-dalam, gadis itu menggeletukkan giginya berulang kali begitu mengetahui bahwa Luhan yang memenangkan kompetisi ini dan dia tidak berhasil merebut posisi sebagai kapten dancer. Itu tidak akan mungkin. Gadis berambut pink itu menggeleng keras lantas mengambil nafas panjang, berusaha mengatur detak jantung yang menggebu-gebu didadanya sekarang. Bola matanya memicing, menatap kejauhan. Dia akan membuat perhitungan sekarang, pasti telah terjadi sebuah kecurangan. Sangat mungkin, bila Luhan membayar atau mendekati Kristal untuk memilihnya. Irene kembali mengepalkan tangannya lebih keras lagi hingga buku jemarinya terlihat memutih saat melihat Luhan berjalan melewati koridor bagian dalam kampus. Suasana sudah sangat hening sekarang, sejak satu jam yang lalu, waktu belajar sudah habis.
"Luhan!"Suara teriakkannya terdengar, menggertak keras dan spontan membuat Luhan menghentikan langkahnya. Irene berjalan mendekat, menuju kearah Luhan dan berhasil membuat gadis itu mengernyitkan dahinya heran. Suara dengusan panjang terdengar dari Irene. Gadis itu maju, merapatkan tubuhnya lantas telapak tangan kanannya langsung mencekal pergelangan tangan kiri Luhan erat-erat membuatnya terkejut dan mengangkat sepasang bola matanya penuh tanda tanya.
"Ada apa?"tanyanya gentar. Irene menarik tubuh Luhan, menghantamnya tepat merapat ketembok membuat Luhan meringis kesakitan merasakan punggungnya dibentur keras-keras. Dia meronta, berusaha memberontak namun cekalan tangan Irene sangat kuat membekap dirinya sekarang. Luhan mengigit bibirnya kuat. "Apa yang kau lakukan?"tanyanya lagi bingung. Sama sekali tidak mengerti—mengapa mendadak—Irene menarik tubuhnya secara paksa. Luhan mendesah, merasakan dadanya sedikit sesak sekarang.
"Katakan padaku, kau pasti sengaja berlaku curang kan? Bagaimana mungkin kau bisa memenangkan kontes dancer itu? Bahkan, dancemu tidak jauh lebih baik dariku!"gertaknya serius membuat Luhan menggeleng cepat, berusaha mencekal hipotesa buruk Irene. Itu sama sekali tidak benar, tentu. Luhan sama sekali tidak pernah berpikir atau merencanakan untuk berlaku curang bahkan, dia tidak ingin untuk menang.
"aku tidak tahu"desisnya serak, membuat Irene makin mengeratkan cekalan tangannya menekan nadi pergelangan tangan Luhan kuat-kuat. Gadis itu meringis, mengerang merasakan nadinya ditekan dan rasanya ngilu, nyeri sekali seperti ditusuk belati tajam. Irene langsung berdecak, bergumam pelan dengan bola mata menatap kearah gadis itu penuh ejekkan, olokkan, membuatnya menjadi begitu terpojok sekarang. "Well, mungkin jauh lebih baik untuk membuatmu tidak bisa mengikuti kontestan dance seumur hidup…"ujarnya tertawa puas lantas mengangkat sepatu higheelsnya menghantam kakinya keras-keras. Luhan menjerit merasakan ujung stilletoa yang runcing tepat menghantam tulang kakinya. Luhan menangis, jari-jarinya terkoyak berdarah. Gadis berambut pink itu masih belum puas sampai disitu, dia menekan stilletonya menginjak tulang kaki Luhan sekeras mungkin.
Gadis itu terjatuh, tersungkur dari posisnya. Luhan menangis kesakitan merasakan seluruh tulang kaki kanannya merasa ngilu dan nyeri tiap kali dia berusaha melakukan gerakan kecil. Irene tertawa puas, kelopak matanya mengerut seakan meremehkan lantas meniup lembut wajah Luhan. "sakit, hm? What a pity"desisnya lagi. Luhan menundukkan wajahnya, menenggelamkan seluruh ekspresinya tertutup helaian rambutnya sekarang. Gadis itu mengigit bibirnya kuat merasa tidak berdaya, sepertinya kaki kanannya cedera parah terkena hantaman keras dari stiletto Irene. Dia memutar bola matanya, melihat ada darah mengalir, menetes membasahi kakinya.
