DISCLAIMER :

Togashi-sensei

TITLE :

TRAPPED

SUMMARY :

That night was the beginning of everything. The beginning of the suffer, the beginning of a new open wide future, then suddenly got trapped. I trapped you with my tricks...without realized that I let myself trapped into your love.

GENRE :

Angst/Romance

PAIRING :

KuroPika

WARNING :

AU, OOC, FemPika, rate T – semi M.

A/N :

Fic ini kubuat dalam rangka IFA di HxH Community, my beloved group on facebook xD

Terinspirasi dari manga Linden by Waki Yamato dan film Kill Bill.

Sebelumnya aku sudah publish My Tricks sebagai trailer fic ini, tapi ada beberapa nama yang dirubah karena aku baru ingat bahwa salah satu syaratnya adalah tidak menggunakan OC!

.

Happy reading!


Losing who was loved, world turned to be so hollow

With love gone, the future dissapeared

My life gone wrong, lifeless words carry on


"Ini menakjubkan," ucap seorang pria setengah baya dengan rambut hitam yang tampak sedikit beruban, namun memiliki karisma yang khas dan aura yang cukup mengerikan. Raito Lucifer, pemimpin dari sebuah keluarga mafia yang secara turun-temurun terkenal dengan aksinya yang berani. Saat ini dia tengah membaca laporan yang diserahkan oleh salah seorang anak buahnya, Nobunaga.

Raito meraih sebuah cerutu dari kotak kayu berukir di atas meja, lalu menghisapnya setelah terlebih dahulu membuang sedikit ujung cerutu itu dan menyalakannya.

"Apa yang diciptakan oleh pria ini harus menjadi milik kita. Nobunaga, sudahkah kau mengatur pertemuanku dengannya?"

"Tentu saja Danchou, Profesor Clementine sudah tiba di ruang pertemuan VIP hotel ini," jawab Nobunaga.

Raito bergumam puas, dia pun berdiri merapikan setelan jas mahal yang dia kenakan, lalu keluar dari ruangan itu beserta Nobunaga di belakangnya.


Shaiapouf Clementine duduk dengan tenang, sambil menerka-nerka siapakah gerangan yang ingin bertemu dengannya di tempat yang begitu eksklusif seperti tempat di mana dirinya berada saat ini.

'Firasatku tidak enak,' batinnya. 'Apakah ini...berkaitan dengan apa yang tengah kukerjakan di lembaga penelitian tempatku bekerja?'

Lamunannya buyar tatkala pintu ruangan itu terbuka. Dia benar-benar terkejut dan tak menyangka melihat pria yang datang menghampirinya. Menyadari ekspresi terkejut di wajah Shaiapouf, Raito menaikkan sebelah alis matanya sambil tersenyum tipis.

"Kusimpulkan kau sudah tahu siapa aku?" Dia berkata sambil duduk di hadapan tamu undangannya. Nobunaga berdiri dengan waspada di belakang pria itu.

Shaiapouf menatapnya tajam. "Raito Lucifer," desisnya. "Pemimpin keluarga mafia yang sudah menimbulkan banyak masalah bagi negara..."

"Masalah? Aku tidak setuju denganmu. Aku lebih suka menyebutnya...usaha untuk bertahan hidup."

"Aku tidak melihat ada kepentingan yang mengharuskanku bertemu denganmu, Tuan Lucifer."

"Wah...jadi kau ingin kita bicara langsung ke intinya? Kalau begitu, aku pun akan langsung mengatakan maksudku. Profesor Clementine, aku ingin kau bekerja secara pribadi padaku. Aku akan memberikanmu dana yang cukup untuk membiayai penelitianmu, termasuk segala fasilitas dan jaminan keamanan...Tapi tentu saja, kau harus keluar dari lembaga itu dan hanya boleh bekerja untukku."

Shaiapouf tercengang sesaat, namun kemudian ekspresi itu tak nampak lagi dan berganti dengan sebuah senyum sinis yang mengejek. "Hasil penelitian yang kutemukan hanya akan kuberikan pada pemerintah," ucapnya sambil berdiri dan mengenakan mantelnya kembali. "Lalu satu hal lagi...aku cukup bahagia dengan apa yang kumiliki saat ini. Pekerjaan yang memuaskan hasratku akan ilmu pengetahuan, anak dan istri tempatku berpulang, dan kurasa kami sudah hidup berkecukupan."

Nobunaga terperangah dan geram melihat tanggapan yang diberikan Shaiapouf. Biasanya tak ada yang berani menyanggah kata-kata Raito jika bertemu langsung dengannya, apalagi berlalu pergi begitu saja seperti yang baru saja terjadi. Dia pun heran, kenapa Raito tidak langsung menyuruhnya bertindak seperti biasanya?

