A/N:
Warning: sedikit (apa malah banyak?) OOC, AU, bahasa Prancis hasil G**gle translate =w=V
Keterangan:
1. Votre tante = bibimu
2. Oui = ya
3. Adieu = Sampai jumpa
Gaung sirene mobil polisi membelah kesunyian malam. Banyak orang tiba-tiba terbangun dan melongok melalui celah jendela; sekedar untuk melihat bagaimana kendaraan itu menerangi jalanan dengan cahaya merah yang menembus lewat sela-sela sempit dan menyilaukan mata. Dalam hati, orang-orang bertanya: "Ke mana gerangan mobil itu akan menuju?" Tapi, tak ada satu pun yang menyangka bahwa barikade mobil tersebut akan berhenti di depan halaman rumah keluarga Bonnefoy.
Pada saat itu, jam masih menunjukkan pukul satu dini hari. Francis Bonnefoy, yang pada saat itu masih berusia 11 tahun, tengah tertidur pulas di atas ranjang empuknya yang diterangi cahaya bulan purnama. Bocah itu sesekali mendengkur lembut dalam tidurnya, membuat kita terkadang berpikir apa yang diimpikan anak itu.
Dan nampaknya, selagi Francis memejamkan mata, mungkin pemuda ini tak menyadari derum mobil yang mendekat dan sirene mobil polisi, serta derap langkah kaki kedua orangtuanya yang terbangun di pagi buta.
Apa yang bisa diharapkan dari seorang Francis Bonnefoy? Sang tuan muda yang pada saat itu masih berumur 11 tahun masih terlelap di atas kasur empuknya, dan tenggelam dalam dunia mimpi yang terkadang—sering, malahan—di luar akal sehat. Sedangkan Monsieur Bonnefoy telah sepenuhnya terbangun. Mata pasangan tersebut sama-sama menunjukkan tanda tanya besar ketika melihat jajaran mobil polisi di halaman rumah mereka.
Tok! Tok!
Segera saja terdengar suara pintu diketuk setelah deru mesin mobil memelan. Dengan langkahnya yang pendek-pendek, Madame Bonnefoy bergegas membukakan pintu bagi para oknum polisi tersebut. Ketika pintu dibuka, sebelum wanita berambut pirang itu berkata-kata, ia terhenyak ketika mendapati seorang polisi berdiri di depan rumahnya dengan menggandeng Seychelles. "Maaf mengganggu. Saya Sadiq Annan," ujar sang polisi sembari menunjukkan lencananya yang berpangkat inspektur.
"A-Apa maksudnya ini?" tanya Madame Bonnefoy seketika itu juga. Monsieur Bonnefoy, yang mengikuti di belakang istrinya, pada saat itu turut hendak bertanya. Namun mulutnya segera bungkam begitu melihat siapa yang berada bersama para polisi itu.
"Sesel…? Ap—"
Tanpa memedulikan reaksi suami-istri Bonnefoy, polisi itu hanya menepuk pundak Seychelles dengan lembut, lalu bertanya. "Inikah votre tante?"
Sang gadis kecil yang berusia 9 tahun itu membisu. Tapi sejenak kemudian ia mengangguk pelan. "Oui," jawabnya. Mata bulatnya yang berwarna coklat madu bersinar redup, sementara sepasang kaki langsing membawanya ke dalam dekapan Madame Bonnefoy yang memeluknya erat—walau dengan pandangan bingung yang terlihat kian keruh.
"Ada apa?" Ia bertanya lirih. "Kenapa dengan dia?"
Tenggorokan sang inspektur terasa tercekat. Haruskah…? Haruskah ia memberitahukan semuanya selugas ini? Di depan seorang anak yang tadi baru saja berduka karena kehilangan orang tuanya?Lebih baik tidak. Tapi, bagaimana pun ini tugasnya, kan?
"Uhm… Begini Monsieur… Sebenarnya anak ini—"
Terputus. Perkataan inspektur itu terputus saat ia mendengar Seychelles yang tengah mendongakkan kepala untuk bertatapan muka dengannya berbicara dari balik dekapan Madame Bonnefoy. "Merci, Monsieur Sadiq."
—Oh. Gadis ini ingin mengelak rupanya.
Tapi, mau tidak mau kabar ini harus disampaikan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman pada Keluarga Bonnefoy.
