"Eomma….."
Sunyi. Tak ada jawaban.
"EOMMAAAAAAAA….."
"Astaga!". Wonwoo terperenjat. Segera menyingkirkan lengan yang tengah melilit pinggangnya dengan posesif. Kim Mingyu, suaminya, hanya menggeliat pelan. kemudian kembali menyamankan posisi tidurnya. Mengabaikan Wonwoo yang tengah meraba laci di sisi ranjang mereka. Mencari kaca matanya. Kemudian mencari baju dan celananya yang semalam terlempar entah kemana. Mengenakannya dengan serampangan. Jujur saja, wonwoo bahkan tidak menyadari bahwa bajunya terbalik. Dia terlalu terburu-buru menghampiri pintu kamarnya setelah mendengar teriakan Kim Minwoo, putra semata wayangnya yang tengah memanggilnya dengan suara serak menahan tangis.
JGLEK!
"Sayang?". Wonwoo membungkuk. Meraih minwoo dan membawanya ke dalam rengkuhan tubuh kurusnya. Membawanya masuk ke dalam ruang tidurnya. Menutup pintunya dengan pelan. melirik kearah jam dindingnya. Masih pukul 03.45. terlalu pagi bagi minwoo untuk bangun.
"aku takut eomma…"
"takut?"
"ada suara bercicit yang keras sekali dari atap kamarku beberapa hari ini.
Wonwoo terkikik. Meletakkan tubuh mungil putranya ke atas ranjangnya. "itu hanya suara tikus, tidak ada yang menakutkan"
"Tapi aku…."
"sudahlah…. Masih terlalu pagi sayang, ayo tidur". Ujarnya sembari menyingkap sebagian selimut yang mingyu kenakan.
"disini?"
"iya, lalu?"
"tidak bisakah eomma menemaniku tidur di kamarku saja?"
"disini sama saja bukan?"
"aku tidak mau disini"
"kenapa?"
Minwoo melirik mingyu sejenak, menunjukkan ekspresi gelid an takut secara bersamaan
"Appa… tidak memakai bajunya. Aku tidak mau"
BOOM!
Wonwoo melebarkan matanya. Seketika menutup selimut yang dia singkap. Mengusik mingyu yang tengah tertidur pulas. Meneguk ludahnya kasar ketika mingyu sekali lagi menggeliat dan merubah posisinya. Mengutuk dirinya sendiri yang melupakan mingyu dan aktivitas mereka sebelumnya. Kemudian beranjak berdiri dan meraih tubuh mungil minwoo. Membawanya pergi secepatnya.
"Eomma akan menemanimu tidur di kamarmu"
BLAM!
Kim Mingyu dan Jeon Wonwoo. Jika keduanya dikatakan sebagai sebuah hubungan yang kokoh, maka benar. Sebuah ikatan yang kokoh itu berawal dari dua titik rapuh yang bertemu. Kemudian menyatu perlahan. menutupi kerapuhan satu sama lain dengan titik kuat yang lain.
Jika keduanya dikatakan sebagai benda padat yang bergabung menjadi sesuatu yang absolute, maka itu juga di benarkan. Berawal dari kedua sosok yang terpisah dan berbeda, bagaikan air dan api. Bagaikan minyak dan zat cair lainnya. Kemudian menemukan celah yang perlahan menggabungkan keduanya tanpa mereka sadari.
Mereka.. bersama bukan semata karena kata cinta klasik yang sering diumbar oleh setiap orang. Mereka melewati proses yang panjang. Melangkahi perbedaan dan menghargai pendapat. Menyisihkan keegoisan dan bersikukuh pada pilihan.
Hingga tiba saatnya, dimana wonwoo, memantabkan hatinya, atas mingyu yang selalu mengukuhkan pilihan pada dirinya.
.
.
.
Flashback….
"Wonwoo…. Aku… akan pindah ke seoul"
"lalu?'. namja manis berkulit putih susu itu memicingkan mata. Menatap sosok mingyu, teman sekelasnya yang tiba-tiba berpamitan kepadanya. Mengatakan akan pindah ke seoul besok.