"Nobunaga."

Panggilan Raito membuat pria itu tersentak. Dia segera menghadap majikannya. "Anda ingin aku mengejarnya, Tuan?"

"Dia berbahaya. Musuh kita mungkin tengah mengincarnya juga saat ini. Dia harus mati, Nobunaga...dan aku akan memberikan tugas ini pada orang yang tepat. Tunggu saja...saatnya."


Sebuah pesawat jet pribadi milik Keluarga Lucifer baru saja mendarat. Raito tak melepaskan tatapannya dari pesawat itu ketika beberapa orang pria keluar dari sana, termasuk seorang pemuda berambut hitam yang sudah lama dia tunggu-tunggu.

"Ayah," sapa Si Pemuda dengan sikap yang dingin namun tetap menyiratkan rasa hormat.

Raito tersenyum tipis. "Selamat datang kembali, Kuroro..."

Dia menatap pemuda tampan itu dengan bangga. Kuroro Lucifer, satu-satunya pewarisnya. Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di luar negeri. Karena pintar dan terbiasa untuk berusaha keras, Kuroro lulus lebih cepat dari seharusnya. Sejak dulu, dia sudah didoktrin untuk hanya memikirkan tentang pendidikan dan kepentingan Keluarga Lucifer. Bagaimana dengan kemampuannya? Putra dari seorang mafia harus mahir menggunakan senjata dan menyusun strategi untuk mempertahankan kelompok dan melebarkan kekuasaannya, bukan? Ini juga...merupakan suatu keahlian yang tak usah diragukan lagi dari dirinya.

"Kau sudah memikirkan rencana untuk menyelesaikan tugas pertama yang kukatakan padamu kemarin?" tanya Raito.

"Tentu saja, Ayah," Kuroro menjawab. "Aku akan membicarakan rencanaku dengan yang lain... segera setelah mengunjungi makam ibu."

Raito merangkul putranya sambil tersenyum puas. Walau istrinya telah meninggalkan mereka ketika Kuroro berumur empat tahun, wanita itu telah meninggalkan harta berharga berupa anak lelaki yang bisa diandalkan dan mampu mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya demi kepentingan mereka.


Eliza Clementine duduk di depan perapian sambil sesekali melihat ke arah jam dinding. Dia menghela napas.

'Suamiku...sudah beberapa bulan terakhir ini dia selalu pulang malam. Apalagi penelitian yang dikerjakannya membuatku khawatir. Aku mencemaskan kesehatan dan keselamatannya...,' dia berkata dalam hati.

Eliza menoleh dan meraih sebuah foto yang dipajang di atas meja. Wanita itu tersenyum melihatnya. Perlahan tangannya meraba foto itu yang diambil ketika liburan musim panas dua tahun yang lalu. Ya, itulah tepatnya kapan terakhir kali mereka bertiga bisa berlibur. Dirinya dan Shaiapouf berdiri di pesisir pantai, bersama seorang gadis remaja berambut pirang dengan tawanya yang seperti malaikat berdiri di antara mereka.

'Aku merindukan saat-saat seperti ini...'

Tiba-tiba, entah karena apa, foto itu terjatuh. Eliza segera mengambilnya dan terkejut ketika melihat kaca pigura foto itu sudah retak...dengan retakan paling besar terletak di bagian di mana Kurapika berada. Jantungnya langsung berdegup kencang.

'Oh Tuhan...pertanda apa ini?!'

Eliza hampir saja akan menjerit ketika seseorang memeluknya dari belakang. Untunglah dia segera menyadari siapa orang itu ketika aroma manis tertentu mencapai inderanya.

"Kurapika!" ucapnya sambil menoleh. "Kau membuat Ibu terkejut!"

"Maaf...aku kira Ibu tahu aku datang," Kurapika beralasan sambil tersenyum dan tak melepaskan pelukannya. Dia baru saja kembali dari sekolah putri berasrama tempatnya menempuh pendidikan hingga lulus dua bulan yang lalu. "Biasanya ketika mendengar pintu terbuka, Ibu langsung menghampiriku dan memelukku. Kali ini...biarkan aku memeluk Ibu lebih dulu."


Kurapika merasa lelah sekali, maka ia pun tidur lebih dulu tanpa menunggu ayahnya pulang. Di malam yang sangat hening, tiba-tiba Kurapika terbangun mendengar sebuah suara benturan dan jeritan dari lantai bawah. Dia langsung duduk dan menajamkan pendengarannya.

