Disclaimer: This story is based on characters and situations created and owned by JK Rowling. No money is being made and no copyright or trademark infringement is intended.
Warning(s): this fic contain SLASH, AU in future chapter and a bit Canon in the beginning, OOC and typo. So if you don't like, please don't read! 'kay?
Pairing: Tom Marvolo Riddle Jr. / Harry Potter
Author's note: Ini adalah fic dengan pair TMR/HP dalam bahasa Indonesia. Seperti kebanyakan fic dengan pair ini, akan ada Time Turner-nya juga. Tapi jangan anggap saya menjiplak atau apa. Ini murni ide saya sendiri yang idenya bahkan sampai terbawa mimpi. Di chapter ini, saya menyisipkan sedikit Canon di buku 1, tapi untuk selanjutnya akan menjadi AU.
Karena saya yakin fic dengan pair ini terutama yang bukan berbahasa Inggris sangat sedikit, saya bermaksud kalau seandainya tidak ada satu pun review yang saya dapat, fic ini tidak akan saya lanjutkan, XD. Jadi saya mohon ketersediaan readers untuk menanggapi fic ini. Kritik dan saran saya terima.
:::
Chapter 1: Dumbledore's Plan
31 Oktober 1981
Seekor kucing dengan bulunya yang berwarna kekuningan duduk diam di sudut sebuah jalan bernama Privet Drive. Kedua iris matanya menatap lekat ke arah sebuah rumah di jalan itu. Tepatnya ke rumah bernomor empat. Kucing itu tidak bergerak sejak tadi pagi yang jelas-jelas membuat seorang Vernon Dursley sedikit mengerut heran. Namun pria bertumbuh gemuk itu segera mengenyahkan pikirannya dari kucing tersebut. Saat menjelang tengah malam, barulah kucing itu bergerak dari tempatnya sejak tadi berada.
Kucing itu baru bergerak setelah seorang pria muncul dari sebuah sudut lain yang sejak tadi siang diamati oleh kuncing tersebut.
Tidak seperti kebanyakan pria yang sering terlihat di Privet Drive, pria ini tinggi, kurus dan terlihat sangat tua dengan rambut dan jenggot panjang yang berwarna keperakan. Ia mengenakan jubah panjang dan mantel berwarna ungu yang ujungnya menyapu tanah serta sepatu berhak tinggi. Sepasang iris mata birunya tersembunyi di balik sebuah kacamata bulan separuh yang ia kenakan. Pria ini tidak lain adalah Albus Dumbledore.
"Senang melihatmu di sini, Profesor McGonagall," sapa pria itu ke arah di mana kucing berbulu kuning tadi berada. Tapi bukannya mendapati seekor kucing, di tempat tadi kini tengah berdiri seorang wanita berkacamata persegi. Ia juga mengenakan jubah tapi berwarna hijau. Rambut hitamnya digelung rapi.
"Bagaimana kau tahu itu adalah aku?" tanya wanita itu.
"My dear Professor, aku sama sekali tidak pernah melihat seekor kucing duduk sangat kaku."
"Kau tidak akan kaku jika kau tidak duduk di atas tembok sepanjang hari," kata Profesor McGonagall.
Kedua orang itu kemudian terlibat dalam pembicaraan yang membicarakan kejadian-kejadian aneh yang terjadi sepanjang hari ini. Wanita yang dipanggil Profesor McGonagall itu mengomentari tingkah bodoh seorang pria bernama Dedalus Diggle yang katanya membuat bintang jatuh di daerah Kent. Ia juga menyebut pria itu tidak mempunyai selera yang bagus.
"... Burung hantu yang berkeliaran sama sekali tidak ada artinya dibandingkan rumor yang kudengar," kata wanita itu lagi. "Kau tahu apa yang mereka katakan? Mengenai mengapa 'Dia' menghilang? Tentang 'apa' yang akhirnya menghentikan 'Dia'."
Dumbledore tidak berkata apa-apa. Pria itu hanya diam sambil menatap jauh ke depan.
"Mereka berkata kalau semalam Vol-Voldemort datang ke Godric's Hollow. Ia ingin menemukan Potter. Rumor mengatakan kalau Lily dan James Potter bahwa mereka... mereka... mati."
Dumbledore menundukkan kepalanya dan membuat Profesor McGonagall seketika itu juga tersentak.
"Lily dan James... Aku tidak bisa percaya... Aku tidak ingin mempercayainya... Oh, Albus..."
"Aku tahu... Aku tahu...," ujar pria itu dengan nada berat. Ia mencoba menenangkan rekan kerjanya tersebut.
"Bukan itu saja. Mereka mengatakan kalau ia mencoba untuk membunuh anak Lily dan James. Tapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa membunuh anak laki-laki itu. Tidak ada yang tahu mengapa, atau bagaimana, tapi mereka mengatakan ketika ia mencoba membunuh Harry Potter, kekuatannya hancur... dan itu yang menyebabkan ia menghilang."
