A/N:
Hai haaii!
Boboiboy Galaxy udah mau selesai yang season ini! Karena nggak rela aku sempetin nulis cerita baru yang draft-nya dah ngebusuk di notes hehe.
Kalau ada yang penasaran, cerita ini menggunakan dasar film tv seri 'Supernatural' untuk beberapa penjelasan makhluknya walaupun plot dan karakter berbeda. Ada yang nonton?
Let's go!
.
.
Angel With A Glasses
Summary:
Bukan salahnya kalau ia tidak suka manusia. Mereka makhluk lemah, tidak seperti malaikat—tidak sepertinya. Jadi sekarang ia bingung kenapa Ocho memaksanya untuk menjaga seorang manusia. Seorang pemuda bertopi jingga. Ugh, Ia yakin kalau tugas ini akan menjadi merepotkan. Apa lagi jika sebentar lagi kiamat. Tunggu. Apa?! [Supernatural!AU]
.
.
.
Angel With A Glasses
By: TsubasaKEI
Genre: Supernatural, Friendship, Romance(?)
Character: Angel!Fang, ?Boboiboy, Ochobot (Ocho)
Warning: penulisan indo-melayu tidak konsisten, slowburn(?), TYPO
Disclaimer: I do not own Boboiboy and Supernatural, but this fic is mine tho :)
Enjoy~
.
.
.
Chapter 1: A Stalking Angel
Manusia itu makhluk lemah.
Turunkan saja sepercik penyakit dan mereka akan tumbang. Pisahkan mereka dari orang yg mereka sayangi dan mereka akan menyerah dalam hidup. Beri mereka sedikit cobaan dan mereka akan mundur. Sungguh, kenapa bisa makhluk yang ditinggikan Tuhan berlaku demikian?
Seorang pemuda duduk bersandar di atas dahan pohon rindang. Tubuhnya tertudungi dedaunan dan ranting, melindunginya dari terik matahari. Yah, bukan berarti ia terganggu dengan panas, sih. Ia bukan makhluk seperti mereka; manusia.
'Pemuda' itu menguap lebar dan mengucek matanya, mengeringkan manik amethystnya yang berair, dan kembali mengawasi manusia yang sedang beraktifitas jauh di bawahnya tanpa gairah. Walaupun ia itu malaikat bukan berarti ia tidak merasa bosan melihat hal yang sama selama beberapa jam. Ia sudah berumur lebih dari satu millenia, rasanya bosan itu sudah menjadi asupannya sehari-hari. Tentu seharusnya dirinya sudah kebal menghadapi rutinitas.
Salah.
Bumi ini luas. Tuhan menciptakan banyak hal menakjubkan di sini. Sejak dulu ia bisa menemukan paling tidak satu kegiatan untuk mengisi hari-harinya yang monoton. Tidak setiap saat ia memantau, ia sudah melakukan itu sejak pertama bumi ini dibuat. Ia sempat kagum. Yang bermula dari lahan kosong lambat-laun diisi dengan berbagai macam kehidupan. Dan ia juga kagum terhadap manusia yang entah bagaimana dapat merusak kehidupan itu dengan sangat cepat. Memang, ia tidak bisa berharap banyak dari seekor kera tak berbulu.
Telinga pemuda itu menangkap suara derapan kaki menginjaki rumput lapangan yang perlahan mendekati tempatnya bersinggah. Dari semua tempat di dunia yang bisa ia kunjungi, ia memilih untuk berada di sini, di tempat bernama 'sekolah'. Tampaknya ini adalah tempat manusia muda mendengar ceramah dari manusia yang lebih tua. Tapi selain mendengar ceramah mereka terkadang suka pergi ke lapangan tempatnya berada untuk bergerak bebas setelah berjam-jam terjebak dalam posisi duduk yang sama.
Pemuda itu mengawasi beberapa manusia muda yang tampak sedang menendang bola. Ia memang tidak mengagung-agungkan manusia, tapi ada sesuatu dalam ekspresi mereka yang menangkap perhatian pemuda itu. Terlihat begitu ceria walau yang mereka lakukan hanya sebatas menendang bola. Senyum mereka begitu...bebas.
Pemuda itu menggelengkan kepalanya keras. Ia benar-benar harus berhenti berpikir seperti itu. Tidak baik untuk mendalami emosi manusia terlalu dalam, nanti dirinya bisa saja tercemar dengan sifat-sifat negatif manusia. Reputasinya sebagai 'Prajurit Tuhan' bisa ternodai, ia tidak mau kepercayaan tuhan hilang darinya. Tidak, tidak boleh.
Pemuda itu merilekskan punggungnya dan kembali melihat para manusia muda, kaki kanan menggantung bebas sementara yang kiri ia tekuk sampai menyentuh dada.
Lalu Pemuda itu mendengar suara lain. Suara kepakan sayap.
"Mukamu mengerut terus, nanti lama-lama tambah tua, lho." Ucap seseorang di belakangnya. "Eh' tunggu, kita 'kan nggak bisa tambah tua."
Pemuda itu menghiraukan humor gagal seorang bocah yang kini mendadak muncul dan dengan santainya ikut duduk di dahan tempatnya berada. Ia tetap menaruh perhatiannya pada gerombolan manusia yang tampaknya sedang mengerubungi bocah bertopi jingga di bawah sana.
"Apa yang kau lakukan di sini, Gabriel?" Pemuda itu bertanya tanpa melirik ke sampingnya.
"Hei hei, di sini namaku Ocho. Kau nggak mau manusia mendengar nama asli kita, 'kan?" Gabriel mengingatkan. "Aku cuman mau ngecek kamu saja 'kok. Dari dulu kau selalu misah terus, susah lagi dicarinya." Bocah rambut pirang itu mengeluh. Bibir dimanyunkan imut dan pipi menggembung bak tupai. Jika ada yang melihat, orang pasti terkesima dengat keimutan Ocho. Mata biru cerah dan rambut pirang pendeknya tampak cocok sekali ketika dia mengenakan kaos putih terbungkus jaket jeans. Sebuah kacamata kuning terkamuflase di rambutnya. Poros mudanya mengelabui mereka yang baru saja melihat makhluk yang sebenarnya sudah berumur ratusan juta tahun.
Pemuda itu masih menghiraukan Ocho yang sekarang melayang mendekatinya, tidak mempedulikan kalau aksinya itu dapat dilihat manusia. Untung saja mereka tidak jeli.
"Dan ada apa dengan namamu? Fang? Hah! Kamu nggak bisa milih orang yang punya nama yang lebih bagus, ya? Atau nggak ganti namamu jadi lebih keren. Seperti Keanu, John, atau apalah." Canda Ocho.
