Okay! Aku tahu masih ada fic lain yang belum kelar. Tapi mau gimana lagi? ==
Hasrat itu tak bisa ditahan. Sekali keluar ide, pengen cepet-cepet diketik dan dipublish. XD
Ah, sudahlah...
Bleach © Tite Kubo
Kamar itu gelap. Lampu tidur di night stand menyala redup memperlihatkan sebuah tempat tidur ukuran single. Dari balik selimut berwarna putih dengan garis hitam itu, seseorang sedang tertidur lelap. Rambut uniknya terlihat jelas di atas sarung bantal berwarna putih.
Dia hampir mendengkur ketika ponsel metaliknya bergetar di dekat lampu.
Rrrr...rrrr...rrrr...
Dengan malas, tangannya terulur dari balik selimut dan meraih ponselnya setelah menjatuhkan jam meja digital yang terbaca 2.00 am. Ditariknya kembali tangannya ke balik selimut dan melihat layar ponselnya dengan mata menyipit. Tak lebih dari tiga puluh detik, ia kembali tertidur dengan menggenggam ponsel di tangannya.
"Yo! Ichigo."
"Yo!"
Ichigo terus berjalan menenteng ransel di punggung dan beberapa buku tebal di tangan. Kacamata bacanya masih bertengger di pangkal hidungnya saat dia merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel.
Ia segera membuka pesan singkat yang ia terima malam tadi. Ah, rupanya ajakan kencan dari salah satu pengagum rahasianya. Terkadang Ichigo heran sendiri, apa yang dilihat gadis-gadis itu dari dirinya?
"Merepotkan. Lebih baik aku ganti nomor saja," Ichigo berkata pada dirinya sendiri.
"Apanya yang merepotkan, Kurosaki?"
"Huwaaaaa! I-Ishida! Jangan muncul tiba-tiba!"
"Maaf saja, tapi aku sudah ada sejak tadi bersama Sado," Ishida yang merasa kesal kehadirannya tak dianggap oleh Ichigo hanya membetulkan letak kacamata.
"Kau harus mengurangi kebiasaan membetulkan kacamatamu itu. Terlihat seperti orang bodoh saja..."
Ngeeek...
"Apa kau bilang, Kurosaki?"
"Kau sudah mendengarnya, tak perlu kuulangi lagi," Ichigo berjalan duluan dan mengibaskan tangannya pelan ke arah Ishida yang terlihat kesal setengah mati.
Sedangkan Sado yang sedari tadi diam hanya,
"..." Yah, kita semua tak tahu apa yang ada di pikirannya.
"Ichigo..." Ichigo yang sedang membereskan diktat kuliahnya berbalik.
"Oh, ada apa Chad?" Dia kembali memasukkan semua ke dalam tas, bersiap untuk pulang.
"Tidak. Hanya saja aku ingin bilang kalau akau akan pulang ke Meksiko," Ichigo berhenti sejenak dan menengok ke arah Chad.
"Se-serius?" Chad hanya menganggukkan kepalanya sedikit dan Ichigo membelalakkan mata.
"Berapa lama kau di sana?"
"Mungkin sampai selesai kuliah. Aku akan kuliah di sana karena abuelo telah mengatur kuliahku sebelum ia meninggal," ia dan Ichigo kemudian berjalan keluar kelas dan berpapasan dengan Ishida.
"Kau masih tampak konyol, Kurosaki."
"Yea, yea... Terima kasih Ishida..."
"Jadi, Sado. Kau sudah mengatakan padanya?" Ishida mulai angkat bicara.
"Ya..." Chad hanya menjawab singkat.
"Apa? Bilang apa? Pada siapa?" Ichigo yang masih belum bisa menangkap maksud Ishida hanya bolak-balik memandang kedua sahabat yang berjalan beriringan di sampingnya.
"Kau benar-benar konyol, Kurosaki."
"Diam kau, Ishida. Bilang apa? Eh? Err… Tunggu dulu, maksudmu rencana Chad ke Meksiko?" Ichigo sedikit berteriak di dekat telinga Ishida.
"Jangan dekat-dekat!" Ishida langsung saja menutup telinga kirinya yang malang dan sedikit menjauh dari Ichigo.
"Jadi kau tahu duluan ya?" Ichigo langsung menunjuk Ishida yang masih memeriksa apakah telinganya berfungsi baik atau tidak.
