Hanakotoba
.
.
Disclaimer:
I do not own Vocaloid. Aya juga nggak punya bahasa-bahasa bunga yang digunakan di fic ini. Tapi Aya punya cerita ini.
Rating: T
Genre: Romance, Drama, Hurt/Comfort.
Warning: Typos, all will be Normal POV.
Summary:
Mereka bertemu secara takdir. Tidak ada pertemuan dalam agenda mereka. / "Mawar, anggrek, anyelir, tulip, chrysanthemum, lily, mawar, daisy, dan akasia. Kusampaikan perasaan cintaku melalui mereka."
.
.
A/N
New fic lagi. Secara tiba-tiba ide cerita ini muncul di kepala saya. Dan jadilah fic ini! :D
Enjoy reading.
Gadis bersurai pirang itu terus berjalan ke arah toko kecil yang berada di seberang jalan. Ia terus menggelengkan kepalanya, menghilangkan pikiran yang sebenarnya masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Ucapan teman-temannya sukses membuatnya tidak nyaman. Gadis itu bukanlah seorang gadis yang populer. Ia cantik memang. Namun dalam kegiatan kelas atau pun luar, ia lebih cenderung diam dan mendengarkan.
Perlahan kakinya melangkah ke dalam toko yang berukuran agak minimalis itu. Ketika ia membuka pintu, krincingan bel terdengar dengan jelas, menandakan ada seseorang yang membukanya.
Suasana hangat nan manis dari dalam toko itu menyambutnya. Gadis itu masih menapakkan kakinya pelan-pelan ke dalam toko itu, menyusuri toko itu dengan tatapan ringan dari matanya yang berwarna biru langit sebelum akhirnya ia memenuhi keinginannya semula, yaitu membeli barang yang ada di toko itu.
Gadis itu keluar dari toko itu dengan menggenggam sebuah kantong plastik berwarna putih. Dapat dilihat kantong plastik itu menggembung karena barang yang ada di dalamnya. Ia terus berjalan ke arah sebelumnya, menuju rumahnya. Ia berjalan menyebrangi jalan di zebra cross yang bergaris hitam-putih itu.
Dan ia tidak menyadari bahwa sebuah truk besar dari sampingnya berjalan dengan kecepatan penuh, membuat nyawanya terancam.
"Awas!" Gadis itu menoleh ke samping dan mendapati truk besar itu kini semakin mendekat ke arahnya. Truk itu terus berjalan seakan tidak ingin menghentikan mesinnya sebelum sampai ke tujuan. Mata gadis itu membesar. Sebelum ia sempat bertindak, ia merasakan sesuatu yang berat jatuh di atasnya.
Gadis itu terlempar lumayan jauh dari area zebra cross tadi. Ia menahan sakit yang berada di kaki belakangnya. Rupanya kaki belakangnya itu membentur trotoar.
Gadis itu membuka sebelah matanya, disusul dengan mata yang satunya lagi. Ia membelalakkan matanya begitu menyadari ada sesuatu yang berat berada di atasnya. Seorang pemuda yang terlihat seumuran dengannya. Pemuda itu memiliki rambut pendek yang serupa dengannya.
Perlahan-lahan mata pemuda itu terbuka. Ia pun kaget ketika melihat posisinya yang berada di atas si gadis. Dengan cepat ia bangkit berdiri dan membenari posisinya menjadi posisi duduk.
"Ma-Maaf!" Ia membuka percakapan sambil menunduk berulang kali. "Maaf!"
Gadis itu pun duduk dan kini berdiri. Ia mengulurkan tangannya pada pemuda itu untuk membantunya berdiri, tidak memedulikan orang-orang yang melihat keadaan mereka yang agak aneh.
"Maaf. Aku sangat minta maaf."
"Tidak apa-apa. Kau yang menyelamatkan nyawaku. Seharusnya aku yang berterima kasih. Kau tidak salah, kok." Gadis itu tersenyum manis.
Namun senyuman manis itu segera hilang, digantikan dengan kerutan di kening yang mendalam. Ia segera menarik pergelangan tangan pemuda itu agar mendekat padanya.
"Keningmu... berdarah. Pasti karena menolongku," ujarnya khawatir dengan mimik muka tidak senang.