'Fang' membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya dan menatap sebal Ocho, menunjukan emosi yang sedari tadi ia coba tahan sejak pertama saudaranya itu muncul. Fang tidak tahu kenapa, tapi Ocho selalu datang menganggunya seolah hal itu adalah misinya. Ia tidak bisa mengitung berapa ratus tahun terbuang hanya untuk mengindari Ocho dan tangan jahilnya.
"'Fang' itu satu-satunya wadah yang cocok denganku. Aku tidak peduli dengan namanya, yang penting aku bisa menjalani tugas yang Tuhan berikan kepadaku." Fang menjawab tegas.
Baik Fang dan Ocho memang makhluk ciptaan Tuhan. Tapi mereka tidak bisa berada di dunia yang sama dengan manusia tanpa 'menjadi' manusia. Satu-satunya cara malaikat sepertinya bisa ada di bumi ialah dengan merasuki tubuh manusia—dengan seijin pemiliknya tentunya. Fang tidak akan seenaknya merasuki tubuh seperti setan-setan hina itu. Lagi pula banyak kandidat yang bisa ia cari; seperti manusia yang berbakti pada Tuhan. Mereka dengan senang hati meminjamkan tubuhnya, dengan bangga menjalankan misi suci dari Tuhan. Seperti Fang. Pemuda itu dengan semangat mengijinkan-nya menggunakan tubuhnya. Melihat semangat berapi-api sang pemuda, ia tidak bisa menolak. Ia juga merasa bangga ketika banyak manusia berhati kotor masih ada manusia seperti Fang, yang mau meminjamkan tubuhnya demi kebaikan. Akhirnya sejak 16 tahun yang lalu ia berubah menjadi 'Fang' dan mulai memantau manusia sesuai titah Tuhan. Pekerjaan yang cukup...menguras—bukan melelahkan tentunya, ia tidak selemah itu—bahkan untuk prajurit handal sepertinya.
Ocho memutar bola matanya, seolah ia sudah mendengar alasan yang sama berulang kali. "Iya iya aku tahu. Nggak usah dibawa ke hati. Kenapa kau serius banget sih? Aku tahu kamu tu prajurit andalan-Nya, tapi bukan berarti kamu harus sok bijak dan agung. Menyebalkan, tahu. Dan kurangi kebencianmu pada manusia, mereka tidak menggigit 'kok."
"Aku tidak membenci mereka, aku hanya tidak suka makhluk lemah seperti mereka mengotori ciptaan-Nya semena-mena."
"—Kata dia yang sekarang sedang 'memakai' tubuh manusia. Ngaca dong."
Alis Fang berkedut, namun tidak menunjukan perubahan ekspresi. Ocho mengerang.
"Ayolah, jangan kaku begitu. Nikmati hidup selagi kau bisa! Kita malaikat bukan berarti kita tetap hidup selamanya. Kita bisa hilang dalam satu jentikkan jari-Nya." Ocho menusuk-nusuk pipi saudaranya yang masih berusaha terlihat sabar itu.
"Kita tidak akan dihilangkan kalau kita tidak berulah atau 'jatuh' seperti Lucifer." Fang menjawab datar dan menangkis jari Ocho.
Ocho mengerang frustasi mendengar adiknya yang keras kepala itu. Kalau begini terus adiknya tidak akan mengerti apa yang namanya 'hidup'. Dari dulu Ocho selalu tertarik dengan manusia; mereka makhluk yang menyenangkan untuk dilihat dan hidup mereka tampak lebih berwarna. Tidak seperti Fang—selalu melihat mereka dengan rasa tidak suka di matanya, walaupun dia selalu membantah fakta tersebut. Perasaan negatif seperti itu adalah hal tabu untuk malaikat. Heck—punya perasaan sendiri adalah hal tabu pada umumnya.
Mungkin itu yang membuat Ocho dan Fang dekat walaupun sifat mereka yang bertolak belakang. Dia yang takjub dengan manusia, dan dia yang kecewa dengan mereka, dua sisi berbeda di koin yang sama. Secara teknis semua malaikat itu bersaudara. Mereka diciptakan dari cahaya yang sama dan dibentuk oleh-Nya. Tapi dari sekian banyak malaikat hanya Fang yang benar-benar Ocho anggap sebagai saudaranya sendiri. (Fang mungkin tidak memiliki anggapan yang sama terhadap dirinya tapi detil kecil itu tidak penting).
Oleh karena itu sebagai saudara yang baik, Ocho sedang menghadapi persoalan yang besar. Ia tidak mau hidup adiknya terus monoton. Ini merupakan tanggung jawabnya sebagai seorang kakak—karena Ocho diciptakan lebih dulu dari Fang—untuk membuat adiknya bahagia, bukan?
Saat mencari ide perhatian Ocho teralihkan ke seorang pemuda bertopi jingga yang familiar.
Ocho bergumam senang. Oh, itu ide yang bagus. Ocho tertawa di dalam hati. Ia bangga sekali bisa memikirkannya dalam waktu singkat.
"Begini saja." Ocho memulai, menangkap perhatian Fang. "Aku mau kau menggantikanku mengawasi dia," Ocho menunjuk seorang pemuda bertopi jingga yang tampak sedang mengobrol dengan seorang pemuda gemuk. Fang melihat mereka membicarakan sesuatu, tawa mereka terdengar sayup-sayup di telinganya.
"Namanya Boboiboy, dia tanggung jawabku. Aku ditugasi untuk mengawasinya sejak beberapa tahun lalu, tampaknya dia itu orang penting. Sejak dia kecil aku menjaganya agar dia nggak celaka. Yah, manusia memang rapuh 'sih, mau bagaimana lagi." Ocho menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah. Namun kemudian ia melihat Fang dengan semangat baru.
"Aku tahu kamu nggak suka melanggar aturan, tapi kamu belum pernah mendapat kesempatan mejalankan misi seperti ini, bukan? Dari dulu kau hanya diam dan mengawasi perkembangan manusia, nggak asyik banget. Tapi dengan melakukan tugasku kau nggak akan dianggap 'berbuat ulah' dan pastinya akan mendapat pengalaman baru yang berharga! Lagi pula Boboiboy itu orangnya baik, kau pasti suka. Nah, bagaimana?" Jelas Ocho. Mata birunya berbinar, dan dia melayang naik turun dengan semangat. "Lagi pula aku yakin kau akan suka dengannya, dia asyik diajak ngobrol." Ocho melanjutkan.
