NARUTO FANFICTION

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: TYPO, OOC, SEMI CANON

Pair: Naruto and Hinata

Gogatsu no Kaze present

-THAT SCARF-


"Okaerinasai, Hinata-sama," ucap Kou pada Hinata yang baru saja tiba di depan gerbang rumah keluarga Hyuuga. Senyuman hangat tak pernah ia tinggalkan. Hinata adalah gadis yang ia jaga dari semenjak ia masih kecil. Kou menganggap Hinata bagaikan adiknya sendiri.

Hinata tersenyum dalam kelelahannya, "Tadaima, Kou."

"Bagaimana dengan misimu kali ini, Hinata-sama? Kudengar nyaris tak ada masalah sama sekali." Kou berjalan di sebelah Hinata. Menuju ke dalam rumah.

Hinata mengangguk singkat, "Hanya sedikit masalah ketika kami sampai di gerbang Kirigakure. Ada penjahat yang ingin mengambil barang yang kami bawa. Untung saja Kiba-kun dan Shino-kun sangat kuat, jadi penjahat itu dengan mudah bisa diatasi."

Misi Hinata dan rekan satu timnya adalah membawa benda pusaka Kirigakure yang telah lama hilang. Kebetulan benda pusaka itu dicuri dan penjahatnya tertangkap di Konoha. Jadi atas perintah Hokage yang baru, Hatake Kakashi, tim delapan yang pada saat itu sedang tak ada misi ditugaskan untuk mengantarkan benda pusaka itu kembali ke asalnya, di Kirigakure.

"Kau pasti sangat lelah, Hinata-sama. Akan kusiapkan air hangat untukmu. Beristirahatlah sebentar sebelum mandi," ucap Kou. Setelah itu ia pergi meninggalkan Hinata di depan pintu kamarnya.

Ah, sudah dua hari ia tidak masuk kamarnya. Sebenarnya hal itu sudah biasa, bahkan ia pernah menjalani misi selama beberapa minggu. Misi itu adalah misi gabungan dari Sunagakure. Kazekage, Gaara, meminta bantuan ninja Konoha untuk melacak para pemberontak yang pada saat itu mengganggu desanya. Tim delapan yang memang ahli dalam bidang pelacakan ditugaskan untuk membantu desa yang sudah menjadi teman dekat bagi desa Konoha.

Hinata merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya. Lalu pandangannya beralih ke atas meja tulis disamping ranjangnya. Disana ada sebuah kotak yang berisikan gulungan besar benang wol merah beserta alat-alat untuk merajut. Di samping kotak itu ada syal merah panjang yang sudah dilipat dengan rapi. Syal itu sudah ia rajut sekitar dua bulan yang lalu disela-sela aktifitasnya yang padat.

Hinata bangun dari ranjangnya, ia menghampiri meja tulisnya. Dengan gerakan lambat tangannya mengambil syal merah yang ada di atas meja tersebut. "Apakah dia akan menyukainya?" gumamnya pada diri sendiri.

"Hinata-sama, air hangatnya sudah siap." Tiba-tiba suara Kou memanggilnya dari luar.

Ia letakkan kembali syal merah itu, "Iya, Kou. Arigato," ucapnya seraya menjauh dari meja tulis dan meninggalkan kamar.


That Scarf


Sesosok lelaki dengan jubah hitam mengawasi rumah keluarga Hyuuga dari atas pohon. Ia sangat tahu kalau keluarga Hyuuga memiliki byakugan untuk mendeteksi adanya bahaya yang datang. Namun laki-laki dengan jubah hitam itu menghilangkan hawa keberadaannya dengan sangat baik.

Wajahnya terhalang oleh penutup kepala dan juga gelapnya malam. Ia tersenyum. "Mata itu sebentar lagi akan menjadi milikku," ucapnya dengan nada menyeramkan.

Tak lama kemudian ia menghilang bagaikan ditelan angin malam.


That Scarf


Naruto menguap. Ia sangat bosan kali ini. Cuaca sangat dingin dan tak ada orang yang bisa diajak untuk berbincang. Setelah menyelesaikan misinya dua hari yang lalu, Hokage menyuruhnya untuk libur selama satu minggu. Membosankan. Ia paling tidak suka terus-terusan berada di dalam rumah karena rumahnya sangat sepi dan dingin.