Hening.

Dengan berdebar-debar, perlahan Kurapika turun dari tempat tidur. Lalu dibukanya pintu kamarnya, dan menunduk melihat ke lantai bawah. Sekilas...tak ada yang mencurigakan. Dia pun menuruni tangga dan berbalik hendak melangkah ke kamar orangtuanya.

Namun Kurapika terpaku.

Matanya membelalak, ia terperangah. Yang dilihatnya saat ini adalah mimpi buruk...yang tak pernah ia sangka akan ia lihat dalam hidupnya, di rumahnya sendiri. Shaiapouf tersungkur di lantai dalam keadaan bersimbah darah dan tak bergerak sedikitpun, lalu tak jauh dari sana...Eliza baru saja ambruk karena sebuah letusan senjata yang diarahkan ke kepalanya. Mata biru Kurapika yang semula terus tertuju pada jasad kedua orangtuanya itu perlahan beralih pada sosok yang menjadi penyebabnya. Seseorang...dengan masih mengacungkan senjatanya namun kini mengarahkan senjata itu pada Kurapika, bertubuh tegap dan mengenakan mantel hitam yang cukup panjang.

Cahaya lampu meja yang remang-remang sedikit menerangi wajah pucat itu. Ekspresinya dingin...tak menampakkan bahwa dia baru saja membunuh dua orang yang sangat berarti bagi Kurapika.

"Aa..." Kurapika mulai berusaha mengeluarkan suaranya dengan emosi yang campur aduk. Saat itulah sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya. Gadis itu baru saja akan memekik ketika dia merasakan rasa sakit di bagian belakang lehernya.


Kuroro segera menangkap tubuh Si Gadis Pirang. Dia tahu, gadis itu adalah Kurapika, putri tunggal dari pasangan Clementine yang baru saja dibunuhnya atas perintah Raito. Kuroro menatapnya.

"Ayo lekas pergi, Tuan Muda," terdengar suara Nobunaga yang baru saja menghampirinya. Dia melirik sosok Kurapika yang ada dalam rengkuhan Kuroro. Yang ada di pikirannya adalah, pemuda itu akan membunuh Kurapika seperti apa yang dia lakukan pada kedua orangtuanya. Setelah itu, beres.

Tapi yang terjadi kemudian sungguh tak disangkanya. Kuroro mengangkat tubuh Kurapika dan menggendongnya ala bridal style, membawanya keluar rumah menuju ke mobil sedan hitam yang akan membawanya kembali ke kediaman Keluarga Lucifer.

"Apa yang kautunggu?" tanya Kuroro tanpa menoleh pada Nobunaga yang masih tak beranjak dari tempatnya.


"Kecurigaan pihak kepolisian pasti akan mengarah pada kita," terdengar suara Raito di ujung telepon. "Aku akan segera menghubungi orang-orang kita di sana. Kerja bagus, Kuroro."

"Terima kasih, Ayah," Kuroro menjawab, lalu melirik Kurapika yang terbaring tak sadarkan diri di jok belakang.

Telepon pun terputus. Ketika mobil sampai di persimpangan jalan, Kuroro meminta Nobunaga untuk berbelok. Pria itu merasa heran. "Kau mau pergi ke mana, Tuan Muda?"

"Ke hotel kita yang Ayah bilang baru saja dibuka minggu kemarin itu."

Nobunaga menurut, walau ia merasa ragu dan sesekali melirik ke arah sang pemuda berambut hitam yang duduk di sampingnya. Akhirnya karena merasa tak tahan lagi, Nobunaga pun berkata, "Maaf, tapi...aku tak tahu apa yang akan dikatakan Danchou kalau dia tahu bahwa kau membawa serta putri Profesor Clementine dan bukannya membunuhnya."

"Ini suvenir, Nobunaga," ucap Kuroro sambil menghela napas. Nobunaga sedikit terkejut ketika melihat senyum tipis nampak di wajah tampan majikannya itu.


Hotel Parthenia, pk. 02.30.

Kuroro masuk ke dalam hotel melalui jalan belakang, karena tak ingin menarik perhatian yang tak perlu. Sang pengelola hotel yang notabene adalah anak buah Keluarga Lucifer mengantarnya ke kamar President Suite hotel itu. Dia tak bertanya apapun tentang gadis pirang yang berada dalam gendongan Kuroro, walau dalam hatinya, dia sedikit merasa penasaran.

