Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 1 – MEET THE MUSIC

Author's POV

Namanya Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines, Zen Wisteria. Dan hari ini ia baru saja mendapat panggilan langsung dari masternya untuk menemui beliau di ruang kerjanya.

Seperti ia yang biasa, Obi memilih untuk masuk melalui pintu beranda dengan sedikit memanjat di sana-sini. Daripada ia harus masuk melalui pintu depan dan secara tidak sengaja bertemu dengan tuan lamanya, ia memilih untuk masuk melalui cara lain yang menurutnya lebih aman dan lebih efektif.

"Master, anda memanggilku?"

"Kau sudah datang, Obi? Aku ada tugas untukmu." Zen tengah sibuk meneliti beberapa kertas–masih bersama Kiki dan Mitsuhide–yang sedari tadi membuat keningnya berkerut. Beberapa hari ini ia harus puas dengan hanya mampu melihat wajah Kiki dan Mitsuhide tanpa mampu sekalipun bertemu dengan Shirayuki–bahkan sekedar mendengar suaranya pun ia tidak memiliki kesempatan.

"Aku ingin kau pergi mengantarkan pesan, ke kastil Wistant."

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Pemuda itu baru saja mencapai gerbang depan kota Wistant yang dijaga cukup ketat. Kedua netra cat-like miliknya memindai intens daerah asing di sekitarnya. Ini kali pertama ia melakukan kunjungan menuju kota Wistant, terutama atas nama Pangeran kedua Clarines, dan Obi selalu tidak bisa tidak tertarik dengan sebuah tempat baru. Sudah menjadi hal yang mendarah daging dalam dirinya untuk menyukai hal-hal yang baru pertama kali ia temui.

Kedua kakinya menapaki diri pada tanah bersalju yang dingin, Obi bisa merasakan udara ekstrim di sekelilingnya walaupun ia telah mengenakan pakaian yang cukup tebal. Ia tidak tahu harus pergi kemana, sehingga pemuda itu hanya membiarkan kemanapun kedua kakinya membawanya pergi. Sesekali ia melirik singkat pada apapun yang menarik perhatiannya. Tidak jarang ia menemukan beberapa benda yang membuatnya ingin menghabiskan uang demi membelikan partner-partnernya di kastil Wistal.

"Silahkan dibeli! Kerajinan khusus buatan pengrajin Wistant!"

"Tuan, silahkan! Kain khusus hanya produksi Wistant!"

"Buah produksi botanist Wistant! Biasa digunakan pharmacist!"

Obi harus ekstra fokus pada tujuannya agar ia bisa segera mencapai kastil Wistant dan menyelesaikan tugasnya, mendadak Obi merasa kangen rumahnya di kastil Wistal. Padahal interval jam kepergiannya masih bisa dihitung dengan jari.

Jalanan kota yang tertutup salju semakin mempersulit Obi untuk terus berjalan, ingin rasanya ia memanjat ke atap dan berjalan menuju kastil dengan melompati atap satu ke atap lainnya–walaupun itu adalah hal yang mustahil–agar ia bisa segera mencapai tujuannya. Lampu-lampu kota menyala dengan segan walaupun suasana sekitar masih terbilang cukup ramai. Butiran salju yang kembali turun setelah beberapa jam menghentikan aktivitasnya juga tidak serta-merta membuat penduduk Wistant mengurung diri di rumah mereka. Sudah hal yang biasa untuk kastil Wistant tertutupi salju, dan penduduk telah terbiasa dengan pergi keluar mengenakan pakaian tebal daripada duduk di depan perapian tanpa melakukan apa-apa.

Dan di sinilah Obi, menghela nafas seraya memikirkan teh herbal panas yang akan disiapkan Mistressnya seketika ia sampai kembali di kastil.

Sebuah suara merebut fokus benak Obi dari kata 'rumah' sehingga ia menolehkan diri menatap sesosok gadis muda bersurai merah muda pucat yang tengah membawa sebuah alat musik petik.

Gadis itu menggenakan sebuah celana panjang hitam yang terlihat tipis dengan rok lipit berwarna peach, sebuah sweater tebal berwarna putih dan muffler yang melindunginya dari udara dingin. Gadis itu juga mengenakan sebuah sepatu boots kulit berwarna coklat muda yang sedikit terkena butiran salju. Sebuah sarung tangan manis berwarna putih tengah membungkus kedua tangannya yang menggenggam erat gitar kayu di depan tubuh.

