Dia duduk sendiri. Di bawah naungan awan senja kemerahan. Sebagian cahaya jingga tampak memantul dalam lautan mata beningnya. Tak lama kemudian ia tersenyum. Ah.. betapa lengkungan itu menentramkan hatiku hanya dengan melihatnya.
Lalu aku tersadar. Kenyataan begitu menohokku. Saat aku merasa telah terbang sampai di langit ke tujuh, aku langsung dijatuhkan begitu saja. Tanpa dihiraukan maupun belas kasihan. Tubuhku hancur. Hatiku remuk. Semuanya luruh berkeping-keping.
Kejam? Menyakitkan? Memang!
Aku tahu segalanya. Semua rasa sakit itu. Tapi entah kenapa aku selalu mengulanginya tanpa henti.
Terus dan terus.
Aku bahagia, namun tersakiti secara bersamaan. Apa namanya itu?
Untukmu yang tak mau tahu perasaanku..
.
.
.
JUST A SHADOW
.
Disclaimer: Naruto by Mashashi Kishimoto
Warning: AU, OOC, Typo, monoton, dan banyak lagi
.
.
.
Happy Reading!
.
.
.
Aku hanya bayangan...
.
.
.
Ada yang bilang jika persahabatan itu indah. Segala suka dan duka bisa dibagi bersama-sama. Sahabat akan selalu ada kapanpun dibutuhkan. Tak peduli apapun masalah yang kau ceritakan, sahabat akan setia mendengarkan. Tak jarang mereka juga memberi solusi. Bukankah sahabat memang harus begitu?
Lalu bagaimana dengan mereka berdua? Naruto dan Hinata.
Mereka saling mengenal. Mereka berteman. Lebih dari itu, mereka bersahabat.
Sahabat.. Anggap saja begitu. Apa kita tahu apa yang disembunyikan hati mereka masing-masing?
Tidak bukan?
Jadi biarkan saja mereka berdua menjalaninya. Entah ada yang tersakiti atau tidak.
Siapa peduli?
Selagi mereka bisa memuaskan keinginan, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Meski setelahnya mereka harus diam-diam meneteskan air mata.
...
0o0o0o0o0o0o0o0
...
"Hinata! Tunggu aku!"
Gadis bersurai nila itu berhenti berjalan. Ia menoleh. Dipandanginya laki-laki jabrik yang tengah berlari ke arahnya. Lelaki itu nampak kesusahan bernafas saat telah berhenti di dekatnya. Hinata menaikkan alisnya.
"Ada apa Naruto-kun? Tidak biasanya kau seperti ini," kembali ia melangkahkan kaki saat dikiranya Naruto telah bernafas dengan normal. Lelaki itu ikut menyejajarkan langkahnya dengan Hinata.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, Hinata.. Kau punya waktu luang 'kan?"
Hinata terlihat mengingat-ingat, "Sepertinya begitu. Kau ingin mengajakku ke mana?"
"Ra-ha-si-a ..." Naruto berkata pelan dengan seringai kecil yang terpampang di wajahnya, "Kau akan tahu, Hinata. Kujemput jam delapan malam nanti."
Hinata menggembungkan pipinya sebal, "Kau selalu saja membuatku penasaran. Kenapa tidak langsung memberitahuku saja, Naruto-kun?"
"Kalau kuberitahu, bukan rahasia lagi namanya .."
"Tapi kau selalu merahasiakan banyak hal dariku," lirih Hinata pelan. Tak dinyana pemuda jabrik itu mendengarnya. Naruto menghentikan langkahnya.
"Aku merahasiakan semuanya?"
Hinata ikut berhenti. Diperhatikannya Naruto dengan tatapan bingung tak mengerti. Mungkin ada yang salah dengan kata-katanya yang terakhir tadi. Bukan mungkin lagi, tapi jelas-jelas memang salah. Hinata menggigit bibirnya sendiri. Benar-benar bodoh! Rutuknya.
"Apa saja yang kurahasiakan, Hinata? Soal kau adalah sahabatku? Tentang diriku yang takut gelap? Atau tentang aku yang diam-diam pernah membaca buku harian tentang cinta pertamamu? Atau.. mungkinkah mengenai diriku yang pernah mencuri ciuman pertamamu waktu umur kita delapan tahun?"
"Cukup, hentikan, Naruto-kun!" kata Hinata cepat. Wajah gadis itu sudah dirambati warna merah. Kenapa Naruto masih mengingat kenangan memalukan itu? Ingatan Hinata berputar kembali. Hinata bukan tidak mengingatnya –mengenai Naruto yang pernah menciumnya, hanya saja ia terlalu malu untuk mengungkitnya. Lagipula itu sudah lama sekali. Usia mereka saat ini saja sudah menginjak 22 tahun.
Bukan hanya itu saja. Sebenarnya Hinata masih punya alasan lain. Alasan yang tak diketahui siapapun, termasuk Naruto. Sebuah alasan yang membuat jantungnya berdentum tak karuan dan bimbang secara bersamaan jika ia mengingatnya. Oleh karena itu, Hinata berusaha menyimpan semuanya tanpa berusaha mengungkitnya.
