BoBoiBoy © Animonsta Studios
Dia Berbeda Denganku
.
.
.
Sekuel dari 'Bersamamu, Kuingin' dimana tokoh yang tetap ditonjolkan tetap Yaya. Disini sudut pandang diganti jadi 3rd POV juga pairing diganti (ya iyalah masa mau main pasang orang idup sama mayat?! /kicked).
Hope you enjoy mine!
.
.
.
Album besar lusuh dengan sampul jingga dibuka berulang-ulang. Terkadang ia meneruskannya ke depan, namun suntuk dan kembali memutarnya pada halaman sebelumnya. Senyuman, keceriaan, kemeriahan. Semua tertuang dari masing-masing pajangan foto yang berbeda. Memutar semua memori masa lampau yang pernah ia buat sekitar setahun yang lalu.
Wanita berumur berkepala dua itu sempat tersenyum. Mengingat semua apa yang membuat kenangan-kenangan itu begitu berwarna. Indah.
Jemari lentiknya berhenti bermain-main. Dia menghela napas sebagai respon lelah. Diletakkannya kembali sang album menjauh dari pangkuannya.
"Hei Boboiboy," lirihnya kecil. Ia mendongak menatap langit-langit kamarnya.
"Kau ingat kalau ini kamar yang selalu kita gunakan untuk tidur bersama?"
Keheningan sempat tercipta sejenak. Jarum jam didapatkan pada pendengarannya berdetak satu kali. Senyuman lagi-lagi terukir dari wajahnya. Senyum pilu.
"Kau ingat aku, Boboiboy?"
Kali ini kedua irisnya ia alihkan pada sebuah bingkai dengan isi foto seorang laki-laki. Mengenakan topi jingga dengan senyuman yang merekah. Kedua bola matanya yang membesar tanda bahagia. Di sampingnya tampak seorang gadis yang ia rangkul.
"Maksudku, apa kau masih mengingatku? Kita terlalu banyak bersama walau hanya dua tahun lebih umurmu hidup setelah pernikahan kita. Kau yang kadang manja, kadang serius, labil."
Kepalanya ia gelengkan kecil.
"... lagi-lagi aku gila," desisnya. Ia menyegerakan bangkit dari ranjang tidurnya. Rambut hitamnya yang tergerai ia gulung ke atas. Baju yang ia kenakan mulai ditanggalkan lalu mencari handuk segera.
...
Aku tidak bisa meninggalkanmu,
Aku tidak bisa melupakanmu,
Kenangan yang kuat,
Aku tidak bisa meruntuhkan rasa kebersamaan kita
Aku rela,
Bila sudah mencapai umur tua untuk tidak mencari penggantimu,
Karena tidak ada yang bisa memindahkan hatiku,
Satu orangpun.
...
Memakai kerudung dengan gaya simpel, itulah kesukaan sang wanita itu. Padahal kini sudah enam bulan ia dipekerjakan dalam suatu sekolah berakreditasi internasional di dekat daerahnya tinggal.
Simpel, namun sopan. Motto seorang gadis muslim untuk tetap mengkukuhkan harga dirinya namun juga tidak mau mencemarkan auratnya pada orang yang bukan mahramnya.
"Selamat pagi, Yaya."
"Pagi."
Tentu dengan senyuman. Bagi wanita yang dipanggil 'Yaya', senyuman bukan berarti untuk bisnis. Tersenyum bukan untuk keuntungan pribadi, namun kesejukan hati bagi sesamanya untuk terus dapat memercayakan dia sebagai pihak orang yang nyaman jika didekati. Tersenyum dapat memperlihatkan dia begitu muda. Menutupi statusnya yang bukan perawan dari mata.
"Pagi, bu."
"Pagi, anak-anak."
Membalas salam para anak didik juga berupa keseharusan baginya untuk memberkahi ilmunya secara lancar.
"Assalamu'alaikum ..."
Tidak lupa untuk memasuki suatu kelas dengan mengucapkan salam. Tersenyum lembut menghadapi anak-anak didiknya.
"Wa'alaikum salam, bu guru," balas salah satu anak berumur 16 tahun paling nyaring. Hijab putih membungkus kepalanya indah. "Berdi ... ri!"
Semua anak-anak yang duduk serentak berdiri. Yaya yang sudah memberhentikan langkahnya pada bangku guru, berdiri menghadap penghuni anak-anak kelas yang ia masuki.
"Selamat pagi ... ibu guru ..." serempak anak-anak mengucapkan salam.