'Gadis yang muda...sepertinya masih berusia di bawah delapan belas tahun... Siapa dia sebenarnya? Kenapa Tuan Muda bisa membawanya?' Ia bertanya-tanya dalam hati sambil terus melangkah lalu menggesekkan kartu ke alat yang terletak di samping pintu kamar yang dituju.

"Pergilah," suara Kuroro membuyarkan lamunannya, membuatnya tersentak dan menepis segala pemikiran yang muncul di benaknya beberapa saat tadi.


Kuroro membaringkan Kurapika ke ranjang yang besar dan empuk itu, sebelum akhirnya melepaskan mantelnya yang sedikit terkena cipratan darah dan membersihkan diri di kamar mandi. Setelah dia selesai, Kurapika mulai sadar. Kuroro terus menatapnya. Butiran air menetes dari ujung rambutnya, jatuh ke dadanya yang bidang dan kekar di balik mantel handuk yang dikenakannya.

Kuroro yang selama ini hanya memikirkan mengenai apa yang didoktrin oleh Raito, yaitu pendidikan dan kepentingan Keluarga Lucifer, untuk pertama kali menampakkan sesuatu yang lain di matanya yang hitam seolah tak berdasar.

Hasrat.

Dia memang seorang Lucifer, tapi juga seorang manusia yang mempunyai kebutuhan sendiri sebagai seorang lelaki dan tubuhnya pun bereaksi secara alamiah begitu melihat seorang gadis cantik terbaring tak berdaya di hadapannya.

"Ini suvenir, Nobunaga."

"Ngghhh...," Kurapika melenguh pelan sambil mengernyit. Dia merasa sedikit pusing. Setelah rasa pusing itu mulai berkurang, Kurapika membuka matanya. Dia menatap langit-langit kamar hotel yang mewah itu.

'A-aku di mana?!' Kurapika mulai panik. Dia mengangkat tubuhnya hingga setengah duduk dan bertumpu pada kedua sikunya. Kepanikan itu berubah menjadi rasa ngeri ketika melihat Kuroro yang tengah menatapnya. Apa yang dia saksikan di rumahnya tadi, terbayang kembali di benaknya.

"Kau..." desis Kurapika. Dia meraih hiasan kristal yang ada di dekatnya lalu melemparkannya ke arah Kuroro, yang dengan tangkas segera ditangkap pemuda itu. "PEMBUNUH! KAU SUDAH MEMBUNUH ORANGTUAKU!"

Kurapika menggigit bibir bawahnya yang gemetar karena amarah, air mata mulai mengalir dari kedua sudut matanya. Ketika Kurapika bangkit dan terlihat mencari-cari benda apa yang bisa ia gunakan untuk menyerang Kuroro, pemuda itu segera bertindak. Dia menghempaskan Kurapika hingga terbaring kembali ke tempat tidur dan memegangi kedua tangan gadis itu di atas kepalanya.

Tindakan ini membuat Kuroro harus menaikkan salah satu lututnya ke atas tempat tidur di antara kedua kaki Kurapika yang mengangkang, belum lagi membungkuk dan mendekatkan jarak di antara dirinya dan gadis itu. Kurapika terus memaki dengan suaranya yang lirih namun tetap berusaha menatap mata Kuroro...membuat pewaris Keluarga Lucifer itu takjub dengan keberanian Si Gadis Clementine.

'Dia...berbeda,' batin Kuroro dalam hati.

Napas Kurapika tersengal-sengal karena amarah. Tanpa menyadari bahaya yang tengah menghampirinya, sikapnya itu membuat dadanya menjadi naik turun dan hembusan napasnya menerpa wajah Kuroro. Piyama dan celana pendek yang ia kenakan memperlihatkan kulit putih mulus gadis itu. Dengan kata lain, Kurapika terlihat 'mengundang' baginya. Aroma manis tubuhnya menggelitik nafsu Kuroro yang sudah mendesak untuk dilampiaskan sejak tadi.

Kurapika baru menyadari bahaya itu ketika melihat seringai di wajah Kuroro. Dia meronta, berusaha melepaskan diri namun tentu sia-sia saja. Rasa merinding dirasakannya ketika Kuroro menunduk dan mengecup lehernya.

Lalu...itulah masalahnya.

Kuroro menyukai sensasi aroma dan kelembutan Kurapika yang ia rasakan.


Suara ranjang berderit karena guncangan aktivitas yang berlangsung di atasnya. Kurapika mendesah keras, sesekali ia memekik...rambut pirangnya terhampar di atas seprai yang berantakan, bersinar keemasan tertimpa mentari yang mulai merangkak naik. Ya, Kuroro berkali-kali menggagahinya sejak dini hari tadi hingga sekarang. Sementara Kuroro terus menggerakkan tubuhnya dengan kecepatan yang menggila di dalam tubuh gadis itu sambil mengerang nikmat.