Matanya menerawang liar di balik jendela kamarnya. Konoha diselimuti salju tapi aktifitas penduduknya ramai seperti biasanya. Ia lalu melihat kebawah. Terlihat seorang gadis kecil yang digandeng oleh ibunya. Pipi mungilnya agak merah karena dingin. Naruto tersenyum. Seandainya saja kedua orangtuanya tak mati kala itu apakah ia akan menerima kebahagiaan seperti yang gadis kecil itu rasakan?

"Oi! Naruto!" Panggil seseorang yang sukses membuyarkan lamunan Naruto.

Ia membuka jendela serta agak menjulurkan kepalanya keluar untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata itu Shikamaru. Pemuda berambut nanas itu memang teman yang bisa diandalkan. Setiap kali Naruto tak ada misi, ia pasti selalu datang untuk mengajak Naruto pergi hanya untuk sekedar makan ramen atau bersama-sama dengan Chouji untuk makan yakiniku.

"Ada apa, Shikamaru?" tanya. Shikamaru terlihat bersama dengan teman-teman sesama ninjanya. Ada Chouji, Kiba, Lee, dan –ah- satu lagi, Shino. Seandainya Neji masih hidup, pasti ia juga akan ada diantara mereka.

"Keluarlah dari rumahmu. Ayo kita keliling desa!" teriaknya balik.

Cih, ternyata patroli desa. Naruto kira mereka akan makan ramen di kedai Paman Teuchi. "Ya…ya…aku akan segera turun."

Tak lama kemudian Naruto sudah berada di hadapan mereka, "Kau ini. Kukira akan mentraktirku ramen," asap putih mengepul dari mulutnya. Ya, diluar memang sangat dingin. Pantas saja gadis kecil tadi pipinya memerah.

"Kita memang akan ke kedai ramen, tapi sebelum itu aku mau mengajakmu ke suatu tempat. Mau ikut tidak?"

Naruto memutar matanya malas. Shikamaru ini bodoh atau apa. Untuk apa ia bergegas keluar dari rumahnya kalau ia tak mau ikut? "Iya, aku ikut," jawabnya singkat.

Setelah perang dunia ninja dua tahun yang lalu, kehidupan antar desa semakin membaik. Sudah tak ada perang dan pihak yang saling membenci. Ada untungnya juga perang itu terjadi. Namun karena perang, ratusan ribu nyawa shinobi dari berbagai desa gugur. Banyak orang yang ditinggalkan. Dan luka itu lama untuk disembuhkan.

Shikamaru membimbingnya berbelok ke arah luar desa, tepatnya ke pinggir desa. Tak banyak bangunan yang berubah setelah perang berlangsung. Hanya saja memang banyak bangunan baru yang didirikan karena rusak parah.

Eh? Sepertinya ia tahu kemana Shikamaru akan membawanya, "Shikamaru, bukankah ini…"

"Kita akan ke makam Neji," ucap Kiba sebelum Naruto melanjutkan perkataannya.

"Oh…," raut kesedihan langsung tergambar di wajahnya. Ia menundukkan kepala.

Memorinya kembali ke dua tahun yang lalu. Dimana ia serta seluruh pasukan alisansi shinobi berperang melawan Madara dan Obito untuk mencegah terjadinya mugen tsukuyomi. Perang satu malam melawan Madara dan Obito itu benar-benar penuh dengan darah. Banyak korban berjatuhan. Dan salah satunya adalah Neji.

Ya, Hyuuga Neji. Sang jenius dari bunke Klan Hyuuga. Dengan tubuhnya sendiri Neji rela menjadi tameng untuk dirinya ketika Juubi yang dikendalikan oleh Madara dan Obito menyerang para shinobi dengan hujan ribuan kayu. Nyawa Naruto terselamatkan karena Neji. Dan entah dengan apa Naruto harus membayarnya. Kematian Neji sempat membuat Naruto merasa terpukul dan membuatnya meragukan jalan ninja yang dengan teguh ia pegang dari semenjak ia kecil.

Namun Hinata, ya, kunoichi tangguh Klan Hyuuga itu menyadarkanya. Walaupun seharusnya Hinatalah yang merasa terpukul karena kehilangan orang yang ia anggap sebagai kakak, Hinata mengesampingkan perasannya dan mengingatkan Naruto akan jalan ninja yang telah menjadi pedoman hidupnya. Suaranya yang lembut namun tegas membuka mata Naruto dari gelapnya ajakan Obito. Naruto berhasil meneguhkan hatinya kembali.

