Nokosareta Kioku no Ending Story?
(Is This an Ending Story of The Memories are Left Behind?)
© Ryuu Dearu
Kuroko no Basuke ©Fujimaki Tadatoshi
Warning : OOC, typo, MxM, AU, twoshoot
This story created to respond the challenge from my—ehm, what shud i call our relationship, Na?—well, whatever, the challenge comes from Natha (Alenta93) and the theme is nokosareta memorii (memories are left behind)
And i really apologize for the neglected chap-story, KATAOMOI, that havent been continued. Its not about writerblock or something, but bcause of so many tasks, final exam and i've to finish this challenge and a writing competition soon. m( _ _)m
***enjoy***
Kise membuka mata dan mendapati dirinya berada di sebuah padang rumput yang di kelilingi pepohonan. Disana sunyi. Hanya sesekali terdengar suara kicauan burung gereja yang di terbangkan hembusan angin, perlahan menyapa daun telinga dan menggetarkan gendangnya. Membuatnya berusaha mengingat, tempat apa itu. Tak lama setelah ia edarkan pandangannya, menjelajah tiap sudut hutan kecil itu, ia menemukan sesosok bocah mungil duduk tenang bersandar di salah satu pohon rindang. Ia sedang menunduk, menuliskan sesuatu di sebuah buku yang ia letakkan di atas tekukan lututnya sebagai alas. Helaian rambut bocah itu menyala diterpa sinar matahari musim panas. Musim panas? Darimana ia tahu? Entah. Ia tak dapat mengingat detailnya. Ia hanya merasakannya. Rasanya begitu hangat. Membuatnya rindu akan sesuatu. Suasana itu... perasaan yang menyenangkan itu... dan seseorang. Seseorang yang selama ini ia penjarakan dalam memory. Seseorang yang selalu memberinya pandangan teduh dan senyum hangat. Sehangat musim panas.
Kise merasakan matahari memuncak di atas kepalanya, bersinar cerah. Terlalu cerah. Silau. Ia pun memejamkan matanya. Sekarang ia tidak lagi merasa hangat, namun panas. Jantungnya berdetak amat kencang. Ia bahkan bisa merasakan peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Tak tahan, ia berusaha melepas tiap helai pakaian yang ia kenakan. Dan ketika membuka mata, ia mendapati sekelilingnya gelap. Sebuah ruangan kecil dengan atap miring dan jendela segitiga besar dengan kaca bening yang mengekspos cahaya temaram bulan separuh.
"Kau sudah bangun rupanya?" Sebuah suara memaksanya membuka mata. Ia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu yang tiba-tiba menyala. Orang itu yang menyalakannya. Ketika matanya telah terbuka sempurna dengan kesadaran yang kian penuh, ia tahu dirinya sedang terbaring manis di atas ranjang double size berbalut selimut putih tebal. Ya. Hanya selimut. Ia memang merasa panas sebelumnya, tapi ia bukan orang gila yang akan menanggalkan pakaiannya pada cuaca dingin di bulan Januari seperti ini. Itu jika ia sendiri yang melepasnya. "Jadi, mau sampai kapan kau tidur di kasurku, memakai selimutku dan membuat kamarku bau alkohol?" Suara itu kembali berkumandang angkuh, mengusirnya.
"Kau... siapa?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut tak tahu diri pemuda pirang itu. Tak lama ia berhasil mencerna tempat apa itu sebenarnya. Benar, ia sedang berada di sebuah bar di kawasan Kabukichou, menyesap beberapa gelas liqueur1 , vodka dan entah apalagi, sebelum ia jatuh tak sadarkan diri karena mabuk. Lalu, yang masih tak ia mengerti, mengapa ia bisa terdampar di tempat ini—semacam kamar tidur sederhana yang lantai, dinding dan langit-langitnya terbuat dari kayu. Ia menatap langit-langit miring di atasnya, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di kamar loteng ini. Namun, tak lama kemudian ia berhenti mencoba, ketika kepalanya terasa seolah dihantam palu baja.