Kurapika merasakan sensasi hangat di dalam tubuhnya, bersamaan dengan ambruknya Kuroro di atasnya. Gadis itu berusaha menjauh, namun dia begitu lemah hingga tak mampu melakukannya.

"Brengsek...," makinya lirih. "Kau iblis!"

Kuroro hanya tersenyum, mencium bibir dan kening Kurapika dengan lembut lalu terlentang sambil mengatur napasnya. Dia menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Sepertinya dia sudah memutuskan untuk mengakhiri aktivitas mereka.


Kepulangan Raito dari luar negeri disambut dengan adanya laporan dari Nobunaga yang memberitahukan bahwa Kuroro membawa anak gadis Keluarga Clementine. Dia terkejut dan berang mendengar hal ini.

"Kuroro, apa maksudmu sebenarnya?!" tanya Raito ketika menghubungi Kuroro lewat telepon. "Dan kenapa kau belum juga pulang? Ini sudah dua hari!"

"Ayah, aku tak bermaksud apa-apa...aku akan segera pulang," terdengar Kuroro menjawab dengan tenang. "Apakah Ayah berpendapat bahwa aku belum bisa menjaga diriku sendiri?"

"Bukan begitu, Kuroro...tapi sama saja artinya kau meninggalkan seorang saksi mata atas pembunuhan itu. Sekarang berita tentang hilangnya Kurapika Clementine membuatnya jadi lebih sulit!"

"Ayah, aku tak akan membiarkannya menjadi saksi mata. Aku tak akan melepaskannya. Dia milikku..."

Tak ada yang bisa dilakukan Raito untuk merubah keputusan Kuroro. Dia menatap jauh ke luar jendela dan menghisap cerutunya lagi.

'Anakku...sepertinya kau tertarik padanya, aku yakin kau pasti sudah melakukannya pada gadis itu,' ucapnya dalam hati. 'Kuroro, tidak tahukah kau bahwa wanita adalah makhluk yang berbahaya? Dia bisa membuatmu lengah...dengan pesonanya.'

"Ayah...!" seru Kuroro sambil menghampiri Raito yang pulang lebih awal malam itu.

Raito berjongkok dan menyambut putranya yang berusia empat tahun. Rasa lelahnya langsung hilang seketika.

"Di mana istriku?" tanya Raito pada Fumi, seorang pelayan yang bertugas mengasuh Kuroro.

Wanita itu terlihat gelisah.

"Jangan bilang dia mengunjungi sahabatnya lagi karena aku tak akan percaya," bisiknya geram, berusaha agar Kuroro tidak memahami dan mendengar jelas apa yang ia katakan.

Raito ingin melakukan hal ini sudah lama, namun dia berusaha memberi kesempatan bagi Battera, istrinya, untuk mengakhiri apa yang dilakukan wanita itu di belakangnya dengan cara yang lebih baik dari yang akan dilakukannya saat ini. Keberadaan Kuroro dan kasih sayang yang ia miliki untuk anak itu pun turut menjadi salah satu pertimbangannya.

Raito menyusuri koridor apartemen yang remang-remang, lalu berhenti di depan sebuah pintu. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Raito mendobrak pintu itu bersama dengan dua orang anak buahnya, Phinks dan Feitan. Kedua insan yang tengah berpelukan dengan mesranya di dalam apartemen itu pun terkejut.

"Halo Battera," Raito menyapa istrinya. Dia mengangkat sebelah tangannya yang memegangi pistol lalu menembak Battera dan kekasih gelapnya sampai mati.

Raito memijit pelipisnya sambil mengernyit. Rasanya menyakitkan...jika mengingat hal itu. Terlebih lagi ketika kemudian Kuroro menangisi kematian Battera.

"Ibumu meninggal karena kecelakaan, mari kita doakan dia," ucapnya saat pemakaman Battera selesai dilangsungkan sambil memeluk putranya. "Kau harus kuat, Kuroro...biarkan ibumu melihatmu dengan penuh kebanggaan dari surga sana."

Entah apa yang akan terjadi...jika Kuroro sampai mengetahui bahwa dialah sesungguhnya yang menyebabkan kematian Battera, ibu yang sangat sempurna di mata Kuroro dan membuatnya kehilangan kasih sayang seorang ibu sejak berumur empat tahun.


Kuroro mengernyit melihat pelayan di rumahnya itu kembali dengan nampan yang masih penuh berisikan makanan.