"Tidak… rasanya, aku hanya ingin berpamitan kepadamu"
"kau sudah berpamitan di depan kelas saat jam pelajaran terakhir"
"aku tahu… tapi aku merasa aku perlau berpamitan secara khusus kepadamu"
"apa kau teman dekatku?"
"Apa?"
"kau ada atau tidak di dalam kelas itu tak akan memberikan pengaruh apapun terhadapku. Ah.. mungkin hanya akan membuatku sedikit mudah untuk mendapatkan peringkat pertama tanpa perlu bersusah payah"
Kemudian dia pergi. Meninggalkan Kim Mingyu yang waktu itu masih berumur 13 tahun seorang diri di depan pintu gerbang DaeGook Junior High School seorang diri. Bahkan seluruh ucapan mingyu untuk wonwoo, teman sekelasnya itu belum tersampaikan sepenuhnya. Dan wonwoo? Dia pergi begitu saja tanpa mempedulikan Mingyu.
"Aku…. Hanya ingin kau tahu wonwoo, aku menyukaimu". Ujarnya pelan. menatap punggung kecil wonwoo yang bergerak semakin jauh darinya.
Harapannya sudah porak poranda. Mungkin setelah ini mingyu akan mulai mencari cara untuk melupakan wonwoo, cinta pertamanya.
.
.
.
4 Tahun Kemudian….
"liburan akan di mulai minggu depan.. jadi kuharap kalian semua harus mengumpulkan tugas dariku sebelum sabtu. Kalian mengerti?"
Hanya sebuah peringatan singkat dari Joo Seongsaengnim sebelum meninggalkan kelas hari ini.
Hari selasa yang terasa sangat panjang dan melelahkan bagi Mingyu. Hari-harinya di Seoul semakin hari semakin membosankan. Bagaikan sebuah penantian panjang tanpa kepastian tentang sebuah akhir.
Ya…. Mingyu masih menantinya.
Jeon Wonwoo….
Si manis berperilaku kasar itu semakin membayanginya seperti hantu. Bahkan setelah 4 tahun berjalan, Mingyu tak juga menemukan cara untuk menghilangkan wonwoo dari pikirannya. Hatinya seolah tertutup untuk semua orang yang berusaha memasuki kehidupannya.
"Hei Mingyu, liburan musim panas tahun ini kau akan pergi kemana?"
Mingyu memasukkan buku terakhirnya ke dalam tas ranselnya. Mengabaikan Seungcheol dan Seokmin yang tengah berdiri di sampingnya.
"seperti biasa, di kamarku". Ujarnya sembari berdiri. Kemudian berjalan beriringan keluar dari kelas yang mulai di tinggalkan oleh satu persatu penghuni kelasnya.
"Hey… kau tidak akan mendapatkan liburan panjangmu sebulan 2 kali Kim Mingyu, ayolah.. aku dan seokmin sudah merencanakan untuk pergi ke Nami Island. Apa kau tak ingin ikut?"
"Tidak, aku lebih suka tidur di kasurku, menghabiskan waktuku untuk mengunyah keripik-keripikku dan bermain game". Masih tak terpengaruh.
"Ya Lee Seokmin, Mingyu tak akan pernah tertarik untuk kau ajak peri kemanapun, apa kau lupa? Tak ada tempat yang paling dia kunjungi selain Changwon, benar kan?". Seongcheol terkikik. Selalu merasa bahagia ketika berhasil menggoda temannya yang berkulit tan itu.
Kali ini sebuah senyum tersimpul samar di bibirnya.
Changwon…
Ya, Mingyu merindukannya.
Merindukkan seseorang yang saat ini tengah bernafas di Changwon.
Namun tak ada lagi alasan baginya untuk menghampiri Changwon. Semua hal yang ada di Changwon memang seharusnya dia tinggalkan. Termasuk kenangannya.
'Jeon Wonwoo….. Apa kau masih mengingatku?'
.
.
.