"Hm..." Fang tertegun dengan penjelasan panjang lebar Ocho. Otaknya berusaha mencerna setiap kata dan kesempatan baru yang ditawarkannya. Lalu mendadak Fang tersadar, bahwa betapa salah ucapan saudaranya tadi.
"Tunggu, 'baik dan asyik'? Kau berinteraksi dengannya? Dengan manusia?" Fang menatap saudaranya kaget.
Segila apa dia sampai berani berinteraksi dengan manusia? Apa lagi manusia tanggung jawabnya. Demi Sang Pencipta, apa dia cari mati? Fang tahu kalau salah satu arti nama Ocho adalah 'untuk berkomunikasi', tapi bukan berarti dia harus mempraktikannya juga. Dan sejak kapan saudaranya itu mampu dipercayai untuk menjalankan misi? Semua malaikat tahu kalau Ocho tidak pernah serius bekerja, selalu menganggap semua enteng. 'Hidup itu hanya sekali!' Katanya. Lebih baik bermain. Fang bahkan sempat menganggap Ocho adalah—tuhan maafkan pemikirannya yang tercela ini—kreasi gagal-Nya.
Pikiran negatif. Ugh, ia benar-benar harus berhenti berpikiran seperti itu.
"Yupp!" Ocho menjawab santai, tidak sadar akan pemikiran panik di benak Fang. "Tapi sayang aku nggak pernah bisa ngerasain coklat panas yang dia tawarin. Rasanya seperti molekul, padahal wanginya enak sekali!" Liur Ocho bisa saja menetes ketika ia mengingat coklat panas terenak itu kalau ia tidak cepat mengelapnya.
"K-kau—apa kau gila?! Kita hanya boleh mengawasi mereka, bukan ikut mencampuri urusan, itu dilarang! Kalau yang lain tahu tentang ini mereka bisa memburu mu karena sudah melanggar aturan!" Fang rasanya ingin menggampar saudaranya itu, apa lagi Ocho malah menertawai dirinya keras-keras.
"Tenang saja. 'Kan tugas ku tu melindungi dia, bukan hanya mengawasi saja. Aku juga lebih kuat dari yang lain. Dan aku punya malaikat yang jago—itu kamu—yang siap membantu ku, ehehe~" Ocho memeletkan lidahnya lucu. Wajah dibuat seimut mungkin dengan harapan adik berhati dinginnya itu menjadi iba. Hal itu tidak berpengaruh tentunya.
"Tidak, kamu urusi masalah kamu sendiri." Fang menjawab ketus.
"Aih, jahatnya. Ya sudah, sih. Tapi kamu tetap harus ngejaga dia. Untuk informasimu saja, aku dapat tugas ini LANGSUNG dari-Nya. Jadi kalau kau melakukan tugas ini sama saja dengan melakukan tugas Tuhan. Nggak ngelanggar, 'kan? Ini bisa jadi suatu kehormatan yang besar lho!" Telinga Fang berkedut saat mendengar kata 'kehormatan'.
"Ayolah, ini buat kamu juga. Hidupmu tu nggak menarik sama sekali." Fang tampak ingin menolak ajakkan Ocho. Tapi dipikir-pikir lagi, Fang harus akui kalau kehidupan yang datar-datar saja mulai membuatnya tidak nyaman. Dan rasanya membuang kesempatan untuk membuktikan pengabdiannya pada-Nya sama saja dengan tindakan bodoh. Fang tidak ingin mengakui, namun apa yang dikatakan Ocho ada benarnya. Ia bisa mendapat pengalaman yang berbeda—walaupun itu hanya sebatas menjaga seorang bocah. Ocho menjanjikan pengalaman yang baru untuknya, jadi ini mungkin pantas dicoba. Dan Ocho bilang kalau ini adalah misi langsung dari-Nya? Oh, apa yang Fang tidak akan lakukan untuk mendapat kehormatan seperti itu.
Fang melirik Ocho ragu. Sebagian dari dirinya sudah membunyikan alaram kalau ia terlalu berpikir layaknya manusia, mengikuti bisikan kecil yang berasal dari hatinya—Fang tidak yakin manusia pada umumnya punya hati yang bisa berbicara. Tapi ia itu malaikat, umum tidak berlaku untuknya. Mungkin itulah yang membuat Fang berbisik tidak yakin mengiyakan ajakan Ocho. "...Aku...coba—"
"Sungguh? " Ocho berseru kaget. "Yes! Akhirnya kamu nggak akan polos lagi!"
"—aku belum selesai bicara!" Fang memotong pekik kegirangannya Ocho. "Dasar, tapi ini hanya karena kau bilang ini tugas langsung dari-Nya. Bukan berarti aku rela mau menjaga bocah itu."
Fang menghela ketus, sebelum kembali melihat Ocho, kali ini dengan khawatir.
"Apa kau yakin yang di atas sana tidak akan mengejarmu?"
Ocho mengibaskan tangannya ringan. "Meh, aku nggak peduli soal itu. Nggak akan ada yang berani macam-macam denganku, tenang saja. Aku ini malaikat kesayangan bos besar, ahaha!" Tertawa geli, Ocho menyentil kacamata yang bertengger di hidung Fang dan melanjutkan ucapannya sebelum yang punya bereaksi, "anggap saja ini liburan tamasya. Kehidupan anak itu dijamin menarik untuk dilihat. Kalau ditanya identitas sama dia bilang saja kau itu saudaraku atau apalah, oke? Chaō!"
Ocho menyengir lebar dan ia menghilang meninggalkan suara kepakan sayap, meninggalkan Fang yang mulai menyesali keputusannya.
.
~ Angel With A Glasses~
.
Sudah seminggu sejak Ocho menghilang dan Fang memulai tugasnya sebagai penjaga Boboiboy yang baru dan ia harus akui, mengawasi tidak lagi menjadi pekerjaan yang membosankan.
Boboiboy tampak seperti pemuda 16 tahun seumumnya, umur yang—secara kebetulan—sama dengan 'Fang' ketika ia meminjamkan tubuhnya. Jadi dari luar ia dan Boboiboy akan tampak seumuran (Walaupun Boboiboy sedikit lebih tinggi darinya). Fang berdecak kesal saat menyadari itu.
Di samping Boboiboy selalu menempel Gopal, teman berdarah india yang badannya lebih besar dari Boboiboy. Tapi Fang pernah lihat yang lebih besar jadi ia tidak merasa takjub. Dibandingkan Goliath—musuh David bak raksasa yang tumbang karena tersentil kerikil—Gopal tidak ada apa-apanya.