Dumbledore hanya mengangguk.
"Jadi... jadi itu benar?" kata wanita itu tidak percaya. "Setelah apa yang ia lakukan... semua orang yang telah ia bunuh... ia tidak bisa membunuh seorang anak laki-laki? Hanya saja ini sangat mengejutkan... setelah apa yang dilakukan untuk menghentikannya... bagaimana mungkin anak itu selamat?"
"Kita hanya bisa menduga," kata Dumbledore. "Kita mungkin tidak akan pernah tahu."
McGonagall terdiam cukup lama. Ia masih tidak percaya atas apa yang ia dengar tadi sampai pada akhirnya suara gemuruh rendah memecah keheningan di antara mereka. Suara gemuruh itu semakin lama semakin keras saat mereka melihat ke atas dan ke bawah jalan dan mendapati ada seberkas sinar yang menyorot ke arah tempat di mana mereka berdiri; suara gemuruh itu membengkak menjadi raungan saat mereka berdua menatap langit dan sebuah sepeda motor besar jatuh dari udara dan mendarat di jalan di depan mereka.
"Hagrid," kata Dumbledore, terdengar lega ke arah seorang pria bertubuh seperti raksasa. "Di mana kau mendapat sepeda motor ini?"
"Membawanya, Profesor Dumbledore, sir," kata si raksasa. Memanjat hati-hati keluar dari sepeda motor sambil membicara. "Sirius Black muda memberikannya padaku. Aku mendapatkan benda ini darinya, sir."
Di dalam keremangan jalan, pria bernama Hagrid itu mengulurkan sebuah benda mirip buntalan kepada Dumbledore dan kalau dilihat lebih dekat, benda itu bukanlah buntalan biasa melainkan sesosok tubuh mungil yang tertutup oleh selimut tebal. McGonagall kembali tersentak saat kedua matanya menatap bayi laki-laki yang tengah tertidur pulas. Di dahi bayi itu ia bisa melihat sebuah bekas luka seperti kilat.
Dumbledore mengambil bayi itu ke dalam pangkuannya. Kedua iris biru cerahnya menatap lekat bayi dalam pangkuannya.
"Apa yang akan kaulakukan, Albus?" tanya McGonagall saat melihat pria itu berjalan menjauh. "Kau tidak berniat untuk meninggalkan bayi itu di depan pintu rumah Muggle itu 'kan? Dumbledore... kau tidak bisa melakukannya. Aku sudah mengamati mereka sepanjang hari. Anak laki-laki mereka... Aku melihat anak itu menendang Ibunya sepanjang jalan, berteriak untuk permen! Kau tidak bisa membiarkan mereka untuk me-"
"Siapa yang mengatakan hal itu, Minerva?" potong Dumbledore cepat.
McGonagall menatap penuh tanda tanya ke arah pria berambut keperakan itu. "Ku-Kupikir kau akan—"
Dumbledore menggeleng. "Aku akan membawanya ke tempat lain," katanya. "Aku akan membawa anak ini ke masa di mana semuanya bermula."
McGonagall yang sama sekali tidak mengerti atas apa yang dibicarakan pria itu hanya bisa diam saja. Kedua matanya menatap lekat ke arah Dumbledore yang mengeluarkan tongkat miliknya dari balik jubah. Ia semakin mengerut tidak mengerti ketika mendengar Dumbledore menggumamkan semacam mantra yang sama sekali tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Semacam sinar keperakan muncul dari ujung tongkat pria itu dan kemudian semakin lama semakin melebar sampai akhirnya sebuah lubang berwarna hitam dengan pinggirannya yang mengeluarkan pendar kebiruan muncul di mana ujung tongkat pria itu berada.
"Apa yang sedang kaulakukan, Albus?" tanya McGonagall; menghiraukan suara pekik keras dari sosok Hagrid yang berdiri di sampingnya.
Dumbledore memandang ke arah lubang berwarna hitam pekat di hadapannya. Tanpa sadar ia mencengkram sedikit erat selimut yang menutupi sosok bayi di dalam pangkuannya sehingga menyebabkan bayi itu bergerak tidak nyaman dalam tidurnya. Ia menghela nafas pelan kemudian kembali menatap ke arah dua orang di belakangnya.
"... Kau pernah mendengar kalau masa lalu dan masa depan bisa dirubah kalau kita tahu caranya, Minerva?" tanya Dumbledore. Ia kembali melanjutkan ketika tidak mendapat jawaban dari wanita itu. "Aku bermaksud membawa anak ini ke tahun di mana Tom dilahirkan."
McGonagall tersentak begitu juga Hagrid.
