"Peluklah dia saat kau merasa kesepian, anggap dia sebagai diriku."

...Memangnya kau pikir ada yang bisa menggantikanmu?

.

.

.

.


Mr. Teddy Bear

Sakakibara Ren x Asano Gakushuu

Assassination Classroom (c) Matsui Yusei

Warning Keras!

OOC (yes, karena ya ehem /?) jadi yang fanatik IC jangan baca kalau nggak suka, maybe misstypos karena diketik sambil ngantuk, ide yang sungguh dadakan, kebanyakan cuma berisi bacotan gakuchuu's qoqoro (?) padahal jalannya cepet, double POV, possessive alert. Don't like please don't read.


.

.

.

.

...Memang sebuah kesalahan besar, mengajak Ren untuk belanja keperluan OSIS.

"Asano-kun... Kau marah padaku?"

"Aku tidak marah."

"Jelas kau marah."

Aku merasa malas untuk menjawab. Ren, walaupun ia tahu aku marah padanya, tetap saja tidak kunjung meminta maaf. Dan ya—sadar sedikit, kenapa? Apa tidak berbincang dengan barisan perempuan di sana walau sebentar saja, akan membunuhnya? Aku tidak yakin. Sama sekali.

Lagipula, ini bukan di sekolah, lho! Perempuan-perempuan yang ia ajak bicara itu orang asing, lho! Bahkan beberapa dari mereka pasti berumur jauh lebih tua dari kami berdua.

Menyebalkan.

"Hei, maafkan aku, ya?" Lagi, ia mengeluarkan gestur 'meminta'nya yang khas. Gestur yang mampu meluluhkan hati banyak wanita tiap kali ia melancarkannya. Tapi tidak untukku. Sikap seperti itu takkan mampu menjatuhkan—

cup.

"Apa yang kau lakukan?! Ini... Tempat umum!" Refleks aku berseru dan menggosok pipi kananku yang bersemu merah, berkat kecup singkat pemberian Ren barusan.

"Habisnya, Asano-kun mengabaikanku."

Bukannya tadi kau yang mengabaikanku! Gerutuku dalam hati. Tapi memang benar, 'kan? Berbincang mesra dengan para karyawati toko buku, sedangkan aku tertatih membawa dua keranjang belanja yang terisi penuh, tidak sopan.

Fuh, kalau kau sebegitu inginnya kuabaikan, akan kuabaikan.

Aku menaikkan tempo langkah, meninggalkannya di belakang. Biarlah sesekali begini, siapa tahu ia akan paham apa kesalahannya dan meminta maaf. Namun ternyata...

"Asano-kun, coba mampir ke toko itu sebentar, yuk? Temani aku. Lihat, banyak hiasan-hiasan unik di sana."

"Ayolah, sebentar saja."

"A-sa-no-kun."

Dia tetap datang dengan laku dan kata, seakan tidak sadar tengah menyakiti siapa-siapa.

.

.

"Lihat barisan boneka ini! Manis sekali, bukan? Kalau boleh jujur, aku suka boneka, lho."Kembali Ren berucap, masih dengan riang, tidak tahu kalau diriku masih memendam kekesalan. Aku menghela napas, ia memang sedikit sulit... Untuk kuabaikan.

Kuakui memang manis. Barisan rapi beranggotakan boneka kelinci, beruang dan kucing. Tapi mengapa boneka?

"Ehehe, sebenarnya sebentar lagi pacarku akan berulang tahun. Kurasa ia akan suka jika kuhadiahi boneka."

Kurasa rasa jengkelku takkan sirna secepat itu.

"Ooh, pacar." Balasku sekenanya. Kugulirkan bola mata ke sudut, malas menanggapi lagi. Mulai keluar sikap 'yaa, aku ini pacar yang baik' khasnya. Mungkin—untuk kebaikannya sendiri—harus kubelikan cermin, supaya ia sadar diri kalau ia adalah seorang playboy kelas kakap yang satu set dengan hobi laknat: gonta-ganti pacar.