Satu hal yang membuat Boboiboy berbeda dari manusia yang lain adalah ia tidak pernah berbuat kasar, selalu tersenyum, menolong orang tanpa diminta, dan tidak pamrih, Fang sendiri sampai heran dibuatnya. Di dunia ini yang namanya manusia pasti di dalamnya ada sisi baik dan buruk, tapi sejauh ini Fang belum sekali pun menemukan kekurangan pada pemuda itu. Aneh. Seolah pemuda itu merupakan makhluk suci, tidak pernah ternodai dengan yang namanya kerasnya kehidupan.
Saat ini Fang sedang berada di balik barisan pohon-pohon rindang, mengawasi Boboiboy dan Gopal yang sedang berjalan pulang lewat trotoar. Seperti biasa, Gopal selalu bercerita dengan semangat mengenai harinya sementara Boboiboy tersenyum mendengarkan, sesekali berkomentar tapi tidak pernah berlebihan sampai akhirnya mereka mencapai pertigaan dan berpisah jalan. Boboiboy melambaikan tangannya ke arah Gopal sebelum membenarkan posisi tasnya dan kembali berjalan, Fang mengekor di atasnya.
Terkadang Boboiboy curi-curi pandang ke belakangnya dengan ekspresi gelisah. Mungkin dia menyadari ada sesuatu mengikutinya. Namun ketika tidak melihat apa pun, pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya tanpa curiga. Fang mendengus pelan. Lucu juga.
Boboiboy akhirnya sampai ke rumahnya. Seperti tradisi Sang kakek menyambut Boboiboy, merangkul sang cucu dalam pelukan erat sebelum mengajaknya masuk. Makan malam diiringi perbincangan mengenai hari yang sudah dilalui, lalu setelah itu Boboiboy akan naik ke kamarnya di lantai dua, mandi dan mengerjakan tugas sekolah lalu merebahkan dirinya untuk tidur. Fang bisa membayangkan rutinitas itu mengulang di hari-hari berikutnya.
Tapi terkadang, sebelum tidur Boboiboy suka berdiam di samping jendela kamarnya. Membukanya lebar-lebar lalu ia akan menerawang langit berbintang dengan sendu, mencari-cari bulan di balik awan. Angin malam membasuhnya pelan, tidak jarang bocah itu tertidur di pinggir jendelanya. Tidak menyadari Fang mengawasinya di balik pohon hanya beberapa meter di depan.
.
.
"Gopal, akhir-akhir ini aku merasa diawasi."
Gopal hampir saja tersedak ketika mendadak Boboiboy bersuara setelah 5 menit diam melamun, dengan cepat ia mengambil minum di dalam tas dan meneguknya rakus.
"Uhuk! Boboiboy! Kaget aku. He? Diawasi?" Boboiboy mengangguk. Sejak beberapa hari lalu ia selalu merasa ada sesuatu yang mengikutinya. Tapi mau sejeli apa pun ia melihat Boboiboy tidak bisa menemukan penguntitnya.
"Hm, apa mungkin itu Ocho? Kau tahu dia suka muncul dan menghilang tiba-tiba, 'kan? Oh ya, omong-omong bagaimana kabar Ocho? Sudah lama nggak ngeliat dia."
"Ocho? Entah. Terakhir kali lihat dia bilang ingin mencari seseorang dulu. Mungkin teman lama dari kotanya sedang berkunjung kemari."
Mengingat-ingat soal Ocho, Boboiboy pertama kali bertemu bocah pirang itu 3 tahun lalu. Saat itu ia sedang berjalan sepulang sekolah dan mendadak Ocho jatuh dari atas pohon di samping trotoar.
Ya, jatuh.
Boboiboy hampir panik setengah mati namun bocah itu segera berdiri dan tertawa akan kebodohannya sendiri. Tidak ada luka setitik pun. Dan sejak saat itu persahabatan aneh mereka mulai terbentuk. Mereka sering bertemu sepulang sekolah secara tidak sengaja. Ocho selalu menyapanya duluan, menanyakan tempat-tempat bagus di Pulau Rintis pada Boboiboy dan kemudian pemuda bertopi itu akan menjelaskan padanya. Boboiboy tidak mengerti mengapa Ocho tidak sekolah, mungkin karena dia orang baru. Tapi sebagai gantinya Ocho meminta—memaksa—Boboiboy sebagai pemandu pribadinya. Boboiboy tidak bisa menolak, dirinya tidak tega kalau Ocho tersesat tengah jalan.
Awal hubungan mereka tidak begitu mulus, namun lambat laun Boboiboy mulai menyukai keberadaan Ocho di sebelahnya. Bocah itu selalu menganga kagum dengan setiap tempat unik yang Boboiboy tunjukkan. Dengan berseri-seri tertawa girang dan menarik lengan baju Boboiboy, meminta untuk menunjukkan tempat asyik lainnya. Setelah beberapa lama, Ocho sudah seperti adik yang tidak pernah ia miliki.
"Oh, nyari kenalan toh." Gopal angguk-angguk paham, kemudian wajahnya mengerut, kembali memikirkan masalah Boboiboy. "Hm, mungkin itu hanya perasaan kau saja, Boboiboy. Kalau itu Ocho pasti dia sudah menerjang meluk kamu dan nggak akan lepas." Ucap Gopal, mengingat hari-hari di mana Ocho selalu menempel bak lem super lengket ke Boboiboy.
Boboiboy tertawa kering mengingat itu. "Ahaha...benar juga."
Ia tidak usah panik. Mungkin ia terlalu memikirkannya secara berlebihan. Siapa tahu itu memang hanya perasaannya saja, bahwa sebenarnya tidak ada penguntit jahat yang ingin menculiknya. Ya, pasti itu.
.
.
Saat ini Boboiboy tengah berjalan pulang sendirian, Gopal harus mengerjakan ujian susulan Matematik dulu dan terpaksa tetap di sekolah. Keputusan Papa Zola tidak bisa diganggu gugat kalau dia sudah membuatnya.
Boboiboy menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
Tidak ada siapa-siapa.
Sepertinya ia benar-benar harus setuju dengan Gopal. Tidak ada penguntit di belakang sana, itu hanya pikirannya saja. Tapi mengapa ia merasa ada seseorang yang mengikutinya?
"Halo?" Suara Boboiboy tidak terbalas, dan bocah itu memutuskan untuk melanjutkan jalannya dengan ragu.
Sedikit yang dia ketahui, penguntitnya tidak berada di belakang. Lebih tepatnya di atas, bersembunyi di antara pepohanan tinggi di trotoar.
