Chapter 1
PRAAANNNGGG!
"Di mana kau?"
"Haah... hahh... hahhh.."
"Di mana kau anak sialan!"
"Tch"
"Ada apa, Levi?" tanya seorang gadis berambut coklat yang tidak lain adalah Hanji Zoe.
"Mimpi buruk," jawab Levi singkat.
"Oh, begitu... Minumlah ini dulu untuk menenangkan dirimu," gadis itu menyodorkan segelas susu untuknya. "Pagi ini gelap sekali, ya."
Pagi itu bukanlah pagi yang cerah. Titik-titik hujan menghiasi setiap jendela di rumah Levi, bukan, lebih tepatnya rumah Keluarga Smith. Sudah bukan rahasia lagi kalau Levi bukanlah anak kandung dari Tuan dan Nyonya Smith. Mereka menemukan Levi tergeletak di depan rumah mereka 12 tahun yang lalu. Saat itu, keadaan Levi benar-benar parah. Ia tidak mengenakan baju yang tebal padahal saat itu musim dingin. Levi juga sudah tidak memiliki tempat untuk pulang. Pada awalnya, mereka tidak berniat mengadopsi Levi, tetapi karena permintaan Erwin yang menginginkan Levi untuk tetap tinggal mereka memutuskan untuk mengadopsi Levi.
Dua tahun kemudian, keluarga Smith kembali menambah anggota keluarga mereka. Seoarang gadis berkacamata bernama Hanji Zoe yang sebenarnya masih kerabat mereka. Dia kehilangan kedua orang tuanya karena sebuah kecelakaan. Levi masih ingat hari itu, ya...hari itu...
"Erwin, Levi.. Mulai hari ini Zoe akan tinggal bersama kita. Karena dia sudah tidak punya tempat lagi untuk tinggal, jadi Ayah memutuskan untuk membawanya ke sini."
"Hai, Levi... Aku Hanji Zoe."
Levi melihat gadis itu baik-baik. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang habis kehilangan keluarganya. Bisa-bisanya dia tersenyum dengan lebarnya. Entah kenapa hal itu membuat Levi sebal. Terutama kacamata tebalnya yang membuat dirinya semakin terlihat menyebalkan di mata Levi.
"Hai," jawab Levi ketus. Levi sebenarnya ingin protes, kenapa Ayah barunya itu mau menampung anak seperti itu tapi apa haknya untuk protes.
"Salam kenal, ya," kata Hanji dengan ceria..
Menyebalkan. Senyum palsunya itu menyebalkan.
Levi benci mengingat hari itu, hari di mana Hanji datang ke rumahnya. Ia merasa semuanya menjadi berbeda. Suasana rumah yang biasanya tenang menjadi lebih berisik. Levi tidak suka keributan..
Levi benci suaranya yang memecahkan gendang telinga itu.
"Hoaamm..." tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu.
"Selamat pagi, Erwin!" sapa Hanji dengan ceria.
Pemilik rambut blonde dan muka tampan (?) itu pun menjawab, "Pagi.. Hanji.. Levi.. Suasananya membuatku ngantuk."
"Tapi hari ini hari pelantikanmu sebagai Ketua OSIS yang baru, lho! Ayo yang semangat! Aku sudah buatkan telur dadar kesukaanmu, lho..."
"Ya, terimakasih."
"Oi, mata empat, mana Ayah dan Ibu?" tanya Levi.
"Sudah berangkat, akhir-akhir ini mereka benar-benar sibuk, ya," jawab Hanji.
"Ya, kurasa mereka terlalu memaksakan diri."
"Tapi mau bagaimana lagi, kan," kata Erwin. "Cepat makannya! Nanti kita terlambat."
[... jadi, saya mohon kerjasamanya untuk satu tahun ini.]
Plok! Plok! Plok!
Suara tepuk tangan memenuhi ruang aula Maria High School. Pelantikan anggota OSIS baru kali ini benar-benar meriah. Banyak sekali murid yang mengagumi Ketua OSIS yang baru, Erwin Smith. Bukan karena ganteng (?) saja melainkan karena 'leader' aura-nya yang begitu hebat. Levi dan Hanji juga merupakan anggota OSIS yang dilantik hari itu. Levi sebagai Wakil Ketua, sedangkan Hanji sebagai Sekretaris.
"Mereka bertiga memang hebat, ya! Itu, lho Erwin, Levi, dan Hanji. Benar-benar trio yang sempurna!" kata salah seorang murid.