"Hmm... Asano-kun, menurutmu yang mana yang harus kubeli? Kucing, beruang, atau kelinci?"

"Kurasa kelinci. Kelinci 'kan lambang playboy. Setidaknya bisa jadi peringatan untuk pacarmu tersayang itu, bahwa Sakakibara Ren yang ia cintai akan segera berpindah hati."

"Jangan begitu, dong... Serius, nih. Asano-kun jahat sekali padaku."

"Fakta." ujarku. Ren meringis pelan, dan aku tidak peduli. Sampai netraku menangkap sesuatu yang menarik... Sebuah boneka beruang besar bersurai coklat yang duduk di rak teratas. Pita merah dengan lonceng emas yang mengikat lehernya terlihat manis... Menurutku. Setidaknya dibanding boneka yang lain.

"Oh, menurutmu yang itu bagus?" Ren sepertinya menyadari ke mana pandanganku menuju, karena segera ia meraih boneka tersebut dengan tubuh jangkung dan lengan panjangnya, lalu menyerahkannya padaku.

"...Apa?"

"Coba peluk."

Aku mendengus, meletakkan plastik belanja di lantai, kemudian memeluk boneka yang ia berikan, sekenanya saja.

"Puas sekarang?"

Awalnya Ren hanya menggumam seakan tengah menilai, namun tidak lama kemudian ia mengulas senyum lebar. Kedua telapak menelungkup pipiku sebelum mencubit gemas. "Sudah kuduga, pilihanmu memang yang terbaik. Manis sekali... Pemandangan di hadapanku."

Perlu waktu untukku sadar maksud kalimat yang Ren ucapkan. Setelah segalanya tercerna dalam akal, segera setiap inci wajahku matang sempurna.

"Bo... Bodoh."

"Kalau begitu, aku akan beli yang ini. Terima kasih atas pendapatmu, Asano-kun."

...Yah, sesekali memaafkannya tidak apalah.

.

.

"Sini, biar aku yang bawa belanjaannya. Pasti berat, 'kan? Asano-kun cukup menggendong boneka ini saja. Tolong, ya?" Ren mengambil kedua plastik belanjaan dari tanganku, menggantinya dengan sebuah boneka beruang yang barusan ia beli. Ringan rasanya—seharusnya ia lakukan ini dari tadi dan bukannya membiarkanku memikul beban sendirian. Karena kuakui—tenagaku lebih lemah darinya. Walau ayahku menanamkan banyak ilmu beladiri... Tetap saja.

Satu-satunya yang aku bingungkan adalah... Apa Ren tidak meminta kantung dari penjaga toko? Atau membungkusnya supaya mirip dengan hadiah ulang tahun? Maksudku... Ia membelinya untuk hadiah, 'kan?

"Kalau begitu... Boneka beruang itu untukmu, Asano-kun. Kau suka, 'kan?"

...Hah?

"Yang tadi, maafkan aku. Aku yang salah, seharusnya aku lebih memerhatikanmu, ya... Maafkan aku." Selagi pikiranku masih acak karena terkejut, Ren mengusap lembut belakang kepalaku, menyisir tiap helai jinggaku dengan jemari panjangnya.

"Maukah kau memaafkanku?"

"Ha—sebentar, bukannya ini... Untuk pacar..."

"Duh, Asano-kun lupa, ya? Yang terakhir 'kan sudah putus denganku minggu lalu." Ren terkekeh, tangan kanannya yang tadi bergerak lembut sekarang mengacak rambutku gemas, membuatku melayangkan protes. "Sekarang hanya ada Asa—tidak, Gakushuu, ya 'kan?"

...Si bodoh itu...

...Pintar sekali membuatku tertunduk malu.
Hanya saat di samping Ren aku dapat kehilangan ketenanganku. Asano Gakushuu yang selalu berdiri tegak penuh kebanggaan, sekarang tertunduk dengan rona nakal menari-nari di kedua belah pipinya. Kelopak mata mengerjap tidak tenang bagai anak gadis yang dipuji cantik oleh pacarnya. Aaaargh!

