Naruto milik Masashi Kishimoto
Yang Kuinginkan milik Ozellie Ozel
...
Happy Reading
...
Seorang gadis bersurai indigo menundukkan kepalanya dengan keadaan tubuh yang bergetar takut. Hari ini dia tidak merasa bahwa dirinya telah menjadi sosok yang mengerikan. Bagaimana tidak? Tepat tanggal 27 Desember, yang bersamaan dengan hari ulang tahunnya, dia memberikan satu hal yang paling berharga bagi seorang kaum hawa, yaitu rahimnya.
Di hadapan sepasang suami istri ini, dia telah bersumpah akan memberikan rahimnya sebagai wadah. Ini bukan tanpa alasan. Dia memberikan rahimnya karena selama ini keluarga Uchiha telah menolongnya. Keluarga yang baik itu telah menyekolahkannya bahkan memberikan fasilitas yang sesuai. Maka mungkin inilah hal yang bisa dia lakukan untuk membalas kebaikan Uchiha Mikoto, wanita yang dia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri.
Wanita berusia lima puluh tujuh tahun itu menginginkan seorang cucu. Sayangnya, sampai sekarang Tuhan belum menjawab segala doanya. Dimulai dari putra sulungnya, Uchiha Itachi yang telah tewas kecelakaan tepat satu hari sebelum hari pernikahannya. Lalu putra bungsunya, Uchiha Sasuke, yang sampai di usia sebelas tahun pernikahannya, tak kunjung dikaruniai seorang buah hati.
Hinata tahu segala kegundahan hati Mikoto. Apapun itu, terlihat jelas di mata kelam wanita tua itu. Dia tak mungkin hanya berdiam diri saja melihat keresahan Mikoto. Ini sudah waktunya membalas budi baik wanita itu.
"Hanya karena ingin membalas budi pada Ibuku, kau rela untuk menjadi korban?" Suara datar pria itu berhasil membangunkan Hinata dari semua memorial tentang masa lalu singkatnya. "Terdengar konyol!"
Kepala Hinata mendongak. Dia menatap wajah pria yang merupakan putra bungsu Mikoto. Dia menggelengkan kepalanya, niatnya untuk membantu keluarga Uchiha sama sekali tidak konyol. Dia tulus membantu mereka.
Hinata diasuh oleh sepasang suami istri Uchiha tersebut, setelah lima tahun Uchiha Sasuke menikah. Mereka mengadopsi Hinata yang kala itu berusia empat belas tahun. Alasan mereka hanya karena Mikoto dan Fugaku tak memiliki seorang putri yang mengurus mereka. Lagipun, tempat tinggal mereka dan rumah sang putra cukup jauh. Mereka lebih memilih untuk mengalah dan akhirnya menjadikan Hinata sebagai putri angkat.
Selama lima tahun Hinata tinggal di kediaman Uchiha, hanya tiga kali dia pernah melihatnya. Itu pun hanya dalam jangka waktu singkat. Pasalnya, Uchiha Sasuke sangat sibuk semenjak Paman Fugaku sakit dan semua pekerjaan di perusahaan dialih-tugaskan pada Sasuke.
Sepanjang yang diingat Hinata, dia hanya mengetahui jika Sasuke adalah seorang pria yang tak mempedulikan sekitarnya. Terhadap keluarganya saja, dia tampak begitu dingin. Apalagi kepada orang asing seperti Hinata. Bahkan selama tiga kali melihat Sasuke, tak pernah sekalipun mereka bertegur sapa. Ini yang pertama kalinya.
"Usiamu masih sembilan belas tahun, meski dokter berkata jika kondisi rahimmu sangat baik, bukan berarti kami bersedia menjadikanmu wadah," ujar sang menantu Uchiha. "Kupikir kami akan mencari wanita lain saja."
Hinata menggigit bibirnya. Dia tak tahu harus berkata apalagi. Jika itu sudah keputusan mereka, yang tak ingin memakai rahimnya, apa dia perlu memaksa? Sepertinya itu tidak diperlukan.
