MINE

Dai Omikuji

Genre: Romance - Fluff

Pairing: Aomine x Kagami

Summary: Terkesima karena pertandingan terakhir mereka, keduanya tidak dapat melupakan sensasi kebersamaan menjadi lawan. Perasaan itu berkembang menjadi suatu perasaan lain yang tidak terlukiskan.


Aomine menatap jam dindingnya. Dia menghela nafas, kesulitannya untuk tidur semakin menjadi sejak hari itu. Dia berguling ke samping, menatap kosong meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Detik jarum jam memecahkan keheningan malam. Berkali-kali dia mencoba untuk melupakan kekalahannya melawan Seirin, melawan Kagami, namun kenyataan tersebut menghantam dirinya bagaikan tsunami. Dia berulang kali melihat Kagami di depannya memasukkan bola ke dalam ring basket di dalam mimpinya. Entah yang keberapa kalinya malam itu, dia sudah tidak menghitungnya. Aomine menghela nafas, memijit keningnya yang berdenyut karena letih. Satsuki sudah berkali-kali memarahinya karena dia membolos latihan dan memilih tidur siang di atap sekolah. Sebagai teman kecilnya, gadis itu tahu penyebabnya, namun sikapnya tidak berubah. Di saat seperti itu, Aomine bersyukur Satsuki tidak memaksa dirinya untuk latihan. Tubuhnya letih akibat kurangnya tidur malam.

"Sialan kau, Kagami." Dia mengerang, mencoba untuk masuk ke dunia mimpi sekali lagi.


Kagami menguap lebar. Kuroko menatapnya sambil berjalan mengikuti ke restoran Maji Burger, tempat mereka sering berkumpul.

"Tidak cukup tidur?" Kuroko bertanya. Dia mengusap bola basketnya yang baru.

"Aku teringat akan kemenangan Touou kemarin. Entah kenapa mataku tidak bisa tertutup."

Kuroko tersenyum. "Kau di luar dugaan, Kagami-kun. Seperti anak kecil."

"Diam kau." Remaja itu protes pada partnernya, berjalan lebih cepat memasuki Maji Burger."Wah, cukup ramai hari ini..." Kagami melihat kiri-kanan, mencari tempat kosong.

"Itu...Aomine-kun?" Kuroko menatap remaja yang duduk di pojok ruangan. Seperti mendengar namanya, Aomine mendongak dari majalah yang tengah dibacanya.

"Geh... Aomine..."Kagami berdetak. Dia bertemu dengan remaja yang baru saja dikalahkannya pada pertandingan beberapa hari yang lalu.

Mereka duduk tepat di depan Aomine, Kagami melihat majalah idola Aomine. Sepertinya benar rumor yang mengatakan bahwa Aomine menyukai idol itu.

"Bagaimana latihanmu, Tetsu?" Aomine bergumam, matanya tidak lepas dari halaman yang dibukanya.

"Terima kasih, Aomine-kun. Berkatmu aku bisa memasukkan bola dengan lebih akurat." Kuroko menyahut setelah menelan vanilla milkshake kesukaannya.

"Hnnm." Aomine bergumam pelan. Tangannya menyambar gunungan burger milik Kagami.

"Hei! Itu milikku!" Kagami protes.

"Apa salahnya membagi dengan orang lain? Kau punya banyak. Tetsu, cahayamu ini pelit sekali." Aomine berdecih.

Kuroko terkekeh.

"Baiklah, ambil satu lagi! ini buatmu. Sebagai gantinya kau akan bermain one-on-one denganku!"

"Aah? Untuk apa aku bermain denganmu... dasar bodoh. Ini tidak ada hubungannya dengan burger." Aomine mengunyah, tidak memperdulikan bayi besar di hadapannya.

"Kau sudah mengambil burgerku!" Kagami protes. Dia melihat Aomine membatasi majalahnya, menggulungnya dan berdiri.

"Sudah cukup, aku tidak butuh burgermu. Satu saja cukup." Aomine memukul pelan kepala Kagami dengan majalahnya.

"Ap-"

"Kalahkan dulu musuhmu yang lain...Baru kau bisa kembali padaku."Aomine menyeringai. Mata Kagami membesar, manik merah bertemu dengan biru. Aomine memutuskan kontak mata mereka dan pergi menjauh.

"Kagami-kun, kenapa kau katakan itu padanya? Bertarung one-on-one." Kuroko mengambil satu burgernya.