"—begini. Anak ini…"
Perlahan tapi pasti, air mata mulai mengalir dari sudut mata Seychelles. Ia tidak mau mendengar ini lagi. Air matanya sudah terkuras habis hari ini.
"… Beberapa jam yang lalu, rumah keluarga ini kebakaran. Dan… Dan… Dan—kedua orangtua anak ini meninggal. Sepertinya, mereka tidak mempunyai relatif di sama sekali di sini. Dan yang pertama kali diucapkan anak ini… adalah rumah Anda, Monsieur Bonnefoy."
"Astaga," pekik Madame Bonnefoy spontan. Inspektur Sadiq pun berhenti bicara, dan keheningan menyelimuti mereka. Tak lama kemudian, tangis Seychelles yang keras segera meruntuhkan selimut kebisuan yang ada di sana. Sungguh, tangisan itu begitu pilu; melukiskan kehilangan yang amat sangat. Seychelles mungkin memang hanyalah seorang gadis kecil yang masih polos. Tapi, kini wajah polos itu tengah menanggung derita yang bahkan terkadang tak bisa ditanggung oleh orang dewasa sekali pun.
Kini, seperti yang bisa kita duga, takdir Seychelles telah berubah haluan. Mulai detik ini juga, ia harus tinggal bersama Keluarga Bonnefoy—yang pada akhirnya justru membuat hidupnya begitu rumit. Manis datang bersamaan dengan pahit, namun itu semua penuh makna.
… Apa kau sadar? Apa kau sadar bahwa seorang Francis Bonnefoy masih tertidur lelap?
Monochrome Destiny
.
By: Europe Dexter
(DeBeilschmidt and Sey Bonnefoy31)
.
Axis Powers Hetalia © Hidekazu Himaruya
.
Summary: Francis dan Seychelles—keduanya kini terjebak dalam sebuah takdir yang begitu kompleks kelabu. Waktu seolah mempermainkan mereka; membuat nasib keduanya berada dalam kebuntuan. Sepertinya, tidak ada jalan keluar.
[5 tahun kemudian]
BRUAAKK!
"Dumbass, suka sekali kau menyakiti anak orang. Sana, pergi! Bawa komplotanmu sekalian!" Sorot mata Francis Bonnefoy menajam. Raut wajahnya keras, geram melihat lelaki kurang ajar yang baru saja mengganggu gadis yang berada di sebelahnya. Tangannya panas, sudah puas menghajar orang itu rupanya.
"Me-merci, Francis..." Seorang gadis berperawakan mungil menyembul dari balik punggungnya yang lebar. Air mata gadis itu mengalir sedikit, merembes ke kain seragam Francis yang terbuat dari katun.
Pemuda Perancis berambut pirang itu kemudian menoleh, dan melihat keadaan gadis yang berlindung di balik punggungnya; sebuah senyum lembut ia tujukan pada sang gadis. "Hei, kau menangis?" tanyanya lembut pada Seychelles. Gadis itu terdiam, kemudian mengangguk kecil.
Seychelles masih saja terdiam saat jemari Francis menghapus bulir-bulir air mata yang menetes dari sudut matanya. Kepalanya menunduk, tak berani menatap wajah Francis sama sekali. "Ada apa, Sesel?" Francis kembali bertanya. Tapi, sama seperti tadi, Seychelles tetap terdiam dan menunduk.
"Maaf…," desah Francis. Tanpa dikomando, pemuda itu segera menarik Seychelles dalam dekapannya, lalu mengusap-usap kepala sang gadis. "Maaf aku terlambat, Sesel. Padahal sebagai kakakmu, seharusnya aku selalu menjagamu…"
Sang lawan bicara mengernyit, terlalu responsif saat mendengar kata 'kakak' keluar dari mulut Francis. "A-apa maksudmu, Francis?" balas Seychelles. Ia lalu mendorong badan Francis menjauh, dan—kali ini—akhirnya memberanikan diri untuk menatap sang pemuda bermata biru. Lanjutan dari perkataannya terdengar menyakitkan, bahkan bagi Francis yang sudah sangat akrab dengannya. "Ma-maksudmu… aku tidak bisa menjaga diriku sendiri…? Begitukah?"
"Tentu saja bukan, Sesel! Konyol sekali! Aku hanya—"
"Oi, Francis! Yoo!"
