Gekkan Shoujo Nozaki-kun

belong to Izumi Tsubaki sensei

.

.

.

Genre : Romance

Rated T

A/N : Dalam fanfiction ini semua Out of Character namun masih ada sedikit sifat asli yang tertanam. Nozaki Umetarou usianya jauh lebih tua 6tahun dibandingkan dengan Sakura Chiyo. Mereka bukanlah anak sekolah lagi.

.

.

.

and then, Happy Reading

a Fanfiction of Gekkan Shoujo Nozaki-kun

"Hanya kamu (?)"

by Shireni Hime

.

.

Chapter 1

.

"Bukankah lebih baik kalau kau menikah, Umetarou?"

"Hah?"

"Setidaknya akan ada yang mengurusmu. Lihat ruangan ini", wanita paruh baya itu merentangkan tangannya. Menunjukkan isi ruangan yang tidak asing bagi Nozaki Umetarou. Yah, ini adalah ruangannya sendiri.

"Daripada tempat tinggal, ruangan ini lebih layak disebut gudang sampah", lanjutnya.

"Akan aku rapi kan nanti", jawab pria bertubuh jangkung yang masih asik di meja kerjanya.

"Lihat!", sang ibu membawa cermin dan memaksa anaknya untuk menatap cermin itu. "Lihat! Wajahmu tidak segar sama sekali! Kau seperti orang mati!"

"Kejam sekali. Padahal kau adalah ibuku", tangan kekarnya menangkis pelan cermin itu.

"Aku mengkhawatirkanmu. Pola hidupmu benar-benar buruk", Ia menatap kesebuah sudut kamar. "Apa kau akan hidup hanya memakan sampah itu?"

"Mie instan tidak akan membunuhku bu", tangannya masiih sibuk diatas meja kerja.

"Oh, jangan bodoh kau seorang sarjana. Bagaimana mungkin tidak mengerti hal sepele seperti ini!", suara Ibu Umetarou semakin meninggi. Pria itu sudah tidak bisa melawan wanita yang paling disayanginya. Tangannya berhenti. Tubuhnya berbalik, kini ia menatap Ibunya dengan sungguh-sungguh.

"Siapa yang akan menjadi istriku?"

"Hah? Kau tidak punya kekasih?", Ibu nampak terkejut. Tapi mulai tersadar mengingat pekerjaan anaknya yang seorang komikus ternama yang memiliki banyak karya.

"Aku mana sempat"

"Ka...kalau begitu biar Ibu saja yang tentukan!", Ibu sangat antusias. Ia punya calon ttersendiri untuk anak sulungnya itu.

"Aku tidak masalah dengan siapa. Yang penting aku menikah, iya kan?"

.

oOo

oOo

.

Seorang gadis dengan pita di belakang rambutnya baru saja sampai dari aktivitas perkuliahan. Ia menyimpan perlengkapan lukisnya di sudut kamar dengan hati-hati, sementara tas ranselnya ia banting ke atas kasur. Ia menatap cermin yang memantulkan seluruh badannya. Cermin yang cukup besar. Tergantung dengan cantik di tembok berwarna pink. Ia membuka pita yang mengikat rambutnya kebelakang. Kemudian memasang pita yang lain di kedua sisi kepalanya.

"Ah... Ingat masa lalu yah. Aku masih seperti anak SMA", dia tertawa kecil lalu Ia berputar dan berjinjit. Berjinjit, dan berjinjit. "Apa aku tidak bisa lebih tinggi lagi?", keluhnya dengan kedua tangan di pinggang mungilnya.

"Ara... Chiyo", suara yang lembut datang tiba-tiba dari balik pintu yang tidak tertutup rapat itu. Chiyo memalingkan wajahnya. "I...i..ibuuuu", dia cukup terkejut dan dengan refleks melepaskan pita-pita yang bertengger manis dikepalanya itu. Sementara wanita yang dipanggil ibu hanya tertawa melihat tingkah anaknya.

"Chiyo...", Ibunya duduk dengan tenang di atas kasur. Ia memegang pita yang chiyo pakai ketika kuliah.

"Hai", jawabnya.

"De..ngar Chiyo. Kau tahu Yumeno Sakiko,kan?"

"Yumeno Sakiko?", wajahnya tampak berpikir sejenak. Kemudian ia melirik meja disisi tempat tidurnya. Menatap sebuah figura dengan tanda tangan bertanda 'Yumeno Sakiko'.

"Ah, Yumeno Sakiko. Ada apa dengannya?", Ia menatap cermin dan meerapikan rambutnya.