"CHANGWON?". Mingyu sedikit tersedak. Segera mengambil segelas air di hadapannya dengan terburu-buru. Matanya terbelalak, seolah tak percaya dengan apa yang di dengar olehnya. "Appa tidak bercanda kan?!"
Myungsoo tertawa pelan. merasa lucu melihat ekspresi wajah putra semata wayangnya. Bahkan pria paruh baya itu hanya mengatakan "kita akan pergi ke Changwon minggu depan", dan myungsoo rasa tanggapan mingyu terlalu berlebihan.
"Hei nak… kita hanya liburan, kenapa ekspresimu sangat berlebihan?"
"Appa… kapan kita akan berangkat? Kita benar-benar akan ke Changwon kan? Berapa hari? kita akan menginap dimana? Aku memiliki waktu satu bulan untuk liburan musim panasku, jadi…"
"Kita akan menginap di rumah teman Appa, sudah lama aku tak mengunjunginya. Kurasa dia akan senang jika kita menginap di rumahnya"
"tentu". Mingyu menarik kedua sudut bibirnya. Tersenyum lebar. Jantungnya berdetak tak karuan hanya dengan membayangkan Changwon dan isinya.
"kita akan pergi ke mana saja? Apakah sudah membuat perencanaan untuk liburan kita?"
"Mingyu, tenanglah… aku tahu kau merindukan Changwon, tapi tahan dirimu sayang, masih ada waktu beberapa hari sebelum liburanmu di mulai. Belajarlah dengan rajin, focus pada pelajaranmu, dan jangan memikirkan liburan terlebih dahulu. Hm?". Sungyeol, namja manis itu mengulurkan tangannya, mengusap surai hitam putranya dengan lembut. Kemudian melanjutkan makan malamnya.
'Changwon…. Jeon Wonwoonya ada disana bukan?"
.
.
.
"Aku akan ke Changwon saat liburan nanti". Mingyu memulai ceritanya dengan antusias. Memamerkan gigi taringnya yang tersembul di antara bibirnya. Benar-benar tersenyum dengan penuh kepuasan.
Namun Seungcheol juga Seokmin hanya menatapnya dengan wajah penuh kebingungan. Bagaimana tidak? Pasalnya, ini baru pertama kalinya mereka melihat mingyu seperti ini. Teman mereka ini tak pernah berperilaku 'nyaris gila' seperti ini.
1 tahun 4 bulan mereka berteman, dan mingyu lebih sering menunjukkan wajah masamnya daripada senyum lebar yang mungkin saja bisa membuat semua penghuni sekolah menjerit melihatnya. Jujur saja, mingyu tampan, mustahil jika tak ada satupun penghuni sekolah ini yang mengagumi serta menginginkan mingyu. Namun temannya itu seperti batu.
Bahkan Seongcheol menyebutnya batu arca, melihat bagaimana mingyu bisa dengan mudahnya mengabaikan orang-orang yang menyukainya.
"Jadi….". Seokmin menggantung kalimatnya. Berharap mingyu akan menjawab pertanyaannya tepat seperti dugaannya.
"Ya…aku akan ke Changwon"
Kedua temannya itu mendengus. Bagaimana mungkin Mingyu bisa menjadi sebodoh ini.
"aku tahu, maksudku… apa kau akan mencarinya? Menemuinya?"
"tentu saja, kau pikir apa lagi? Aku harus menyelesaikan kalimatku untuknya"
"apa kau pikir dia masih mengingatmu? Bahkan saat kau dan dia bertemu setiap hari sekalipun kau mengatakan bahwa dia tak pernah menganggapmu ada bukan?". kali ini seungcheol menimpali.
"itu karena aku tak pernah menyampaikan maksudku!". Merasa tak terima atas perkataan temannya, mingyu melayangkan protes dengan wajah malasnya. "Aku yakin dia masih mengingatku"
"atau tidak sama sekali". Seokmin masih berusaha menggodanya.
"berhentilah menjatuhkan harapanku Lee Seokmin!"