"Cih, jadi kau tak ingat?" Pemuda bersurai merah itu mengitari ruangan, mengambil helaian baju dan mantel yang familiar bagi Kise. "Pegawaiku yang membawamu kesini saat kau pingsan. Sudah untung kau tak kubuang di jalanan." Pemuda itu mendekat, melemparkan pakaian Kise pada pemiliknya. "Pakai dan cepat pergi dari sini!"
Seperti yang dititahkan, Kise memakai pakaian branded dengan bahan terbaik miliknya itu. Walau sebenarnya sebagai model, tentu ia akan terlihat tampan dengan pakaian apapun.
"Terima kasih. Maaf ya telah merepotkanmu. Jangan khawatir, aku akan membayar tagihanku. Dan, oh ya, boleh kutahu siapa namamu?"
"Akashi," Jawab pemuda bermata unik itu, seolah tak berminat memberitahukan namanya.
Sejenak Kise tercenung. Nama yang tak asing baginya itu mengusik sesuatu yang tak seharusnya kembali mengudara dalam kepalanya. Sebuah memory yang seharusnya dibiarkan terpendam begitu saja meski tak berniat ia membuangnya. Tapi, marga seperti itu bukan hanya satu orang yang memilikinya, kan? Ada banyak nama orang yang bermarga Akashi di Jepang ini. Ya, dia percaya itu. Jadi, tidak mungkin orang ini adalah Akashi yang ia kenal dulu.
"Aku Kise. Kise Ryouta." Kise mengulurkan tangannya yang tak pernah disambut oleh pemuda bermata heterochrome itu.
"Ya, aku tahu. Seluruh negeri telah membicarakanmu sepanjang hari. Memangnya siapa yang tak tahu model terkenal sepertimu? Kau pikir aku orang pedalaman?" Kalimatnya pedas, namun sama sekali tak membuat Kise tersinggung. Kise menurunkan tangannya yang terabai di udara kemudian tersenyum canggung.
"Benarkah? Aku tak tahu kalau aku sepopuler itu," Ia tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Kuharap aku bisa sering-sering kesini di sela-sela waktu pemotretanku. Sampai bertemu lagi, Akashicchi," Pemuda bermata madu itu melambaikan tangannya, tersenyum lebar sebelum melesat pergi. Seolah sedang menggantikan matahari yang tak nampak malam ini, terpancar seberkas sinar delusi dari wajahnya yang rupawan. Meninggalkan jejak manis. Aroma campuran vodka dan orange juice dari screwdriver yang semalam disesapnya. Akashi sudah terbiasa dengan aroma-aroma menyengat itu, namun, kali ini ia merasa mual.
000
Entah kenapa, Kise tak dapat menahan rasa penasaran dalam dirinya akan sosok arogan itu. Helaian lust red yang berkilau samar, juga orbs gold-ruby yang selalu menatap datar. Sejak ia minum dan pingsan di sebuah bar kecil lantaran kabur dari pemotretan untuk salah satu majalah ternama—karena ia malas dengan sesi wawancara yang bertele-tele, yang mengharuskannya memasang topeng derederenya kemudian menjawab seluruh pertanyaan yang mayoritas tentang kehidupan pribadinya itu dengan kebohongan—Kise tak dapat melupakan tatapan pemuda itu. Apapun itu, yang jelas, Kise tak pernah percaya dengan yang namanya love at first sight. Tidak pernah. Ya, mungkin ia tak akan percaya akan hal-hal seperti itu lagi. Ia merasa terlalu buruk untuk jatuh cinta lagi.
000
Suatu hari—masih akhir musim dingin di tahun yang sama—Kise melarikan diri, lagi, dari pekerjaannya. Persetan dengan segala pemotretan, wawancara, syuting iklan dan blablabla lainnya. Ia lelah. Bosan dengan segala rutinitas tak berujung yang kian membebani pundaknya. Selama belasan tahun ini, ia sudah cukup merasakan manisnya dunia hiburan. Ia mengawali karir dari nol dan tak butuh waktu lama untuk naik daun. Tentu saja, ia dianugerahi wajah yang menawan, tubuh proporsional, belum lagi IQ-nya yang di atas rata-rata. Seolah hidupnya begitu sempurna. Begitu mudah. Ya, itu yang orang lihat dari 'kemasan luar'nya.