Namun sepertinya Naruto telah menggagalkan niatnya. Lelaki itu justru tergelak melihat ekspresi Hinata yang menggemaskan, "Ya ampun, Hinata .. Kau malu? Haha.."
"Kalau tahu kenapa tanya! Dasar .." sahut Hinata kesal, masih dengan menyembunyikan rona wajahnya.
"Maaf .. maaf .. aku tak bermaksud begitu. Kuantar pulang ya?"
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri!"
"Yah.. jangan marah dong, aku kan cuma bercanda. Aku juga sudah minta maaf. Lagipula itu kan memang fakta,"
"Naruto-kun!"
"Hinata!"
"Ahh.. terserah! Pulanglah dan jangan ganggu aku, Naruto-kun!" Hinata melangkahkan kakinya cepat bermaksud meninggalkan Naruto. Tapi bukan Naruto namanya kalau membiarkan tujuannya tak tercapai. Dengan cepat ia mencekal tangan Hinata dan memutar tubuh gadis itu untuk menghadapnya.
"Lalu bagaimana dengan janji kita tadi?"
Hinata memalingkan wajahnya,"Aku tidak peduli! Kenapa harus aku yang kau ajak? Kau kan punya banyak sahabat,"
"Tapi sahabatku yang paling dekat itu kau, Hinata .."
"Kau bisa mengajak Sasuke-san, Kiba-kun, atau Shikamaru-san yang sama-sama sahabatmu. Ada juga Hotaru dan Karin-nee yang merupakan sepupumu. Atau .." Hinata tampak ragu untuk mengucapkannya, "Orang yang kau sukai, Shion-san."
Mata Naruto sedikit membola,"Kau ini bicara apa, Hinata? Shion? Dia itu tak lebih dari temanku di klub tenis. Kenapa kau sampai berpikir seperti itu?"
"..."
"Dengarkan aku, Hinata! Aku punya alasan tersendiri kenapa aku mengajakmu. Aku tak bermaksud menyembunyikan apapun darimu. Tidak sekarang, tapi aku janji akan kuberitahu semuanya nanti. Kumohon .." Naruto menggenggam erat kedua tangan Hinata tepat di depan wajahnya yang dibuat memelas.
"Pemaksa!"
"Iya, aku memang pemaksa,"
"Tidak tahu diri! Egois!"
"Iya, aku memang seperti itu. Walaupun begitu aku tetap sahabatmu, kan? Jadi, siap tidak siap aku akan menjemputmu. Jika pada waktunya kau tidak segera menampakkan diri, maka aku akan langsung masuk ke rumahmu, mendobrak kamarmu, dan menyeretmu. Tak peduli kau sudah berdandan cantik atau masih berantakan,"
Hinata menepis tangan Naruto hingga terlepas, "Kalau kau melakukannya, Ayahku akan membunuhmu,"
"Paman Hiashi tak akan membunuhku, Hinata. Apa kau lupa kalau aku sudah dianggap anak sendiri oleh Ayahmu itu," Wajahnya mendekat. Tangan tan-nya bertengger pada pundak Hinata yang berjengit. Reaksi dari perlakuan Naruto kepadanya.
"Terserah kau saja, Naruto-kun .. Aku mau pulang sekarang," mau bagaimanapun juga, ujung-ujungnya Hinata tak akan bisa menolak keinginan Naruto. Baik itu permintaan kecil, maupun gila sekalipun, ia akan tetap menurutinya. Hingga terkadang ia dibuat bingung dengan dirinya sendiri karena kelewat peduli dengan pemuda itu.
Naruto mengerling dengan wajah berbinar, "Mau kuantar?"
"Tidak perlu, terima kasih .." balasnya datar.
"Aa.. baiklah. Hati-hati di jalan, Manis .."
Cup
Satu kecupan ringan mendarat di pipi kanan Hinata. Hinata yang terpaku masih memproses kejadian tersebut. Sebelum ia akhirnya sadar dan siap memaki sang pelaku yang mencium pipinya sembarangan, Naruto –si pelaku– sudah melarikan diri dan hilang entah kemana. Hinata hanya bisa menghela nafas panjang dan berat.
Kenapa, Naruto-kun?
Di tempat lain, tak jauh dari Hinata...
Maafkan aku, Hinata...
.
.
To be Continued
.
.
Hai semua! Ketemu lagi sama saya..
Saya bingung nih pengen bilang apa #dilempar
Hehe.. pertama saya mau minta maaf dulu karena jarang banget muncul, nggak ngebales semua review, belum lagi saya masih punya hutang fanfic sama pembaca. Baik itu multichap (Meet You Again) atau yang pada minta sequel. Maaf, dan maaf banget. Bukannya nggak mau buat atau nerusin, cuma agak males doang #huuu
Saya juga berterima kasih buat yang udah ngedukung karya saya sampai sekarang. Baik itu lewat review, fav, follow, atau cuma sekedar membacanya. I was very happy just with it.
Cukup itu dulu untuk sekarang.
Kritik dan sarannya?
Terima kasih...