"…while the stars waiting for your wish, won't you say what you wish upon the stars…" Obi menghentikan langkahnya dan mulai mengunci netra pada sosok yang tengah menyanyikan sebuah lagu dengan sangat merdu. Ya, Obi mengakuinya, ini pertama kali ia menemukan seseorang bernyanyi sejernih dan semerdu yang kini tengah disajikan di hadapannya. Mau tak mau ia terpikat dengan bagaimana suara itu mampu mengalihkan fokusnya dari kastil Wistal dan dari tugas mengantarkan pesannya.

"…the sky clear it's true, it's all depend on your wish for who you are and what you want to be…" Obi tidak sadar jika kini ia tengah melangkahkan kakinya semakin mendekati sosok memikat tersebut. Gadis itu tengah menutup matanya dan bernyanyi dengan senyum di bibir, ia terlihat menikmati apa yang ia lakukan sekarang dan Obi tidak bisa menyangkal jika ia ikut tersenyum melihatnya. Tanpa pemuda itu sadari, kini ia berada tepat di hadapan sang gadis.

Sang gadis menyelesaikan lagunya dengan sebuah nada akhir dari petikan gitarnya dan membuka mata–dengan sedikit terkejut–menemukan seorang pemuda berpakaian aneh tengah berdiri di hadapannya. Pemuda itu melemparkan lambaian tangan kikuk pada sang gadis yang hanya menaikkan alisnya keheranan.

"Waw, suaramu bagus. Dan sepertinya kau mendapat cukup banyak uang." Obi melirik pada keranjang bunga kecil di sebelah kiri kaki sang gadis dan terdapat cukup banyak nominal uang yang dilemparkan orang ke dalam sana.

"Terima kasih pujiannya." Gadis itu menyandarkan gitarnya pada kursi taman di belakangnya sebelum melanjutkan kalimatnya, "Hanya saja, agar kau tahu, aku menyanyi bukan untuk mencari uang. Ini hanya…entahlah…seseorang melemparkannya."

Obi tertawa ringan lalu memasukkan tangan kanannya ke dalam saku baju tebalnya yang kurang nyaman untuk ia kenakan. "Ne ojou-chan, bisa kau nyanyikan satu lagu lagi?"

Gadis itu memandanginya dengan tatapan ragu sebelum dengan tegas mengatakan tidak. Mendadak moodnya untuk bernyanyi menjadi buyar sudah, dan ia benar-benar ingin angkat kaki dari sini lalu segera pulang kembali ke rumahnya yang hangat dan nyaman. Sang gadis sudah bersiap mengambil gitar dan mengambil nominal uang yang ada pada keranjang kecil di sisi bagian kiri kursi taman, lalu segera beranjak dari pusat kota.

… … …

Namun, pemuda itu mengikutinya.

"Argh, apa maumu?" Obi menggaruk tengkuknya dengan seringai di bibir, sejujurnya ia sendiri tidak tahu mengapa ia mengikuti gadis di hadapannya. Mungkin karena rambut pucatnya yang aneh? Atau karena suara merdunya? Atau karena Obi merasa kebingungan harus pergi ke mana?

Gadis itu membalik badannya dan menghadap Obi. Ia baru menyadari perbedaan tinggi badan di antara mereka yang begitu besar dan ia merasa semakin kesal. Bibirnya mengerucut seraya ia menyingkirkan rambutnya yang mengganggu pandangan dan mengaitkannya di belakang telinga. Menunggu jawaban dari Obi yang masih saja tertawa renyah tanpa tahu apa yang ingin ia katakan.

"Jika kau tidak mengatakan apa maumu, aku akan pergi dari sini, sekarang juga." Hawa dingin tidak mampu membantu gadis itu untuk menenangkan diri, entah kenapa ia jadi agak uring-uringan, tidak biasanya ia seperti ini.

"Ahahaha… Ojou-chan, bisa aku minta tolong?"

.

.

.

Kini mereka berdua tengah berjalan beriringan melewati jalanan kecil kota Wistant. Obi tidak menyadari bahwa kastil yang harus ia datangi ternyata masih sangat jauh dari jangkauannya, ia pikir kastil Wistant akan sama seperti kastil Wistal yang berada tepat di samping kota. Keramaian pasar sudah tidak lagi bisa terlihat, bahkan Obi sudah tidak bisa mendengar teriakan para penjual dari sisi manapun. Kini ia hanya menghadap kekosongan jalanan sepi hanya ditemani seorang gadis yang baru saja ia temui beberapa saat lalu.