"Selamat pagi," balas Yaya dengan lagi-lagi, senyuman.
Enam bulan Yaya menekuni untuk menjadi tenaga pengajar honor dalam bidang studi kimia dan tata boga. Ia bersyukur karena pernah melanjutkan kuliah seusai 18 tahun, dan ketika itu sebenarnya akan berencana untuk putus sekolah tinggi di umur 20 perihal bertunangan.
'Dia' tetap mendukung sekolahnya, hingga Yaya pupus menggelar strata 1. 'Dia' memang akan menjanjikan kebutuhan Yaya, namun memutuskan perjuangan di tengah jalan adalah keegoisan.
Dia, adalah almarhum suaminya. Yang menikah dengannya di umur 22 waktu itu.
Yaya benar-benar harus berterima kasih dengan keras hati suaminya. Jika saja Yaya memutuskan kuliahnya, dia mungkin tidak bisa mencari lapangan kerja yang dapat menjanjikan masa depannya. Setidaknya ada pekerjaan yang menjanjikan saja sudah cukup baginya.
"Setelah ini pelajaran bahasa asing bukan? Pak Sulaiman, ya?"
Salah satu murid yang maju di meja Yaya terdiam sebentar. "Enghh ... kudengar kalau pak Sulaiman katanya digantikan."
Wajah bingung tercetak dari paras Yaya. 'Kenapa aku belum dengar para guru menggosip tentangnya?'
"Aku dengar dari bu Christine begitu katanya. Baru saja tadi pagi."
"Dan, kamu sudah lihat wajahnya?" Yaya terlihat tertarik.
"B—belum sih. Saya bahkan tidak tahu apakah benar ... permisi bu."
Yaya mempersilakan anak muridnya duduk kembali pada bangkunya. Sementara pikirannya bergelayut memikirkan siapa orang yang dimaksud anak didiknya, konsentrasinya buyar untuk kembali membahas materi ketika suara bel berbunyi dua kali.
"Sudah selesai, ya?" Yaya bahkan merasa waktunya bertugas bergitu cepat terlewati. "Tugas dari papan tulis akan ibu jadikan tugas rumah. Konfigurasi elektron 30 sampai 34."
"Kami belum bisa yang itu bu ...," salah satu anak didiknya angkat tangan. wajah kecemasan menyelimuti. "Terlalu besar angkanya ..."
"Kalian baru ibu ajarkan sampai m sih, ya."
Bagaimana tidak? Yaya terlalu fokus untuk memperbanyak lembaran unsur kimia. Pada pertemuan sebelumnya, Yaya lalai untuk tidak memberitahu harus membawakan lembar tabel agar mereka tahu jenis kimia dengan nomornya untuk memudahkan pengisian soal dalam materinya.
"Kalau s dan p itu golongan A, d ...?" Yaya menggantungkan pertanyaannya dengan masih menenteng buku paket kimianya.
Semua hanya berdiam. Yaya mendengus sebal.
"Buka buku paket kalian. Dan untuk menentukan golongannya apakah A atau B, hanya perlu melihat akhir dari atom yang kalian sudah konfigurasikan. Jenis d dan l itu adalah golongan B. Ibu rasa waktunya memang sedikit, jadi kalian urutkan semampunya dan kita bahas sama-sama pada pertemuan berikutnya."
Oh ya, Yaya harus mengurangi jam 'orang baru' itu hanya untuk menjelaskan materi yang ujung-ujungnya semua terdiam.
Perempuan berhijab merah muda itu buru-buru menapakkan kakinya keluar kelas dengan sebelumnya mengucap salam. Kalau ketahuan menarik jatah jam belajar orang, bisa-bisa Yaya akan disinggung rekannya sendiri semingguan penuh.
Batang hidungnya ia rasakan menabrak sesuatu, begitu keras. Yaya kehilangan keseimbangan dan nyaris akan terjatuh ketika tidak ada tangan besar yang menangkapnya segera.
"M—maaf!" ucap Yaya segera. Ia menepis tangannya secara cepat, karena ia sudah tahu hanya yang bukan sejenis kelaminnya yang punya tangan begitu besar sampai dapat mencengkeram pergelangan tangannya yang mungil.
Kepalanya mendongak. Dan disaat itulah, Yaya menyadari satu hal yang begitu membuat jantungnya melambung.
"Kalau jalan tolong lihat apa yang di depanmu."
Suara yang begitu berat, namun nyaris mirip dengan getaran yang selalu memenuhi hari-hari berbintangnya.