Pemuda itu menjauhkan diri dari gadis itu. "Ahahaha. Tidak apa. Ini hanya luka kecil saja. Percayalah, ini bukan apa-apa." Ia berusaha menutupi kegugupan yang ada di dalamnya.
Tanpa menunggu persetujuan dari teman barunya itu, gadis bersurai pirang itu segera menarik pergelangan pemuda itu, berjalan ke rumahnya. Ia meninggalkan kantong plastik putih yang tadi dibawanya dari toko kecil berukuran minimalis.
.
.
"Nah, begini kan, lebih baik." Ia menempelkan perekat luka di kening pemuda yang berdarah itu. Temannya meringis saja, menahan sakit.
"Siapa namamu?" tanya pemuda itu ketika si gadis sibuk membereskan peralatan obat-obatan yang tadi dia gunakan untuk mengobatinya ke dalam kotak obat berwarna putih.
"Eh?" Gadis itu menoleh dan menghentikan pekerjaannya sejenak. Namun tak lama kemudian ia menjawab. "Lenka Hanami."
"Hanami? Itu kan..." Lawan bicaranya menahan tawanya dengan kedua tangan, sementara gadis bersurai pirang yang bernama Lenka itu menggembungkan kedua pipinya.
"Kenapa? Itu memang namaku. Apa ada yang salah?" tanyanya dengan nada jengkel. Akhirnya lawan bicaranya itu sukses menghentikan tawanya yang tertahan. Ia hanya tersenyum.
"Tidak. Hanami itu, kan, artinya 'melihat bunga sakura'," jawabnya lagi sambil tersenyum. Lenka hanya terdiam. Ia tahu akan namanya itu, tapi ia tidak mengerti kenapa kedua orang tuanya memberikan nama seperti itu padanya.
"Kalau namamu?" tanya Lenka balik seakan mengabaikan perkataan temannya.
"Rinto Kagamine."
"Oh?"
"Ya. Kenapa? Kau bisa panggil aku Rinto. Dan bolehkah aku... memanggilmu Lenka?"
Perbicaraan singkat itu terasa cepat. Lenka terdiam sejenak. Kemudian ia mengangguk sebagai jawaban.
"Ya, kau boleh memanggilku Lenka, Rinto," jawabnya. Rinto hanya tersenyum tipis. Tapi senyuman itu berubah menjadi ekspresi panik ketika ia melihat di luar sudah gelap. Ia melihat ke arah jam dinding yang berada di belakang Lenka.
"Wah, tak terasa sudah pukul enam. Sebaiknya aku pulang saja. Sampai jumpa, Lenka. Aku harap kita bertemu lagi, sesegera mungkin," jawab Rinto. Ia segera berdiri dari duduknya. Sebelum Lenka membalas, ia sudah menyelanya terlebih dahulu.
"Dan terima kasih atas pengobatanmu ini, ya. Sampai jumpa." Rinto meninggalkan sebuah senyum manis sebelum ia keluar dari rumah teman barunya itu, tanpa memberinya kesempatan bicara.
Lenka hanya terdiam, menatap pintunya yang kini agak terbuka. Ruangannya sepi seketika. Ia merasa keheningan seakan melanda. Kini rumahnya menjadi gelap dan sepi lagi. Ia akan sendirian lagi. Sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu.
"Oh, iya! Aku lupa membawa pulang bunga yang kubeli tadi!" Lenka dengan kesalnya melempar bantal yang berada di sofa sehingga bantal berukuran mungil itu membentur tembok dan terjatuh ke lantai.
Ia lupa membawa benda yang dibelinya tadi, beberapa kuntum bunga.
.
.
Lenka melangkahkan kakinya ke dalam kelas sementara tangannya membuka pintu yang berada di hadapannya.
"Ohayou..." Gadis itu menyapa pelan seluruh penghuni kelas, seperti biasanya. Dan seperti biasa, tak ada yang membalasnya. Lenka kemudian melakukan hal yang biasanya ia lakukan, menghela napas. Pagi ini juga biasa-biasa saja, tak ada yang berubah semenjak ia membuka matanya di pagi hari.
Ia berjalan pelan menuju mejanya yang berada di belakang, di pojok kanan kelas yang sisinya sempit. Punggungnya saja hampir menyentuh tembok, atau kadang-kadang ia terpaksa bersender di tembok.