Francis menoleh ketika mendengar namanya disuarakan oleh seseorang. Dua orang sahabatnya memanggilnya dari kejauhan. Ia tersenyum pada Seychelles. "Maaf, nanti kita lanjutkan di rumah saja. Oke?" ujarnya kemudian. Francis melambaikan tangannya—subtitusi dari "Adieu!"—pada adiknya, lalu bergegas menyusul kedua temannya tanpa memedulikan percakapan yang semula terhenti. Pada saat melihat ketiga sahabat itu, Seychelles hanya bisa melengos dan pergi begitu saja.
"Hei, ada apa?" tanya Francis pada kedua orang yang ada di hadapannya.
Kedua orang itu serentak mengangkat alisnya. "Ada apa? Apa maksudmu dengan 'ada apa'? Bukankah kita berdua yang seharusnya bertanya 'ada apa'?" Gilbert, si rambut perak—yang tadi memanggil Francis, balas bertanya.
Francis mengerjap bingung. Gesturnya seolah berbicara: "Apa maksudmu?"
"Fusosososo...," Antonio, seorang temannya yang lain, tertawa kecil. Baru saja Francis akan bertanya padanya tentang maksud Gilbert, mulut Antonio sudah meluncurkan kata-katanya terlebih dahulu, "Gilbert, maksudmu apa?"
"..." Gilbert terdiam. Oh, baiklah, mereka—atau lebih tepatnya ia—tidak peka dengan apa yang Gilbert isyaratkan. "Bukan apa-apa," katanya pada akhirnya.
Tiga serangkai itu berjalan, entah ke mana saja tiga pasang kaki itu membawa mereka, sambil berbincang santai. "Oh ya Francis...," Gilbert mendeham kecil, "Ada apa dengan Seychelles?"
"Seychelles?" ulangnya. Francis menggeleng pelan pada kedua sahabatnya. "Tadi ada beberapa bocah yang bertingkah kurang ajar padanya. Sial!" Bola mata biru yang berkilau di dalam soket mata Francis berputar, kesal.
"Pfft... Aku tadi mendengarmu mengomeli anak itu. Anak yang malang..." Antonio berkomentar seraya memasukkan sebutir tomat segar ke dalam mulutnya. "Tapi... Bukankah kau sendiri juga sering menggoda gadis-gadis? Bahkan kakak kelas juga. Aku hanya bingung, hei, siapa di sini yang paling 'dumbass'?" Antonio tertawa.
"Ah," Francis mengibaskan tangannya—ia membantah ucapan Antonio, "hanya kebetulan saja banyak yang menyukaiku. Aku tidak menyukai gadis-gadis itu."
"Kau berbohong," komentar Antonio cepat.
Francis hanya nyengir. "Itu fakta, kok."
"Oh, ya? Benarkah kau tidak tertarik dengan gadis manapun?" sambar Gilbert. "Lalu bagaimana dengan dirimu dan Seychelles, he?"
"Apa maksudmu? Dia adikku," kilah Francis.
"Dia adikmu? Dasar tidak AWESOME. Memangnya kau lupa kalau dia tidak lahir dari rahim ibumu?" Gilbert menyeringai, "Aku heran denganmu, Francis Bonnefoy. Aku melihatmu begitu aneh dengan Seychelles. Kau begitu melindunginya, kemudian sikapmu dengannya berbeda. Tatapan matamu, raut wajahmu, sentuhanmu—semua pada dirimu ketika bersikap pada gadis itu berbeda."
"Lantas kenapa?" balas Francis, sorot matanya terlihat menantang. "Bukannya wajar kalau kita memperlakukan saudara kita berbeda dari orang lain?"
Gilbert dengan cepat menggeleng. "Tidak, tidak, tidak! Bukan itu maksudku! Dasar tidak awesome…," katanya dengan nada mengejek. Setelah jeda sebentar, barulah ia kembali melanjutkan kata-katanya, kali ini dengan nada serius. "Aku mencurigai sesuatu, Francis..."
Antonio segera menyela. "Jangan-jangan Francis jatuh cinta dengan Seychelles!" Antonio tersenyum lebar seolah tanpa dosa. Suaranya yang lantang membuat—baik Gilbert maupun Francis—bersyukur pada fakta bahwa hanya ada mereka bertiga beserta rumput yang bergoyang ditiup angin di sana.
"Bingo!" Gilbert menjentikkan jari tanda setuju.