Pria dengan paras mirip suaminya. Suaranya, bahkan gestur tubuhnya bisa dikatakan 'persis'. Yang membedakan hanyalah iris matanya yang berwarna merah delima.
"B—boboiboy?" panggil Yaya. Ia menahan pelupuk matanya untuk menitikkan air mata, karena terharu.
"Boboiboy?"
"K—kau Boboiboy kan? A—i—ini bukan mimpi kan?" langkah si perempuan ke depan mendekati lawan bicaranya. Sementara satu tangannya masih mengenggam buku paket, sebelah tangannya lagi segera ia tepuk dari kedua sisi sang laki-laki itu. Nyata. Ini tidak mungkin, batin Yaya.
"Permisi, aku ada pekerjaan—"
"Bagaimana kau bisa hidup kembali? Ya Allah, ini begitu nyata—" suara Yaya tercekat saat tangan sang pria menutup bibirnya untuk membuka.
"Dengar, kau adalah seniorku atau siapapun aku tidak mau tahu."
Tutur katanya begitu galak. Yaya sampai kaget mendapati perkataan suaminya sangat terdengar sinis, apalagi di depan istri tercintanya.
"Pertama, aku bukan Boboiboy. Aku punya nama," tangan yang tadi digunakan untuk menutup mulut Yaya ia lepaskan. Namun tatapan tajam dari kedua irisnya tak kunjung ia lunturkan. "Kedua, aku ada pekerjaan yang menungguku. Permisi."
Laki-laki tadi segera berlalu dari Yaya. Tubuh perempuan itu terdiam mematung.
Rasa penasaran lagi-lagi memenuhi pikirannya. Ia lengokkan kepalanya sedikit untuk pembayaran hasrat.
Pria galak. Tubuhnya jauh terlihat berstamina dari orang yang biasa mengukir kehidupannya pada masa lampau.
"Dia ... memang bukan Boboiboy, ya?"
Yaya terkekeh kecil.
"Orang galak begitu memang bukan Boboiboy ... mungkin ..."
Waktunya untuk memasuki kelas selanjutnya.
...
Jika ada yang berparas sama denganmu,
Apa yang kau harapkan dari orang itu?
Padahal wataknya jelas berbeda,
Padahal rasa kasih sayangnya tidak mungkin sama denganmu,
Tapi ...
Setiap melihatnya,
Aku tidak bisa melihat perbedaan diantara kalian
...
Jam istirahat, Yaya gunakan untuk berbaur dengan rekan kerjanya. Tidak sedikit biasanya kawan-kawan Yaya membagikan snack makan siang mereka dengannya. Yaya memang tidak punya waktu untuk memasak.
Atau mereka sengaja karena takut suatu hari nanti Yaya akan merasa tidak adil lalu membawa biskuit kematiannya. Cerita horor yang sudah sampai terdengar oleh telinga bos mereka sendiri, alias kepala sekolah naungan Yaya.
Suatu saat mereka akan menyesal saat merasakan masakan Yaya yang sesungguhnya.
"Mita, aku mau tanya ... boleh?" mulai Yaya. Dia menjumput satu roti isi dari isi bekal milik temannya.
"Tanya saja."
"Begini, aku ada lihat seorang pria yang—"
"Oh ya, Yaya! Kau ada dengar tentang guru baru di sekolah kita?"
Yaya mengangguk kecil. Hatinya sudah sedikit sakit karena ucapannya dipotong tiba-tiba sebenarnya. Biarlah, setidaknya Yaya sebagai junior harus sedikit sopan dengan seniornya sendiri.
"Guru baru itu ganteng, dingin lagi. Andai aku masih muda, ah rasanya mau kuembat~"
Kembali ke masa muda. Yaya terkekeh melihat seniornya bisa bersikap kekanakan. Padahal notabenenya adalah guru matematika, dimana Yaya pernah dengar kalau mereka tidak pernah tertarik kehidupan cinta. Untuk kali ini memang pengecualian.
"Perangainya juga buruk sih masalahnya. Eh tadi kamu mau cerita apa?"
"Erghh—yah, aku melihat pria yang juga perangainya buruk kayaknya ... tunggu ..." Yaya berdiam sejenak untuk berpikir. Firasatnya mengatakan sepertinya jika ia bertanya secara detail, jawabannya yang akan didengar pasti memuaskan. "Apa Anda tahu tentang pria dengan perangai buruk?"