"Lebih baik kau kembali ke rumah Ibu. Kami tak membutuhkanmu!" Sasuke berkata ketus. Dia meninggalkan Hinata menuju kamarnya. Sementara sang istri hanya memandang datar pada gadis itu.
"Masa depanmu masih panjang, jadi jangan sia-siakan," nasehat Sakura dengan senyuman lembut di bibirnya.
Wanita itu menarik lembut tangan Hinata dan mengajaknya menuju pintu apartemennya. "Baiklah, kupikir kau harus kembali ke rumah Ibu. Kirim salam pada Ayah dan Ibu!" Hinata mengangguk saja. Tanpa mengucapkan salam perpisahan, dia pergi begitu saja.
Sakura memejamkan matanya sejenak. Dia kembali memasuki kamarnya dan melihat sang suami yang tampak berbaring santai. Dia menghela napas panjang saat sang suami meliriknya sejenak, lalu memunggunginya. Jujur saja, hati Sakura merasa tersakiti. Entah apa alasan Sasuke berbuat demikian. Kenapa Sasuke tak pernah bisa memahami Sakura? Dia hanya berpikir untuk dirinya sendiri tanpa tahu jika apa yang dia lakukan telah menyakiti sang istri.
"Hinata itu gadis yang cantik, bukan begitu, Sasuke-kun?" Sakura membuka percakapan.
Terdengar helaan napas berat dari Sasuke. Seketika itu juga, pria itu berbalik dan menatapnya sendu. "Aku baik-baik, jika tidak memiliki keturunan, kenapa kau terlalu memaksa keadaan ini, Sakura?"
Air mata Sakura menetes. Lagi-lagi mereka berdebat tentang ini. Hal yang lima tahun ini menjadi biang adu mulut mereka. "Tapi Ibu ingin, Sasuke-kun. Ibu menginginkan cucu, tetapi aku..."
"Seharusnya Ibu bisa menerima keadaan keluarganya dengan lapang dada! Tidak perlu menyodorkan gadis jalanan itu untuk menjadi wadah calon bayi kita!" Sasuke mencoba menahan segala amarah yang menyesakkan dadanya. "Kalau kau tak bisa mengandung, kita bisa mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Itulah alasan kenapa banyak orang yang menelantarkan anaknya!"
Sakura menahan isakan tangisnya. Dia menundukkan kepala dan duduk di pinggir kasur. Sesekali tangannya menyeka air mata yang menetes dari pelupuk matanya. "Tapi Ibu..."
"Ibu lagi, Ibu lagi!" Sasuke berkata ketus. "Bisakah kau tidak memikirkan perasaan Ibu? Kalau dia ingin seorang bayi, kenapa tidak dia saja yang mengandung!"
"Hentikan, Sasuke!" teriak Sakura. Tangisannya semakin menjadi-jadi. "Bukan hanya keluarga Uchiha, keluargaku pun begitu. Mereka mempertanyakan pernikahan kita!"
Sasuke beranjak dari kasur. Tanpa mengatakan apapun, dia pergi keluar dari kamar. Namun Sakura mengikutinya bahkan menarik tangan sang suami yang diliputi kemarahan.
"Bagaimana dengan teman-temanmu?" tanya Sakura. "Ketika mereka mengajakmu menonton bola bersama, dan mereka membawa anak laki-lakinya, kau tak ingin seperti itu?" Pandangan mata Sakura terpaku pada wajah sang suami yang mendadak dirundung kesedihan. "Temuilah Hinata-san. Lakukan demi aku, Sasuke-kun."
Sasuke memejamkan matanya sejenak. Kepalanya terasa pusing memikirkan masalah bodoh ini. Melihat keinginan semua orang terdekatnya akan kehadiran penerus keluarga, sungguh membuatnya merasa terbebani. Kenapa semua orang egois? Apa menikah itu hanya sekedar untuk memiliki keturunan?
"Demi aku, kumohon," Sakura meraih kedua pipi Sasuke dan mencium bibir suaminya sejenak. "Lakukan, demi aku!"
Lembutnya bibir Sakura masih membekas disana. Kehangatan yang dia tawarkan, mampu membuat Sasuke terlena. Dia ingin merasakannya lagi. Dengan cepat dia menarik tengkuk Sakura. Merapatkan bibir mereka dan melumatnya dengan lembut. Sejenak Sasuke melepas tautan kedua bibir mereka. Pancaran cinta membias dari pandangan mata.