"Aku... hanya ingin tahu reaksinya setelah kalah. Di lapangan mungkin dia bersikap tegar. Wajahnya... terlihat lelah." Kagami bergumam.

Kuroko mendongak, menatap lekat partnernya. Dia mendengus."Kau khawatir padanya rupanya..."

"Apa salah? Aku tidak ingin lawanku membenci basket atau berhenti karena kalah. Tapi aku tahu dia bukan orang yang seperti itu... Hanya saja... bisa saja dia shock..." Kagami memalingkan muka.

Kuroko tersenyum."Tidak salah, aku punya nomernya, jika kau ingin berhubungan langsung. Mungkin kau bisa mengejarnya... sebelum dia diambil orang."

"Apa? Apa maksudmu?"

Kuroko tidak menghiraukan wajah merah Kagami, dia mengambil telepon genggamnya, memasukkan nomor Aomine tanpa ijin. Dengan sengaja, dia menekan tombol panggilan agar nomornya terdeteksi Aomine.

"Dia... sangat hebat."

Mata Kuroko bergulir pada partnernya. Dia membiarkan Aomine mengangkat panggilannya.

"Aku sempat terkesima di tengah pertandingan. Rasanya dia bergitu bersinar dan sangat menawan. Caranya melempar bola, keadaannya ketika memasuki zone. Rasanya tidak pernah kubayangkan aku bisa bertemu orang sehebat dia. Dia menarik perhatianku."

"Begitu..."

"Aku... ingin sekali lagi main bersamanya..." Kagami tersipu. "Kuroko, kau tidak usah bilang soal ini padanya. Cukup kau saja yang tahu."

Kuroko mematikan panggilan teleponnya. Bibirnya menyungging tipis."Apa ini yang mengakibatkan kau tidak bisa tidur semalam?"

"Aah, tidak juga..." Kagami memalingkan muka. Dia mengusap tengkuknya, berusaha tetap terlihat tenang.


Mata Aomine membelalak. Dikiranya itu nomor salah sambung. Dia baru saja mau mematikan panggilan tersebut ketika dia mendengar Kagami berkata-kata.

"Si bodoh itu... Kenapa membiarkan handphonenya terpencet...?" Aomine mengusap wajahnya. Dia tidak bisa melupakan kata-kata Kagami barusan. Sejak kapan Kagami punya nomor teleponnya? Ini pasti ulah Tetsu. Apa pun yang direncanakannya, dia baru saja menelanjangi perasaan Kagami secara tidaklangsung padanya.

"Sialan kau, Tetsu." Bibirnya menyeringai tipis."Terkesima... huh?" Dia terkekeh, berjalan balik ke Maji Burger. Pikirannya penuh dengan Kagami seketika, teringat bagaimana remaja itu bersikeras memenangkan berdebar dengan penuh semangat.

Dia mendorong pintu masuk, melihat mereka masih duduk di tempat yang sama. Kuroko melihatnya masuk, Aomine buru-buru menaruh telunjuknya di depan bibir. Remaja berambut biru itu pura-pura tidak melihat, namun bibirnya tersenyum. Mendekati Kagami, Aomine mengalungkan lengannya pada pundak pria itu, tindakan yang sama ketika mereka bertemu di lapangan.

"Kau ingin bertanding denganku?" Aomine melihat wajah kaget Kagami.

"Aomine! Kau balik? Sejak kapan?"

"Mau bertanding atau tidak? Cepat putuskan, aku sudah berbaik hati kembali kemari."

"B-baiklah!" Kagami buru-buru bangkit.

"Kagami-kun, aku balik duluan." Kuroko tersenyum.

"Ah, baiklah, aku tidak mengantar. Sampai besok..." Kagami melambai.

Mereka berdua memandangnya pergi.

"Uuh, lalu... kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"

Aomine berdecih. Jadi benar, ini perbuatan Tetsu."Sudah, ikut aku ke lapangan terdekat." Dia berjalan meninggalkan Kagami yang buru-buru mengekorinya.


Lapangan basket hanya milik mereka bersembunyi. Penerangan mereka hanyalah lampu taman. Kedua remaja itu saling bertatapan. Kagami menatap Aomine, konsentrasi penuh sebelum Aomine merusak pertahanannya. Dia melompat, menghalangi Aomine. Remaja itu berputar, melempar bolanya dari samping. Dia dengan mudahnya mencetak angka. Mata mereka bertemu, Kagami menarik merekah, menatap pria itu.

"Hebat..." Kagami bergumam. Aomine mengerjap, menatap Kagami, tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya.