Malam itu, Kise membawa tas rensel menyusuri jalanan padat di Kabukichou. Ia berharap lampu-lampu gemerlap di sepanjang distrik itu dapat mengkamuflasekan eksistensinya. Tentu saja, ia kan sedang melarikan diri. Kalau sampai ada yang menemukannya berkeliaran dengan tampilan aneh—kacamata dan topi mencurigakan, ransel, kaus lusuh dibalik mantel hitamnya, jeans-belel-robek-sana-sini—pasti akan segera terjadi kegaduhan di media masa.
Pemuda pirang awal dua puluh tahunan itu berbelok ke salah satu bar kecil di sebuah gang yang agak sepi. Ia masuk, melewati beberapa meja yang telah penuh oleh pelanggan, dan langsung menguasai salah satu kursi tinggi di depan pantry yang dipenuhi jajaran berbagai botol alkohol.
"Satu screwdriver," Ujarnya pada salah satu bartender tanpa berniat melepas topi dan kacamatanya. Bartender yang bersangkutan segera mencampur vodka dan jus jeruk kemudian menuangnya pada gelas pendek berisi batu es dan menggarnisnya dengan untaian cherry merah di bibir gelas. Ia menyesap minuman beralkohol rendah itu perlahan, menikmati sensasi dingin vodka dan asam manisnya sunkist yang membasahi rongga mulut serta kerongkongannya. Kepingan ambernya masih awas, mengawasi sekitarnya lewat kaca etalase—lemari penyimpanan botol-botol alkohol—di depannya yang memantulkan pemandangan di belakangnya. Bukannya paranoid. Ia hanya ingin memastikan tak ada wartawan, paparazzi atau semacamnya sedang menguntit. Kali ini Kise menenggak habis screwdrivernya kemudian menyodorkan gelas beserta bongkahan kecil batu es yang tersisa, meminta isi ulang.
"Apa yang kau lakukan dengan penampilanmu, Tuan Model?" Suara datar itu nyaris membuat Kise terlonjak. Pemuda bersurai merah itu berdiri di hadapannya—entah sejak kapan—bertanya sambil menyodorkan segelas screwdrivernya, yang ke dua.
"Akh! Ssssshhhtttt!" Kise tersentak berdiri sambil menempelkan jari telunjuk pada bibirnya yang mengerucut, membuat gestur 'Diamlah! Aku bisa ketahuan!'. Panik. Dan, malah bertingkah semakin mencurigakan. Setelah disadarinya—ketika sudah terlambat—seorang pria paruh baya berpakaian kasual dengan mantel abu-abu, berjalan ke arahnya. Crap, umpat Kise ketika sadar bahwa orang itu adalah managernya dari agensi model. Sial. Ini benar-benar—
Sebuah sentakan menghentikan jalan pikiran, bahkan kepanikannya yang memuncak, dan menggantikannya dengan keterkejutan yang lain. Kau tahu, seperti saat jarimu tak sengaja tersulut api ketika menyalakan rokok. Panas itu menjalar ke sekujur tubuh Kise ketika bibir mereka menempel satu sama lain. Membuat aliran darahnya seolah mendidih dan menyembulkan guratan-guratan merah padam pada muka hingga telinganya. Ya. Pemuda bersurai lust red itu menarik lengannya, membuatnya tersuruk ke arah pantry dan dalam timing yang tepat sebelum Kise benar-benar terjatuh, ia mengecup bibir Kise.
"T-tunggu...apa yang—," Gumam Kise berusaha melawan.
"Diam dan lakukan ini dengan lebih baik kalau kau tidak ingin tertangkap," Ancam pemuda yang berdiri tanpa jarak di depannya. Deru hangat yang membawa aroma mint segar keluar dari mulutnya membuat Kise tak berani bergerak se-inchi-pun. Pemuda itu melucuti kacamata Kise kemudian menutup kelopak matanya sendiri, menyembunyikan kepingan heterochromenya seolah menikmati ciuman malam itu.