"Itu yang kumaksud dengan guru baru!" serunya. "Dan—"
"Dan tidak baik membicarakan orang lain, sedangkan orang itu ada di sekitar kita."
Sepasang mata kedua guru tertuju pada pemuda yang barusan memotong ucapan Mita. Iris merah delimanya menatap menusuk orang yang memerhatikannya.
"Ya kan, senior?"
"Halilintar, maaf aku tidak tahu kau akan melewati kami ..."
Dan Yaya mendapatkan jawaban disana, bahwa nama pemuda yang berparas mirip suaminya, adalah Halilintar.
"Yaya ingin tahu siapa namamu, dan aku menceritakan tentangmu yang kuketahui," jelas Mita. Ia sedikit gugup dipandang tajam laki-laki itu dari tadi.
"Aku Halilintar, salam kenal senior," desis pria bernama 'Halilintar'.
"Yaya. Jangan memanggilku senior, karena aku juga masih dikatakan baru disini."
"Halilintar mau sandwich buatanku?" tawar Mita. Tanpa berucap satu patah kata pun, segera laki-laki berseragam ala guru itu mengembat satu dari dua roti isi yang tersisa. Yaya melototinya.
"Tidak sopan."
"Apa?" kata Halilintar.
"Harusnya kau mengucapkan 'terima kasih' sebelum mengambil milik mereka!" sekali lagi Yaya peringatkan, lebih mendetail.
"Oh ya begitu. Terima ... kasih ..."
Segera satu gigitan ia makan. Lama ia mengunyah, dan memanfaatkan kondisi tersebut dengan memainkan lidahnya menilai rasa.
"Rasanya, cukup asin."
"Oh—maaf, aku memang tidak berbakat memasak," Mita terlihat lesu.
"Apakah senior Mita punya suami?"
"Eh? T—tidak."
"Wajar sih. Laki-laki hanya suka wanita yang jago memasak."
Yaya bangkit dari tempat duduknya dan segera memberi tamparan keras pada wajah Halilintar. Pendaratan yang sempurna, sampai wajah Halilintar tergeser 90 derajat.
"Suami itu punya istri bukan untuk dimengerti! Tapi mengerti kekurangannya!" tukas Yaya. "Apalagi dia seniormu! Jaga omonganmu baik-baik!"
Halilintar mendengus. Ia menurunkan tangan yang digunakannya untuk mengelus pipinya.
"Aku hanya mengatakan hal yang perlu. Permisi."
Halilintar segera bangkit meninggalkan Yaya dan Mita disana. Betapa kagetnya Mita ketika mendapati roti isi yang tadi dikunyah Halilintar sedikit malah dilemparkan kembali kepada kotak makannya. Isinya berceceran disana.
Yaya menatap tajam laki-laki itu dari belakang.
...
Dia berbeda denganmu,
Sampai kapanpun, kalian adalah langit dan samudera
Seperti bayangan dan manusia yang memilikinya,
Seperti sisi gelap dari manusia yang menghadapi hidupnya dengan kepura-puraan
Kalian, memang benar-benar berbeda
...
Tidak terasa waktu kerja habis, dan tidak beruntungnya bahwa jam tersebut malah turun hujan. Bersyukur ada beberapa guru disana yang selalu membawa jas hujan di dalam jok motornya. Juga ada anak-anak sana yang diperbolehkan membawa ponsel hingga minta dijemput entah motor atau mobil.
Sekolah sudah sepi. Yaya mengecek satu demi satu pintu kelas yang dilaluinya. Iseng.
"Oh ayolah, tidak adakah satu kelas pun yang membawa kantong besar?"
Sebenarnya Yaya bukan iseng untuk itu. Karena hujan dan lagian Yaya pejalan kaki, dia terjebak untuk tetap berada dalam ruangan jika tidak mau mendapati material pembelajarannya kebasahan. Sudah sering Yaya melakukan hal ini, tapi untuk hari ini kenapa dia tidak seberuntung hari-hari sebelumnya untuk mendapat penyelimut barang-barangnya?
"Bagus. Sekarang aku benar-benar akan terjebak di sini. Seharusnya aku membawa motor tadi," gerutu Yaya dengan kini pandangannya fokus menatap jam dinding kelas yang ditengoknya. Jam lima sore.
Bahkan seharusnya sekarang Yaya sudah sampai ke rumahnya dan bertemu kamar mandi.
"Mungkin aku akan menitipkannya pada mejaku," ide Yaya pada dirinya sendiri. Ia mengangguk, yakin dengan keputusannya.