"Sebelum aku melakukannya pada gadis jalanan itu, izinkan aku memanjakanmu, sayang," Sasuke mengedipkan genit matanya. Dia menggendong tubuh Sakura dan membawanya ke dalam kamar pribadi mereka. Dengan lembut Sasuke membaringkannya disana.
"Suamiku nakal sekali," bisik Sakura seraya tersenyum lembut. Dia menatap wajah Sasuke yang tersirat cinta mendalam. Tanpa mengatakan apapun lagi, mereka kembali berciuman. Menuntaskan hasrat yang sekian lama terpendam. Di dalam ruangan berukuran lima kali tujuh meter itu, keduanya memadu kasih dan merajut cinta. Tidak ada yang bisa menghentikan keduanya.
.
.
Di dalam salah satu kamar Tokyo International Hotel, seorang gadis bersurai panjang sedang berdiri di depan jendela kaca besar yang menghadap langsung dengan pusat kota. Dari sana dia bisa memandangi kerlap-kerlip lampu dari gedung-gedung pencakar langit, maupun kendaraan di jalanan. "Huft," Untuk kesekian kalinya dia menghela napas panjang. Rasanya waktu semakin cepat berlalu. Kini sudah pukul sebelas malam, itu artinya sebentar lagi, Uchiha Sasuke, akan sampai di kamar hotel ini.
Dalam perjalanan pulang dari apartemen Uchiha tadi, Hinata langsung melanjutkan perjalanannya kembali ke rumah Uchiha. Dia berjalan menuju stasiun kereta yang tak jauh dari distrik tersebut. Saat dia sedang menunggu kereta tiba, mendadak ponselnya berbunyi. Alisnya menaik. Dia tak mengenali nomor siapa yang menghubunginya. Tetapi mungkin saja itu penting, jadi Hinata memutuskan untuk segera mengangkatnya.
Alangkah terkejutnya dirinya saat Uchiha Sasuke memintanya untuk datang ke hotel ini.
"Buka pakaianmu!"
Napas Hinata tercekat. Dia tidak menyadari entah kapan Sasuke memasuki kamar hotel itu. Jantung Hinata berdebar tak karuan. Tangannya berkeringat dan bergetar. Bahkan untuk melangkah menuju ranjang, dia tak sanggup. Suara datar dan dingin Uchiha Sasuke menakutkan baginya. Sempat ada keraguan di dalam hatinya. Tapi dia sudah terlanjur mengiyakan rencana Uchiha Mikoto. Sudah selayaknya dia melakukan apa yang diinginkan wanita baik hati itu.
"B-Baiklah," ujar Hinata gugup dan mengiyakan kemauan si Uchiha. Sekuat tenaga yang tersisa dia berjalan menuju ranjang mewah, meski lututnya lemas dan bergetar. Dia duduk di pinggir ranjang. Matanya melihat wajah datar Sasuke yang sama sekali tak menunjukkan minat lebih terhadapnya.
Tangannya membuka satu per satu kancing kemeja biru lautnya. Terasa benar-benar sulit. Ini pertama kali bagi Hinata menelanjangi dirinya di hadapan seorang pria. Terlebih lagi dia adalah pria beristri.
Terdengar decitan ranjang dari belakangnya. Seketika dia menoleh cepat dan mendapati Sasuke telah duduk disana hanya berbalutkan celana dalam hitam. Entah sejak kapan dia menelanjangi dirinya juga. Bibir Hinata mengering. Demi Tuhan! Dia takut sekali menghadapi semua ini.
"Ini bukan malam pertama. Apa yang harus kau gugupkan?" Sasuke berkata ketus. Dengan kasar dia menarik tangan Hinata dan menyeretnya hingga ke tengah ranjang. Dia tidak sabar melihat pergerakan Hinata yang begitu lambat hingga membuang-buang waktunya.
Tubuhnya menindih tubuh mungil Hinata yang masih berbalut kemeja dengan beberapa kancing di area bawah belum terlepas kaitannya.