Tak ada pilihan lain—atau, memang ia sengaja memilih pilihan ini—menumpukan sebelah tangan pada pantry bar dan sebelah lagi meraih tengkuk pemuda berparas mungil itu, Kise membalas ciumannya, lebih. Lagi dan lagi, mereka saling membuka mulut, bertukar saliva dengan lidah masing-masing. Tak menghiraukan berbagai pandangan di sekitar mereka. Anggaplah Kise berhutang nyawa pada pemuda ini.
"Ijinkan aku tinggal dan bekerja di bar ini. Kumohon,"
000
You'd love me to stay here
I hate you
Can you admit you're wrong?
No never
It's like you said
Ending Story? – One Ok Rock
000
"Ryouta, bersihkan meja paling depan yang baru saja kosong!"
"Baik'ssu!"
Seminggu berlalu sejak 'ciuman sandiwara' yang mereka—Akashi dan Kise—pertontonkan di bar milik Akashi untuk menghindari manager Kise. Sejak itu pula, Kise yang tak punya tujuan lain, menetap di tempat Akashi dan menjadi salah satu pegawai barnya. Namun, bagi seorang Kise Ryouta yang selalu tampak sempurna di berbagai majalah maupun layar kaca itu, ternyata tak mudah menghadapi botol-botol kaca, gelas-gelas tinggi dan beberapa customer yang tak jarang melakukan pelecehan pada pelayan. Apalagi paras Kise yang begitu menawan meski hanya berbalut kemeja putih, celana kain dan celemek hitam sederhana yang terikat di pinggangnya serta scraft putih yang membalut kepalanya. Belum lagi wajahnya yang cenderung cantik daripada tampan itu didukung helaian pirang yang tersisa—tak terbalut scraft—mencuat menutupi garis pelipis, telinga dengan satu piercingnya, hingga leher, agaknya akan menjadi sasaran empuk bagi para hidung belang yang berkunjung ke bar.
PRAANG!—Satu lagi gelas bertangkai tinggi yang pecah untuk malam ini.
"Aah, sumimaseeeennnn'ssu!" (Aah, maaaafkaan aakuu'ssu!) Kise berteriak dengan suara hampir menangis.
"Sekali lagi kau pecahkan gelas-gelasku, kupastikan kau tidur di jalanan setelah bar tutup," Ujar Akashi tanpa tedeng aling-aling.
"Maafkan aku Akashicchi... aku kurang hati-hati. Maaf'ssu."
"Sudahlah. Lanjutkan pekerjaanmu!"
Kise membungkuk kemudian bergegas membereskan kegaduhan yang ia buat.
Menjelang pagi, setelah bar tutup dan setelah para pegawai membereskan semuanya, biasanya Akashi masih akan tetap disana, berkutat dengan botol-botol alkohol dan gelas shaker. Membuat seluruh ruang bar tak kehilangan aroma khasnya meski sudah tak ada pengunjung.
"Akashicchi, sedang bereksperimen lagi?"
Akashi tersentak. Hampir saja sebotol tequila2yang mahal itu meluncur bebas dari tangannya.
"Jangan datang mengendap-endap seperti itu!"
"M-maaf... Aku tidak bermaksud... Lagipula, kenapa kau tidak menyalakan lampu? Memangnya kau bisa melakukannya dengan benar kalau gelap begini?" Ujar Kise sambil mendekat untuk meraih tombol saklar yang melekat pada tembok, tak jauh dari tempat Akashi yang berdiri di ujung pantry bar. Begitu lampu menyala, ia baru sadar betapa dekatnya posisi mereka saat ini. Seolah-olah ia sedang memojokkan Akashi yang kini merapat pada tembok.
"Kau tak apa, Akashicchi? Mukamu merah'ssu yo. Apa kau terlalu banyak mencicipi campuran cocktail3 yang kau buat?"