Lenka menarik napas dan meletakkan tas tangannya yang berukuran sedang dan juga file serta buku-bukunya yang ia bawa dengan satu tangan sejak tadi. Tepat sebelum ia menarik kursi, ada seseorang menabraknya.
"Aduh!" pekik Lenka kaget akan tubrukan keras dari orang tersebut.
"Jangan berdiri di sini! Kau tahu bahwa kelas ini sudah sempit dan banyak sekali yang mondar-mandir ke sana kemari. Seharusnya kau duduk saja di tempatmu yang terpencil itu!" seru gadis yang menabraknya dengan pedas.
Tanpa memedulikan Lenka yang masih dalam posisi terjatuh di lantai, ia melewatinya beserta ketiga temannya.
Lenka hanya berusaha menahan air matanya yang sudah nyaris keluar. Ia berdiri dengan hati-hati agar kehadirannya tidak disadari oleh teman-teman sekelasnya juga tidak menimbulkan bunyi yang membuat situasi semakin parah.
Dengan cepat ia menarik kursinya dan duduk di kursi itu. Ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Sebenarnya ia ingin keluar dari kelas dan menjauhkan diri dari teman-temannya sejenak. Tapi situasinya tidak memungkinkan. Kelas sudah ramai dan mereka akan mudah mendapatinya menangis.
Ia tahu siapa teman yang mendorongnya tadi itu. Miku, gadis paling populer di kelas ini beserta tiga teman atau lebih tepat disebut "pengikutnya" yang bernama Zatsune, Lily, dan SeeU.
Lenka hanya menunduk sementara dari luar terdengar bunyi bel yang sangat nyaring. Teman-temannya segera bergegas-gegas masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi masing-masing. Hingga saat semua sudah duduk di tempat masing-masing, kursi di sebelah Lenka masih saja kosong.
Gadis itu hanya duduk sambil menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya. Ia berusaha menyembunyikan air matanya yang bisa mengalir kapan saja.
Gadis itu tak mendengar perkataan gurunya yang berada di depan kelas, yang sedang memperkenalkan seorang murid baru yang pindah ke kelasnya. Ia bisa mendengar teriakan-teriakan teman-teman perempuannya yang menandakan bahwa mereka senang.
Gadis itu tak peduli dengan keadaan sekitarnya. Ia tak peduli akan murid baru itu. Murid baru itu pasti akan memojokkannya, sama seperti teman-teman sekelasnya. Hingga ia merasakan sentuhan di kulit lengannya dengan pelan.
Ia mengangkat kepalanya, lupa bahwa matanya sudah dibasahi sedikit air mata. Namun saat ini bukan itulah yang penting, yang penting adalah apakah penglihatannya benar atau salah. Apakah sosok yang ada di hadapannya ini benar-benar nyata.
"Kau..." Lenka baru saja membuka mulut.
"Ada apa, Kagamine-san? Ada yang salah?" Guru yang sedari tadi berdiri di depan kelas akhirnya membuka mulut.
"Tidak ada apa-apa, Kaito-sensei. Semuanya baik-baik saja. Saya bisa duduk di sini, bukan?" jawab murid baru itu dengan cepat sambil menunjuk kursi kosong yang berada di sebelah Lenka.
"Tentu. Kau sendiri yang meminta untuk duduk di sana, kan? Lagipula kursi kosong di kelas ini hanya itu," jawab guru berambut biru tua itu.
Murid baru itu mengangguk dan menarik kursi tersebut. Ia mendudukinya dan meletakkan barang-barang bawaannya yang mengundang perhatian seluruh kelas. Sungguh, murid baru itu terlalu mencolok.
"Kita bisa lanjutkan pelajarannya?" tegur Kaito-sensei. Secara serempak anak-anak didikannya membalikkan tubuhnya ke depan dan mulai menyimak pelajaran yang diberikan.
Lenka berusaha mengusir pikiran aneh yang berada di pikirannya. Mana mungkin itu Rinto? Mungkin ada yang salah dengan matanya sehingga ia salah liat. Biar bagaimana pun ia habis menangis.