"Memang kenapa kalau aku tahu duluan?" Ishida memandang sinis Ichigo.
"Maaf aku tak memberitahumu duluan, Ichigo. Aku hanya sedikit ragu mengenai hal ini."
"Kenapa harus ragu? Toh itu keinginan abu... Abu apalah itu namanya," Ichigo menggaruk belakang kepalanya sedikit.
"Abuelo..." Chad mengingatkan Ichigo untuk yang kesekian kalinya.
"Ya ya, abuelo... Kau tak perlu ragu," Ichigo tersenyum sedikit menatap sahabat kentalnya itu.
"Selain konyol, otakmu juga payah, Kurosaki."
"Maaf saja kalau payah. Payah payah begini, aku bisa masuk kedokteran…"
"Terserah," Ishida lagi-lagi membetulkan letak kacamatanya.
"Oh ya, Chad. Kalau kau pindah, berarti aku sendirian di apartemen..."
"Sepertinya kau ketakutan di apartemen sendiri, Kurosaki?"
"Bukan urusanmu."
"Mau bagaimana lagi, Ichigo. Mungkin kalian berdua bisa berbagi apartemen," ucapan Chad seketika membuat Ichigo dan Ishida berhenti berjalan.
"Tak sudi!" Ichigo dan Ishida menjawab bersamaan.
"Hahaha... Kalian kompak sekali," Chad masih tetap berjalan mendahului.
"Kami tidak kompak!"
"Berhenti meniruku, Kurosaki!"
"Kau yang meniruku duluan. Kau saja yang berhenti!"
"Kau!"
"Kau!"
Ichigo's POV
Ini sudah seminggu sejak Chad pindah ke Meksiko. Aku berharap ia baik-baik saja. Kuliahku berjalan lancar seperti biasa. Pertengkaran bodoh dengan Ishida selalu terjadi tiap bertemu. Tapi sudah dua hari ini aku jarang menemuinya. Mungkin karena tugas-tugas yang bertumpuk ini.
Ah, sudah jam delapan malam dan aku belum makan. Sial. Kenapa di kulkas sama sekali tak ada sisa makanan? Kalau begini, aku harus pergi keluar untuk membeli sesuatu. Besok aku harus berbelanja.
Aku segera mengambil dompet dan jaket, ponselku kubiarkan saja tergeletak di antara tumpukan kertas tugas yang masih berserakan. Segera saja aku keluar kamar dan memakai sepatu. Perutku sudah tak tahan lagi.
Setelah berkeliling, akhirnya aku hanya mendapat sebungkus roti, dua kaleng jus dan sekotak bento siap makan dari minimarket dekat apartemen. Daripada kelaparan, lebih baik makan saja yang ada.
Setelah kembali ke apartemen, aku segera memakan makanan yang apa adanya itu. sampahnya langsung kubuang dan dua kaleng jus itu cukup membuatku pergi ke kamar mandi untuk ketiga kalinya.
Teringat tugas yang harus kuserahkan besok, aku segera masuk kamar dan mulai mengerjakannya. Aku sama sekali tak melihat ponselku. Ck, biarkan saja. Toh nanti ketemu setelah beres-beres sedikit.
Akhirnya. Setelah hampir tiga jam memeras otak untuk tugas kali ini, selesai juga. Hampir tengah malam rupanya, pantas mataku sudah tak tahan melihat lampu.
Sebelum tidur, aku membereskan sedikit kertas tugasku. Aku ulangi, sedikit saja yang aku bereskan karena melelahkan. Aku menemukan ponselku tergeletak pasrah di antara buku tebal nan lapuk khas perpustakaan kampus.
Aku memungutnya dan melihat, what? 23 pesan baru dan 45 panggilan tak terjawab. Apa-apaan ini? Ulah penggemar lagi ya?
Karena penasaran, aku mulai membuka pesan singkat itu satu per satu.
26 December 2010, 07.56 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Kaien-dono, apa kau sibuk? Jika tidak, aku ingin bicara sedikit denganmu.
26 Juli 20XX, 08.00 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Kaien-dono?
26 Juli 20XX, 08.02 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Kenapa tidak membalas?
26 Juli 20XX, 08.05 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Ini aku, Rukia.
26 Juli 20XX, 08.10 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Tolong balas...
26 Juli 20XX, 08.15 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Sekarang aku menunggumu di bawah pohon sakura dekat sungai.