"Aku baik-baik saja. Cepat menyingkir, kau terlalu dekat."
"Ah, maaf." Kise segera mengambil beberapa langkah mundur. "Apa kau sudah selesai?" Tanya Kise seraya melirik beberapa gelas bekas pakai yang tergeletak begitu saja di wastafel. "Biar aku yang mencuci—"
"Tidak. Biar kukerjakan sendiri," Sergah Akashi.
"Eh? Kenapa?"
"Aku tidak akan membiarkanmu memecahkan lebih dari dua gelas setiap malam. Setidaknya untuk malam ini."
"Hee, hidoi'ssu! (Eeh, tega'ssu!) Aku kan sudah bilang tidak akan melakukannya lagi. Aku akan berhati-hati, Akashicchi. Percayalah padaku!"
"Tidak. Terakhir kali aku mempercayaimu, setelah itu kau memecahkan tiga gelas tangkai kesayanganku dalam satu malam. Kau tahu, gelas seperti itu harganya mahal. Kau ingin membuatku cepat bangkrut?" Akashi bersikeras dengan nada absolutnya.
Kise hanya bisa pasrah sambil mengerucutkan bibirnya. Kebiasaannya sejak kecil. Ketika ia tak puas akan sesuatu, ia akan menunjukkan mimik wajah merajuk yang menggemaskan itu kemudian merenggut simpati lawannya sehingga rela mengalah dan melakukan apa yang dia minta.
"Baiklah, kita cuci sama-sama," Kata Akashi akhirnya.
Seketika, senyuman cerah bak matahari menguasai wajah sang model—atau, mantan model? Entahlah. Berita terakhir yang muncul di media masa setelah kegaduhan yang ia buat dengan melarikan diri, ia dikabarkan hiatus untuk sementara waktu karena harus melanjutkan study ke luar negeri. Yah, pastilah itu hanya alasan yang dibuat agensi untuk menutupi masalah yang ia buat.
"Hei, Ryouta, perhatikan arah tanganmu! Kau membuat bajuku basah," Suara ketus Akashi menyadarkannya dari lamunan. Namun, bukannya melakukan seperti peringatan Akashi, Kise justru sengaja menyiprat-nyipratkan air sabun yang berbusa hingga mengenai ujung lengan kemeja Akashi yang digulung hingga siku.
"Oi, kau sengaja ya?!" Nada Akashi meninggi. Dan bukannya takut, senyum devil justru terbit di wajah angel itu. "Tunggu sampai aku membalasmu," Ujar Akashi sambil menyipratkan air keran yang mengalir tepat ke arah wajah Kise.
"Ahhh! Mou... Aku tak menyiramkan air sebanyak ini padamu Akashicchi... Hidoi'ssu..." Protes Kise pura-pura merajuk ketika mendapati wajah dan kemeja bagian depannya basah kuyup.
"Pembalasan selalu lebih kejam, Ryouta. Ingat itu,"
"Maksudmu seperti ini?" Tiba-tiba Kise membalurkan busa sabun pada pipi pualam Akashi, membuat matanya refleks terpejam sesaat. Kekehan lembut keluar dari mulut Kise.
"Kau...!" Geram Akashi, pura-pura marah namun menahan senyum juga.
Perang air dan busa sabun pun masih berlanjut. Kekehan geli keduanya menghapus atmosfer dingin yang biasanya selalu menyapa tempat itu.
000
Akashi terjebak dalam ilusi, lagi. Rumput hijau yang agak basah oleh embun pagi, pepohonan rindang dengan dahan-dahan berwarna klorofil, juga sinar tipis mentari yang menembus celah batang pohon. Segalanya tampak nyata. Yang paling penting, ini bukanlah konsep belaka. Ya, tempat itu memang ada. Belasan tahun lalu, Akashi meletakkan kenangan-kenangan tua itu disana. Meninggalkannya.