"faktanya memang tidak mudah menahlukan seseorang yang memiliki sifat seperti Wonwoo jika memang benar sifatnya persis seperti yang kau katakan"
"Tak ada yang bisa menolak pesonaku!"
"Ada". Seoncheol berdiri. Merapikan jas sekolahnya yang sedikit kusut. Berniat untuk pergi ke kantin sekolah. Dia mulai merasa lapar setelah mendengar ocehan Mingyu dan juga sangkalan Seokmin.
"Siapa?"
"Jeon Wonwoo".
"YA CHOI SEONGCHEOL!"
.
.
.
Changwon...
Hari masih pagi ketika mobil berwarna hitam metalik itu melewati perbatasan antara kota Masan dan Jinhae. Masih pukul 5 pagi saat mingyu tersadar dari tidurnya. Dia duduk di kursi belakang mobilnya dengan kedua orang tuanya yang duduk di kursi depan mobil mereka. Sang ayah memegang kemudi dengan tenang. Tak bersuara sedikitpun.
"kau sudah bangun sayang?"
Mingyu tersenyum mendengar pertanyaan sang ibu ketika melihatnya terbangun.
"kita sudah sampai di Changwon?". Tanyanya.
"Sebentar lagi jagoan. Kita sudah sampai di Jinhae". Myungsoo menimpali. Melempar senyum khasnya pada sang putra yang masih tampak mengantuk.
Mingyu tampak mengulas senyumnya. Membuka sisi kiri kaca mobil bagian belakang. Mengeluarkan sedikit kepalanya semata-mata untuk menikmati dingin dan sejuk udara pagi di kota Jinhae. Pepohonan dan bunga-bunga Sakura itu bahkan tak berubah. Sungguh… dia benar-benar tak sabar untuk kembali pada Changwonnya.
Mingyu menutup matanya beberapa saat. Kembali mengingat wajah Wonwoonya yang kini entah berada dimana. Mingyu bahkan tak tahu alamatnya.
'Changwonku….. Aku kembali'
.
.
.
Pukul 08.20. Mobil yang Myungsoo kendarai memasuki sebuah pekarangan yang tak terlalu luas. namun rumah yang mereka tuju sepertinya adalah rumah yang nyaman.
Sekilas Mingyu menatapnya. Pintu berwarna coklat tua yang ada di hadapannya, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengedarkan pandangannya pada taman kecil yang di susun sedemikian rapi di depan teras. Cicit burung kenari terdengar di sekitar halaman rumah itu. menambah kerinduan Mingyu akan kota yang dulu di tinggalinya.
Tok…. Tok… Tok…
Myungsoo mulai mengetuk pintu rumah itu. namun belum ada jawaban.
"Apa mereka ada di rumah?". Sungyeol mendekat pada suaminya. Sekedar memastikan.
"Kurasa iya, seharusnya memang mereka ada di rumah. Mengingat semalam kita sudah menelephone mereka dan membicarakan semuanya"
Tok… Tok… tok…
Sekali lagi Myungsoo mengetuk pintu berwarna coklat itu. dan kemudian…
JGLEK!
"Ah… Myungsoo! Kau datang?!"
Seseorang muncul dari dalam rumah dan membuka pintu selebar-lebarnya. "Masuklah.."
Pria yang sepertinya berada di usia yang sama dengan ayah Mingyu itu terlihat seperti orang yang ramah. Dia bahkan terus berbicara tanpa henti saat mereka memasuki rumahnya.
"Apakah ini Kim Mingyu putramu?". Tanyanya kemudian, begitu dia berbalik dan menatap sosok tinggi yang mengekor di belakang Myungsoo dan Sungyeol.
Kemudian Myungsoo terkekeh dengan bangga. "Ya… ini putraku"
"Sama sepertimu, dia tampan"
Namun myungsoo justru terbahak mendengar pujian yang bahkan sudah di dengarnya ribuan kali dari teman-temannya sejak dulu. "Terima kasih". Timpalnya. "Nah… Mingyu, kenalkan. Ini Jeon Dongwoo Ahjussi… teman Appa semasa masih sekolah dulu"
"Oh… Annyeonghaseo…". Mingyu mengulas senyum penuh keramahannya. Membungkuk singkat sebagai salam perkenalan.
