Ansatsu Kyoshitsu © Matsui Yusei
In the Bus © anclyne
Warn: parodi, sampah, alot
.
Setiap pagi. Salah satu Kegiatan rutin Maehara adalah menunggu bus yang akan membawanya ke sekolah. Jarak tempuh yang cukup jauh mengharuskan pemuda yang dijuluki casaanova ini rutin menggunakan fasilitas kendaraan umum tersebut.
Kalau saja ayahnya tidak terlalu pelit untuk sekedar membelikannya sepeda baru. Mana mau ia setiap pagi desak-desakan naik bus, berjejal penuh dengan beragam jenis penumpang. Entah itu tante-tante menor, nenek tua, kakek tua, anak kecil, remaja, dan beragam jenis lainnya dengan profesi bervariasi.
Belum lagi bau keringat yang bercampur. Bermacam-macam bau keringat penumpang yang saling desak menjadi satu. Bahkan kalau sedang sial, bokongnya bisa jadi korban pelecehan tanpa bisa tau pelakunya.
Untungnya untuk hari ini, Maehara Hiroto sedang beruntung. Walaupun masih terjebak dengan suasana bus yang penuh sesak sih—tapi, mendapat tempat duduk didalam bus itu lebih baik ketimbang harus berdiri. Terlebih jika bus sedang berjalan menikung, semua penumpang bus ikutan oleng. Ya bagus kalau, wanita cantik yang oleng ke tubuh Maehara. Kalau Om-om homo mesum fetish bokong? Wassalam.
Jadi, Maehara harus benar-benar berterimakasih pada cincin batu akik yang ia pakai sejak kemarin.
.
Beberapa menit setelah mendaratkan bokongnya dalam bus. Maehara hanya bisa menatap kaki-kaki penumpang yang berdiri. Matanya mulai memperhatikan, bermacam-macam. Mulai dari kaki berbalut celana jins, rok mini selutut dengan stocking, hingga celana seragam sekolah yang rel sletingnya belum ditutup.
—wait!
Rel sleting—
belum ditutup.
Kedua biji Maehara melotot. Disuguhi kolor berwarna hijau tepat didepan mata itu nikmat dunia. Iya, kalau si pemilik kolor wanita—sayangnya si pemberi amal hanya seorang pemuda batangan berhelai hitam dengan dua pucuk diatasnya, dan—lumayan-manis.
The hell—Maehara nggak homo.
Pergolakan batinpun terjadi. Di satu sisi, Maehara ingin jadi orang baik yang memberitahu si pelaku amal untuk menutup rel sletingnya agar tidak malu dikemudian waktu. Tapi disisi lain, kalau Maehara memberitahu si pelaku amal perihal rel sletingnya. Ia yakin juga akan membuat si pelaku tengsin abis. penumpang yang berada didekatnya pasti mendengar. Salah-salah, bisa dia yang dituduh jadi pelaku pelecehan.
Maehara galau.
Ia mencoba melirik kanan kiri kearah penumpang disampingnya. Apakah tidak ada yang menyadari? Atau emang dia saja? Maehara pasrah. Penumpang lain disampingnya malah asik tidur dan mendengarkan musik dengan mata merem.
Maehara harus apa sekarang?!
Tatapannya masih fokus ke arah rel sleting yang menampakkan kolor berwarna hijau. Merasa diperhatikan, Maehara pun menegadahkan lehernya menatap wajah si pelaku amal. Mata mereka bertemu, Slow motion—Kedua biji emas pelaku menatap intens wajah Maehara, ekspresinya sulit ditebak.
Awkward, Maehara reflek nyengir pada pemuda yang mendadak nembuatnya galau.
Si pelaku amal pun membalas senyum dengan canggung.
Maehara kembali menundukkan kepalanya, ia lebih memilih memandang sepatu ketimbang harus melihat pemandangan kolor.
Maehara masih galau, waktunya habis untuk menghitung kancing. Ia tersentak saat bus berhenti di halte, sebagian penumpang berdesakan keluar. Pelaku amal didepan Maehara pun sepertinya juga akan turun, ia panik. Apa harus berakhir seperti ini? Bukankah kasihan kalau pemuda itu jadi bahan tertawaan orang yang melihatnya.
Tanpa pikir panjang, Maehara ikut berdiri. Keluar dari bus untuk memberitahukan pada pemuda itu walau harus berkorban menunggu bus selanjutnya karena tujuannya masih melewati dua halte lagi. Maehara sukses turun dari dalam bus, udara segar memenuhi paru-parunya. Bebas dari pengap bau badan penumpang yang bercampur.
Ia berusaha mengejar si pelaku amal,
Sedikit lagi—
Tiga langkah—
Dua langkah—
Satu—
"Hei!" Tangan kanan Maehara menyentuh bahu,
BUKK!
Bukan wajah manis pemuda didepannya yang ia tangkap, tapi bogem mentah mendarat diwajah tampan Maehara. Seolah bermimpi, otaknya mendadak macet mencerna apa yang barusan terjadi.
"Mau apa kau mengikutiku, penguntit!" Suara khas pemuda berjakun mencecar Maehara.
Ia sontak melotot. Sambil mengelus pipi mulusnya yang baru dapat ciuman bogem tangan.
"E-eh? Kau salah paham, aku bukan penguntit!"
Alis si pelaku amal semakin menujik tajam.
"Kau mamandangi bagian bawahku terus tanpa berkedip selama didalam bus!"
Maehara melongo beberapa detik.
Tuduhan sepihak benar-benar membuat otaknya mendadak macet.
"K-kau salah... aku cuma ingin.."
"Apa?!"
"Itu.."
"Akan ku laporkan kau ke polisi."
"REL SLETING CELANAMU BELUM DITUTUP!"
lega. Bak buang angin, itulah yang dirasakan Maehara.
Ups!
Suara cekikikan pejalan kaki, dan wajah merah padam si pelaku amal.
Maehara berdeham.
"Um, maaf. Aku cuma mau bilang itu padamu."
"O-oh..." respon canggung si pelaku amal. Masih memandang Maehara, perlahan kakinya mulai melangkah mundur, berbalik—lalu kabur menjauh begitu saja tanpa menutup rel sletingnya.
Lalu derita yang didapat Maehara untuk apa?!
Bukan gelar pahlawan ia dapatkan, tapi bengkak diwajah yang ia dapat. Satu hal yang Maehara pelajari adalah—
Jangan pernah percaya pada batu akik.
End
A/N:
Cuma mencurahkan pengalaman waktu didalam bus way, walau gue nggak kena bogem kaya Mae sih. Kurang lebih galau gue sama kayak dia. #mainbatudipojokan