Francis terdiam. Ia menghela nafas kasar. "Haah…, memangnya kalian sudah pernah jatuh cinta? Maaf saja ya, aku tidak mau dinasihati orang bau kencur seperti kalian."
"Aku pernah, kau tahu! Aku sudah pernah jatuh cinta!" sela Gilbert cepat, sangat tidak terima dengan perkataan Francis. "Aku sudah merasakan hal seperti itu, tahu. Aku yakin Antonio juga sudah pernah. Benar kan, Antonio?"
Antonio menelan kunyahan tomat dalam mulutnya. "Jatuh cinta? Ahahahaha... Aku... memangnya sudah pernah? Aku pernah jatuh cinta tidak, ya?" Gilbert buru-buru menginjak kaki Antonio dengan ujung sol sepatunya. "A-aw! Iya, aku sudah pernah!" Antonio mengibaskan tangannya.
"Berarti kita sudah berpengalaman. Itu artinya kau harus percaya dengan apa yang kami katakan!" Gilbert menjulurkan lidahnya.
Francis mengangkat bahu. Ia tidak menanggapi, bahkan sama sekali tidak peduli, dengan riwayat pengalaman jatuh cinta dua pemuda yang berjalan bersamanya kini. Di kepalanya terbayang-bayang kalimat Gilbert. Ia? Jatuh cinta—dengan Seychelles? Sekali lagi, ia ulangi—dengan Seychelles? Saudaranya sendiri…? Pfft, yang benar saja. Bukankah kedengarannya sangat tolol?
Tapi Francis segera menampik pemikiran itu. Entah mengapa ada yang salah bila ia membantah mentah-mentah pemikiran itu. Bila dikatakan sebagai rasa sayang…. Oh, tentu saja ia menyayangi Seychelles. Hanya orang tak berperasaan yang tak menyayangi adiknya. Namun, bila dipikir kembali… tetap saja ada sesuatu yang mengganjal di hati Francis bila ia mengakui rasa sayangnya pada Seychelles hanyalah sebuah formalitas layaknya 'kakak-adik' biasa. Bagaimana pun, seperti kata Gilbert, mereka tidak dilahirkan dari rahim yang sama, hanya kondisilah yang memaksa mereka menjadi saudara. Itulah alasan mengapa ia dan Seychelles setuju untuk tidak memanggil satu sama lain dengan panggilan 'kakak' maupun 'adik' (ralat: saat tidak berada bersama orang lain saja), dan itu jugalah—seperti yang dikatakan sang pihak terkait padanya—alasan mengapa Seychelles menolak diadopsi oleh keluarga Bonnefoy. Uh, bisakah ia mengatakan bahwa ini…
… cinta?
Francis bergidik. "Tidak! Tidak! Tidak! TIDAAAK! Dasar gila, kenapa harus 'dia'? Apa salahkuu?" teriak Francis pada dirinya sendiri disertai gestur yang…, ehm, agak berlebihan.
"… Haaah?" Gilbert dan Antonio yang dari tadi asyik mengobrol, segera melongo mendengar kegilaan Francis yang begitu tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Francis?" tanya Gilbert kemudian.
Antonio mengangguk. "Iya. Apa maksudmu, oi?"
Sang anak tunggal keluarga Bonnefoy menggeleng. "Err… Tidak. Hanya melamun," katanya.
Gilbert memutar matanya. "Dasar aneh."
"Tapi tidak seaneh dirimu yang tergila-gila pada Gilbird," balas Francis. Sebelum kemarahan sang pemuda berbangsa Aria itu menyembur keluar, ia kembali menyela. "Ah… iya juga. Ngomong-ngomong, aku harus pulang cepat hari ini," kata Francis yang lantas berbalik haluan dari kedua sahabatnya.
"Pulang cepat?" Antonio mengangkat sebelah alisnya.
"Kenapa?" tanya Gilbert.
"Ya, ada sesuatu yang harus kukerjakan," Francis tersenyum, lantas melambaikan tangannya. "Adieu!"
Mansion keluarga Bonnefoy tampak begitu besar dibanding tubuh gadis itu. Seychelles, gadis yang baru saja memasuki rumah itu, menyandarkan dirinya pada sofa. Hari yang melelahkan, ditambah lagi para stalker gila yang tadi mengganggunya. 'Astaga semua ini membuatku gila,' batinnya seraya memengangi kepalanya yang pusing; berdenyut-denyut sedari tadi.