Dengan kasar, Sasuke menariknya kuat hingga kancing itu terlepas. Kemeja Hinata dibuang asal ke bawah ranjang. Celana panjang Hinata dia tarik ke bawah lalu membuangnya jauh-jauh. Bahkan sangking jauhnya, celana panjang itu mengenai hiasan patung keramik di atas meja hingga jatuh dan pecah. Namun hal itu tidak menghentikan aktifitas Sasuke menelanjangi Hinata. Bra yang dikenakan Hinata dia tarik kuat hingga pengait di belakangnya putus. Celana dalam Hinata juga robek dibuatnya.
Pipi Hinata memerah luar biasa. Dia menyilangkan tangannya di atas dadanya, guna menutupi area sensitifnya. Namun sia-sia karena apapun itu, mau tidak mau, Sasuke harus melihatnya.
"Kau membawa lotion yang kuperintahkan tadi?" Sasuke bertanya dengan wajah angkuhnya, seolah tidak tertarik dengan kemolekan tubuh Hinata yang menggoda.
Hinata hanya mengangguk kaku sebagai jawabannya.
"Ambil!" titah Sasuke. Perlahan dia beranjak dari atas tubuh telanjang Hinata. Dia melihat gadis itu mencoba untuk beranjak namun tak kunjung melepas kedua tangan yang masih menutup payudara dan area selangkangannya. Baka, umpat Sasuke dalam hati. Dia memilih untuk melepaskan celana dalam yang masih membungkus kejantanannya. Kini dia telah telanjang bak bayi baru dilahirkan. "Sini!"
Hinata menundukkan kepalanya ketika tanpa sengaja matanya melihat tubuh polos Sasuke. Perlahan dia kembali ke atas ranjang. Tetapi Sasuke menariknya kasar dan mendorongnya ke ranjang dengan kuat. Pria itu bertumpu dengan lututnya dan mengambil lotion yang berada di tangan kanan Hinata. Tanpa mengatakan apapun lagi, dia membuka lotion dan memolesnya di kejantanan kokohnya.
Mata Hinata terasa panas. Dia ingin menangis kala melihat kejantanan Sasuke tepat di atas tubuhnya. Namun dia menahannya. Bagaimanapun juga, keputusan untuk menjadi wadah bagi calon penerus Uchiha, adalah kemauannya sendiri.
"Aku tak akan melakukan foreplay," Hinata mengerutkan dahi. Dia tidak tahu apa yang dimaksud dengan foreplay.
Dengan cepat Sasuke mengelus kejantanannya yang semakin licin berkat lotion tersebut. Bahkan ukurannya semakin besar. Matanya tak lepas dari wajah ketakutan Hinata. Wajah lugu itu semakin membuatnya ingin menghancurkan dan memberikan mimpi buruk pada Hinata. Cukup lama dia mengelus penisnya hingga urat-urat di sekitar penisnya mulai timbul. Dia menyiram lotion itu di sekitar selangkangan Hinata dan membiarkan minyak itu menetes, membasahi area vagina gadis itu. Tak ada niat sama sekali untuk menyentuh tubuh Hinata. Berbanding terbalik dengan apa yang dia lakukan tadi siang bersama sang istri.
Selesai memoles kejantanannya, Sasuke mencampakkan lotion itu ke atas meja hias. Kemudian, dia mengangkat kedua tungkai kaki Hinata ke atas berbentuk V. Kepala penisnya dia letakkan tepat di depan area kewanitaan Hinata.
Tangan kanan Sasuke bertindak cepat untuk membungkam bibir Hinata. "Bersiap-siaplah!" ujarnya ketus lalu menusuknya dalam-dalam.
Darah merembes deras dari selangkangan Hinata. Air muka Hinata memucat. Rasanya sakit sekali. Ratusan kali lebih sakit daripada nyeri datang bulan. Air mata Hinata menetes deras. Dia ingin berteriak kencang, namun suaranya tak kunjung keluar karena telapak tangan Sasuke membungkamnya kuat-kuat.