Entah sudah berapa banyak jasa Hinata padanya. Ia ingat ketika ujian chunin saat melawan Kiba, Hinata memberikan obat rahasia keluarganya kepadanya. Dalam misi pencarian bikocho, Hinata bertarung sendirian melawan musuh-musuh yang akan membunuh Naruto dan rekan satu timnya. Lalu ketika ia ingin mengembara bersama Jiraiya, Hinata menyemangatinya. Dan pada invasi Pain, gadis itu dengan berani menghadang ketua Akatsuki itu sendirian.

Mukanya lalu bersemu. Bukan karena dingin, bukan. Tapi ia teringat akan pengakuan cinta Hinata sebelum gadis menyerang Pain dengan jutsunya. Dengan bodohnya ia sampai lupa kalau Hinata pernah bilang kalau gadis itu suka padanya. Kami-sama! Hinata pasti menunggu jawaban dari dirinya. Tapi bahkan Hinata tak sekalipun membicarakannya lagi kepadanya. Entah karena ia juga lupa atau apa. Tapi mana mungkin Hinata lupa dengan pernyataan cintanya sendiri?

"Hinata!" teriak Kiba tiba-tiba.

"Eh!" Naruto yang memang sedang melamunkan gadis itu jadi spontan terpekik. Wajahnya tambah bersemu. Untung saja tak ada satupun teman-temannya yang memperhatikan. Untung saja.

Hinata menoleh kearah mereka. Memberikan senyum termanisnya seraya menunggu mereka berjalan mendekat kearahnya. Naruto melihat ada karangan bunga di atas makam Neji padahal sekarang sedang musim dingin. Ah, mungkin saja Hinata memesannya dari Ino jauh-jauh hari sebelum ke makam. Usaha keluarga Ino yang merupakan toko penjual bunga pasti saja mengusahakan agar bunga tersedia, apalagi bunga itu untuk Neji yang juga teman Ino.

"Konichiwa, minna," sapa Hinata pada semuanya.

"Konichiwa," jawab semuanya kompak.

Mata Hinata langsung tertuju pada Naruto yang ada di barisan belakang. Pemuda itu berdiri di samping Shino. Naruto tak melihat kearahnya. Malah terkesan membuang muka. Hinata tersenyum miris dalam hati.

"Kalian ingin mengunjungi Neji-niisan?" tanyanya.

Shikamaru mengangguk, "Sudah lama kami tak berkunjung ke makam Neji. Akhir-akhir ini misi membuat kami tak bisa mengatur waktu untuk kesini. Dan Si Bodoh yang dibelakang itu sudah menjadi orang yang paling sulit ditemui," Shikamaru menunjuk Naruto dengan ibu jarinya tanpa menoleh.

Sedikit kesal memang ketika Naruto dibilang 'Si Bodoh' oleh Shikamaru, tapi entah mengapa ia tak bisa melawan balik. Padahal biasanya mulutnya langsung merespon. Dan juga, mengapa ia tak bisa membalas sapaan Hinata dengan benar? Yang ada dirinya malah membuang muka. Apa-apaan kau ini, Naruto? Umpatnya pada diri sendiri.

"Souka," Hinata tersenyum tipis. "Kalau begitu aku pulang dulu," secara singkat Hinata berpamitan pada mereka seraya pergi meninggalkan area makam.

Ekor mata Naruto mengikuti setiap langkah kaki Hinata yang meninggalkan area makam. Ia terpana, entah mengapa. Aura yang dipancarkan Hinata begitu berbeda dari dua tahun yang lalu. Hinata memiliki kombinasi aura yang kuat namun menenangkan. Sifatnya merupakan gambaran dari sebuah kebaikan dan kelembutan. Tapi jangan salah kira, Hinata itu kunoichi yang tangguh. Sangat sempurna menjadi seorang wanita.

"Kau melamunkan apa, Naruto?" tanya Chouji yang memang dari tadi memperhatikan pemuda berambut blonde itu.

"E-eh, a-ano…," dia jadi gugup. Sial!

"Hey kalian, sampai kapan mau disana terus? Tak mau memberi salam pada Neji?" tegur Shikamaru.

Akhirnya! Naruto tak perlu menjawab pertanyaan Chouji. Mereka berdua yang masih di belakang akhirnya mendekat ke arah makam Neji. Naruto menatap makam Neji dengan rasa penuh kesedihan. Tapi setidaknya Neji tak pernah mati. Ia akan selamanya dikenang di hati setiap orang yang mengenalnya.