"Duduklah… istriku masih ada si dalam. Aku akan memanggilnya setelah ini"
Mereka duduk setelah sang tuan rumah mempersilahkan
"lalu dimana putramu?"
"dia sedang pergi ke toko buku, dia bilang ada beberapa buku yang ingin dia beli. Mungkin dia akan pulang sebentar lagi… toko bukunya tidak…."
"Aku pulang….."
Terdengar suara nyaring yang terdengar dari arah pintu. Dan mau tak mau, suara itu membuat perhatian semua orang beralih untuk menatap kea rah pintu. Termasuk mingyu. Dan…
"Jeon Wonwoo?"
Seketika Mingyu berdiri. Membelalakan matanya. Bahkan bibirnya sedikit terbuka.
Ini terlalu sulit di percaya. Ini terlalu seperti drama. Bahkan semua rencana Mingyu untuk mencari Wonwoonya saat dia kembali ke Changwon seolah terpatahkan oleh fakta bahwa sosok yang ingin di carinya dengan segala cara yang rumit nyatanya justru kini berdiri dengan tenang di hadapannya.
Tubuhnya seolah membeku. Jantungnya ingin meledak. Bahkan ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutnyapun tak mampu mendeskripsikan hal yang tengah dia rasakan saat ini.
Terlalu hiperbola jika Mingyu ingin menangis melihat Wonwoonya kini berdiri di hadapannya. Faktanya Mingyu justru tak sanggup mengatur aliran darahnya yang seolah berhenti mengalir. Semuanya beku.
Wonwoo, namja manis itu mematung. Menyipitkan matanya. Menatap sososk tinggi yang berdiri di hadapannya. Sedikit tak percaya.
"Kim Mingyu?"
"Kalian sudah saling mengenal?". Dongwoo berdiri. Tersenyum lebar ketika melihat interaksi keduanya yang terasa sedikit canggung.
"Em.. Y-Ya….kami… teman sekelas saat Junior High School". Berusaha menetralisisr rasa gugup dan terkejutnya dengan sebuah deheman ringan dan masuk ke dalam rumahnya.
"Wonwoo…kenalkan, Mereka ini adalah Tuan dan Nyonya kim. Mereka adalah orang tua dari Kim Mingyu. Temanmu itu"
"Ah….". wonwoo tersenyum tipis. Kemudian membungkuk sekejab. "AnnyeongHaseo…". Sapanya. Membungkuk pada Myungsoo dan Sungyeol. Namun justru mengabaikan Mingyu yang bahkan masih belum melepas tatapannya pada Wonwoo. "mereka teman appa yang semalam appa ceritakan?"
"benar, dan rencananya mereka akan menginap selama beberapa hari disini"
Sekali lagi wonwoo tersenyum. Membuat Mingyu yang sejak tadi terdiam menatapnya, benar-benar terkejut. Bagaimana tidak? Senyum itu, senyum manis itu, bahkan tak pernah wonwoo tunjukkan di hadapan siapapun.
'Benarkah ini Wonwoonya?'
Pembicaraan bahkan semakin melebar ketika wonwoo berpamitan kepada ayahnya untuk masuk ke dalam kamarnya. Lagi-lagi dengan sebuah senyum manis dan bungkukan badan singkat sebelum beranjak pergi.
Mingyu tercenung. Perutnya terasa penuh. Oksigen dan karbondioksida terasa berkumpul menjadi satu di dalam paru-parunya. Mingyu bahkan tak pernah mengalihkan tatapannya dari pintu dimana wonwoo menghilang.
Plak!
"Akh! Sial, sakit sekali…"
Keempat orang itu, Myungsoo, Sungyeol, Dongwoo dan istrinya, Lee Howon yang baru saja bergabung, seketika mengalihkan tatapan mereka pada mingyu yang tengah mengusap pipinya dan merintih kesakitan.
"Hey nak… kau baik-baik saja?"