Tubuhnya berguncang cepat. Sasuke menarik dan mendorong kejantanannya begitu cepat. Lotion tersebut semakin membuatnya gerakan menusuknya cepat. Tanpa membiarkan Hinata terbiasa dengan ukuran alat kelaminnya.
Mata si Uchiha terpejam. Dia melenguh kuat. Tak bisa dia pungkiri jika tubuh Hinata sungguh nikmat, bahkan tanpa foreplay sekalipun. "Huft!" Sasuke menghela napas memberat. Suara kecipakan basah di area kejantanannya dan kewanitaan Hinata yang bersatu semakin membuat suasana seks begitu terasa. Perlahan gerakan tubuh Sasuke melambat, hingga akhirnya dia melepas kejantanannya dari dalam vagina Hinata.
"Berbalik!" titah Sasuke, namun tidak segera diindahkan oleh Hinata. Wanita itu masih terlihat lemah dan kesakitan. Sasuke menggeram marah lalu menarik bahu Hinata hingga terangkat, lalu membalikkannya. Setelah itu pinggul wanita itu pun ikut jadi sasaran amukan Sasuke. "Aku tidak suka melihat tampang menjijikkanmu!" tukas Sasuke seraya menarik pinggul Hinata ke atas hingga posisi menungging. Tak perlu menunggu lagi, dia menghunuskan kejantanannya kuat-kuat. Mengoyaknya sekuat tenaga tanpa peduli akan jeritan pilu Hinata.
"Tingkah jalangmu membuat aku harus menyakiti Sakura, istriku! Dasar murahan!"
PLAK PLAK
Kedua tangan Sasuke mencengkeram kasar kedua bokong Hinata. Bahkan tanpa rasa kasihan, dia memukulinya sekuat tenaga.
Tubuh Hinata bergetar hebat. Berkali-kali dia akan terjatuh karena lututnya sudah tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya. Namun si Uchiha tampak belum puas. Dia melepaskan penyatuan mereka dan menarik tubuh Hinata hingga jatuh dari ranjang. Bahkan dia menyeretnya seakan tidak menyadari bahwa manusialah yang saat ini ada di hadapannya, bukan binatang.
Sasuke membawa Hinata di hadapan jendela kaca besar. Sekarang sudah pukul setengah satu pagi. Jalanan kota sudah mulai sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. "Berdiri!" titah Sasuke.
Hinata benar-benar lemas. Bahkan hanya untuk menengadah guna melihat wajah Sasuke pun, otot-otot di kepalanya tak sanggup lagi.
"Berdiri! Kau dengar tidak?" Sasuke mencengkeram surai panjang Hinata. Dia menariknya ke atas hingga mau tak mau, Hinata harus menggerakkan kedua kakinya. Dia mencoba untuk berdiri dan berpegangan pada jendela. Perutnya terasa melilit saat dia memaksakan diri.
"Berbalik ke jendela!" titahnya tanpa penolakan.
Hinata menuruti begitu saja tanpa memberikan perlawanan. Dia tak ingin membuat Sasuke semakin emosi. Dari depan jendela kaca, dia bisa melihat butiran salju yang jatuh dari langit. Bibirnya sedikit melengkung. Dia menyukai salju. Setidaknya salju-salju itu menemani ketakutannya.
PLAK
"AAKKHH!" Satu jeritan panjang lolos dari bibir Hinata.
Sekali lagi, Sasuke menghentaknya habis-habisan. Bahkan tangannya mulai bergerilya di sekitar payudara Hinata yang menggantung. Dengan sekuat tenaga dia meremasnya bahkan mencubit putingnya. Di pikiran Sasuke hanya ada kata bagaimana membuat Hinata menjerit kesakitan.
"Sakit," lirih Hinata menahan perih.
Cukup lama mereka dalam posisi tersebut. Bahkan Sasuke sudah menahan bobot tubuh Hinata dengan cara melingkarkan lengannya di perut wanita itu. Dia bisa merasakan urat-urat di sekitar kejantanannya mengeras. Tampaknya sebentar lagi dia akan mencapai puncaknya. Tak ingin menyia-nyiakan spermanya, Sasuke langsung menarik Hinata kembali ke ranjang. Tubuh wanita itu berbaring di ranjang, namun kedua kakinya menggantung di lantai.