"Hisashiburi, Neji," ucap Naruto didepan makam Neji.


That Scarf


Hinata menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bukan karena kedingingan, justru karena wajahnya terlalu panas saat ini. Kami-sama, pertemuannya tadi dengan Naruto merupakan pertemuan pertama setelah beberapa minggu tidak bertemu dengannya. Dan untungnya ia tidak pingsan ditempat seperti yang dulu sering ia alami. Semoga saja senyumannya cukup untuk menutupi kegugupannya yang seakan ingin mendorongnya kedasar jurang.

Tapi Naruto mengapa terlihat membuang muka? Naruto seakan menghindari tatapannya. Mengapa? Apa ia melakukan sesuatu yang salah hingga Naruto tak mau melihat wajahnya. Hinata berpikir keras. Ingatannya kembali ke masa lalu ketika musim semi tahun ini ia dan teman-temannya yang lain makan bersama di kedai yakiniku serta pesta pelepasan Tsunade yang telah menyelesaikan tugasnya sebagai Hokage. Sepertinya tak ada yang salah. Lalu apa?

"Hinata!" terdengar suara Sakura memanggilnya. Benar saja, Sakura berlari menuju kearahnya seraya melambaikan tangannya .

"Konichiwa, Sakura-san," tanda tanya muncul di kepala Hinata. Jarang sekali Sakura bisa sebebas ini karena biasanya ia selalu berada di Rumah Sakit Konoha. Sebagai ninja medis handal yang berpengalaman Sakura sangat sibuk dengan jadwal yang begitu padat. Apalagi kemampuannya telah diakui setelah perang dunia ninja dua tahun yang lalu.

"Untunglah aku bisa bertemu denganmu. Tadi aku kerumahmu dan orang rumahmu bilang kau sedang keluar tanpa memberi tahu kemana kau pergi," ucapnya sambil tersenyum puas dengan asap yang mengepul dari mulutnya.

"Aku tadi ke makam Neji-niisan. Aku tak bilang pada orang rumah karena takut mereka khawatir. Mereka masih memikirkan perasaan dukaku setelah kehilangan Nii-san," jelas Hinata.

Sakura mengangguk tanda paham. "Ah iya, sebentar lagi Winter Festival akan tiba. Apakah kau mau menemaniku membeli sesuatu? Aku ingin memberikan sesuatu pada Sasuke-kun jika ia kembali ke Konoha pada hari itu," wajah Sakura berseri.

Hinata tahu, Sakura mencintai Sasuke. Ia tahu bagaimana rasanya saat memikirkan orang yang disukai. Setidaknya Hinata juga merasakannya saat ini. "Baiklah. Aku juga ingin membeli sesuatu untuk kepulangan ayah dan Hanabi."

Dua tahun lalu ketika perang dunia berlangsung, Hanabi yang belum cukup umur memang diungsikan kerumah kerabat Hinata yang letaknya sangat jauh dari Konoha. Perjalanan kesana bisa mencapai satu minggu. Namun tempat itu sangat aman untuk Hanabi karena jauh dari lingkup serang musuh maupun jurus yang dikeluarkannya.

"Ah, iya. Adikmu baru kembali hari ini ya setelah dua tahun meninggalkan desa," ucap Sakura. "Ayo kita berangkat ke tokonya. Sudah mau sore," lanjutnya.

Hinata mengangguk. Dalam perjalanan ke toko, mereka berdua berbincang-bincang, "Memangnya kau ingin membeli apa, Sakura-san?" tanyanya.

Sakura mengetukkan telunjuknya di dagu, ia berpikir, "Apa ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum, "Sweater sepertinya pilihan yang baik. Di musim dingin sweater sangat berguna. Kau sendiri?"

"Aku mau membelikan sesuatu yang hangat untuk dimakan ayah dan Hanabi. Semoga mereka suka," jawab Hinata seraya menahan rambutnya yang tertiup semilir angin.

"Bukan untuk ayah dan adikmu. Memangnya kau tak memiliki seseorang untuk diberikan sesuatu di Winter Festival nanti?"

"Mungkin aku akan membuat kue kering untuk Kiba-kun dan Shino-kun-"

"Bukan itu maksudku!" potong Sakura sebelum Hinata melanjutkan ucapannya. "Kau menyukai Naruto bukan?"