Hingga saat ini, ilusi yang terbentuk dari kenangan itu kembali mengusiknya. Menelusup ruang memory lewat alam bawah sadarnya. Itulah salah satu alasan mengapa ia mendapati lingkar hitam di bawah matanya tiap kali terbangun di pagi—oh bukan, siang atau bahkan sore hari. Selain itu, tentu ada alasan yang lebih spesifik. Akashi tidak pernah bangun di pagi hari. Bagai sesosok vampire, ia tak pernah menyapa sinar matahari lagi. Bagai seekor kelelawar, ia memulai harinya justru ketika matahari telah terbenam. Ya, saat itulah ia mulai menyusun botol-botol berbagai tinggi dengan isi bermacam jenis alkohol. Menjajarkannya rapi pada lemari-lemari kaca di balik pantry bar miliknya di kawasan Kabukichou. Bar kecil itu ia warisi sejak usianya menginjak lima belas tahun. Ya, sejak ia memutuskan untuk tak lagi melanjutkan sekolahnya dan terdampar seorang diri di lingkungan distrik yang ganas itu. Bukannya ia ingin, tapi ia harus. Keadaanlah yang memaksa. Dan ia sadar, takdir tengah mempermainkannya lagi ketika dirinya dipertemukan dengan pemuda pirang itu. Pemuda dengan senyuman bak matahari. Seperti matahari yang sempat menghilang setelah menjanjikan cahaya terang, membuat hidupnya gelap, kemudian tiba-tiba kembali memunculkan seberkas sinarnya.
000
Malam itu, pengunjung bar makin ramai berdatangan hingga Akashi, yang biasanya hanya melayani mereka di balik pantry bar, harus ikut turun menulis dan mengantar pesanan dari meja ke meja.
"Oi, anak muda, bawakan buku menunya!" Teriak salah satu customer pria yang berkumpul di meja paling ujung. Akashi segera beranjak setelah selesai mengantar pesanan di meja sebelumnya. Tampaknya para pegawainya pun sedang berkutat dengan kesibukan lain.
"Silakan, Tuan," Ujar Akashi sambil menyodorkan buku menu, sopan.
Salah satu pria yang mengerumuni meja itu bergumam tak jelas sambil membolak-balik buku menu di tangannya. Mau tak mau Akashi harus mendekatkan diri padanya. Sedikit menunduk ke arah pria paruh baya itu, Akashi mencoba bertanya, "Apakah anda sudah memutuskan mau pesan apa, Tuan?"
"Berikan aku scotch4...," Bisiknya di telinga Akashi. Akashi baru saja mau membuka mulut untuk menanyakan hal yang sama pada beberapa pria lain yang ada di sana ketika ia merasakan sentuhan pada area pinggangnya. Bulu kuduknya meremang ketika tangan tamu pria itu mengarah semakin turun dari area yang tadi disentuhnya, menelusup melalui celah kemeja bagian bawahnya yang tak terbalut celemek seperti yang dipakai oleh pegawai lain. Kilasan memory tak mengenakkan yang telah lama Akashi pendam kini muncul ke permukaan, memenuhi rongga otak kecilnya. Keluar dari jalur sifat Akashi yang biasanya, kini dirinya hanya bisa terdiam. Menahan amarah dan ketakutan yang berkecamuk di dadanya. Sentuhan demi sentuhan yang semakin intens dan wajah-wajah mesum itu memaksanya menarik semua ingatan masa lalu yang pahit. Trauma yang menghantamnya hingga nyaris mematung tak berdaya. Bedanya ia dengan patung adalah ia masih bernapas, tersengal di antara akselerasi degup jantungnya.
"Sudah cukup."
Sebuah tangan dengan jari-jari lentiknya menarik tangan kotor yang menjelajahi tubuh pemuda mungil itu. Akashi menoleh dan mendapati Kise—tersenyum manis, terlalu manis hingga nyaris tampak dipaksakan—berdiri tegap di sampingnya. "Banyak pengunjung lain yang menunggu meja kosong, sebaiknya anda semua segera keluar dari sini."
"Kau mau mengusir kami?!" Tanya pria itu gusar. Tangannya masih dalam cengkeraman Kise.