26 Juli 20XX, 08.30 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Kaien-dono...
26 Juli 20XX, 08.33 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Apakah kau begitu membenciku hingga tak ingin bertemu denganku sebentar?
26 Juli 20XX, 08.37 pm
Form: 08xxxxxxxxxx
Aku benar-benar minta maaf, Kaien-dono... Aku tak bermaksud seperti itu.
26 Juli 20XX, 08.43 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Kaien-dono... Aku hanya ingin minta maaf...
26 Juli 20XX, 08.58 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Tak bisakah kau datang sebentar?
26 Juli 20XX, 09.11 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Aku benar-benar menyesal...
26 Juli 20XX, 09.23 pm
From: 08xxxxxxxxxx
Aku akan tetap menunggumu sampai kau datang...
Itu sms terakhir dari seseorang yang bernama 'Rukia' untuk 'Kaien'. Siapa itu Kaien? Siapa pula Rukia? Sepuluh sms lain... Tak usah dipedulikan. Nama Keigo sudah membuatku illfeel untuk membaca pesan darinya.
Ketika melihat penggilan tak terjawab, ternyata berasal dari satu nomor yang sama. Nomor ini milik 'Rukia'. Apa dia segitu inginnya bertemu dengan seseorang malam-malam seperti ini?
Yang lebih heran, kenapa aku sama sekali tak menyadari ada panggilan maupun pesan masuk? Ah, bodohnya aku. Ponselku ku-setting silent, pantas saja tak terdengar.
Masa bodoh! Aku capek, mau tidur. Tak usah memikirkan siapa itu 'Rukia' dan 'kaien'. Aku meletakkan ponselku di tempat biasa, dekat lampu dan mulai beranjak tidur.
Rrrr…rrr…rrr…
Siapa itu? Baru lima menit menutup mata, ada yang menelpon.
"Halooo~" aku menjawab dengan suara khas orang mengantuk. Beraninya dia mengganggu waktu tidurku yang berharga.
"Ka-Kaien-dono... A-aku..."
Brukk!
Aku yang mendengar suara jatuh di seberang sana mulai membuka mata lebar-lebar dan melihat siapa yang menelpon. Ini nomor 'Rukia'. Apa dia masih menunggu? Lagipula, bunyi apa itu tadi?
Aku yang penasaran, langsung mengambil jaket dan berlari keluar. Di sms-nya tadi dia bilang menunggu di bawah pohon sakura di dekat sungai, dan hanya ada satu pohon sakura di sana.
Aku mulai berlari kencang menuju ke sana. Semoga saja ia baik-baik saja. Benar-benar bodoh. Kenapa aku yang jadi cemas begini?
Di ujung jalan sana. Ya, itu dia pohon sakuranya! Aku mulai memacu lariku lebih kencang lagi. Nafasku hampir putus, lari-lari tengah malam itu menyusahkan.
Sesampainya di sana, aku menemukan seorang gadis yang terbaring meringkuk tak jauh dari pohon sakura. Apa dia yang namanya 'Rukia'?
"H-hey, kau! Bangun! Apa yang kau lakukan lewat tengah malam begini di sini?" Aku mengguncang sedikit bahunya yang menggigil itu.
"Ukh... Ka-Kaien-dono? Syukurlah kau datang. A-aku minta maaf..." Dan dia pingsan... E-eeeeh? Pingsan? Bagaimana ini? Menyebalkan! Kenapa aku harus terlibat hal seperti ini?
Aku celingukan ke kanan dan kiri. Tak ingin ada seorang pun yang melihat aku dan seorang gadis pingsan di tempat sepi. Bisa-bisa, aku dituduh yang bukan-bukan!
Daripada dipergoki orang, lebih baik kubawa saja dia pulang. Sebal! Kenapa aku yang bertanggung jawab? Lagipula, dia anak smp ya? Sepertinya seumuran dengan Karin dan Yuzu. Tapi dia lebih pendek dari mereka.
Sial sial sial! Urusanku jadi tambah banyak! Tuhan, kenapa engkau memberikanku banyak kesulitan?
Aku memakaikan jaketku padanya dan kugendong di punggungku. Ternyata dia ringan tak seberat kelihatannya. Ah, rupanya dia menangis ya. Pantas saja pundakku terasa sedikit basah.