Hinata menghentikan langkahnya tiba-tiba. Tangannya membekap mulutnya untuk menyamarkan rasa malu. Wajahnya memanas. Ia menundukkan kepala.

"Hinata?" tanya Sakura bingung. Sakura lalu melihat pipi Hinata yang sudah bersemu merah. Ia tersenyum jahil, "Jadi benar, kan? Itu sudah menjadi rahasia umum, Hinata," godanya.

"Eh?!" respon Hinata sangat menggemaskan dan lucu. Rasanya Sakura ingin tertawa melihat temannya yang satu ini.

"Sudahlah, itu kita bahas nanti. Sekarang kita lanjutkan perjalanan kita," Sakura dan Hinata kembali berjalan ke toko yang mereka tuju.

Setibanya di toko, Sakura sibuk memilih sweater mana yang akan ia belikan untuk Sasuke. Sakura tak membuatnya sendiri karena ia tahu, ia kurang mahir dalam hal kerajinan tangan. Tapi jangan salah sangka, dalam hal rasa cintanya pada Sasuke ia nomor satu. Hinata juga berkeliling melihat-lihat pakaian yang dijual di toko itu.

"Ne, Hinata. Kau tak mau memberikan sesuatu untuk Naruto?" tanya Sakura ketika mereka telah selesai berbelanja.

Hinata tertunduk malu. Wajahnya memerah. Ia tersenyum, "Se-sebenarnya aku su-sudah menyiapkan sesuatu u-untuk kuberikan pada Na-Naruto-kun." Ucapnya pelan bagaikan setengah bergumam.

Raut wajah Sakura langsung riang. Sakura tahu kalau Hinata menyukai Naruto. Bahkan ia sudah sadar setelah invasi Pain. Hinata satu-satunya orang yang berani menghadang Pain untuk menyelamatkan Naruto dari shinra tensei yang ingin Pain tujukan pada pemuda itu.

"He! Benarkah?" tangannya memegang kedua tangan Hinata. "Apa yang ingin kau berikan?" tanya Sakura ingin tahu.

Hinata terdiam sejenak, mungkin ia malu mengucapkannya, "A-aku membuatkan Na-Naruto-kun sebuah syal-"

"Hontou?!" pekik Sakura senang. Dia tak membiarkan Hinata meneruskan kalimatnya karena ia terlalu senang. Rasanya Sakura ingin memeluk Hinata karena terlalu riangnya.

"Tapi, aku tak tahu apakah Naruto-kun akan menyukai syal buatanku," Hinata masih tak percaya diri. Ia takut Naruto tak menerimanya. Syal itu terlalu kuno untuk diberikan pada seseorang di jaman yang telah modern ini.

Sakura meletakkan tas belanjanya disamping kakinya, lalu kedua tangannya memegang pundak Hinata. "Dengarkan aku, Hinata. Kau harus memberikan syal itu di Winter Festival nanti. Harus. Kau harus memperjuangkan cintamu sebagaimana aku memperjuangkan Sasuke-kun. Aku mendukungmu, kami semua mendukungmu," ucap gadis berambut soft pink itu untuk menguatkan Hinata.

Hinata lagi-lagi tertunduk, mukanya bertambah merah dan panas. Ia tersenyum malu-malu lalu mengangguk pelan, "Ya, aku akan memberikan syal itu padanya," ucapnya dengan memantapkan hati.


That Scarf


To Be Continued


YO! MINNAAA!

HALLO, hisashiburi dana!

Hehe, sudah lama tak bersua, kangenkah kalian padaku? *ngarep*

Oh iya, mau ngucapin sesuatu. Ehem~

NARUHINA CANON! CANON! CANON! *menari bahagia* *usap tangis haru*

Curhat sedikit ya…

Akhirnya pair yang kita perjuangkan selama ini akhirnya happy ending. Hinata, kau pasti menjadi wanita paling bahagia saat ini. Begitu juga Naruto. Selain mendapatkan wanita cantik sebagai istri serta anak-anak yang lucu *peluk Boruto dan Hima* kau juga telah menjadi HOKAGE! YAY! OMEDETTO!

Inget dulu ketika masih bergalau-galau, apalagi kalau udah masuk ke event NHTD atau NHDD. Wuih, bawaannya mau setel lagu ballad terus sambil berurai airmata. Tapi tak apa, sekarang airmata itu berubah jadi airmata kebahagiaan.

Yosha! Semoga fanfik semi-canon pertamaku ini berkenan untuk dibaca.

Adios!