Manik amethyst Fang mengikuti setiap gerak-gerik Boboiboy, layak elang yang mengunci mangsanya. Dengan lihai melompat dari dahan ke dahan. Di saat seperti ini sayapnya berguna sebagai peluncur, membuatnya dapat bergerak ringan di udara tanpa harus mengepakkan mereka. Yah, bukan berarti ada yang bisa melihatnya sih. Lebih tepatnya wujud aslinya. Manusia tidak sanggup untuk melihatnya, mata mereka akan segera terbakar jika melihat wujud asli Fang yang setinggi gedung pencakar langit dengan sepasang sayap hitam menempel di punggungnya. Fang tenang-tenang saja. Hingga saat ini belum ada manusia yang punya mata batin yang cukup kuat. Fang melangkah ke dahan selanjutnya.
KRAK!
Ia tidak memperkirakan kalau dahan yang diinjaknya akan patah, dan ia juga tidak mengerti kenapa sayapnya tidak bisa digerakkan. Dan langit semakin jauh dan jauh dari jangkauannya.
"—waakh!"
BRUK!
Boboiboy terperanjat kaget dan segera membalikkan badannya. Asumsi 'Ocho jatuh dari pohon lagi?' sempat terlintas di benaknya, tapi yang Boboiboy dapati adalah sepasang manik amethyst terindah yang pernah ia lihat.
Boboiboy mendengar pemuda itu menggerutu di bawah nafasnya selagi berusaha berdiri, seperti, 'harusnya aku menyadari ranting itu' dan 'kenapa aku setuju melakukan ini'. Dia berusaha menyingkirkan dedaunan dari rambutnya dan sepertinya belum menyadari perhatian Boboiboy.
"Um.." Seketika pemuda yang tampak seumuran itu berhenti bergerak. Mata terbelalak lebar dan kulitnya berubah pucat, seperti tertangkap basah melakukan kejahatan.
"Kau tidak apa-apa?" Hati baik Boboiboy menghalanginya untuk menuduh pemuda itu sebagai penguntit dan tetap menolongnya. Menariknya untuk berdiri dan membersihkan daun yang menempel di jaket ungu yang pemuda itu kenakan.
"U-uh. Ya, aku tidak apa-apa." Pemuda itu segera berdiri dan menunduk menyembunyikan wajahnya di belakang surai ungu-hitamnya. Menepuk-nepuk debu yang menempel di jaketnya dan berusaha menjaga jarak dari tangan Boboiboy.
Boboiboy tidak menyadarinya. Ia menghela nafas lega. "Syukurlah. Dengan ketinggian seperti itu seharusnya kau—"
Boboiboy berhenti tengah kalimat, Manik madu terbelalak lebar. Fang sama sekali tidak siap ketika mendadak Boboiboy memegang kepalanya.
"Kau berdarah!"
Fang berkedip bingung. Perlahan tangannya merayap ke atas dan betul, Fang merasakan cairan menetes dari atas alis kirinya.
"Rumahku di dekat sini. Aku bisa mengobatinya jika kau ikut denganku." Boboiboy memindahkan genggamannya ke tangan kanan Fang dan menarik pemuda itu.
Fang berusaha menjangkar dirinya di tempat dan menarik-narik tangannya. Kulit Boboiboy terasa hangat di tangannya. Fang tidak familiar dengan sensasi yang ia rasakan. "Tidak usah. Ini bukan apa-apa."
"Bukan apa-apa kau kata?" Boboiboy berseru kaget. "Tidak, aku memaksa. Aku tidak ingin kau terkena infeksi. Lebih cepat lebih baik. Ayo!"
Fang akui ia adalah malaikat yang tenang dan kolektif. Memiliki saudara seperti Ocho membuat mentalnya kokoh sekeras berlian, ia bisa dengan mulus melewati krisis di saat yang lain terlalu panik sampai tidak bisa membuat keputusan. Kualitas itulah yang membuatnya terpilih sebagai salah satu komandan tinggi pasukan-Nya.
Tapi kenapa sekarang berkata saja terasa susah sekali? Setiap kata tersangkut di ujung mulutnya dan melilit, membuat Fang tidak bisa menolak ajakan Boboiboy. Dalam keadaan panik harus berbuat apa, Fang hanya bisa membuka-tutup mulutnya tanpa apapun yang keluar.
"O-oke...?"
Oh tidak. Sekarang Fang sudah berdoa kepada Sang Pengasih meminta pertolongan. Pada akhirnya Fang membiarkan mulutnya berbicara asal tanpa persetujuan otaknya. Boboiboy tersenyum, menganggap jawaban ragu tadi sebagai ijin untuk menyeret Fang ke rumahnya.
"Oke, rumahku tidak jauh. Ayo."
Si bocah bertopi mulai berlari, dengan tangan Fang dalam genggaman. Dan Fang merasa tidak keberatan dengan itu. Aneh.
.
.
Sebenarnya Fang tidak perlu diobati. Ia bisa saja langsung menjentikan jari dan kulitnya akan halus seketika tanpa bekas setitik pun. Dan ia sendiri heran, setelah semilenia lebih menjelajahi bumi sebagai pasukan pengawas Fang tidak pernah sekali pun terluka, apa lagi sampai mengeluarkan cairan merah dari dalam tubuhnya. Fang akan menyelidikinya nanti, ia punya masalah yang lebih serius dari pada tubuhnya yang bocor. Boboiboy sudah terlanjur melihatnya terluka, dan untuk seorang manusia yang melihat wajah yang awalnya berdarah berubah mulus pasti tidak akan berakhir baik. Jadi lebih baik membiarkan Boboiboy menariknya ke dalam rumahnya yang setiap hari selalu Fang awasi dan membiarkan pemuda itu mengobatinya dengan metode manusia.
Fang tengah duduk di sofa ruang tamu menanti Boboiboy. Beberapa menit kemudian bocah itu bergrasah-grusuh keluar membawa obat-obatan manusia di tangannya.
"Kau tahu, kau tidak usah repot-repot menolongku." Fang berharap tanggung jawabnya itu mau berubah pikiran. Namun Boboiboy malah menggelengkan kepalanya keras. Ia berlutut di bawah Fang dan membuka kotak obatnya.
"Tidak. Ini tidak merepotkan kok. Lagi pula, mana bisa aku meninggalkanmu terluka begitu saja. Aku pernah terluka hingga berdarah sebelumnya dan rasanya tidak enak." Boboiboy mengeluarkan tisu dan mengelap darah yang menetes di wajah Fang. Tangan yang satu memegangi dagu Fang lembut agar tidak bergerak.