"Hei, apa kau tahu gosipnya? Mereka bertiga tinggal di rumah yang sama, lho!"
"Heh?"
"Iya, Levi itu saudara angkat Erwin, sedangkan Hanji kehilangan keluarganya sejak kecil jadi dia tinggal di rumah Erwin."
"Benarkah? Jangan-jangan ada cinta segitiga diantara mereka? Mereka memperebutkan Hanji?"
Suara murid itu rupanya terlalu keras sehingga Levi bisa mendengarnya. "Tch, seenaknya saja menggosip tentang kita," kata Levi dengan kesal.
"Kenapa kau tak senang? Bukannya kita jadi terkenal?" Hanji tiba-tiba menyeletuk.
"Mereka bilang kita terlibat cinta segitiga, bodoh."
"Eh?"
Levi diam...
"Apa kaubilang tadi, Levi?"
"Lupakan saja."
Cinta?
Levi berbaring di tempat tidurnya sambil memikirkan perkataan salah seorang murid tadi. Entah kenapa dia tidak bisa berhenti memikirkan hal itu. Cinta? Ada cinta segitiga di antara mereka bertiga? Bagaimana pun Erwin adalah saudara tirinya dan juga penyelamat hidupnya, seseorang yang menyelamatkan dirinya dari dinginnya malam bersalju. Ia rela memberikan apapun bagi Erwin termasuk nyawanya sendiri. Jadi, mana mungkin mereka akan memperebutkan seorang gadis, apalagi seorang Hanji Zoe.
"Levi..." bisik Hanji di depan pintu kamar Levi.
"Kau tahu aku sempat takut mendengar suaramu barusan. Ada apa, bodoh?"
"Erwin menyuruh kita belanja."
"Kenapa tidak kau sendiri saja," kata Levi ketus.
"Kumohon... aku tidak ingin sendirian."
Levi diam sejenak.
"Tch. Baiklah."
"Levi... lihat! Kuenya benar-benar lucu... Waaaa..." mata Hanji berbinar-binar melihat sebuah kue yang dipajang disebuah lemari kaca kecil.
"Aku mau itu, boleh ya? Ya? Ya?"
Sudah Levi duga, pasti Hanji akan meminta hal-hal yang tidak perlu. Itu sebabnya dia tidak ingin menemani Hanji belanja.
"Tch. Kau pikir kita bawa uang berapa?"
"Kumohon..." pinta Hanji dengan muka memelasnya.
Levi yang jijik melihat tampangnya langsung mengiyakan, "Ya."
"Yey! Terimakasih Levi!" kata Hanji riang.
Mereka berdua memasuki toko kue tersebut. Sebenarnya Levi sedikit, bukan, lebih tepatnya sangat malu dengan tingkah Hanji. Hanji tidak bisa diam. Ketika melihat sebuah kue yang lucu dia langsung berteriak "Waaaa lucunyaa..."
Meskipun begitu, Levi lebih suka Hanji yang ceria daripada Hanji yang muram. Pernah sekali Levi melihat Hanji menangis di makam orangtuanya. Ia tidak terkejut melihat Hanji yang biasanya ceria bisa berubah menjadi seseorang yang seperti itu. Levi tidak suka Hanji yang berisik dan suka senyum-senyum sendiri. Tapi itu lebih baik daripada dia menangis.
"Baiklah. Aku akan beli yang stroberi dan yang keju ini. Bagaimana menurutmu, Levi?"
"Beli saja."
"Baiklah, akan kubayar dulu.."
Hanji berlari menuju kasir. Ia begitu bersemangat sampai-sampai kue yang dia bawa hampir jatuh. Sebenarnya Levi ingin tertawa, tapi demi menjaga image-nya di depan orang ia memutuskan untuk stay cool.
"Ayo kita pulang!"
Mereka berdua berjalan beriringan sepanjang jalan pulang. Beberapa kali mereka dianggap sepasang kekasih, namun Levi selalu menemukan alasan yang membuat orang lain percaya bahwa mereka hanya teman.
"Kau mau kue ini Levi?"
"Tidak."
"Ayolah.. ini enak sekali lho.. Nih.. Aaa" Hanji berusaha menyuapi Levi. Bagaimana tidak terlihat seperti kekasih, tingkah laku Hanji saja seperti ini. Orang pasti akan mengira mereka benar-benar sepasang kekasih.