"Jangan berharap aku akan membalasmu dengan apapun."

"Aku tidak mengharapkan apapun darimu, kok. Yang kuharapkan hanya... Semoga Asano-kun suka dengan boneka beruang itu. Yah, kalau misalnya dirimu kesepian... Seperti tadi, misalnya, peluklah erat boneka beruang ini dan anggap ia sebagai diriku, oke?"

Ucapannya terasa janggal.

"...Kau berniat menduakanku, Ren? Kau akan meninggalkanku?"

"Bu-bukan begitu maksudku! Aku takkan menduakanmu, aku janji. Hanya saja... Aku tidak ingin kau kesepian saat aku tidak dapat berada di sisimu, hanya itu. Karena itu, kupercayakan pada Tuan Beruang ini. Tolong jaga Asano-kun supaya ia takkan sendirian, begitu."

"Me-memangnya aku anak kecil..."

Kembali aku membuang muka.


.

.

.

Mr. Teddy Bear

.

.

.


"Haa, haa..."

Nafas berat terdengar, disusul dengan suara keras barang menghantam pigura foto, lalu keduanya jatuh ke permukaan lantai. Tergolek lemah sebuah pigura retak dan boneka beruang kumal penuh tambalan.

Kapas berhamburan keluar. Tidak terhitung jumlah tambalan yang pada akhirnya terbongkar kembali karena perlakuan kasar pemiliknya. Terdapat noda darah di beberapa titik, yang entah kapan terbentuk—ya, mungkin pemiliknya tertusuk jarum ketika hendak menambalnya, atau terciprat dari luka sang pemilik yang menggigit telapaknya sendiri, sebagai usaha meredam kobaran amarah. Yang jelas, siapapun takkan tahu umur asli boneka tersebut, berkat tampilannya yang tak karuan.

Sang pemilik sekaligus pelaku pelemparan, Asano Gakushuu, mendudukkan diri di ranjang. Deru nafas berat masih tersisa, begitu pula ruam merah yang mengelilingi manik amethystnya. Perlahan manik kembarnya bergulir, memusatkan atensi pada boneka kesayangannya, pemberian sosok yang paling disayanginya, yang kini tergeletak begitu saja.

"Gawat, aku melakukannya lagi... Ahaha. Harus kutambal, kasihan Tuan Beruang..."

Hantam. Tambal. Hantam. Tambal. Terus berputar setiap hari. Karena itulah tak terhitung lagi berapa kali ia memberi tambalan sampai bertumpang tindih. Baru saja ia tambal dengan rapi, esoknya kapas kembali berhamburan. Selalu saja seperti itu. Bagaimana tidak, karena ia memiliki perasaan kompleks terhadap boneka beruang tersebut.

Antara ia sangat menyayanginya, atau ia sangat membencinya.

Jika boleh jujur, bukan boneka beruang tersebut yang memberinya rasa seperti ini. Namun sosok yang membelikannya boneka tersebut beberapa tahun yang lalu. Sakakibara Ren, pemuda yang merupakan kekasihnya sejak mereka duduk di bangku kelas 1 SMA.

"Kalau misalnya dirimu kesepian... Peluklah erat boneka beruang ini dan anggap ia sebagai diriku."

Begitulah yang ia ucapkan pada Asano. Karena itulah, boneka manis tersebut yang menjadi sasaran—sasaran pelukan, ciuman, pukulan, cabikan maupun cekikan.

Karena ia tak dapat mencekik maupun melukai tubuh Sakakibara yang asli, 'kan? Padahal jika saja Sakakibara berada dalam jarak yang dapat ia raih, ingin sekali rasanya mencabiknya, merawatnya sampai sembuh, kemudian menyakitinya kembali...

Layaknya menambal butir-butir kapas yang berhamburan.

.