Mereka mengernyitkan dahi. Menatap mingyu khawatir. Sangat terkejut. Bagaimana tidak? Putra dari Tuam Kim tersebut pasalnya baru saja menampar pipinya sendiri dengan sangat keras.
Merasa malu, akhirnya Mingyu mengangkat wajahnya. Melebarkan kedua matanya dengan lucu kemudian menggeleng keras. "T-Tidak… aku baik-baik saja"
"kalau begitu berhentilah bersikap konyol dan menampar pipimu sendiri'
Bibir Mingyu terkatup rapat. Mengangguk segera dan kembali terdiam. Kembali berkutat dengan pikirannya. Mengacuhkan keempat orang tua yang tengah sibuk dengan pembicaraan mereka.
Dan….
JGLEK!
Kemudian kalimat Myungsoo terlontar begitu saja beriringan dengan suara pintu kamar wonwoo yang terbuka. Menunjukkan sosok wonwoo yang tengah berdiri di depan pintu kamar dan menghentikan langkah panjang dari kaki kurusnya.
"Dongwoo Hyung…. Em… aku mohon maaf sebelumnya, tapi kurasa kesempatan kita untuk bertemu lagi akan semakin sulit setelah ini mengingat aku tak memiliki banyak waktu untuk sesering mungkin mengunjungi Changwon"
"Hm?"
"Tentang… perjanjian kita sesaat setelah Mingyu lahir…"
"Ah…. Tenang saja, kurasa Wonwoo masih tak memiliki pasangan sampai sekarang"
BLAR!
Baik Mingyu maupun Wonwoo sama-sama terdiam. Hatinya mencelos. Mingyu dengan kebahagiaannya yang bertubi-tubi. Dan Wonwoo yang bingung dan terkejut karena namanya tengah menjadi perbincangan.
Namun keduanya memilih untuk diam.
"Kurasa Mingyu juga demikian". Ujar Myungsoo dengan tawa ringan. Mengabaikan tatapan bingung dari sang putra semata wayangnya yang kini tengah menatapnya tak mengerti.
"Kenapa dengan aku dan statusku appa? Lalu apa hubungannya dengan wonwoo? Aku.."
Myungsoo menoleh. Mengulurkan tangannya dan tersenyum sembari mengusap surai hitam mingyu yang tengah berada dalam kebingungan. Seolah tahu, ayahnya tengah memerintahkannya untuk diam, akhirnya mingyu memilih untuk kembali tak bersuara.
"Jadi hyung…"
"tenang saja aku masih mengingatnya…. Dan aku masih berniat untuk memenuhi perjanjian kita, setelah melihat mingyu yang sekarang tumbuh menjadi sosok yang baik sepertimu, kurasa memang tak ada salahnya untuk meneruskannya…"
"baiklah…. Jadi kurasa aku tak perlu menegaskannya sekali lagi bukan? dan kulihat wonwoo juga orang yang cukup manis, sopan dan ramah, benar-benar sebuah pilihan yang tepat bukan?".
Keduanya, Mingyu dan Wonwoo kembali menebak-nebak dengan arah pembicaraan kedua orang tuanya.
"Lalu…. kau pikir kapan waktu yang tepat?"
"mungkin masih perlu 6 atau 7 tahun lagi Hyung… Mereka berdua masih harus bersekolah, focus untuk masuk ke Universitas dan menyelesaikan kuliahnya bukan?"
"Kau benar Myungsoo"
"Jadi bisakah kau 'menjaga' wonwoo?"
"Tentu…"
"Tunggu, Appa… aku benar-benar tak mengerti, ada apa ini?". Mingyu menyela. Rasa penasaran yang bergerombol di dalam hatinya tak lagi mampu dia bendung. Namanya dan Wonwoo terlalu sering di perdebatkan. Jadi mustahil jika kedua anak SMA itu tak merasa penasaran dengan arah pembicaraan orang tuanya. "Menjaga aku dan Wonwoo? Untuk apa? menjaga kami dari siapa? Apa yang sebenarnya sedang kalian bicarakan?"