"Anda tidak bisa melakukannya, sir," kata sosok bertubuh besar itu. Rambut dan jenggot yang menutupi hampir seluruh wajahnya bergerak seirama gelengan kepalanya. Sepertinya ia mengerti apa yang dimaksudkan pria berambut keperakan di depannya.
"Ya, aku bisa, Hagrid. Aku ingin anak ini merubah apa yang terjadi sekarang."
Dumbledore kembali menatap lubang di hadapannya. Ia sudah memikirkan ini sejak lama. Sejak ramalan mengenai takdir yang harus dijalani anak laki-laki dalam pangkuannya. Dan saat inilah saatnya. Ia tidak bisa membiarkan semua yang telah terjadi sekarang semakin bertambah buruk. Bukan hanya baginya, tapi juga seluruh dunia sihir.
Ia tahu kalau Voldemort sepenuhnya hancur dan meninggal. Ia tahu kalau suatu saat nanti pria itu akan kembali dan menebarkan teror di tempatnya berada dan Dumbledore tidak ingin hal itu kembali terjadi.
"Albus, jangan macam-macam. Kau tidak bisa melakukan itu. Apa kau tahu apa yang mungkin terjadi?" bentak McGonagall. "Lebih baik aku membiarkan anak itu dirawat oleh Muggle itu daripada membiarkanmu melakukan hal bodoh seperti ini. Apa yang kaupikirkan, Albus Dumbledore?"
"Mengubah apa yang seharusnya bisa kurubah," guman pria itu pelan. Tanpa mempedulikan kata-kata McGonagall, pria itu melangkahkan kakinya memasuki lubang hitam tersebut. Segera saja ia merasakan lubang di belakangnya menutup ketika seluruh tubuhnya sudah melewati ambang lubang itu. Melirik lewat bahunya, ia bisa melihat raut terkejut, tidak percaya dan ketakutan di wajah kedua orang itu; namun sekali lagi, ia mencoba tidak memedulikan semua itu.
Ia mengeratkan dekapannya pada sosok bayi mungil yang menggeliat tidak nyaman ketika merasakan udara dingin yang membelalai kulit halus bayi tersebut. Kedua iria mata biru cerah milik pria itu tidak henti-hentinya menatap lekat ke arah sebuah sinar keperakan yang berada di depannya. Semakin lama, sinar keperakan tersebut semakin mendekat ke arahnya dan dalam waktu yang singkat, sinar itu berhasil membungkusnya.
xoxoxo
31 Desember 1927
Hal pertama yang dilihat Dumbledore saat membuka matanya adalah sebuah bangunan besar dengan cat pada dindingnya yang terlihat pudar.
Suram.
Itu adalah kesan pertama yang selalu ia rasakan ketika melihat gedung ini. Walau ini bukan kali pertamanya ia mengunjungi bangunan tersebut, kesan itu tetap melekat di benak pria berambut keperakan itu. Menghiraukan udara dingin yang kembali membelai kulitnya, Dumbledore mulai menapaki satu per satu tangga beton bangunan tersebut. Ia cukup yakin tidak akan ada orang yang melihatnya mengingat saat ini sudah hampir mendekati tengah malam. Orang-orang di kota ini tidak akan mau berada di luar rumah apalagi dengan udara musim dingin yang harus mereka hadapi.
Di anak tangga paling teratas, ia mendadak terdiam. Ia memandangi sebuah pintu berwarna cokelat yang catnya juga sudah mulai memudar. Ia berpikir apakah kali ini apa yang ia rencanakan akan berhasil? Apakah mengirim anak laki-laki di pangkuannya ini ke setengah abad yang lalu merupakan keputusan yang tepat?
Ia kembali menggeleng. Bukannya ia sudah memikirkan ini sejak lama? Bukankah ia sudah yakin kalau seandainya apa yang dilakukannya ini berhasil maka apa yang ia takutkan nanti tidak akan terjadi? Ia kembali menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.
Ia kembali mengulurkan tongkat sihirnya ke depan. Menggumamkan mantra sehingga membuat sebuah keranjang bayi muncul dari udara yang kosong. Dengan perlahan ia meletakkan bayi yang sejak tadi berada dalam pangkuannya ke dalam keranjang tersebut. Ia tersenyum tipis ketika mendapati kalau anak laki-laki itu ternyata tidak juga terbangun karena perjalanan mereka tadi.
"Good luck, Harry," bisik Dumbledore kepada bayi mungil itu. Ia sempat mengetuk pintu cokelat di hadapannya sebelum melangkah menjauhi bangunan tersebut.
Hanya satu yang ia harapkan saat meninggalkan Anak-yang-Bertahan-Hidup itu di depan sebuah panti asuhan Wool. Hanya satu. Semoga anak itu bisa merubah apa yang terjadi saat ini.
To be Continued
So, what do you think?
Edited: 09/03/2011