"Tidak. Saya hanya tidak ingin hal seperti tadi terulang lagi," Ujar Kise, masih dengan senyum palsunya.
Pria itu mendenguskan tawa. "Memangnya kenapa? Dia tampak tak keberatan dan menikmatinya."
Bagai tumpahan whisky yang kejatuhan putung rokok yang masih menyala, Kise tak lagi bisa meredam kemarahannya. Tatapannya berubah datar seiring ia berkata, "Mungkin ia tidak keberatan. Tapi, aku yang tidak suka melihatnya. Kau tahu kenapa?" Jeda. "Karena dia milikku." Ia memelintir tangan dalam genggamannya ke belakang. Menimbulkan bunyi tulang-tulang retak yang samar. "Kuulangi sekali lagi. Enyah dari sini."
Akashi sedikit melebarkan matanya, memandang lurus ke arah pemuda pirang itu. Ia hanya tak menyangka seorang Kise yang selalu dilingkupi dengan atmosfer bunga matahari itu dapat mengeluarkan geraman menakutkan dari mulutnya. Bahkan, kau tak kan pernah bisa membayangkan ini sebelumnya. Iris madu itu menatap dingin tepat ke manik mata lawan di hadapannya. Serius. Seolah sedang berkata 'Aku akan membunuhmu'. Akashi sedikit berharap pemuda idiot yang hobi memecahkan gelas itu mengambil satu yang ada di dekatnya dan menusuk pria hidung belang ini dengan pecahan yang paling tajam. Namun, tentu saja Kise tak melakukannya. Pria-pria mesum itu lari terbirit-birit sambil menggumamkan sumpah serapah meninggalkan bar.
"Kau baik-baik saja, Akashicchi?" Kise baru akan menepuk bahu pemuda mungil itu, bermaksud menenangkan sebelum ditampik keras oleh Akashi. Gerakan yang tak lebih dari refleks berlebihan. Kise terdiam, memandang nanar sosok di depannya. Tangannya masih membeku di udara.
"Maaf," Hanya itu yang digumamkan oleh pemuda bersurai merah itu seraya meninggalkan ruangan bar yang masih penuh, seolah ia sengaja ingin menghindar dari tatapan naif para pengunjung di sekitarnya.
Kise masih di sana, membekukan diri dengan pertanyaan-pertanyaan kompleks yang memenuhi kepalanya. Berbagai spekulasi terbentuk namun tak satu pun bisa ia tanyakan langsung pada yang bersangkutan. Kise masih menatap nanar sampai punggung kecil dan pundak ringkih itu menjauh dari keramaian.
000
"Kau sudah selesai?"
Suara yang familiar itu membuat Kise menoleh, berhenti dari aktifitasnya menaikkan kursi-kursi di atas meja dan membersihkan lantai bar.
"Oh— ya, sedikit lagi," Ujarnya sedikit tergagap. Tak menyangka Akashi akan secepat itu menyapanya lagi. "Ada apa?"
"Aku ingin bicara."
Kise mengangguk, bergumam setuju. Tak lama, ia menyusul Akashi naik ke kamar loteng pemilik bar itu setelah selesai berberes.
000
Kise berdiri menjajari pemuda mungil itu menghadap jendela segitiga di depannya. Tak banyak yang bisa dilihat selain atap-atap rumah, kedai dan pertokoan tetangga yang tertutup serpihan salju tipis. Salju yang seharusnya jarang turun di akhir musim dingin seperti ini. Sinar bulan terlahap sebagian oleh gumpalan awan dan kabut, apalagi bintang. Sama sekali tak nampak. Dan, oh ya, tentu saja. Ini bukan pemandangan malam tetapi dini hari—pagi hari. Tak lama berselang, matahari memamerkan sinarnya lewat ujung-ujung atap, membuat warna putih itu berkilau indah. Membagi kehangatan yang berharga di awal bulan Februari. Keheningan masih membagi jarak antara kedua pemuda itu.
"Waah, indah ya, Akashicchiiiii."