"Tunggu sebentar," ucapnya dengan datar, namun mampu membuat si pelayan menghentikan langkahnya. "Dia tidak mau makan lagi?"

"Benar, Tuan Muda...padahal menunya selalu kuganti. Aku pun sering menanyakan apa yang ingin dia makan," jawab si pelayan dengan takut-takut.

Kuroro menghela napas. Pemuda itu menatap ke lantai atas di mana kamar Kurapika berada, lalu segera naik menghampiri gadis itu. Dia melepaskan jasnya, menghempaskannya begitu saja ke atas kursi. "Kenapa kau tidak mau makan?" tanyanya langsung pada sosok gadis berambut pirang panjang yang sudah tinggal di rumahnya, Mansion Keluarga Lucifer, selama dua bulan ini.

Kurapika duduk di tepi tempat tidurnya, menghadap ke arah pintu balkon yang terbuka.

"Bunuh saja aku," ucap Kurapika pelan. Lalu gadis itu menunduk...dengan mata yang menyorot tajam menatap lantai. "Kau sudah mengambil semuanya...hingga tak ada lagi yang tersisa dariku selain nyawaku ini."

Kuroro tak berkomentar apapun. Membunuh Kurapika? Dia benar-benar tak ingin melakukannya. Kuroro senang melihat pemandangan indah dari dirinya, yang bisa dia lakukan setiap saat. Pemuda itu menduga, merupakan hal yang wajar jika seseorang seperti dirinya menikmati semacam 'suvenir' sebagai penghargaan atas perbuatannya.

Sebenarnya dia tak perlu peduli jika 'suvenir'-nya ini akan mati—mengingat dia sudah merenggut semua darinya—namun sekarang berbeda. Di dalam tubuh gadis itu...ada seorang Lucifer. Ya, perbuatan yang dilakukannya berulang-ulang sejak malam pembunuhan itu telah membuat Kurapika hamil. Kurapika terguncang ketika mengetahuinya...dan sempat mencoba untuk bunuh diri.

Kuroro keluar dari kamar itu sebentar, hingga kemudian kembali lagi membawakan makanan. Kurapika mendongak dan memicingkan matanya dengan geram.

"Sudah kubilang aku tak mau makan!"

Seolah tak mendengar bentakan gadis itu, Kuroro duduk di samping Kurapika dan menarik tubuh rampingnya hingga jatuh ke dalam pangkuannya.

"Lepaskan!" Kurapika mulai meronta.

Kuroro meletakkan piring yang dibawanya lalu memeluk pinggang Kurapika semakin erat. "Makan," ucapnya singkat. Mata hitam pemuda itu menatap langsung mata biru Si Pirang. "Aku seorang pembunuh, aku seorang bajingan yang telah memerkosamu dan mengurungmu di sini. Tapi anakku yang ada di dalam perutmu sama sekali tak berdosa. Semuanya salahku."

Kurapika terpaku. Dia salah mendengar atau apa? Kalimat yang diucapkan Kuroro benar-benar di luar dugaan Kurapika.

Kuroro mengambil sesendok makanan dan menyuapkannya ke mulut Kurapika. Tanpa perlu disuruh lagi, Kurapika membuka mulutnya dan mengunyah makanan itu. "Aku bisa makan sendiri," ucapnya dengan pipi yang memerah.

Kuroro melonggarkan pelukannya, membiarkan Kurapika beranjak dan duduk di tempatnya semula. Perlahan, gadis itu menyantap makanannya. Dia tak bisa memakannya seperti biasa...karena rasanya begitu mual. Dia hanya bisa menyantapnya sedikit demi sedikit. Kurapika berhenti sebentar untuk meminum air, mencoba meredakan rasa mual yang tiba-tiba menyerangnya.

"Apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Kuroro.

"Ngg...apel," jawab Kurapika sambil merasa tak nyaman atas tatapan pemuda itu. "Tapi...aku mau apel yang hijau."

"Hn..."

Kuroro hanya bergumam. Dia menunggu Kurapika selesai makan, lalu segera keluar rumah untuk membeli apel hijau yang diinginkan gadis itu. Kenapa Kuroro tidak memerintahkan anak buahnya saja? Alasannya sudah jelas. Tanpa Kuroro sadari...dia mulai lebih memperhatikan Kurapika.

'Tak perlu risau, aku melakukan ini hanya demi anakku yang dikandungnya,' dalam hati Kuroro beralasan.