"Ini akan perih sedikit. Tahan ya," Boboiboy mendekatkan dirinya ke wajah Fang agar dapat melihat lukanya lebih jelas, dan Fang merasa asing dengan kedekatan ini.
Kapas tercelup alkohol menyeka lukanya perlahan, bergerak selembut mungkin. Boboiboy berkali-kali memindahkan perhatiannya dari luka ke wajah Fang mencari ekspresi kesakitan di wajahnya. Namun Fang hanya berkedip, seolah tidak merasakan sakit sama sekali. 'Reaksi yang aneh,' pikir Boboiboy. Tapi lebih baik begitu daripada menjerit kesakitan.
Boboiboy menempelkan plester di luka Fang dan tersenyum puas. "Huf, mungkin segini saja cukup. Untung tidak perlu dijahit." Boboiboy memasukan peralatannya kembali dan berdiri. "Tunggu sebentar di sini." Pintanya tanpa menunggu balasan Fang.
Fang mengangguk canggung dan diam memikirkan kenapa ia bisa membiarkan dirinya terjebak di situasi ini. Padahal ia bisa saja menghapus memori Boboiboy akan pertemuan tadi. Fang sudah pernah melakukan itu sebelumnya ketika seorang manusia tidak sengaja memasukan dirinya ke dalam urusan malaikat. Tapi sesuatu dalam dirinya berkata untuk tidak berlaku demikian, dan—anehnya—untuk kali ini Fang melakukan apa yang pikiran tidak rasional itu sarankan.
"Hey, apa kau suka coklat?" Kali ini Boboiboy muncul dengan membawakan nampan berisi dua cangkir putih, uap panas mengebul di atasnya. Boboiboy meletakan minuman manusia itu di meja depan Fang. Si malaikat manaikkan alisnya bingung dan menatap Boboiboy menanti jawaban.
"Paling tidak ini yang bisa ku tawarkan setelah menculikmu ke sini." Boboiboy terkekeh pelan.
Fang berubah waspada setelah kata 'menculik'. Namun tidak menemukan maksud mengancam di suara Boboiboy ia kembali tenang. Bahasa manusia memang aneh. Yang mereka ucapkan beda dengan yang dimaksud, gerutu Fang.
"Ayo, silahkan diminum. Mumpung masih panas." Fang tampak tidak yakin. Namun ia memutuskan kalau menolak kebaikan termasuk melanggar hukum tuhan. Dengan ragu, tangan bersarung Fang terjulur untuk mengambil gelas yang disuguhkan. Ia memerhatikan gelas di tangannya. Cairan coklat gelap tampak mengkilat karena pantulan cahaya lampu. Hangat, lebih panas dari tangan Boboiboy. Uap putih mengebul ke atas, memburami kacamatanya. Fang mendongak dan melihat Boboiboy tersenyum penuh antisipasi terhadapnya. Mengangguk-anggukkan kepalanya semangat, mendorong Fang untuk meminumnya.
Fang mendekatkan gelas itu ke bibirnya. Berhenti sebentar untuk menghirup wangi manis lalu menyisip minuman itu. Sesuai perkiraannya, tidak berasa apa pun kecuali molekul yang bergerak cepat karena panas. Tapi, bukan berarti Fang tidak menikmatinya. Ia mendongakkan gelas dan menghabiskan minumannya dalam tiga tegukan besar, dan Boboiboy yang melihat itu menatap Fang panik.
"Hey! Lidahmu nanti terbakar kalau kau minum langsung seperti itu." Boboiboy segera berdiri dari kursinya, bersiap-siap menangkap gelas yang kemungkinan terlempar karena yang meminum isinya akan terkejut dengan suhu yang tinggi. Namun yang terjadi malah Pemuda di depannya meletakan gelas yang kosong ke atas meja dengan elegansi yang jarang Boboiboy lihat. Ekspresi lagi-lagi datar tidak seperti dugaan.
"Tidak terbakar. Terima kasih atas minumannya." Ucap Fang, mengingat tata krama yang baik akan membuatnya dilihat baik pula oleh sesama manusia.
"A-ah, sama-sama. Ku kira lidahmu terbakar setelah minum coklat panas secepat itu." Boboiboy terkekeh tidak yakin dan kembali duduk di kursinya.
"Aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya. Turis?" Tanya Boboiboy. Ia baru saja membawa orang asing kedalam rumahnya, tentu saja ia merasa penasaran terhadap pemuda itu. Si kaca mata duduk tegak sempurna, pandangan lurus menatap Boboiboy dengan mata yang sepertinya tidak berkedip.
"Aku.." Benak Fang berubah histeris. Seharusnya ia tahu kalau interaksi dengan manusia akan berujung ke pengenalan identitas. Bagaimanakah ia harus mengenalkan dirinya? Mengatakan dirinya adalah malaikat bukanlah pilihan kalau ia tidak mau dianggap gila. Seketika itu juga mata Fang yang bergerak-gerak mencari ide menangkap bingkai foto di belakang Boboiboy. Warnanya kuning... Senada dengan rambut Ocho.
Ocho! "A-aku saudaranya Ocho!" Fang ingin menepok jidat. Harusnya ia bilang kalau dirinya adalah temannya Ocho, bukan saudaranya. Wadah Fang dan Ocho tidak mirip sama sekali. Yang satu beretnis cina berambut gelap sementara yang satu lagi orang Eropa pirang bermata biru terang. Bahkan manusia awam pun pasti merasa heran dengan status itu. Dan lagi, tidakkah Boboiboy akan merasa heran ketika mendapati seorang orang asing tahu kalau Ocho dan Boboiboy berteman? Fang bisa benar-benar dianggap mencurigakan. Tapi Boboiboy malah membulatkan matanya dan tersenyum lebar, seolah hal itu menjawab semua pertanyaannya.
"Ooh, saudaranya Ocho ya." Lalu Boboiboy terkekeh di balik tangannya. Fang terkejut. Huh, sepertinya itu memang menjelaskan segalanya. "Pantas saja kamu jatuh dari pohon. Adik kakak ternyata sama ya," Fang mengerutkan alisnya. Ia harus menanyakan maksud dari perkataan Boboiboy pada Ocho nanti.
"Aku kenal dia, kita bertemu tiga tahun lalu. Kalau kau bertemu adikmu, tolong titipkan salamku untuknya." Fang mengangguk, tidak mengoreksi kalau sebenarnya Ocha adalah salah satu malaikat yang diciptakan paling awal dan lebih tua darinya. Penampilan memang dapat menipu.