"Apa katamu? Jangan mengeluh." Aomine menghela nafas.

"Ah, bukan... Aku... tidak mengeluh..." Kagami menggaruk pipinya canggung, dia tidak ingin Aomine mengetahui perasaannya. Mereka seharusnya lawan, tapi bukan berarti Kagami tidak mengaguminya.

"Jika begini saja kau tidak bisa menghentikanku, bagaimana kau bisa membuatku terpana?" Aomine mendengus.

"Apa katamu?" Kagami terperanjat. Aomine mengalungkan lengannya pada pundak Kagami.

"Kau terkesima padaku 'kan? Jujur saja..."Remaja itu terkekeh di telinga Kagami yang memerah.

"Kata siapa aku terkesima? Jangan bercanda kau." Kagami mendorong Aomine yang nyengir lebar. Dia bersyukur keadaan gelap, menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Kenapa masih juga berkelit?" Aomine men-dribble bolanya, sekali, dua kali lalu melemparnya tepat pada ring. Kagami tidak bergeming, mengawasi tindak tanduk Aomine. Dia menunduk, melihat sepatunya sendiri.

"Sudahlah, diam saja. Kali ini aku yang akan mencetak angka." Kagami merebut bola Aomine. Dia men-dribble beberapa kali, melompat untuk melakukan dunk. Aomine melompat lebih tinggi, menepis bola Kagami dengan mudahnya. Kagami memekik pelan, mengerang frustrasi. Dia terdiam ketika Aomine menangkap tangannya. Mata biru itu menatapnya lekat, hidung mereka hampir bersentuhan. Jemarinya melingkar erat pada pergelangan tangan Kagami.

"A-Aomine..."Kagami bergumam. Dia melangkah mundur, menjauhi pria di depannya.

Aomine menarik tangannya, melingkarkan jemarinya dengan mendekatkan wajahnya, Kagami reflek mundur sebelum Aomine bisa menyentuh bibirnya.

"Tunggu, apa yang kau-"

"Aku tidak bisa tidur..."

Kagami mengerjap."Apa?"

"Pikiranku tidak bisa lupa akan kekalahanku kemarin."Genggaman Aomine semakin erat ketika Kagami mencoba melepaskan tangannya.

"Lalu... kau mau apa..."

"Aku tidak percaya aku bisa kalah dengan bocah sepertimu. Seperti ingin berlatih semakin keras... dan itu untuk seseorang yang sudah mengalahkanku."

"Tunggu, berhenti bicara seperti kau menyalahkanku-"

"Cahayamu semakin terang, Kagami."

Kagami membelalakkan mata. Aomine menangkap bibirnya di tengah kebingungannya. Dicium oleh sepasang bibir yang bertaut dengannya, Kagami menahan nafas."Uumm..." dia menutup matanya. Telapak tangannya mendorong dada Aomine menjauh, lawannya melepaskan tautan. Pipi Kagami sudah semerah rambutnya, dia bergumam tidak jelas.

"Aah... kau... apa..." Dia berhenti ketika Aomine menangkup wajahnya pada telapak tangan.

"Kagami..."

"Jangan main-main, Aomine!" Kagami menepis tangannya, dia berbalik, lari dan mengambil bola basket dan tasnya, lalu lari keluar lapangan.

"Kagami!" Aomine berdecih. Dia melenguh, mengusap tengkuknya. "Mungkin terlalu tiba-tiba..." Aomine berjalan pelan menuju tasnya. Dia menghela nafas. "Bakagami..." Dia mengerti kenapa dirinya tidak dapat tidur. Dia mengerti kenapa Kagami memenuhi isi kepalanya. Kekalahannya pada pertandingan yang lalu membuatnya melihat Kagami lebih terang darinya. Secercah harapan yang tidak pernah dirasakannya.

"Bukan hanya kau yang terkesima, bodoh." Remaja berambut birunya mengambil tasnya, berjalan keluar lapangan basket.


Kagami berguling di atas ranjangnya. Dia mengerang, mencoba untuk memahami apa yang baru saja terjadi. Dirinya tidak percaya bahwa Aomine baru saja merenggut ciuman darinya. Jarinya menyentuh bibirnya, masih merasakan kehangatan bibir yang bertaut dengannya.

"Kering... bibirmu pecah-pecah." Kagami protes. Dia menyapukan wajahnya dengan tangan, berusaha menghapus warna merah yang menghiasi wajahnya. "Apa-apaan itu tadi..."

TBC