"Jadi…ada perlu apa kau pergi ke kastil?" sang gadis mencoba membuka percakapan, mengabaikan egonya dan memilih untuk memecah keheningan diantara keduanya.

"Yah, aku ada tugas dari seseorang untuk pergi ke sana. Mengantarkan sesuatu, ahaha." Gadis itu tidak menjawab apapun lagi dan memilih untuk fokus pada jalanan di hadapannya. Ia tidak paham bagaimana pemuda di sampingnya ini selalu tertawa akan hal-hal yang tidak ia ketahui, akan hal-hal kecil yang begitu…aneh? Ia tidak pernah paham dengan semua orang yang mampu tertawa semudah itu.

Keduanya kembali berbelok seketika jalanan kecil ini semakin menyempit menjadi sebuah lorong yang terlihat ganjil. Menyebabkan keduanya harus berjalan depan-belakang agar cukup berada di lorong sempit tersebut. Obi mulai curiga–bukan dengan sang gadis–dengan semua hal yang ada di jalanan ini. Kenapa mereka harus melewati jalanan kecil seperti ini? Bukankah seharusnya jalan menuju kastil dibuat seindah, sebesar, dan semegah mungkin? Bukannya ia mencurigai gadis ini, toh ia sendiri yang meminta tolong untuk diantarkan ke kastil Wistant, namun intuisinya mengatakan memang ada sesuatu.

"Ne, Ojou-chan, kenapa kita melewati jalanan kecil seperti ini?" mereka kembali berbelok di kelokan selanjutnya, bahu Obi sedikit terantuk pada pojokan lorong dan membuatnya mengaduh kesakitan.

"Jalan pintas. Kau bilang ingin sampai ke kastil secepat mungkin, bukan?"

"Ahaha…souka…"

Lagi. Pemuda itu tertawa lagi.

Entah mengapa, semakin kemari gadis itu semakin memikirkan mengenai tawa pemuda di sandingnya yang sungguh membuatnya gemas. Bukannya ia tidak suka dengan orang yang mudah mengeluarkan sebuah tawa, namun entah mengapa pemuda itu terkesan menyembunyikan sesuatu dalam tawanya agar gadis ini tidak berusaha ingin tahu dan mencari tahu mengenainya. Namun, semakin seseorang menutupi sesuatu, adalah sebuah kewajaran bukan jika orang lain semakin ingin mencari tahu? Dan itulah yang kini terjadi pada sang gadis. Rasa ingin tahunya kini tengah membuncah luar biasa.

SREKK–

Obi bisa mendengarnya. Meskipun sangat samar tapi Obi bisa mendengarnya dengan jelas. Mereka ada 3…tidak 5 orang, sepertinya orang-orang dunia bawah, Obi menimbang-nimbang apakah ia harus memberitahu nona di hadapannya–atau tidak? Siapa tahu bukan jika gadis itu adalah orang yang menggiringnya kemari demi uang? Mungkin saja ini memang hanya jebakan, toh tidak ada alasan yang jelas untuk melewati jalanan sempit ini demi ke kastil.

Gadis di hadapannya masih bersikap biasa saja, berjalan santai dengan tegap dan gitar di punggung. Jika gadis ini memang adalah orang yang membawanya kemari, maka wajar jika ia bersikap setenang itu. Namun…bagaimana jika gadis ini tidak tahu apa-apa? Mungkinkah ia tidak mendengar suara langkah kaki kasar itu? Sejak dulu, Obi selalu percaya pada intusisi tajamnya yang memang telah diakui Zen dan rekan-rekannya. Sehingga wajar saja jika Obi menyadari hal yang orang lain tidak sadari.

Mereka kembali berbelok dan kini memasuki sebuah jalanan yang jauh lebih besar–sehingga Obi bisa berjalan beriringan dengan gadis itu dan melihat raut mukanya–walaupun masih terlihat sepi dan ganjil, setidaknya sudah tidak sesempit lorong yang sebelumnya. Jalanan lebar ini tak kunjung habis, dan mereka tidak juga berbelok ke arah manapun, keduanya terus saja berjalan ke depan menyusuri jalannya lorong besar ini. Obi melirik pada sang gadis, namun raut mukanya masih sama–hanya tergurat sedikit kekhawatiran dalam urat matanya–yang tentunya membuat Obi semakin yakin bahwa kemungkinan gadis itu adalah perempuan jahat mungkin adalah kebenarannya.