Segalanya baik-baik saja. Boneka beruang manis itu masih duduk di sudut ranjangnya dengan ekspresi ceria, seperti biasa. Namun kedamaian itu hanya kuat bertahan sampai satu tahun yang lalu. Sampai Sakakibara mendadak memberi jarak dan jarang mengontak dirinya, walau untuk sepotong kalimat selamat pagi. Sampai Sakakibara mendadak dekat dengan sesosok perempuan cantik bersurai hitam legam. Sampai Sakakibara mendadak selalu pulang larut malam tanpa sebab yang jelas.

Ketika keduanya bertemu, Sakakibara bersikap layaknya tidak terjadi apapun. Masih dilakukannya sentuhan-sentuhan sebagai bentuk afeksi, namun tidak, ini tidak sama seperti dahulu—di mana mereka dikatakan masih 'norak' mengenai hubungan spesial mereka, hingga dapat berpelukan maupun berciuman setiap kali bertemu.

Awalnya ia merasa tidak apa-apa. Awalnya ia bahkan tidak peduli. Ya, mungkin karena tugas kuliah yang semakin membludak, sampai mereka tidak diberi kesempatan untuk bertatap langsung. Karena sejujurnya, ia sendiri juga disibukkan dengan berbagai tugas dan urusan, jadi ia dapat maklum jika Sakakibara juga sibuk sampai tak dapat menemuinya. Ya, pasti itu. Pasti karena itu, Asano Gakushuu. Ia tak ingin menyimpan prasangka.

Percayalah. Percayalah. Percayalah.

Namun bagaimana kepercayaannya akan bertahan kuat ketika Seo mendadak saja menembak dirinya, karena secuil kesalahpahaman—karena ia mengira Asano dan Sakakibara sudah memutus hubungan?

"Lho, bukannya kalian sudah putus? Habis, kemarin kulihat Sakakibara jalan berdua dengan cewek cantik... Ke sebuah klub apa... Begitu."

Bagaimana caranya ia dapat bertahan?

Hancur sudah segalanya. Rasa percayanya, rasa cintanya pada Sakakibara Ren.

.

.

"Tuan Beruang, izinkan aku memelukmu lagi malam ini."

"Tuan Beruang, bolehkah aku menciummu?"

"Aku menyayangimu, Tuan Beruang. Apakah kau juga menyayangiku?"

Tuan Beruang, Tuan Beruang, Tuan Beruang.

.

"Lagi-lagi aku bergantung pada Tuan Beruang... Kuatkan dirimu, haah." Bisik Asano, mengingatkan diri sendiri. "Lagipula, ia takkan membalasku, haha. Benda mati seperti ini..."

Ini memang memalukan dan Asano pun enggan walau untuk sekedar mengingatnya lagi, namun mau tidak mau harus ia akui, bahwa pikirannya semakin kacau akhir-akhir ini. Terikat oleh rantai imajiner hingga tak dapat berkutik. Bayangkan dirinya yang tahan banting dan terobsesi untuk menduduki peringkat teratas, mendadak meninggalkan gunungan tugas di sudut sampai debu menghias. Ia yang berego tinggi, mencoba meraih kenikmatan dengan tangannya sendiri serta dengan bantuan—lagi—Tuan Beruang.

Mau bagaimana lagi? Salah dia yang membuatnya depresi. Dia juga yang berpesan agar Asano meminta bantuan Tuan Beruang.

Berapa minggu sudah ia tidak berdaya begini?

'Kelaparan abadi akan cinta dan kasih sayang.' Mungkin begitu, jika menurut Sakakibara.

Sebenarnya Asano sudah terpuaskan, jikalau Sakakibara meluangkan semenit saja waktu dan mengikisnya dengan genggaman jemari, setangkup wajah dalam kedua telapak, atau hidung yang menggosok satu sama lain. Cukup. Sangat cukup.

Namun mengapa ia tak kunjung datang, walau sedetik saja?