Levi menghindar, "Sudah kubilang aku tidak ma.."
DUKKKK!
Tanpa sadar Levi menabrak seorang gadis di belakangnya. Levi melihat ke belakang dan memandang gadis itu. Ia cantik, rambutnya berwarna peach. Bola matanya besar dan terlihat kalem. Beda sekali dengan Hanji yang berantakan dan berisik.
"Maa.. maafkan aku," kata gadis itu.
"Aku yang seharusnya minta ma.." Belum selesai Levi berbicara gadis itu menyahut, "Lho, Levi?"
"Wah, kalian saling kenal, ya?" kata Hanji dengan polosnya, padahal ia sudah membuat Levi menabrak gadis itu dan membuat berantakan seluruh isi tasnya.
"Ya, dia Petra Ral. Kami sekelas tahun lalu."
"Oh, Petra, ya? Salam kenal, aku Hanji Zoe!"
"Salam kenal. Ngomong-ngomong kalian sedang apa?"
"Ee... yah.. kami baru saja belanja," jawwab Hanji.
"Belanja?" Petra heran.
"Ya, untuk makan malam."
"Eh?"
"Ya.. sebenarnya kami tinggal bersama."
"Maaf, aku tidak tahu kalau kalian ternyata pacaran."
"Hehh? Tidak! Tidak! Kami memang tinggal bersama tapi aku tidak ada apa-apa dengan Levi kok," Hanji mengalihkan pembicaraan, "Aduh, isi tasmu jadi berantakan, ya. Maaf..."
"Eh? Tidak apa-apa kok."
"Sebagai permintaan maaf bagaimana kalau kamu ikut maakan malam bersama kami?"
"Benar tidak merepotkan?" tanya Petra.
"Tak apa-apa lebih ramai lebih baik," jawab Levi.
Mereka berjalan menuju ke ruang makan. Di meja sudah siap berbagai menu yang dibuat khusus oleh Hanji. Meski Hanji tampangnya tidak meyakinkan, ia sebenarnya cukup pandai dalam urusan memasak. Levi yang suka pilih-pilih makanan juga menganggap masakannya tidak buruk. Tapi tetap saja, dapur yang dipakai olehnya pasti selalu berantakan.
"Wah, enak! Ternyata Hanji bisa memasak ju.." Petra men-stop kata-katanya.
"Tak apa-apa, tampangku memang tidak meyakinkan untuk memasak. Hahahaa.." Hanji tertawa.
"Diam, bodoh. Ketawamu membuatku tidak selera makan," kata Levi ketus.
"Memangnya seburuk itu kah?" Hanji tertawa kecil.
"Sudah, jangan banyak bicara ketika makan." Seperti biasa Erwin selalu melerai mereka.
Setelah selesai makan, Levi dan Hanji mengantar Petra ke luar rumah. Hari ini sebenarnya cukup menyenangkan bagi mereka. Petra kelihatannya senang, meskipun sedikit canggung. "Terimakasih makanannya, maaf merepotkan," kata Petra sopan.
"Tak apa, kau boleh datang sesukamu," kata Hanji.
"Aku pulang dulu."
"Tunggu.. Akan kuantar kau sampai rumah," kata Levi.
"Rumahku dekat dari sini, kok. Tidak apa-apa."
"Tapi..."
"Tak apa.. Dadah..." Petra tersenyum, perlahan-lahan mulai menjauh.
"Hihihihi..." Hanji tiba-tiba tertawa sendiri.
"Kenapa kau, mata empat?"
"Levi.. kau suka padanya kan?"
Deg! Levi kaget bagaimana bisa Hanji mengatakan hal seperti itu.
"Sudahlah... Kelihatan, kok. Kau terlihat akrab dengannya, bahkan mau mengantarnya pulang."
"Memang sudah seharusnya seperti itu," Levi cari alasan.
"Tapi kau tak pernah menungguku pulang malam. Aku selalu pulang sendiri." Hanji juga cari-cari alasan.
"Berisik..."
"Oi, kalian ayo masuk!" teriak Erwin.
"Ya."
Hai!
Ini fanfic pertama yang kubuat, jadi masih amatiran.
Sorry kalau ending nya gaje. Tadinya aku gak pede buat publish tapi akhirnya aku beranikan diri, deh.
Di chapter 2 nanti ada cerita tentang masa lalu Levi.
Kritik & saran?
Just review :)