Irene tersenyum lagi, menghembuskan nafas lega dan berjalan meninggalkan Luhan yang menangis kesakitan dalam posisinya. Dia mengerang, berharap ada seseorang yang menolongnya. Gadis itu berteriak, meminta tolong. Pikirannya berkelebat diselimuti rasa takut. Luhan menarik nafas, merasakan kakinya seperti ditimpah bebatuan dengan beban berton-ton rasanya sakit, sangat sakit. Sehun lantas muncul, pria itu muncul didekat tangga kemudian melirik Luhan dalam posisi tersungkur. Luhan menatap Sehun, meringis, menangis kesakitan.
"Sehun, tolong aku sekarang"suaranya yang memohon seperti satu anak panah yang meluncur menghantam hati Sehun. Luhan mengerang, melihat darah mengalir makin deras, mengental membentuk tetesan yang semakin lama semakin membesar. Pria berkulit pucat itu mengernyit, heran. Dia berdiri, tidak melakukan gerakan apapun selain diam dan bertanya-tanya. Ada sisi hatinya memberontak, sisi benci dan ketus, ditambah gejolak penuh amarah tiap kali melihat Luhan.
"Sehun…"suaranya yang diiringi isak tangsi kembali menggebu-gebu berdengung ditelinga Sehun. Dia lantas mendekat, melangkah menuju kearah Luhan lantas terkejut melihat ada darah tepat didaerah telapak kakinya. "kau kenapa?"tanyanya terkejut masih dengan nada membeku dan tajam, seperti cadas. Luhan mengigit bibirnya, tidak menjawab apapun. Bibirnya terbungkam rapat-rapat. Sehun terdiam lagi, dalam waktu lima detik Sehun masih dalam posisi seperti itu berdiri dihadapan Luhan lantas mendesah dan menggelengkan kepalanya. "kau ingin mengelabuiku dengan taktik palsumu, ini?"ujarnya dingin. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap wajah Sehun intens.
"aku tahu, sifat kedua orangtuamu yang licik itu pasti akan menurun padamu jangan pernah berpura-pura didepanku"suaranya yang beku menyahut membuat Luhan meringis, air matanya yang hangat mengalir pelan bergulir dipipinya. Ini seperti bukan Sehun yang dia kenal, dia jauh berbeda seperti perumpamaan seseorang pemberontak. Ketus, dingin, kokoh dan tajam sulit ditaklukkan. Sehun tidak pernah sedingin ini kepadanya. Perlahan, Luhan kembali merasakan ada bola api melahap habis detak jantungnya rasanya panas sekali. Sehun mulai berbalik dan kembali berjalan menjauh. Tangis gadis itu meledak, terisak, punggung dan bibirnya bergetar dalam satu birama yang sama. Luhan menarik tubuhnya, merangkak berusaha sekuat tenaganya sendiri untuk mengatasi rasa sakit yang menusuk tulangnya. Sepertinya ada bagian tulangnya yang bergeser, ada bagian sendi yang berputar seperti sebuah bola yang melenceng dari sebuah soket. Darahnya menetes, menodai lantai saat Luhan berusaha menarik kakinya setengah mati.
Sehun berhenti melangkah. Kakinya spontan terdiam, dalam kurun waktu satu menit dia memutar kepalanya, menilik sepasang mata elangnya melihat Luhan menangis sembari merangkak dengan darah berceceran diatas lantai mengalir dari bagian kakinya yang memang benar-benar terluka parah dengan kulit tersayat, terkoyak memperlihatkan daging bagian dalam. Ada rasa hangat mengaliri dinding hatinya, melelehkan kebekuan dan bongkahan batu yang berdiri kokoh disana. Tidak, dia benci Luhan. Batinnya mendelesak, menahannya untuk melangkah. Tapi ada sebelah hatinya ikut melakukan pemberontakan keras, menyentuh titik terlemah dalam dirinya saat melihat Luhan menangis. Sehun meneguk ludahnya lantas berlari, kembali memutar tubuhnya menemui Luhan.