Langkahnya pun tertuju pada ruangan yang penuh akan meja-meja dengan tumpukan buku dimana-mana. AC padahal sudah dimatikan, tapi ruangan disana masih terasa sejuknya.
'Efek hujan,' batin Yaya. Dia sedikit mengigil ketika memasuki ruangan tersebut. Ia mempercepat langkahnya untuk setidaknya sampai di meja yang ia tempati.
Buku-buku paket ia masukkan dalam laci mejanya beserta beberapa material pendukung pembelajaran lainnya. Masih menahan rasa dingin, Yaya melanjutkan untuk keluar dari ruangan tersebut secepatnya.
Sebuah pertemuan tidak terduga.
Laki-laki yang dikenal Yaya barusan, sudah menampakkan tubuhnya pada ambang pintu ruang guru. Yaya tercekat untuk melangkah. Dia kaget.
"... Halilintar, kau belum pulang?" tanya Yaya.
"Aku melihat sosok orang dari ruang guru. Bersyukur karena lampunya masih menyala."
Yaya merutuki fasilitas ruangannya sekarang.
"Aku hanya mengamankan buku-buku dalam mejaku."
"Aku melihatnya. Biar kutebak, agar aman dari hujan, eh?"
"Tentu saja. Memang alasanku untuk menyimpannya apa lagi? Aku akan bangun pagi-pagi besok, dan aku akan ambil semua alat pembelajaranku sebelum kalian sadar aku sudah di sekolah."
"Aku saja sudah lihat. Sekarang."
Yaya memang benci Halilintar. Tatapan gadis muslim yang ramah itu kelihatan sekali murkanya.
"Bawa saja bukumu. Aku punya mobil di luar. Kau bisa menumpang denganku, kalau boleh aku tahu dimana rumahmu?"
Tumpangan? Yaya saja biasanya berusaha menghindar agar teman-temannya tidak direpotkan untuk mengantarkannya menuju rumah. Sekarang, dia harus bersama laki-laki yang baru dikenalnya 8 jam lalu.
"Tidak. Aku bisa pulang sendiri." Yaya berusaha menolak ajakannya.
"Kau tidak mau merepotkan staf karena ketidakhadiranmu bukan? Jadi guru tidak boleh manja."
Yaya memang benci mulutnya yang serba ceplas-ceplos. Namun bagaimana juga, perkataan Halilintar memang benar. Terpaksa, Yaya ikut dengan Halilintar. Mereka berdua berjalan di lorong menuju parkiran khusus guru.
"Tapi geli melihat kau yang ramahan, rupanya punya teman yang tidak mau mengantarmu pulang. Apa mereka benar-benar guru?"
"Lebih tepatnya aku berbohong akan ada jemputan."
"Kepala sekolah harusnya tahu akan data-datamu. Kau yang tidak punya suami lagi dan hidup sebatang kara."
Yaya terdiam. Kenapa Halilintar tahu akan dirinya?
"Oke kau masih punya orang tua. Tapi kau anak sebatang kara bukan? Mereka pasti berpikir keras akan mengantarmu bagaimanapun alasanmu."
Halilintar sedikit terkejut dengan Yaya yang tiba-tiba bertutur manis kepadanya.
"Terima kasih. Kau pasti adalah orang yang berusaha keras membujukku dengan kata-kata kasar, karena kau sedang mencoba membawaku."
Yaya memang gadis pengertian. Itulah yang membuat mendiang Boboiboy langsung memilihnya tanpa berpikir dua kali.
Dan kali ini, sepertinya Halilintar mendapat perasaan yang sama dengan Boboiboy—atau siapapun yang kurang beruntung karena mengenal sisi baik Yaya sementara saja.
Senyuman tipis terukir dari pemuda beriris merah itu.
=Tbc=
A/N: Sudah dicoba untuk Taufan, tapi jelek aja pas keras hati. Air yang malah kayaknya gak bisa ngomong apa-apa; apalagi depan cewek. Api yang gak cocok dalam peran seorang guru. Dan Gempa yang tidak jauh beda dengan Boboiboy sendiri.
Ergh yah, saya mencoba untuk mengerem BUT HOW? Ide cerita berdatangan terus. Sudah diusahakan di fandom lain, tapi ujung-ujungnya fokus sama fandom ini. Tolonglah, ini efek sindrom demen wajah Fang kali yak.
Reviewnya? Cuma mau lihat siapa penggemar straight pairing xD maklum baru tobat dari fujo ...