Keheningan terpatahkan seiring kehebohan yang terlontar dari bibir pemuda bermanik madu itu. Akashi menoleh datar sebelum berkedip dan menyadari helaian pirang itu berubah nyaris sewarna emas, berkilau ditempa cahaya pagi. Sadar Akashi memandangnya, Kise tersenyum lebar. Senyum naif tanpa beban. Seolah lupa bahwa ia memiliki dosa yang harus dibayar. Namun, pemuda bersurai merah yang kini menyala bagai api itu pun tak dapat memungkiri hentakan tapal kuda yang bermain dalam dadanya. Entah sejak kapan degup jantungnya terdengar lebih keras dan lebih cepat dari biasanya.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Akashicchi?" Pertanyaan itu menyentak Akashi kembali pada kenyataan.
Akashi berkedip lagi, seiring kesadarannya kembali pada kenyataan. "Arigatou na, Ryouta," Ujarnya kemudian.
"Eh? Maksudmu untuk yang tadi malam?" Kise menaikkan alisnya. "Betsuni ii'ssu yo5. Itu sudah menjadi kewajibanku. Kau kan bossku," Senyum riang itu kembali mengembang.
"Hanya itu?" Akashi memandang lekat kepingan honeydew di hadapannya. Sinar matahari semakin meninggi. Menelusup malu di antara helaian pirang itu hingga mencapai piercingnya, membuat perak itu berkilau indah. "Tadi kau bilang, tidak suka melihat orang-orang itu melecehkanku dan menyatakan bahwa aku milikmu. Apa itu hanya gertakan untuk mengusir mereka? Apa kau mengatakannya karena emosi sesaat, Ryouta?"
"Ah— itu— aku, maksudku..." Kacau. Kise tak tahu apa yang akan ia katakan. Berbagai jawaban dan alasan berputar-putar dalam kepalanya. Namun sepertinya tak ada satupun yang terlihat benar di mata Akashi. Ya, meski ia menjawab jujur, mungkin akan terlihat semakin salah.
"Sudahlah, lupakan saja. Kuanggap kita impas. Kau mengatakannya hanya untuk mendukung tindakan pertolongan—"
"Chigau'ssuyo!6" Tiba-tiba Kise menyela. "Bukan seperti itu. Aku bukan mengatakannya hanya karena emosi. Aku mengatakannya karena aku... menyukaimu."
Hening. detik-detik berlalu, terabaikan oleh keduanya.
Mencoba mencairkan suasana, Kise tertawa garing sebelum berkata lagi, "Maaf, Akashicchi, aku mengatakan hal bodoh. Kuharap kau tidak memecatku. Aku tahu posisiku disini, jadi mari kita lupakan—"
"Kenapa?" Ganti Akashi yang menyela.
"Karena kau adalah bossku dan aku adalah pegawaimu, bukan?"
"Memangnya kenapa kalau aku bossmu dan kau pegawaiku?"
"Eh? Bukankah kau sendiri yang melarang adanya hubungan khusus antar pegawai. Begitu juga dengan hubungan khusus antara boss dan pegawai, kan?
"Memangnya kapan aku bilang begitu?"
"Ha? Jadi kau lupa? Kau sendiri yang bilang bahwa harus membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi..."
"Iya. Memang benar. Tapi aku tidak pernah 'melarang' adanya hubungan khusus. Itu kan kesimpulanmu sendiri, Ryouta,"
"Apa? Jadi..."
"Jadi, maukah kau menjadi kekasihku, Ryouta?"
To be continued...
1 minuman beralkohol rasa manis dengan perisa buah, herba, rempah-rempah, bunga, biji, akar, tumbuhan, kulit kayu, dan kadang-kadang krim.
2 Minuman distilasi yang terbuat dari tanaman agave yang dibuat di sekitar kota Tequila
3 Campuran minuman yang terdiri dari minuman beralkohol sebagai bahan dasar dan bahan pemberi rasa atau warna khusus.
4 Nama salah satu jenis whisky
5 Tak masalah'ssu
6 Bukan'ssu!