"Kau baik – baik saja?"suaranya masih tetap beku namun sama sekali tidak bisa menghilangkan ada setitik perasaan gusar dan khawatir bergelut menyelimuti sepasang mata elangnya. Luhan diam, tidak menjawab apa-apa, bibirnya seakan terbungkam rapat-rapat. Sehun menunduk, membungkukkan tubuhnya lantas memeluk tubuh Luhan didepan dadanya, kembali merasakan kehangatan yang menguar dari tubuhnya. Luhan melingkarkan lengannya dileher Sehun sementara pria itu mulai mengangkat tubuh Luhan didalam dekapannya. "Tunggu sebentar, aku akan menjagamu….sekarang"bisiknya membuat dada Luhan kembali merasa nyeri.
Dulu, Sehun selalu menggendong tubuhnya seperti ini.
Luhan's View.
Ada rasa perih bergantian menusuk-nusuk dadaku, berganti rasa ngilu, nyeri dan berdenyut tidak tertahankan. Rasanya sangat mengejutkan, aku merasakan sebagian diriku seperti lumpuh dan mati rasa. Ini tidak mungkin. Dokter mengatakan bahwa kaki kananku mengalami cidera hebat, berupa pergeseran sendi dijari kaki menyebabkan aku harus kehilangan satu cita-cita terbesarku. Menjadi seorang dancer terkenal. Aku terisak hebat, mengigit bibirku keras-keras. Aku sekarang bergantung pada satu tongkat ini, aku pincang. Aku cacat. Aku menggeleng keras, berteriak histeris. Hidupku sudah benar-benar hancur sekarang. Jonginn langsung memeluk tubuhku erat-erat, lengannya mencengkramku berusaha untuk menyadarkanku untuk sadar. Untuk percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semuanya buruk, semua tidak seperti apa yang aku inginkan.
Aku cacat, aku kehilangan Sehun, tidak ada seseorang peduli padaku. Aku tahu itu. Apa gunaku untuk hidup didunia ini jika tidak ada seseorangpun mengetahui atau menyadari bahwa aku ini hidup. Aku menangis, terisak lagi mengusap air mata yang mengalir hangat diwajahku. Aku masih bisa merasakan Jongin menarik tubuhku didalam dekapannya, dekapannya yang hangat. Aku menenggelamkan wajahku rapat-rapat dibahunya yang kekar merasakan aroma maskulin yang menguar dari kaos dan kulitnya. Aku mengigit bibirku keras hingga menimbulkan bercak putih memucat membekas meninggalkan jejak garis-garis gigiku disana.
Aku sadar, Sehun sudah sangat membenciku bahkan kemarin dia hanya mengantarkan kerumah sakit lantas mengatakan bahwa semua itu terpaksa. Aku bisa mendapatkan tatapan penuh kebencian, tidak suka, dendam dan amarah bergelut membuat seluruh dadaku berdenyut. Dia dulu tidak pernah seperti itu. Dimana pandangan penuh hangatnya? Semua hilang, sirna tanpa bekas. Aku terisak lagi, kali ini lebih hebat saat sesuatu gelombang menerjang diriku dengan dahsyat. Menenggelamkan diriku dalam-dalam.
"Sehun sudah sangat membenciku"Suaraku tertahan, sumbang dan bergetar terkena hembusan angin. Jongin mengusap lembut punggungku, aku merasakan dia mengubur wajahnya dalam-dalam diantara helaian rambut cokelatku. Aku teringat Sehun, dia selalu melakukan ini kepadaku. Dia selalu memelukku, meminjamkan bahunya, mengusap punggungku. Semua klise itu makin membuatku hancur dan merasakan seluruh tubuhku bergetar memberikan sebuah gejolak hebat.
"Tidak, Sehun mencintaimu"mendadak, suara Jongin terdengar seperti satu bualan menakutkan ditelingaku. Itu sama sekali tidak benar, yang dia katakan hanyalah sebatas kalimat bohong untuk menghiburku karena aku tidak bisa merasakan keberadaan Sehun lagi didekatku. Dia sudah sangat menjauh, jauh sekali hingga rasanya seperti sebuah ilusi untuk bisa mengenggam tangannya.