SREK–SREKK–

Lagi, Obi mendengarnya lagi. Dan suaranya semakin dekat.

Tangan pemuda itu mulai merayap menuju sisi belakang jubah musim dingin–yang secara paksa ia kenakan akibat persuasi dari Mitsuhide–mencoba meraih senjatanya yang ia sembunyikan secara hati-hati di bagian belakang bajunya. Ia merasakan tangan kanannya mulai menyentuh logam tajam tersebut dan ia bersiul kecil, mencoba memancing siapapun atau apapun yang membayang-bayangi mereka berdua sejak tadi.

SREKK–SREKK–BAMM–

"Sial," gadis itu mengumpat sebelum ia mengencangkan tali tas gitarnya dan mulai mempercepat langkah, menyebabkan persepsi Obi harus dibalik seratus-delapan-puluh derajat akibat sikapnya.

"Kau menyadarinya juga, Ojou-chan?" Obi mencoba menyesuaikan pace dengan sang gadis tanpa menimbulkan gerakan yang tidak perlu, toh ia terlatih untuk bergerak tanpa suara. "Bukankah kau yang menggiringku kemari untuk diumpankan pada mereka?"

"HAH?!" Gadis itu berhenti sejenak dan memutar tubuhnya, kedua netranya yang bening seperti kaca membelalak terkejut akan pernyataan yang dilemparkan Obi. Tidak pernah. Tidak akan pernah sekalipun gadis itu mengumpankan siapapun pada orang-orang bodoh itu. "Memangnya kau pikir aku ini apa, hah? Seorang wanita tidak waras yang hobi mencarikan mangsa untuk para pria busuk menjijikkan itu demi segebok uang?"

Gadis itu marah, benar-benar marah. Marah pada pemuda itu yang sungguh tanpa tahu diri telah menghakiminya sebagai wanita kurang ajar yang hobi mengais uang. Dan ia tentu saja marah pada dirinya sendiri yang memilih jalanan yang salah–dan tentunya menyeret pria malang ini dalam sebuah marabahaya. Setidaknya ia bisa mengkondisikan dirinya sendiri untuk kabur dari pria-pria itu, namun bagaimana dengan pemuda mata kucing ini? Tidak mungkinkan dia menelantarkannya di sini tanpa belas kasihan apapun?

Obi kembali tertawa sebelum mengeluarkan suara, "Ahahaha, gomen gomen, Ojou-chan. Aku hanya mengatakan apa yang terlintas di otakku."

Obi mulai mengeluarkan senjata tajamnya walaupun tangan masih berada di balik jubah, menyembunyikan benda berbahaya tersebut dari jangkauan pandang siapapun yang membayanginya.

"Ojou-chan, kau punya bakat lain selain bernyanyi?" Gadis itu menaikkan alis sejenak walaupun kedua kaki masih bergerak cepat, sebelum ia menjawab. "Oh ya, aku punya bakat yang sangat hebat, kau tahu? Bakat berlari dan kabur dari sebuah baha–"

TRAANGG–

'Hampir saja,' sebuah pisau kecil terlempar menuju sosok gadis manis bertas gitar dan untungnya Obi, berhasil menangkisnya tepat pada waktunya.

"KALAU BEGITU LARILAH!" Kini keduanya berlari menyusuri lorong tanpa ujung tersebut. Gadis itu bisa merasakan degupan jantungnya yang luar biasa cepat, nafasnya terengah-engah dan ia hanya bisa berharap pada tuhan agar dia–dan lelaki yang kini bersamanya–selamat dari apapun yang kini mengincar mereka. Memang sudah menjadi hal wajar jika ada satu atau dua bandit kota yang bersarang di tempat-tempat kumuh seperti lorong yang kini mereka lalui. Ia merasa begitu bodoh karena memilih melalui jalanan ini ketimbang melewati jalur utama hanya karena alasan tolol yang sungguh menggelikan. Sebuah karnaval besar di jalan utama.