Aku berjalan pelan menuju apartemen. Kedua tangan mungilnya yang terlingkar di leherku menggenggam erat bajuku dan kini ia terisak. Sepertinya mimpi buruk. Aku harus cepat kembali ke apartemen.
Setelah pintu apartemen tertutup dan kukunci, aku menuju kamar dan membaringkan 'Rukia' di kasurku. Air matanya belum berhenti juga. Aku bingung harus bagaimana…
Tanpa ksadari, ibu jariku mengusap air matanya dan aku mulai membelai pelan rambutnya. Tampaknya hal ini sedikit membantunya untuk tenang. Isakannya sudah berhenti sekarang, nafasnya pun terlihat teratur.
Sempat aku berpikir ia terkena hipotermia gara-gara terlalu lama berada di luar dengan cuaca sedingin ini. Tapi tampaknya ia baik-baik saja.
Aku menaikkan selimutku hingga menutupi dagunya. "Selamat tidur, Rukia..." Aku mematikan lampu biasa dan menghidupkan lampu tidur. Setelah itu aku berjalan keluar kamar dan menutup pintu.
Kali ini, aku akan tidur di kamar Chad walau sedikit berdebu di dalam sana. Daripada tidur di sofa, mengerikan…
Hhh… Setengah satu… Capek… Semoga besok baik-baik saja…
Ichigo's POV end
Dia membuka pelan kedua matanya. Yang bisa ia lihat hanya langit-langit putih dengan atmosfer yang berbeda. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela sedikit mengenai matanya.
Erangan kecil lolos dari mulutnya ketika ia mencoba untuk duduk. Dia tak mengingat apapun kecuali kalau ia semalam masih berada di pinggir sungai, pingsan dan… Kaien.
Dengan cepat ia melempar selimut yang masih menempel di badannya dan keluar kamar, berharap yang ia temui nanti benar-benar Kaien.
"Kaien-dono!" Ia segera memanggil namanya ketika melihat bayangan seseorang di dapur. Orang yang dipanggilnya hanya melihatnya dari bahu. "Ah, kau sudah sadar rupanya..."
"Kau..."
"Hn?" Orang itu tetap berkutat dengan sesuatu seakan tak mempedulikan kehadirannya.
Dia tak bicara apa-apa lagi setelah itu. kesunyian mendadak mengisi ruangan kecil itu. Tak seorangpun dari mereka yang memulai untuk bicara hingga akhirnya orang itu berbalik untuk melihatnya.
Kedua mata gadis itu terbelalak lebar melihat siapa di hadapannya.
"K-Kai... Kaien..." Gadis itu berlari dan tiba-tiba memeluk 'Kaien'. Ia mengubur wajahnya di dadanya dan mulai terisak.
Ichigo yang tak mengerti apa-apa hanya terkejut dengan tingkah tiba-tiba gadis yang tak sengaja ia bawa pulang semalam.
"H-hei... Apa yang kau lakukan?" Berusaha untuk melepas pelukan, Ichigo merasa genggaman kedua tangan gadis di punggungnya semakin menguat dan isakannya semakin keras.
Ichigo yang kebingungan hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa. Alih-alih mengelus kepala Rukia, kedua tangannya hanya ia biarkan bergantung di kedua sisi badannya dan melihat ke arah luar jendela dengan wajah memerah.
Setelah ia merasa Rukia sudah agak tenang, Ichigo mulai melepas pelukannya dan melihat wajahnya. Walau Rukia tak mengadahkan kepalanya utuk melihat Ichigo, tapi Ichigo tahu kalau wajahnya memerah, matanya pun memerah karena habis menangis dan juga karena kongesti darah.
Tak tahan dengan situasi yang menurut Ichigo aneh, ia menjadi yang pertama untuk membuka suara.
"Jadi... Apa kau baik-baik saja?" Mengangguk pelan, Rukia masih saja menundukkan kepalanya, tak ingin menatap Ichigo.
Ichigo menghela nafasnya dan menuntun Rukia untuk duduk di sofa di depan televisi. Ia kemudian menempatkan dirinya di sebelah Rukia dan menyandarkan kepalanya yang sedikit terasa sakit di sandaran sofa.