"dia pantas membenciku, dia bisa mendapatkan seorang gadis yang jauh lebih baik dariku"suaraku tertahan, ada pukulan berat menghantam tepat bagian dadaku membuat nafasku menjadi berderu-deru, bergelanyar liar dan tersenggal. Jongin menjauhkan wajahnya dariku, sepasang bola matanya yang hangat kembali menatapku sementara tangannya menangkup dikedua pipiku. Aku mendesah, berusaha menarik nafas dalam-dalam untuk mengatur nafas dan detak jantungku yang semakin tidak terkuasai.
"Percaya padaku, Sehun masih sangat mencintaimu"suaranya yang lembut, cukup berhasil membuat hormon emosiku menjadi sedikit normal. Aku menundukkan wajahku dalam-dalam, menekuk lututku dan kembali menangis sejadi-jadinya. Aku beberapa kali merasakan punggung dan bibirku bergetar dalam getaran ambigu yang samar, menciptakan suara kecil yang naïf dan menyayat. Aku bingung, aku tidak tahu apa yang semestinya sedang aku rasakan. Rasanya, semua ini sangat asing padaku. Dan, aku sama sekali tidak pernah berpikiran bahwa semuanya akan menjadi seperti ini. Tidak pernah sama sekali. Karena dipikiranku hanya sekedar berkelebat bahwa aku dan Sehun akan bersatu, hidup bahagia, selamanya, tanpa halangan atau rintangan apapun. Aku tahu bahwa aku bukanlah hidup dinegeri dongeng yang dapat hidup tanpa masalah seperti itu. Aku memang bodoh.
Tolol. Aku kan sekarang gadis pincang dan seorang Sehun yang sempurna pasti tidak mau berpacaran dengan gadis sepertiku, gadis pincang, gadis pincang, kau gadis cacat. Suara itu berkelebat dalam benakku, berputar keras, berdengung membuat seluruh nadiku bergetar, ada sesuatu yang menelusup kedalam jantungku membuatnya berdebar begitu cepat. Tidak! itu tidak benar! aku bukan gadis pincang.
"aku akan mengatakan pada Sehun, dia pasti mengerti perasaanmu"ujar Jongin lagi membuatku langsung mengangkat wajah, menengadah lantas tersenyum penuh olokkan. Aku yakin itu tidak akan pernah berhasil. Bahkan, kemarin saat aku berada dirumah sakit, saat aku menjerit kesakitan, dia hanya menatapku beku, tidak simpatik, merasa hatinya tidak tergugah sedikitpun melihat rona wajahku saat menahan sakit. Dia hanya berdiri beberapa meter dariku, tanpa berniat mengenggam tanganku atau memberikan sebuah dukungan keras. Aku butuh semangat saat itu saat dokter mengatakan bahwa aku pincang. Aku merasakan duniaku berputar keras, seperti rollercoaster.
Aku menyentuh bagian leherku, aku masih bisa merasakan ada liontin potongan hati disana dikelilingi berlian kecil. Itu adalah sepotong hati, satu bagian lagi ada pada Sehun dan satu bagian padaku menandakan bahwa hatiku dan hatinya itu menyatu seperti kalung ini apabila bertemu dan disatukan. Aku terisak, merasakan dadaku memanas saat berusaha mengingat itu. Itu menyakitkan, untukku, tentu saja. Bayangkan saja, bagaimana perasaan seseorang saat seorang yang kau cintai mendadak menjadi seorang sangat membencimu. Sehun sudah sangat muak kepadaku, bahkan dia sangat tidak sudi untuk melirikku sedikitpun. Aku tidak akan menyalahkan siapapun sekarang, tidak pada kedua orangtuaku yang bermasalah dan nyaris mencelakai appanya, mungkin semua ini memang tanda-tanda bahwa seorang Justin tidak cocok untukku. Gadis pincang.
Aku kembali beranjak bangkit dari atas kursi kayu, dengan bantuan satu tongkat membuat Jongin menatapku bingung. "aku ingin sendiri, tolong jangan ikuti aku"desisku lagi sembari mengusap air mata yang menetes diwajahku. Pria itu diam, heran lantas menatapku khawatir. "Aku akan baik-baik saja"ujarku lagi mampu mengartikan arti tatapan matanya yang terarah padaku. Jongin mengangguk mengerti, aku langsung memutar tubuhku untuk berbalik, masuk kembali kedalam gedung kampus, meninggalkan taman berguguran daun maple. Aku bisa merasakan ada sensasi tidak enak menjalar dalam diriku, beberapa pasang mata menatapku kasihan, iba, ada beberapa menatapku sinis dan sebagian lagi seakan meremehkan. Aku hanya bisa berpura-pura tidak tahu, berpura untuk tidak mengetahui bagaimana rasanya ditatap sedemikian rupa seakan aku adalah seorang gadis paling malang sedunia. Cukup menyedihkan.