Perlahan pandangannya berpindah, kali ini ke arah pigura retak yang entah sudah berapa jam dibiarkan tergeletak di sana tanpa sedikitpun niat membenarkan posisi. Pigura mungil yang setia menyimpan rapi kenangan indahnya bersama Sakakibara, walau kaca yang melindunginya telah pecah di beberapa sisi.

Kala ia menyentuhnya, seuntai kepedihan pekat menjalar. Kala pigura terangkat menghadap amethyst, tombak runcing menghujam tanpa ampun hati yang sudah susah payah ia bekukan. Kala memori dari pigura datang dan berlalu, sudut matanya terasa gatal; pasti karena butir debu menelusup ke celahnya, serta tak lupa memerahkan batang hidungnya.

Tidak mungkin ia akan mengakui bahwa air matanya mengalir hanya karena hal seperti ini,

'kan?


.

.

.

Mr. Teddy Bear

.

.

.


Satu lagi malam gulita berlalu. Memberi suasana remang dalam kamar tidur yang masih tertutup gorden. Asano bergulung dalam selimut, berharap salju deras kembali membekukan Februari hingga langitpun kembali kelabu. Lagi-lagi ia merasa malas untuk beranjak, otak jeniusnya berputar mencari-cari alasan untuk absen. Ayahnya juga takkan peduli walau ia tidak datang ke kampus, dan ia sepenuhnya yakin dapat mengejar materi yang tertinggal.

KRIIIIIIING

"Ck, siapa yang berani meneleponku pagi-pagi begini..." ia menggerutu, namun tak menghentikan telunjuknya untuk menekan tombol angkat.

"Ya, halo?"

"Asano? Kau sudah bangun? Ini aku lho, Koyama Natsuuuhiko~"

"Berhenti menggunakan nada seperti itu. Lagipula, kalau aku belum bangun, kenapa aku bisa mengangkat teleponmu." Sang strawberry blonde mengerutkan alis. "Jadi? Apa maumu?"

"Yaaah, tidak banyak sih, tapi lumayan penting. Maaf saja nih kalau mengorek luka, tapi... Ini soal Sakakibara lho, Sakakibara."

Segera ia tersentak. Namun karena ini di hadapan—ya, karena Koyama pasti dapat mendengar—teman karibnya, ia menjaga diri agar tetap tenang.

"Dia kenapa?"

"Duh, cukup ngerepotin, nih! Tahu nggak, dia khawatir karena kau tidak kunjung datang ke kampus, tahu! Katanya sih, mau ajak bicara, tapi kau tidak ada di mana-mana. Tambahan, dia menjelaskan kalau ponselnya rusak, jadi ia memakai telepon umum semalam."

Ah, ternyata ia tidak menghubungiku karena itu... Tapi tetap saja...

"...Lalu... Kenapa tidak langsung ke rumahku..."

"Entahlah. Mungkin ada alasan tersendiri mengapa ia tidak mau datang ke rumahmu. Pokoknya hari ini datang ke kampus, ya! Aku tidak mau direpotkan lagi olehnya. Penelitian saja sudah cukup membuatku gila."

"Dari SMP kau selalu begini, ya. Dasar gila penelitian."

"Ooh, salah, nih? Kishishishi, kasihku hanya tertuju pada botol-botol senyawa dan reaksi kimia."

"Iya, iya, aku mengerti. Datang saja... Sudah cukup, 'kan? Terima kasih sudah menyampaikannya padaku, Koyama." Asano menyunggingkan sebuah senyum tipis, setelah sekian lama. Syukurlah, bicara dengan Koyama membuatnya sedikit lega.

'Tapi... Apakah tidak apa-apa hanya dengan bertemu dan bicara dengan Ren?'

Tidak lama, ia kembali menyunggingkan senyum, kini ditujukan pada boneka beruang yang terduduk diam di samping bantalnya.

"Mendadak aku terpikir sesuatu. Satu lagi, Koyama... Aku butuh sedikit bantuanmu. Boleh?"