Kandungan Kurapika semakin membesar. Kehamilan ini cukup berat bagi Kurapika, mengingat dirinya baru saja menginjak umur delapan belas. Namun tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Kuroro membuat gadis itu mampu menjalaninya. Kadang Kurapika membenci dirinya sendiri karena kenyataan ini.

'Bersabarlah, Kurapika...,' dia berusaha menenangkan diri.

Kurapika menoleh ke jam dinding yang terletak di kamarnya. Sudah lewat dari tengah malam, dan sebentar lagi jarum jam itu akan menunjuk ke angka satu. Tak ada ucapan selamat ulang tahun...tak ada lilin, apalagi kue tart. Kurapika hampir saja meneteskan air matanya ketika tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, menampakkan Kuroro yang terlihat lelah namun tak mengurangi ketampanan pemuda itu.

Selama beberapa bulan terakhir ini Kuroro memang sering tidur di kamar Kurapika. Bahkan hampir setiap malam. Dia menikmati kebersamaannya bersama gadis itu. Tentu saja Kuroro pun masih suka menyentuhnya walau dengan cara yang lebih hati-hati. Dengan kondisinya sekarang yang tengah mengandung, Kurapika semakin tampak cantik si mata pemuda itu.

Kuroro langsung berbaring di tempat tidur setelah melepas jas dan sepatunya.

"Hei, mandi dulu!" pekik Kurapika tak setuju.

"Ya...sebentar lagi," Kuroro menjawab. Lalu dia menoleh memandang Si Pirang. "Selamat ulang tahun."

"Eh?! Dari mana kau—"

"Aku bisa mendapatkan informasi apapun yang kuinginkan...apalagi tanggal lahir, itu sangat mudah diketahui tanpa harus kau mengatakannya padaku."

Kurapika merasa bodoh. Ya, tentu saja! Gadis itu memarahi dirinya sendiri karena telah menanyakan sesuatu yang tidak perlu. Tanpa sadar Kurapika memanyunkan bibirnya. Dia tak menyadari tatapan Kuroro ke arahnya, yang sedikit tersenyum menikmati ekspresi wajahnya saat itu.


Kuroro terperangah ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan Raito. Dia menatap ayahnya itu. "Maaf...tadi aku tidak—"

"Jika kau tidak jelas mendengarnya, aku akan mengatakannya sekali lagi" ucap Raito tanpa melepaskan tatapannya dari Kuroro. "Buang gadis itu setelah melahirkan anakmu."

"Aku tidak setuju, Ayah," desis Kuroro sambil mengepal kedua tangannya dengan erat hingga memutih. Dia berusaha mengendalikan emosinya. Walau bagaimanapun, Kuroro sangat menghormati Raito. Dia pun tahu apa yang dimaksud ayahnya. Membuang bagi mafia...berarti membunuh atau mengasingkan.

"Kau bisa mendapatkan wanita manapun untuk menjadi ibu dari anakmu," Raito melanjutkan. Dia sudah tak tahan lagi melihat kasih sayang dan perhatian yang diberikan Kuroro pada Kurapika. Pewarisnya haruslah hidup hanya demi kebaikan Keluarga Lucifer. Tak ada yang lain. Bahkan pernikahan pun harus dilakukan hanya demi kepentingan kelompok mereka. Dan Raito tak menginginkan Kurapika—putri dari orang yang telah dibunuh atas perintahnya—menjadi pendamping hidup Kuroro.

"Dia milikku...aku tak akan melepaskannya."

"Milikmu? Sungguhkah kau akan menjadikannya milikmu?! Kuroro, kau telah membunuh orangtuanya. Sekarang kau menghamili putrinya. Benar-benar...itu saja sudah cukup memalukan! Entah apa pendapat rekan-rekan kita jika mengetahui tentang hal ini. Lalu...apakah kau pikir dia sanggup, menjalani hari-harinya hidup bersamamu? Dengan semua bahaya yang selalu mengelilingi kita di luar sana...sanggupkah dia?"

Kedua orang itu tidak tahu, dari balik pintu yang sedikit terbuka...tanpa sengaja Kurapika mendengarkan semuanya. Dia memegangi perutnya yang tengah hamil besar, air mata mulai menetes membasahi pipinya. Kurapika benar-benar tersentak. Ya...tak akan ada kehidupan untuknya di tempat ini. Lalu anaknya—yang baru saja diketahui berjenis kelamin perempuan—akan mengikuti jejak ayah dan kakeknya sebagai seorang Lucifer?!

'Tidak...aku tak akan membiarkan itu terjadi. Kuroro, kau sudah berhasil merenggut semuanya dariku...tapi aku tak akan membiarkan kehidupan putriku ikut terenggut juga,' batinnya.