Bola mataku terpekur, mendadak berhenti terarah pada satu pemandangan yang langsung membuat dadaku berdesis ngilu. Aku membungkam bibirku, merasakan sekujur tubuhku menjadi beku. Aku melihat Iren didalam ruangan latihan, dia sekarang menggantikan posisiku semula sebagai kapten dancer. Dia yang melatih dan memimpin anggota dance dikampusku. Rasanya sakit sekali. Seharusnya aku yang berada didalam ruangan itu, meliukkan tubuhku, mengikuti irama musik, menari didepan banyak orang, mewujudkan cita-citaku sebagai seorang dancer terkenal dan populer. Ada rasa bangga tersendiri begitu mengetahui namaku melejit dikalangan dunia sebagai dancer.
Tapi mengingat kondisiku sekarang; itu ilusi. Kau tahu itu hanya halusinasiku saja sekarang, lucu sekali. Aku melihat ada Sehun, menemaninya latihan, tersenyum, bertepuk tangan. Seharusnya dia mendukungku sekarang, aku membutuhkan dukungannya untuk memberikanku sebuah semangat. Aku tidak menginginkan sesuatu yang lebih, mungkin sekedar senyuman atau tatapan yang mengartikan bahwa dia peduli itu semua sudah sangat cukup untukku.
Aku nyaris mati.
Merasakan dadaku seakan ditusuk paku tajam, Sehun sangat mendukung Irene, bahkan saat perlombaan dancer kemarin dia sudah menunjukkan sikap bosan padaku, muak dan benci saat aku tampil, tatapannya menandakan bahwa dia sama sekali tidak tertarik sedikitpun—pada aksi—danceku kemarin. Aku kembali menatap kearah kaki kananku yang dibalut gips. Aku benci diriku yang sekarang, diriku yang pincang membuatku sulit sekali untuk mewujudkan impianku.
Aku sekarang sudah sangat mengerti, mengapa ada sebagian orang menganggap bahwa dunia ini tidak faktanya, aku merasakan itu sekarang. Membayangkan bahwa ada banyak gadis mampu mengejar cita-cita mereka, membuktikan bahwa mereka bisa. Tapi tidak denganku. Kakiku tidak bisa dibuat untuk menari, lagi. Aku membungkam bibirku rapat-rapat berusaha untuk menahan isak tangis yang sewaktu-waktu dapat meledak, memuncah seperti nuklir. Air mataku menetes lagi, dari ujung sudut kelopak mataku membasahi pipi dan bulu-bulu mataku. Semua orang yang menari didalam ruangan itu seperti berusaha mengolok diriku, menertawakanku yang tidak bisa lagi mengejar cita-citaku.
Aku merasakan bahwa semua orang menertawakanku sekarang, tidak ada yang peduli bahkan seseorang yang sangat aku percayai sedikitpun. Aku masih tetap berdiri didepan ruangan ini, dengan tatapan beralih kearah Sehun. Aku memandangi punggungnya yang kokoh saat berdiri. Aku ingin memeluk tubuhnya sekarang, melingkarkan lenganku diperutnya, mencium aroma tubuhnya yang nyaman dan sangat aku sukai tapi lagi-lagi itu hanyalah sebuah ilusi. Aku terisak, suara tangisku memuncah membuat Sehunn yang tadi sedang berdiri membelakangi diriku mendadak memutar tubuhnya. Dia terkejut, sepasang bola matanya menatapku heran. Aku membungkam bibirku rapat-rapat saat sepasang mata elangnya menatapku. Aku merasakan tubuhku terbakar, dia melirikku sangat ketus seakan berusaha untuk menertawai diriku yang sekarang pincang. Sehun sudah tidak peduli lagi. Aku sudah mengerti sekarang, aku memang pincang.
TBC...