Sasuke mencengkeram paha Hinata semakin kuat hingga membekas dan menyisakan bekas memerah. Bibirnya menggeram saat kejantanannya memasuki vagina Hinata yang bercampur darah dan lendir putih. Tempo gerakan semakin cepat. Deru napasnya terdengar memburu.
PLAK PLAK
"Argh!" Pelepasan Sasuke berlangsung dahsyat. Giginya sampai bergemelutuk hanya untuk menahan geraman dahsyatnya. Namun apa boleh buat, tubuhnya tak bisa berdusta akan kenikmatan tubuh Hinata.
Sasuke membiarkan tubuhnya menimpa tubuh mungil Hinata. Dia bisa mendengar deru napas teratur dari bibir wanita muda itu. Namun lagi-lagi, deru napas pun bisa membangkitkan hasrat si Uchiha tersebut. Dan tanpa banyak berpikir, dia langsung melanjutkan sesi seksnya.
"Jangan kau pikir aku tertarik padamu," bisiknya di telinga Hinata. "Aku hanya ingin segera menyudahi ini, dan segera mendapatkan bayi yang diinginkan Sakura."
Untuk kesekian kalinya, dia menghunuskan dirinya ke dalam tubuh Hinata.
Bibirnya berkata tidak.
Namun, birahinya ... mengakui semua.
.
.
Kehamilan Hinata menjadi kabar bahagia bagi seluruh keluarga Uchiha. Hanya dua minggu berselang sejak insiden percintaan antara Sasuke dan Hinata, akhirnya rahim Hinata berisi. Sudah pasti mereka menyambutnya dengan baik. Bahkan Sakura pun dengan senang menerima kehamilan Hinata dan membiarkan calon ibu itu untuk tinggal di apartemennya. Mikoto sama sekali tidak keberatan. Dia justru senang melihat Hinata dan Sakura begitu akrab. Mungkin setelah dia memiliki cucu nanti, dia bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang dan damai.
"Aku lebih menyukai jika Hinata yang menjadi menantu kita," Sosok Fugaku jarang sekali mengeluarkan pendapatnya. Tetapi untuk hari ini saja, beliau mengatakan keinginannya pada sang istri. " Menurutmu bagaimana?"
Mikoto tersenyum kecil. "Mauku pun begitu."
"Entah kenapa aku memiliki feeling bagus untuk mereka berdua."
Mikoto tersenyum lembut. "Tetapi, aku tidak yakin dengan keputusan ini, Suamiku. Pasti Sakura akan kecewa dan marah pada kita."
"Jelas saja istriku akan marah!"
Mikoto dan Fugaku tersentak kaget melihat sang putra di belakangnya. Dan yang paling membuat mereka terkejut adalah keberadaan Sakura di sampingnya. Mereka terkejut sekali. Sebelumnya tak pernah mereka kembali ke rumah sejak kandungan Hinata memasuki usia lima bulan.
"Sakura..." gumam Mikoto. Bisa dia temukan tetesan air mata di pipi Sakura. Wajar saja dia merasa marah dan sakit hati. Posisinya sebagai menantu Uchiha mulai diragukan oleh mertuanya. "Sakura..."
Secepat kilat Sakura berlari meninggalkan rumah mertuanya. Melihat wajah mereka saja, dia sgdah tak sanggup lagi. Hatinya bergetar pilu. Harga dirinya seperti diinjak-injak hanya karena rahimnya telah diangkat hingga tidak bisa memberikan mereka cucu. Ini juga bukan keinginannya. Wanita mana yang bersedia kehilangan rahim dikarenakan kanker. Tidak ada seorangpun!
"Kalian keterlaluan!" desis Sasuke marah. "Aku pun tidak sudi menikahi wanita jalanan itu, sekalipun dia mengandung buah hatiku!"
BERSAMBUNG
Hanya two shoot.
Chapter selanjutnya akan diperbaharui pada hari ulang tahun Ozel. Kapan? Uhmm just wait and see, okay.
.
.
AN: Sebenarnya mau tag Sakura, tapi... yagitulah.