Rukia yang merasa sedikit gugup mulai mengepalkan kedua tangan yang ia letakkan di pangkuannya sebelum berbicara, "u-uhmm... Ka-Kaien-dono? Aku…"
Saat Rukia mengangkat wajahnya, ia mendapati Ichigo tertidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Rukia mulai mengamati tiap lekuk wajah orang di hadapannya. Mulai dari garis rahang, dagu, bibir, hidung, tulang pipi, mata yang tertutup kelopak, dan rambutnya yang mencolok.
Rukia berpikir, sejak kapan Kaien-dono memotong rambutnya dan mengecatnya menjadi orange?
"K-Kaien-dono?" Dengan perlahan, Rukia menyentuh pundak 'Kaien' dan matanya terbuka sedikit.
"Aaaah... Maaf aku ketiduran. Kepalaku sakit sekali..." Ichigo memijat pelan pangkal hidung di antara kedua matanya.
"Kau lapar? Aku sudah membuat sesuatu tadi," tanpa melihat sedikitpun ke arah Rukia, Ichigo beranjak dari sofa dan menuju dapur. Rukia hanya terdiam di sofa berwarna hitam polos itu. matanya mengikuti gerak bayangan 'Kaien'.
Rukia kemudian mengamati ruangan di sekelilingnya. Di hadapannya terdapat meja kaca. Tak ada hiasan apapun di atasnya. Sebuah televisi flat bertengger dengan mini set home theater di sampingnya. Ia juga melihat sebuah game console dan berbagai macam video game, DVD film, maupun CD musik.
Ia tak menyadari kedatangan Ichigo yang kini kembali duduk di sampingnya sambil menyodorkan setumpuk pancake mix dengan sirup yang tadi dibuatnya
Berterima kasih dengan suara pelan, Rukia mulai mengambil bagiannya dan memakan sedikit demi sedikit. Ichigo hanya melihat Rukia memasukkan tiap potongan ke dalam mulut dengan perlahan. Ia menjadi lupa dengan pancake yang ada di piringnya sendiri.
Setelah tersadar dari 'dua-menit-melihat-seorang-gadis-makan-pancake-buatannya', Ichigo mulai memakan bagiannya sendiri. Merasa tak nyaman dengan kesunyian, Ichigo berusaha mengeluarkan topik apa yang bagus untuk dibicarakan.
"Kaien-dono..." Ah, sepertinya Rukia duluan yang memecahkan suasana aneh ini. Tapi, siapa tadi yang ia panggil? Kaien-dono?
Ichigo memandang Rukia yang kini juga tengah melihat ke arahnya. Ia mengangkat sebelah alisnya, merasa heran mengapa sejak tadi gadis ini selalu memanggilnya Kaien.
Mata violet Rukia terbelalak melihat pemandangan di hadapannya. Mata itu... Bukan hijau aqua yang selalu ia rindukan. Mata itu berwarna amber. Dia bukan Kaien. Dia siapa?
Ichigo semakin bingung dengan tingkah gadis di hadapannya ini. Setelah terus-terusan memanggilnya Kaien-dono, sekarang ia melihatnya seakan ia sedang melihat hantu.
Ichigo mengerutkan keningnya setelah Rukia sama sekali tak juga bicara. "Hei, ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja?" Ichigo mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah Rukia.
Sedikit terkejut, Rukia kembali menunduk. Di kepalanya kini berputar-putar berbagai macam pertanyaan untuk seseorang di hadapannya.
Ia sama sekai tak menjawab pertanyaan Ichigo. Ia bingung. Wajahnya sangat mirip dengan Kaien. Rukia tak berani menatap matanya. Pandangannya hanya tertuju pada karpet yang ia pijak sekarang.
Ichigo menaruh piringnya yang masih tersisa sedikit pancake di atas meja. Ia menunduk sedikit dan menaruh kedua siku di atas lututnya. Ia mengaitkan jari-jari tangannya dan menatap lurus ke arah televisi yang mati.
"Kau... Siapa namamu?" Sedikit menolehkan pandangannya, Ichigo mendapati wajah Rukia yang terlihat kosong. Pandangan matanya seakan menembus lantai, tak ada emosi yang tersirat.
"A-aku..." Sebulir air mata mulai turun dari matanya. Isakan kecil yang tak mampu ia tahan, lolos dari bibirnya yang ia gigit.
Mendengar isakan kecil dari arah gadis mungil di sampingnya, Ichigo menoleh dan menjadi panik.
A-apa aku berkata salah ya?
TBC
Ahahaha... XD
Jadi fic baru. Khukhu...
Review?