"Ma cherie..."
Suara itu memanggilnya, suara milik Francis. Francis membawa nampan perak dengan piring berisi penuh biskuit untuk berbentuk ikan yang sungguh lucu.
Seychelles menoleh, kemudian tersenyum kecil. "Biskuit?" ulangnya dengan nada tidak percaya. "Oh, mamman sudah bilang kalau kau tidak boleh sering-sering memasak, kan?" Sang gadis lalu terkekeh pelan, dan mengamati biskuit-biskuit di nampan yang begitu menggugah selera. Uh wow…. Baunya begitu menggoda. Sudah ia duga bahwa Francis berbakat dalam memasak.
"Anak lelaki sepertimu tidak boleh memasak! Belajar yang pintar, kemudian teruskan perusahaan keluarga!" Francis menirukan omelan ibunya. Ia tertawa kecil. "Masa bodoh, aku tidak peduli dengan omelan beralasan aneh dari mamman. Lagipula jarang ada laki-laki yang suka memasak, seharusnya kau bangga denganku!" Francis berujar sambil menepuk-nepuk dadanya dengan tangannya yang bebas.
"Iya deh," sahut Seychelles yang kemudian mengambil kue itu sebuah dan memasukkannya ke dalam mulut. Seulas senyum manis tersungging di bibirnya. "Enak." Ia berkomentar.
"Tentu saja, rasanya jauh dari buatanmu," Francis mengedipkan sebelah matanya.
"Jangan sungging-sungging masakanku, tolong...," desah Seychelles malas.
Francis mengangkat bahunya. "Yah, aku minta maaf kalau begitu." Francis mengambil sebuah biskuit berbentuk ikan dengan hiasan choco chips, kemudian menyuapkan—lebih tepatnya menjejalkan—biskuit itu ke bibir mungil Seychelles—yang menerima kudapan lezat itu dengan penuh sukacita. "Maka dari itu, suatu saat kamu harus mencari suami yang bisa memasak," lanjut Francis sambil menjulurkan lidah, mengejek.
Wajah Seychelles bersemu. "Hah? Su-suami? Tunggu sebentar, kenapa pembicaraan ini jadi lari ke mana-mana?"
"Bukannya tadi kubilang suatu saat?" sanggah Francis.
Seychelles mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hmm, benar juga. Wah, pasti menarik, lelaki yang pandai memasak!" Seychelles tertawa ringan. "Tapi itu jarang. Aah, di mana aku bisa mendapatkan suami seperti itu suatu hari nanti?"
"Di depanmu?" Francis meletakkan nampan, berdiri di depan Seychelles, dan merentangkan tangannya ke samping.
Seychelles menepuk dada Francis pelan, dan membuat pemuda itu terdorong ke belakang. Gadis itu tertawa kecil. "Francis, kau ingin menjadi suamiku? Ahahaha, itu lucu sekali, kakakku."
Francis tersenyum masam. "Kau menganggap kata-kataku gurauan, eh? Baiklah, siapa juga yang mau punya istri sepertimu? Aku juga tidak sudi! Lebih baik aku mencari istri yang cantik dan seksi~!" Francis mengibaskan tangannya lantas berbalik. Ia hanya bercanda, sungguh. Beberapa detik kemudian, dengan senyuman kecil di bibirnya, ia kembali berbalik menghadap Seychelles.
Seychelles memalingkan kepala dan terdiam. Tapi itu bukan diam yang menyenangkan, sungguh. Bahkan Francis berani bersumpah bahwa tadi ia melihat mata adiknya sempat berkaca-kaca. "Sesel? Maaf…. Aku hanya bercanda…."
Seychelles mengerjapkan matanya berulang kali, lalu berpaling menghadap Francis. "Eh? Tentu saja! Aku juga tahu hal itu!"
Francis memiringkan kepalanya, heran. "Lantas… kenapa kau…?"
"Tidak, bukan apa-apa," Seychelles buru-buru memotong. Ia menggelengkan kepalanya keras-keras. "Bukan itu maksudku! Tapi…. Aku hanya merindukan tertawa seperti dulu, beberapa tahun lalu. Ketika semuanya masih lengkap, ketika papa dan mamman—maksudku…, orangtuaku—masih ada. Aku merindukan kehangatan keluarga seperti ini. Aku begitu beruntung dapat hidup di rumah ini, di tengah keluarga ini. Yang menjadi tempatku bertahan hidup, tempatku mendapatkan semua canda tawa dan kehangatan yang ditawarkan oleh keluarga Bonnefoy..."