Ya, ia tahu keegoisannya memilih jalan ini demi menghindari penjaga kota memang adalah sebuah kesalahan yang luar biasa besar. Namun, kini ia hanya bisa berdoa dan bergantung pada kedua kakinya untuk pergi secepat mungkin dari apapun yang kini mengejarnya.

Obi mencoba menajamkan kelima indranya, terutama indera pendengarannya. Ia harus mampu mendeteksi sejauh mana kini orang-orang yang mengejar mereka. Dan ia tahu mereka juga mulai berlari, cepat atau lambat mereka pastilah harus berhadapan satu sama lain. Dan pada saat itu, Obi harus memastikan sang nona untuk berlari sejauh mungkin dari penjahat-penjahat dunia bawah kota Wistant.

TRANGG–

Mereka melempatnya lagi, sebuah pisau tipis kecil nan menggemaskan yang diarahkan tepat pada sang gadis. Obi tidak tahu, apakah ini hanya kebetulan atau apa, hingga kedua pisau yang dilemparkan para penjahat itu benar-benar mengarah tepat pada sang gadis, bukan pada dirinya yang lebih mudah digapai.

Obi mampu melihat bagaimana gadis itu berusaha keras untuk tetap berlari walaupun sepertinya kedua kakinya tidak sanggup lagi. Surainya yang bewarna merah muda pucat berkibar tertiup angin musim dingin, menyebabkan Obi memperhatikannya dengan jelas, sebuah choker yang dikenakan gadis itu dengan bandul yang ia letakkan di bagian belakang lehernya. Meskipun kini bukan waktunya memperhatikan hal itu, Obi mau tidak mau malah terfokuskan pada benda aneh yang melingkup leher sang gadis. Bandul aneh berbentuk kupu-kupu yang terlihat seperti sebuah family crest mahal dan terbuat dari logam mulia.

Mereka berlari kian cepat hingga mencapai ujung lorong lebar ini yang menuntun mereka pada sebuah lahan lapang besar, dan sialnya, mereka terkepung.

"Ojou-chan!" Obi menarik pergelangan tangan sang gadis dan memposisikan diri didepannya, berusaha protektif. Sekeliling mereka penuh dengan pria-pria yang terlihat seperti bandit dengan seringai menjijikkan pada bibir, dan tak lama kemudian jalan di belakang mereka juga tertutup oleh manusia yang tengah meneror mereka sepanjang perjalanan di lorong panjang.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" sang gadis membisikkan kalimat rancu tersebut tepat pada telinga Obi. Walaupun ia bisa merasakan kedua kakinya gemetar hebat dan tangannya pasti sangatlah dingin–yang bisa Obi rasakan akibat ia memegang pergelangan tangan sang gadis.

"Kau punya bakat lain selain bernyanyi dan err…berlari dari bahaya?" Obi masih mengeluarkan nada main-mainnya walaupun mereka berada di situasi genting seperti ini, menyebabkan gadis itu memutar bola matanya kesal.

"Apakah mengayunkan gitar dapat dihitung menjadi sebuah bakat?" Obi tertawa sekali lagi sebelum menjawab, "Maka itu adalah bakat terpendammu, Ojou-chan."

Obi melepaskan pergelangan tangan sang gadis dan mulai melompat dari satu sisi ke sisi lain dan menyerang satu persatu pria tua di hadapannya. Sang gadis hanya menatap Obi dengan kekaguman yang berlebihan, ia tidak mengira pemuda menyebalkan itu ternyata memiliki kemampuan khusus dalam hal beladiri tangan kosong. Obi hampir menyerang semua penjahat dunia bawah tersebut tanpa menggunakan senjata satupun.

Pukul, tinju, tendang, pukul lagi, lompat, tendang, lompat, dan begitu seterusnya hingga hampir semua bandit berhasil ditakhlukkan oleh Obi sang pengirim pesan.

Oh, hampir semua, tentu saja.

Satu orang bandit yang sepertinya cukup pintar memilih untuk menyerang gadis muda yang terlihat tanpa penjagaan di sisi lain lahan kosong, dan ketika Obi menyadarinya semua hampir saja terlambat.

"OJOU-CH–"

BUAGH–

Gadis itu melayangkan sebuah tendangan tepat pada perut bandit yang berniat menyerangnya yang tanpa penjagaan. Obi hanya terdiam di tempat, seraya meninju bandit terakhir sebelum akhirnya kini semua bandit tengah tidak sadarkan diri.