Ia segera menengok begitu merasa lengannya disenggol lagi. Murid baru itu tidak memperhatikannya, perhatiannya menuju ke depan di mana tempat Kaito-sensei menjelaskan. Namun ia menangkap sebuah kertas putih yang berada di antara mereka berdua.
Dengan pelan ia meraih kertas itu dan melihat isinya.
Waktu pulang sekolah nanti kutunggu kau di atap sekolah. Maaf mengganggu.
Jantung Lenka berdegup keras. Ia mulai merasa yakin akan apa yang ada di pikirannya sedari tadi. Apa benar murid baru itu adalah Rinto? Rinto yang ia kenali kemarin?
.
.
Terdengar bunyi sentakan pelan yang dihasilkan dari kaki Lenka yang disentakkan ke tangga yang lumayan tinggi itu. Ia terus melangkahkan kakinya ke tangga berikutnya hingga tak ada lagi tangga yang tersisa dan ada pintu berwarna cokelat di hadapannya.
Dengan pelan dibukanya pintu tersebut. Suasana terang menyambutnya dengan hangat. Semilir angin membuatnya merasa nyaman. Ia dapat melihat murid baru itu berada di tempat yang agak jauh dari pintu masuk.
"Ada apa?" tanya Lenka ketika ia berhasil menyusul murid baru yang memintanya bertemu tadi. Murid baru itu tampak kaget, ia segera menoleh ke arahnya. Begitu melihat bahwa yang datang hanyalah gadis yang duduk di sampingnya, ia kembali tenang.
"Namaku Rinto Kagamine. Salam kenal, Lenka Hanami." Ia mengulurkan tangannya dan memasang seulas senyum.
"Kalau kau sudah tahu namaku, kenapa kau masih mau berkenalan denganku, Rinto? Apa kau tidak merasa aneh?" balas Lenka sambil mengerutkan kening.
"Aku tidak sungguh-sungguh." Rinto menarik kembali tangannya dan menyusupkannya di saku. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kau masih ingat padaku atau tidak. Kita baru bertemu kemarin, kan?" jawab Rinto beralasan.
Lenka hanya mengangguk. "Tentu saja aku ingat."
Rinto tersenyum. Kemudian ia mengeluarkan satu tangan kirinya yang ia sembunyikan sejak tadi. Benda yang berada di tangan itu ia pindahkan ke tangan kiri. Dengan pelan ia menyelipkan benda tersebut di balik telinga Lenka, membuat gadis itu memejamkan matanya serta jantungnya yang berdegup dengan cepat.
Lenka membuka matanya begitu mengetahui bahwa Rinto sudah menarik tangannya kembali. Ia menyentuh benda yang diselipkan Rinto di telinganya. Sesuatu yang lembut.
"Bunga?" tanyanya sambil memegang bunga itu namun tidak melepaskannya.
Rinto mengangguk, masih dengan tersenyum. "Bunga mawar kuning. Artinya 'awal baru'. Senang bertemu denganmu, aku ingin kita berteman baik setelah ini. Mohon bantuannya," jelas Rinto sambil sedikit membungkuk.
"Ng..." Lenka tampak sibuk mencari jawaban yang tepat sementara jantungnya berdegup cukup keras dan pipinya mulai mengeluarkan rona-rona tipis yang membuatnya terlihat semakin imut.
"Ah! Sudah sesore ini. Aku tidak menyadarinya bahwa sekarang sudah pukul empat. Aku harus pulang. Senang bertemu denganmu. Sampai jumpa besok. Mohon bantuannya mulai saat ini!" seru Rinto. Ia berlari menuju pintu keluar sebelum Lenka sempat membuka mulut.
Ia membuka pintu keluar dan melambaikan tangan pada Lenka dari kejauhan sambil memasang senyum lebar. Kemudian ia segera keluar dan menutup pintu.
Tanpa Lenka sadari sendiri, bibirnya membentuk seulas senyum. Ia tersenyum kemudian meraih bunga yang diselipkan Rinto di telinganya.
"Bunga mawar kuning, ya..." Ia berbicara sendiri sambil menatap bunga yang berada di genggamannya itu.
"Yang berarti 'awal baru'."
.
.
To be continued
A/N
Huwee... Gomen kalau pendek dan abal, minna. Kali ini saya mau coba buat fic dengan satu POV. Semoga bisa (9owo)9
Mind to RnR, minna? XD