Francis terdiam. Butuh beberapa detik baginya untuk kembali tersenyum. "Ma cherie...," ia menyapukan jari telunjuknya pada mata Seychelles dengan lembut. "Kau tahu apa itu keluarga?" tanyanya, walau sejurus kemudian Seychelles menggeleng. " Keluarga adalah tempat di mana kau pulang. Tempat di mana kau bersama siapapun yang menerimamu sebagai bagian dari mereka. Ini keluargamu. Rumah ini kediamanmu. Semua kehangatan ini, semua milikmu." Francis mengambil sebuah biskuit lagi, kemudian menyuapkannya dengan lembut ke mulut Seychelles. "Dan, ya, kau memang gadis yang beruntung."
Francis melangkah mundur, kemudian berbalik membereskan piring pada nampan perak yang kini tinggal berisi remah-remah biskuit. Seychelles menghela nafasnya pelan. "Francis?" panggilnya.
"Hmm?"
"….Apakah selamanya kau menjadi kakakku?"
Francis tertegun sejenak, gerakannya terhenti. Ia tersenyum kecil. "Sejujurnya—kupikir tidak. Tapi aku juga belum yakin kenapa aku mengatakan hal itu."
"Terserahlah," sahut Seychelles sambil memajukan bibirnya dan dibalas oleh seringai Francis. Gadis itu kemudian kembali terdiam, matanya yang sewarna madu mengawasi gerakan Francis yang sedang mencuci piring dan berbagai alat makan serta masak.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada kalender yang tergantung di sebelah pantry. Seketika itu, pandangan Seychelles mengeruh disertai ekspresi yang begitu pahit. Ah ya… Lusa adalah 'hari itu'. Bagaimana ia bisa—nyaris—melupakannya, sih? Sungguh keterlaluan—sangat keterlaluan.
"Hei, Francis…."
"Apa?" Tanpa menghentikan pekerjaannya mengelap semua cucian tadi, Francis membalas.
Mata Seychelles masih terpaku pada kalender, sebuah helaan nafas panjang ia keluarkan sebelum berkata-kata lebih jauh. "Kau… Apa lusa kau ada acara?"
"Entahlah…," jawab Francis, masih terpaku pada tumpukan piring yang belum kering. "Memangnya kenapa?"
Lagi-lagi Seychelles menghela nafas. "Temani aku, Francis. Kumohon."
Francis selesai mengelap piring terakhir, lalu berbalik. "Ada apa, sih…?" Pertanyaannya terputus, karena ia menyadari tatapan sang gadis yang tak kunjung beralih dari kalender. Ia hanya terdiam, lalu berjalan mendekati Seychelles tanpa suara.
"Tinggal dua hari lagi, ya, ternyata…"
Mendengar suara Francis yang menggelitik telinganya, Seychelles tidak bereaksi sama sekali. Ketimbang itu, ia malah mengangguk pelan dan tetap memancangkan pandangan pada kalender. "Iya, Francis…
"… Jadi, kau mau menemaniku?"
Francis membisu, sebuah senyum lembut tersungging di wajahnya. "Tentu. Ke mana pun kau mau, ma cherie…."
~To be Continued~
A/N:
Akhirnya, FrSey di fandom APH Indo~ XD—ehm, abaikan. Halo pembaca, di sini Europe Dexter—sebuah akun kolaborasi yang memiliki dua 'tuan', DeBeilschmidt dan Sey Bonnefoy31. Terima kasih sudah membaca! Pair ini memang termasuk jarang di fandom APH Indo (yah, kalau tidak salah pernah ada satu fic tentang FrSey, fanfic random pair pula ==), maka dari itu kami membuat fanfic ini—pair ini salah satu OTP kami. Dan atas suatu alasan pula fanfic yang seharusnya dipublikasikan kemarin ini molor satu hari (SeyBon yang jadi penyebabnya ==), tapi syukurlah akhirnya bisa publish, yay!
Sekali lagi, terima kasih banyak sudah membaca! ;)
22122010—Europe Dexter