Damn!
Itu bahkan pertanyaan yang sama persis yang tengah bergelayut di dalam pikiran Wonwoo.
Kemudian Dongwoo berdehem. Masih dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Akhirnya laki-laki paruh baya itu mulai berbicara dengan tenang.
"Mungkin ini terkesal konyol dan kuno Mingyu. Tapi ini benar… aku dan Myungsoo adalah teman sejak duduk di bangku Sekolah dasar, sekolah menengah pertama, menengah atas bahkan kami kuliah di universitas yang sama. Kami banyak menghabiskan waktu sebagai seorang teman. Hingga aku menikah lebih dulu dan ayahmu menyusul setahun kemudian. Dan saatu Wonwoo lahir, kaupun juga lahir setahun kemudian. Dan saat itu pula, aku berpikir bahwa aku dan myungsoo akan menjodohkan anak-anak kami"
BOOM!
Ini benar-benar serangan jantung paling mematikan yang pernah ada. Mingyu dengan perasaannya yang seolah ingin meledak penuh kebahagiaan dalam sesaat dan wonwoo dengan rasa tak terima dan penuh penolakannya.
"APPA!"
Wonwoo berteriak. Membuat semua orang berbalik menatap si manis yang tengah berdiri dengan wajah penuh amarahnya.
"Aku bisa mencari seseorang untuk diriku sendiri tanpa harus di jodohkan!'
"Wonwoo?". Dongwoo berdiri. Mengatupkan bibirnya. Takut. Ini memang seperti dugaannya. Dia tak akan menyalahkan wonwoo yang baru saja meneriakinya. Pasalnya Dongwoo tahu benar seperti apa sifat Wonwoo yang sedikit keras kepala, cenderung angkuh, dan pemberontak atas hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya. "Sayang… dengarkan appa". Dongwoo berjalan mendekati putranya. Berusaha menyentuh pundaknya. Membuat Wonwoo meenatapnya tajam. "Kurasa ini bukan hal yang buruk, Mingyu anak yang baik, dia…"
"Aku mengenal Mingyu dan aku tidak menyukainya!"
BLAK!
Pintu itu kembali tertutup dengan Wonwoo yang memilih untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan mereka semua disana dalam diam.
Pupus.
Seharusnya mingyu tak perlu sebahagia itu ketika mendengarnya. Seharusnya dia mengingat kembali bahwa Wonwoo yang keras kepala dan selalu menunjukkan sikap tak ramah kepadanya itu memang tak pernah menyukainya sejak awal.
Mingyu bahkan sempat berpikir bahwa kisah cintanya akan berakhir dengan penuh kebahagiaan dan tanpa penghalang. Dia sudah cukup tersiksa dengan menyimpan perasaannya kepada wonwoo selama bertahun-tahun tanpa bisa menemuinya. Kebahagiaan yang dia rasakan beberapa saat yang lalu akhirnya seperti hampir menemui akhir saat menemukan fakta bahwa kedua orang tua mereka adalah teman. Sedikit memberinya peluang untuk kembali mendekati wonwoo.
Bahkan Mingyu serasa ingin berteriak kencang saat mengetahui bahwa wonwoo dan dirinya sudah di jodohkan sejak awal. Hidup bersama dengan wonwoo akan membuat semuanya menjadi lebih baik, Mingyu pikir seperti itu.
Namun semua harapan yang sudah dia junjung setinggi nirwana kemudian justru terhempas ke dasar jurang terdalam dan membuatnya remuk tak berbentuk. Bagaimana tidak?
Seharusnya mingyu sadar bahwa 'Jeon-Wonwoo-Tak-Pernah-Menyukainya-Sejak-Awal"
Mingyu tertunduk. Mendapatkan penolakan besar-besaran di hadapan kedua orang tuanya seolah membuatnya ingin menenggelamkan diri di Pantai Gujora, tempat bermainnya ketika dia masih kecil.
'Aku harus maju atau mundur?'
Mingyu Dilema.
.
.
.
To Be Continue...