Kurapika berbalik dan melangkah kembali ke kamarnya sambil menyusun strategi. Sementara itu, percakapan antara Raito dan Kuroro di ruang baca masih terus berlanjut.

"Aku melihat keberanian di matanya, Ayah," Kuroro berkata. "Hanya dia yang pantas untukku. Aku...akan bertanggungjawab atas semuanya."


Hari yang direncanakan pun datang. Kurapika sudah bersusah payah mengumpulkan keberanian dan menyusun rencana. Dengan tenggorokan tercekat, dia menyelipkan pistol—senjata yang sudah menghabisi nyawa kedua orangtuanya—ke balik mantel yang dikenakannya saat ini. Seisi mansion sedang sibuk karena Raito akan mengadakan pertemuan dengan beberapa rekannya sesama mafia.

'Tuhan...tolonglah agar aku tak usah menggunakan senjata ini,' dia berdoa dalam hati.

Kurapika melirik jam dinding.

'Tiga menit lagi...'

Tiga menit kemudian, apa yang sudah ditunggu-tunggu gadis itu terjadi. Semua pengawal di mansion itu terkejut ketika menyadari kamera CCTV yang tersebar di sana tak menghasilkan gambar sama sekali. Mereka segera memeriksa sekeliling tempat itu. Karena kesibukan yang ada, jumlah pengawal yang masih bersiaga hanya tinggal setengahnya. Kurapika memanfaatkan hal ini. Dia mengatur napasnya.

Sepuluh menit. Hanya sepuluh menit waktu yang tersisa baginya untuk melarikan diri dari mansion yang luas itu.

Kurapika bergerak dengan cepat. Sambil memegangi perutnya yang membesar, gadis itu menyelinap dengan cekatan.

Sementara itu, di kota...

Kuroro masuk ke dalam butik perhiasan eksklusif di kota itu, mengamati setiap pasang cincin kawin yang disodorkan pelayan di sana. Ya, Kuroro sudah meneguhkan hatinya. Dia akan melamar Kurapika malam ini...untuk selanjutnya menikahi gadis itu ketika anak mereka sudah lahir.

'Jika ini bisa membuatnya tetap menjadi milikku...aku akan melakukannya,' Kuroro berkata dalam hati.

Pandangannya tertumpu pada sepasang cincin dengan batu safir dan batu onyx yang dipadukan secara sederhana. Menurut Kuroro, kedua batu itu cukup melambangkan dirinya dan Kurapika. Desain simpul di tengah-tengahnya seolah menandakan ikatan yang tak akan pernah berakhir—yang ditafsirkan Kuroro sebagai kepemilikan tiada akhir.

Batu safir itu bagaikan mata Kurapika...yang saat ini tengah memancarkan ketakutan dan sesekali melirik ke belakang dengan waspada. Lalu apa yang ditakutkannya pun terjadilah. Dia melihat beberapa orang pegawal Keluarga Lucifer mulai mengejarnya. Kurapika terkejut...dan hal ini mengacaukan rencana di benaknya. Dengan rasa sakit yang mulai terasa di perutnya, Kurapika berusaha lari.

'Tidak...ini terlalu cepat! Aku belum sampai ke tempat di mana aku bisa pergi dengan selamat! Oh Anakku...Kumohon, bertahanlah!'

Para pengawal itu tak bisa berbuat banyak, karena Kurapika sedang mengandung anak dari tuan muda mereka.

"NONA! BERHENTI!"

Kurapika tak menghiraukannya. Tiba-tiba dia mendengar suara decitan ban dari kendaraan yang berhenti mendadak. Kurapika menoleh...matanya membelalak ngeri ke arah sebuah mobil yang menuju ke arahnya secara tak terkendali.

"KYAAAAA...!"

Dalam sekejap, kedua wajah yang begitu ia rindukan muncul...wajah orang-orang yang ia kasihi dan tak akan bisa dia lupakan selamanya.

'Ayah...! ibu...! Oh...tolong aku!' Kurapika memekik di alam bawah sadarnya, hingga kegelapan yang pekat menyelimuti jiwa dan pikirannya saat itu.


TBC


A/N :

Berhubung ini baru sepertiga dari plot yang udah aku susun dan sepertinya akan terlalu panjang untuk menjadi one shot, aku putuskan fic ini menjadi multichap. Akan kuusahakan untuk selesai tanggal 15 Nopember minggu depan.

Kesesuaian tema baru akan terlihat di chapter depan.

Review please...jangan lupa ada pemberian award Reviewer Terbaik juga^^