"Oh, sepertinya kau tidak selemah seorang nona muda yang biasa kulindungi."

"Sungguh? Memangnya kau pikir aku wanita tua gila yang tidak bisa menjaga diriku sendiri?" ia merapikan tas gitarnya dan berjalan melangkahi pria yang baru saja ia tendang. Tatapan jijik ia layangkan seketika melewati satu demi satu bandit gila yang kini terkapar di tanah. Netranya melayang pada pemuda aneh yang lebih gila lagi, pemuda yang berhasil mengalahkan semua bandit bersenjata ini dengan tangan kosong.

Sepertinya memang benar, pemuda itu, bukan pemuda biasa.

.

.

.

Gadis muda itu berhenti di ujung jalan besar, ia mengenakan kembali tudung kepalanya dan berbalik pada sang pemuda yang menjadi partner perjalanannya beberapa jam ke belakang.

"Itu kastil Wistant. Jalan ini mengarah lurus ke kastil." Ia merasakan udara semakin dingin, rasa rindu rumah dan kehangatannya segera merayap pada diri sang gadis.

"Aah… Jadi kita berpisah di sini?" Obi merapatkan jubah musim dinginnya dan tersenyum. Setidaknya setelah ini ia bisa kembali ke sisi tuannya dan minum teh herbal hangat buatan Shirayuki–yah setelah semua tugasnya selesai.

"Yaps." Obi mulai berjalan mendahului teman perjalanannya, sembari melambaikan tangan tanpa mengucapkan salam apapun. Oh sungguh, gadis itu merasa sangat kesal sekarang. Bahkan ia tidak mengucapkan lafal terima kasih atau maaf, dasar lelaki tidak tahu diri.

"N-N-NAMA! SETIDAKNYA BERITAHU AKU NAMAMU, BODOH!" Emosi, gadis itu melemparkan batu terdekat yang mengenai tepat pada bahu si bocah mata kucing–bahu yang sama yang tadi terantuk pojokan dinding lorong. Mau tak mau Obi menoleh sembari meringis menahan rasa sakit.

Ia tertawa, lagi, yang membuat gadis itu kembali merasa kesal. "Ahahaha. Obi! Itu namaku, Ojou-chan." Obi tidak tahu, kenapa ia melontarkan nama aslinya, bukan nama palsu yang biasa ia jadikan samaran.

"L-Leva… aku tidak suka dengan panggilan 'ojou-chan'. Aku punya nama kau tahu." Leva membuang pandangannya dengan risih, ia tidak mau melakukan kontak mata dengan manusia gila yang kini sudah berjarak beberapa meter jauhnya dari gadis itu. Nafasnya berubah menjadi uap dan makin menghalangi pandangannya pada sang pemuda.

"Ja, Leva-ojou, arigatou~ Sampai berjumpa lagi, di lain waktu." Setelah mengedipkan matanya dengan tanpa kejelasan, Obi kembali memunggungi Leva dan berjalan menjauhi gadis itu, masih dengan tangan kanan yang setia melambai-lambai.

Setelah pemuda itu tidak lagi berada dalam jangkauan mata, Leva berbelok menuju jalan kecil di sisi taman kota dan segera mencari semak-semak yang menjadi tempatnya keluar masuk kastil Wistant.

.

.

.

To be continued (?)

Okee hai hai~

Perkenalkan nama saya Nakashima Aya, panggil saja sesuka hati seenak jiwa sedamai batin. Ini kali pertama diriku menulis sebuah fanfic di fandom Akagami no Shirayukihime dan langsung meluncur menulis OC(insert) toh Aya memang seorang author spesialis OC/reader insert.

Tanpa babibu dan ulala langsung saja Aya berterima kasih pada semua yang sudah meluangkan waktu berharganya untuk sekedar membaca fanfic ini. Hontouni arigatou gozaimasu /bungkuk badan/

nb : Untuk fanfiksi Aya yang lain (License to Drive a Sandwich dan Stupid Love) masih dalam masa pengerjaan dan akan segera dilanjutkan dalam waktu dekat ini :'') Maafkan Aya yang updatenya ngaret keterlaluan reader-sama :''''')

Sore ja, sampai jumpa di chapter berikutnya~

Salam Hangat,

Nakashima Aya