.

.

.

Fuuuh.

Siapa sangka harapannya tadi pagi akan terkabul. Bahwa salju akan kembali turun memutihkan aspal. Telapaknya terasa begitu dingin, memang sebaiknya tadi ia menyiapkan sarung tangan untuk berjaga-jaga. Namun yang ia bawa hanya selembar syal dan sebuah tas kecil.

Berdirilah ia, sendirian di depan gedung fakultas MIPA, usai merampungkan urusannya dengan Koyama. Ia juga sudah menitip pesan pada Koyama, apabila ia bertemu dengan Sakakibara, biar ia menemui Asano di depan fakultas MIPA. Kalau tidak tersampaikan, biar Sakakibara mengelilingi kampus sampai menemukan dirinya.

"Dingin... Kalau memang berniat datang, cepatlah..." Asano menggigit pinggir bibirnya yang mulai mengering. Sesungguhnya, walau selama ini ia merasa rindu, bertemu dengan Sakakibara dalam wujudnya yang asli sedikit membuatnya gugup. Apa karena sudah lama sekali? Apakah... Sakakibara berubah, walau sedikit saja?

Belum sempat otaknya memproses pemikiran barusan, ia dikejutkan oleh sentuhan hangat pada pipi kanannya.

"Tidak bawa sarung tangan? Asano-kun tidak pernah berubah, ya. Mengira hari ini akan cerah?"

"Ren—"

Kerongkongannya tercekat. Sakakibara, Sakakibara Ren yang asli, kekasih yang ia cintai sekaligus benci, di hadapannya. Masih dengan senyumnya yang biasa. Masih dengan tatapan teduh yang tertuju untuknya.

"Kenapa, Asano sayang? Sudah lama, jadi kaget, ya?" Sakakibara terkekeh pelan. "Aku merindukanmu selama ini, kau tahu? Rambutmu semakin panjang, ya... Dan apa ini? Bagian bawah matamu memerah, apa kau kurang tidur?"

Di tengah hembus hawa dingin Februari, kedua belah pipinya sungguh panas. Hanya karena sepotong kalimat manis sang kekasih. Kelopak mata kembali mengerjap tidak tenang, sama seperti hari itu.

Ternyata memang... Seberapa marahnya ia pada Sakakibara, tetap saja pemuda tinggi bermanik emerald itu dapat meluluhkan hatinya.

"A-Apa maumu, cepat katakan."

"Ooh. Dingin sekali sikapmu, padahal sudah lama tidak ketemu. Marah padaku, Asano-kun?"

"...Sudahlah, cepat... Kau mau bicara, 'kan? Akan kudengar."

"Koyama sudah memberitahumu, ya?" Sakakibara mendengus. "Baiklah, memang benar. Aku ingin bicara denganmu, mengenai hal yang penting. Jadi dengarkan baik-baik dan jangan sampai kau lupakan."

Sakakibara, lagi-lagi dengan untai kata dan nada suara yang manis, berbisik tepat di telinga kekasihnya. Rasanya sedikit geli ketika daun telinga yang dingin dan memerah tertiup angin hangat dari bibirnya.

"Ka-kalau begitu... Ren, apa kau keberatan kalau kita bicara di rumahku? Maksudku, selain hangat, rumahku sedang sepi, jadi takkan ada yang mendengar pembicaraan kita... Bagaimana?"

Mendengar itu, Sakakibara mengulas senyum pertanda setuju. "Sesuai keinginanmu, dear."

Setelah sekian lama, kedua telapak tangan yang tak terbalut apapun kembali dipertemukan, berbagi kehangatan dalam suhu rendah bulan Februari.

.

.

.

"Teh saja tidak apa-apa? Yang bungkusnya sudah terbuka... Teh Ceylon."

"Tidak masalah. Apapun tidak masalah, Asano-kun."

"Kalau begitu, Ren, ayo kita bicara di kamarku... Kau duluan saja, aku menyiapkan tehnya dulu."