"Lalu, ada urusan apa di Pulau Rintis? Seingatku Ocho tidak bilang dia punya kakak di sini." Boboiboy mengambil gelas coklat miliknya, meminumnya dengan tenang sementara Fang kembali berada dalam krisis dan harus menjungkirbalikkan otaknya mencari alasan.
"Ocho mengirimku ke sini," tidak salah, 'kan? "Katanya Pulau Rintis adalah tempat yang menarik. Dia bertemu orang-orang yang baik—" Boboiboy berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah tersipu malu di balik gelas yang ia pegang. Fang tersenyum melihatnya. "—dan merekomendasikanku untuk berkunjung kemari. Aku baru saja sampai."
"Ah, bertamasya toh. Kalau boleh tahu, kau sudah punya tempat untuk tidur?"
"Tidur? Tidak, aku tidak perlu tidur—"
Boboiboy meloncat berdiri dari tempatnya duduk. Wajah merekah dengan senyum berpindah ke depan wajah Fang yang terkejut hingga ia mundur sampai ke senderan sofa.
"Sudah kuputuskan - kau boleh menginap di sini!"
Fang mengedip sekali. Dua kali. Tubuh kembali rileks setelah tadi dikejutkan oleh gerakan dadakan Boboiboy. Si bocah bertopi tidak sadar, ia terus melanjutkan.
"Rumah ini punya banyak kamar kosong. Aku yakin kakek tidak keberatan kalau satu dipinjamkan untukmu. Untuk menghemat biayamu berlibur. " Boboiboy tampak semangat sekali. Manik madunya berbinar dan senyumnya melebar. Dia bergerak seperti anak kecil yang baru mendapat asupan gula—entah mengapa mengingatkan Fang pada Ocho saat akut adiksi coklatnya walau jelas-jelas gula tidak berpengaruh pada tubuh mereka.
"Terima kasih. Tapi aku tidak ingin merepotkanmu. Kau sudah menolongku, aku tidak ingin merepotkanmu lebih jauh." Fang menundukkan kepalanya sopan. Fang sudah merepotkan Boboiboy dengan hal yang tidak penting, ia tidak ingin menjadi beban untuk seorang manusia biasa.
"Tidak repot, kok! Tenang saja. Kadang Ocho juga suka menginap di sini." Boboiboy mengibaskan tangannya ringan. Teringat hari di mana Ocho mendadak muncul di pintu rumahnya tanpa barang bawaan dan menyatakan kalau dia ingin menginap di rumah Boboiboy. Pendek kata malam hari kediaman Boboiboy terasa lebih ramai dari biasanya.
"Ocho menginap disini?" Ucap Fang heran. Malaikat tidak perlu tidur, untuk apa masuk ke rumah Boboiboy untuk melakukan itu? Kecuali kalau Ocho memang mengambil misi untuk mengawasi Boboiboy dengan serius sehingga harus membuatnya dan Boboiboy berada dalam jarak dekat. Tapi mengingat karakter Ocho Fang mendengus. Sangatlah tidak mungkin.
Fang mendadak membulatkan matanya. Pemikiran itu memberinya Fanglah yang berada dalam jarak dekat dengan Boboiboy, mungkin ia bisa melaksanakan tugasnya lebih baik dari pada Ocho yang tidak kompeten. Dia bisa mengawasi bahaya yang mungkin saja tidak Fang lihat sebelumnya dan menindaki lebih cepat. Tekad Fang membulat.
"Baiklah, aku ingin menginap di sini. Kalau tidak merepotkanmu, tentunya." Ucap Fang. Bibirnya naik semili ketika Boboiboy menepuk tangannya gembira akan keputusan Fang.
"Syukurlah! Saudara dari Ocho adalah temanku juga, jadi jangan sungkan-sungkan. Aku akan perkenalkan kau dengan kakekku nanti, kami berdua tinggal bersama di sini. Oh, ya, aku baru sadar. Kita belum berkenalan, ya?" Malu akan melupakan tatakramanya, Boboiboy cepat-cepat menjulurkan tangan. "Hai namaku Boboiboy," kemudian bocah bertopi itu tersenyum manis.
Fang mengingat-ingat kembali balasan yang sesuai untuk tatakrama manusia itu dan membalas gerakan Boboiboy. Ia mengambil tangan Boboiboy dan mengenggamnya erat.
"Hai...namaku...Fang." Ada sengatan kecil ketika Fang mengambil tangan Boboiboy. Namun Fang menghiraukannya. Tambah lebih banyak lagi hal-hal tentang manusia yang ia tidak ketahui. Paling tidak beberapa pertanyaan itu mungkin dapat terjawab saat ia menghabiskan waktu di rumah ini nanti. "Senang berkenalan denganmu."
.
.
.
Angin berhembus.
Hijau daun dari pohon yang berdiri kokoh, rindangnya menjadi tudung untuk hewan yang tengah melepas dahaganya di sebuah telaga; air segar sejenih kristal dengan ikan tumbuh berkembang di sana. Sebuah surga kecil yang tersembunyi, tempat yang menjadi rumah bagi mereka yang tinggal, dan tempat peristirahatan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan.
Kemudian angin berhembus lewat.
Daun berguguran, pepohonan meranggas layaknya tangan seorang kakek tua. Tanah kehilangan suburnya dan hewan-hewan kehilangan rumahnya. Hijau berganti kuning, air yang membawa kehidupan sudah menguap entah kemana, mungkin ke tempat dimana ia tidak akan dipaksa pergi, dan alhasil menorehkan luka pada bumi, memunculkan retakan-retakan yang rindu akan segarnya air.
Kemudian, angin tidak lagi berhembus.
.
.
.
Di sini semuanya putih. Putih bersih tanpa setitik debu dengan harum pembersih lantai 'a la rumah sakit di setiap seluk-beluk ruangan yang ada. Ocho kadang suka menganggap kalau dirinya yang sendirian berwarna cerah justru adalah noda mengganggu yang tidak bisa dipel. Namun Heaven—surga—bukanlah rumah sakit, beda jauh malahan. Ketika para malaikat sibuk bekerja dengan setelan jas berwarna monokrom dan wajah yang sama tidak menariknya—datar tanpa ekspresi kecuali alis dan bibir yang mengerung setiap kali mereka melihat Ocho.
Yah, bukan salahnya kalau dari awal dirinya memang diciptakan lebih keren dari mereka.
Ocho sadar kalau dirinya berbeda. Terlalu riang dan hiper sampai-sampai Fang yang sudah bak adiknya itu cuman bisa menghela nafas pasrah. Tapi mereka tidak mengerti. Kalau mereka diciptakan untuk lebih dari sekedar menerima perintah dari atas. Lebih dari sekedar menggiring jiwa-jiwa yang tersesat dan memberikan bantuan ilahi. Tidak, mereka lebih dari itu. Pasti. Karena kalau tidak, buat apa Ocho bisa merasakan berbagai macam hal yang malaikat pada umumnya anggap sebagai hal tidak lazim.
Semua tindakan-Nya pastilah tidak tanpa alasan. Ocho yakin keberadaanya bukan hanya sekedar malaikat pengantar wahyu yang kadang berbuat onar. Apa lagi ketika ia merasakan sebuah tarikan hangat memanggilnya untuk kembali ke atas, berhubung tempat yang suci ini bukan tempat favorit Ocho. Kalau Ocho boleh jujur, ia lebih suka menghabiskan waktunya berbincang dengan Boboiboy di Kedai Tok Aba.
Tapi Ocho tidak pernah dipanggil oleh-Nya sebelumnya. Mungkin hanya sekali, ketika ia baru saja diciptakan dari segumpal cahaya Ocho merasakan dirinya ditiupkan nyawa dari Sang Maha Agung. Tapi itu tidak termasuk. Sewaktu ia mendapat tugas untuk menjaga Boboiboy dari-Nya waktu seolah berhenti. Ocho hanya mendengar suara yang memberinya instruksi tanpa melihat-Nya secara langsung. Kalau dipanggil sesama malaikat 'sih jangan ditanyakan lagi. Menurut Ocho sepertinya mereka punya waktu luang yang sangat banyak sehingga bisa menegurnya pada setiap kesempatan yang ada.
Ocho menghiraukan tatapan lain yang mengikutinya saat ia menyusuri lorong. Toh mereka semua berpangkat lebih rendah darinya. Bukan bermaksud sombong, tapi setidaksukanya mereka dengan Ocho, mereka masih tahu diri. Ocho yakin kalau ada yang nekat beradu senjata dengannya mereka pasti langsung hangus menjadi debu, secara harfiah. Setiap malaikat dipersenjatai dengan sebilah belati yang selalu mereka bawa kemana-mana. Kontak dengan belati itu akan membuat malaikat yang harusnya kebal akan serangan apa pun menjadi hangus terbakar. Malaikat adalah prajurit tuhan, prajurit macam apa yang tidak membawa alat untuk melindungi baik dirinya maupun makhluk lain? Tidak banyak yang berusaha mencari gara-gara dengan malaikat, Ocho bisa menghitung mereka dengan jari. Tapi nyatanya kejahatan itu selalu ada. Apa lagi ketika setan-setan pengganggu itu selalu mencari gara-gara di bumi.
Tapi sudahlah, Ocho tidak harus mengkhawatirkan hal-hal itu. Sekarang tugasnya adalah menyusuri beberapa belokkan lagi hingga ia sampai ke ruang singgasana—atau ruang panggung menurut pendapat pribadi Ocho, dengan banyaknya cahaya yang ada di ruangan itu sampai kadang membuatnya pusing. Tapi apa yang tidak akan Ocho berikan untuk berada dalam kehadiran-Nya lagi. Dimandikan cahaya suci nan hangat yang bisa menghapus semua perasaan yang mengganggu dadanya. Ah...Ocho benar-benar merindukan-Nya.
Hanya saja kehangatan itu hilang ketika ia sampai di sana. Ruang singgasana bercahaya seperti tersinari lampu sorot ketika Ocho membuka pintu besar. Tiang-tiang putih menjulang tinggi tak berujung ke atas, menopang awan. Dan di tengahnya sebuah podium yang cukup untuk ditempati satu mobil manusia. Podium yang kosong. Ocho diam sesaat hanya untuk menatap wilayah yang kosong itu dengan bingung.
Ruangan ini adalah ruangan yang paling terang yang Ocho pernah masuki, dan juga ruangan yang membuatnya merasa tenang dan hangat di dalam dada. Tapi sekarang, walau sudah seperti disinari matahari dalam jarak dekat Ocho hanya bisa merasakan dingin dan kekosongan yang menyesakkan.
"Halo..?" Suara Ocho bergema tak yakin. Ia memutar kepalanya menerawang ruangan. Berpikir kalau mungkin bahkan Tuhan pun punya selera humor yang bagus dan ingin mengerjai dirinya.
"Ahaha...lucu sekali...bagaimana kalau sekarang Engkau menunjukan diri." Ocho berharap kalau ini semua hanya lelucon keji dan Tuhan akan muncul dari balik pilar dalam cahaya yang membutakan. Menanyakan bagaimana kabar Ocho setelah sekian lama tidak bertemu dan menyambutnya dengan pelukan hangat layaknya seorang bapak kepada anaknya.
Seolah mengejek Ocho, ruangan itu tetap kosong. Ocho merasakan panik merayap masuk. Ia mengecek setiap seluk-beluk yang ada; terbang setinggi mungkin mendekati langit-langit, mencari hingga kolong kursi. Hasilnya nihil. Ocho tidak merasakan kehangatan itu. Dan sekarang Ocho dapat merasakan lambat laun cahaya dalam ruangan meredup. Awan di langit-langit berubah kelabu dan bergemuruh.
Oke...ini benar-benar gawat, benak Ocho panik. Sangat gawat malahan. Ocho menggigit bibir bawahnya, menjabik rambutnya frustasi. Ia sangat ingin meniup trompetnya, membunyikan tanda kalau bencana yang lebih gawat dari pada kiamat telah muncul.
Tuhan hilang.
.
.
.
To Be Continued
A/N:
Waw! Sudah hampir setahun kayaknya aku nggak pernah nulis di sini lagi. Fanfiction diblokir, jadi nggak bisa sesering dulu mengecek masuk :(. Pas balik-balik, waw! Banyak fic baru yah, jadi merasa ketinggalan hahaha. So mohon maaf kalo ni cerita agak karatan nggak jelas, but I do hope kalian have fun bacanya. Fic yang ini sepertinya akan lebih ber-plot dari 'Shadow Tamer', aku sendiri sampai bingung nulisnya /waduh. Menantang, semoga bisa dilalui dengan mudah.
Niatnya mo naro di bagian crossover, tapi karakter dari supernaturalnya nggak ada, jadi nggak jadi deh. Dan kayaknya bakal lebih di baca di sini so why not ^^
Anyway, next chapter sepertinya bisa selesai dalam waktu seminggu, mohon ditunggu (plis doain aku bisa konsisten, aku nggak mau molor sampe 3 thn lagi huhu).
See you next chapter
Sekian,
TsubasaKEI, out.