Sakakibara mengangkat bahu, kemudian tanpa ragu melangkahkan kaki ke dalam kamar. Asano sedikit bersyukur dalam hati, bahwa ia sudah merapikan kamarnya sebelum pergi ke kampus. Boneka 'Tuan Beruang' kumal dan pigura yang retak juga sukses ia pendam dalam lemari bajunya.

Perlahan ia merogoh tas mungilnya, dan menggenggam sebotol kecil 'hadiah' dari Koyama. Sedikit keraguan masih menetap, apakah ia benar-benar akan melakukan ini atau tidak. Dipikir bagaimanapun, melakukan hal itu hanyalah untuk melampiaskan keegoisannya.

Apakah ini yang terbaik?

Asano memutar knop dengan sebelah tangan. Sebelah lagi mengangkat nampan berisi dua cangkir teh, sementara syal tergantung di siku kanan. Meletakkan nampan di permukaan meja dan memandang kekasihnya yang tengah terduduk di atas ranjang.

"Ren... Kau tahu?"

"Hmm? Ada apa, Asano-kun?"

"Tidak, hanya... Kau tahu, selama ini aku..."

Tanpa peringatan apapun, ia menaiki ranjang dan menerjang Sakakibara yang tengah duduk di atasnya hingga terdorong mundur, menabrak besi penopang ranjang yang terasa dingin di kulit. Eh? Eh? Mengapa mendadak saja Asano seperti ini...

"A-Asano-kun? Yang benar saja, kau begitu rindu padaku sampai ingin melakukannya begitu kita bertemu? Yah, aku tidak keberatan juga sih, hahaha."

Sang strawberry blonde membisu. Menenggelamkan wajahnya dalam pelukan hangat kekasihnya. Hangat sekali, posisi yang begitu disukainya.

Namun, ibu jarinya sibuk melakukan hal lain. Membuka paksa penutup botol kecil pemberian Koyama dan menuangkan sesuatu dari dalamnya, membiarkan cairan tersebut merembes ke tiap rajutan syal miliknya.

'Ren, maafkan aku.'

Syal setengah basah tersebut dihantam tanpa ampun ke wajah Sakakibara, memaksa pemuda itu menghirup cairan yang barusan dituangnya.

"Eh? Asano... kun...?"

...Hingga tergeletak lemah, jauh dari kesadaran, di permukaan ranjangnya yang empuk.

"Maaf ya, Ren. Tapi aku harus melakukan ini. Kau tahu, kau benar-benar merepotkan Tuan Beruang ya, karena memintanya untuk menemaniku selama kau menghilang. Menjadi penggantimu. Juga memintaku untuk menganggap Tuan Beruang sebagai dirimu? Apa kau tahu seberapa menderitanya Tuan Beruang selama menemani diriku yang kesepian seorang diri?"

Membenarkan posisi kepala kekasihnya dan mengusap pipinya, Asano tersenyum posesif.

"Bagaimana kalau kali ini... Kau yang menggantikan peran Tuan Beruang, hmm? Karena kau tahu? Tugas sebuah boneka beruang adalah untuk menemani, menghibur, serta selalu berada di samping pemiliknya..."

Selamanya.

"Ya, selamanya."

.

.

.

.

TBC?


a/n

ya jadi kiyoha mencoba ngetik lagi hshs. tadi beberes lemari dan nemu kertas tugas suruh bikin cerita tentang masalah remaja... entahlah seems kertas dari smp tapi wujudin disini ajalah, sekalian coba membunuh webe. lagi-lagi renasa tercinta, yuhuu~ butuh lebih banyak asupan, nih. udah lama pengen nyoba ngetik yan!Asano.

duh cukup ajaib nih bisa ngetik di tengah kebingungan event. yah, pokoknya makasih yang udah repot-repot mampir hshs. aslinya mau dibuat oneshot tapi karena kepanjangan dan kiyoha ngantuk, di TBCin dulu #seenaknya

Thank you for reading!