"Yah, kau akan menikah dengannya.", sebuah kalimat yang sangat indah. Bahkan ibu Chiyo mengatakannya dengan senyuman. "Ahhh akhirnya aku mengatakannya", ia bahkan memegang kedua pipinya dengan malu. Sementara itu Chiyo hanya mematung di depan cermin, terasa cermin itu retak dan pecah berkeping-keping. Ia berusaha menggerakkan kepalanya. Menatapa sang ibu.

"I...ibu. Kau tidak bercanda, iya kan?"

"Hora, apa aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda", Chiyo menatap lekat ibunya. Hanya senyuman dan sipuan malu di pipinya. Sesekali bahkan ibunya menjerit kegirangan tidak jelas.

"I...ibuuu, apa kepergian ayah membuatmu kehilangan akal sehat?", Chiyo mencoba menenangkan pikirannya. Ia yakin ini semua hanya keisengan ibunya saja.

"Ara.. tidak sopan bicara seperti itu pada ibumu", tangannya yang mungil memukul kepala Chiyo lembut.

"Tapi bu!"

"Apa kau tidak senang akan menikah dengan idolamu sendiri. Kau seperti tergila-gila kalau sudah menyangkut orang itu"

"di...dia itu perempuan bu"

"Hah!?", kini ibunya lebih terkejut dari Chiyo.

"Ibu bahkan tidak tahu itu, dan ingin menikahkanku dengannya? Sungguh...", Chiyo terhenti. Sebuah tawa yang keras menghiasi kamar Chiyo. Ibunya sesekali menyeka air mata dari matanya. Tawanya sangat puas.

"Memangnya kenapa kalau dia perempuan?"

Sebuah pertanyaan yang bahkan tidak terlintas di kepala Chiyo. Apa ibunya benar-benar gila hingga mau menikahkannya dengan seorang wanita. Lagi pula, dia sudah punya orang yang ia sayangi. Kini, ia harus menikah dengan oranglain. Terlebih orang itu adalah seorang wanita.

'Ibuku benar-benar sudah gila'

"Sudah, tidak usah takut. Yumeno Sakiko itu banar-benar impianmu, Chiyo", kali ini tubuh Chiyo bergidik ngeri mendengar nama idolanya itu. Seorang komikus shoujo manga yang karya-karyanya berbaris rapi dilemari buku milik Chiyo.

"Yumeno... Yumeno Sakiko ... Yumeno Sakikooooo~", Ibu Chiyo keluar kamar menyanyikan nama itu dan membuat Chiyo benar-benar bergidik ngeri. Ibu memunculkan kembali kepalanya dari balik pintu. Ia berkata, "Nee, besok dia akan datang melamarmu. Chiyoooo-chaan~". Lalu pergi sambil terus bersenandung.

Chiyo kembali menatap dirinya di cermin. "Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan. Me...menikah dengan Yumeno sensei", Dia menutup matanya dengan jemari kecilnya, kemudian membukanya. "Dia itu... PEREMPUAN!"

.

oOo

oOo

.

"Chiyo... Jangan membuat tamu kita menunggu. Cepatlah!"

Chiyo menatap cermin riasnya. Ia merapikan pita yang mengikat rambutnya kebelakang. Merapikan sisa-sisa rambutnya yang masih tergerai. Beberapa kali ia menarik napas yang cukup dalam. Mencoba setenang mungkin menghadapi apa yang akan ia hadapi. Ia memutar tubuhnya, ia masih terduduk. Menatap lurus kedepan. Ia membulatkan tekadnya. "Aku akan menolak pernikahan gila ini!".

"Chiyooooooo~ Hora! Cepatlah! Apa yang kau lakukan?", Ibu berdiri didepan pintu dan menyilangkan tangannya. "Kasihan Yumeno Sakiko menunggumu", kata-kata itu berhasil membuat bulu kuduknya berdiri.

.

.

.

Chiyo menuruni tangga dengan jantung yang hampir jatuh. Semakin jauh dia turun, semakin kencang debaran jantungnya. Hingga anak tangga yang terakhir ia mencoba menarik napas sedalam mungkin. Menenangkan dirinya sendiri.

"Chiyo-chan", seorang wanita paruh baya menyapanya. Dia tidak tua masih tetap muda, terlihat seperti orang yang Chiyo kenal.

"Bibi!", Chiyo tersenyum bahagia. Ternyata bukan orang asing yang akan ia temui. Kemudian ia berlari meninggalkan langkah berat yang ia seret semenjak tadi. Memeluk wanita itu dengan hangat.

'Tunggu kalau aku akan menikah dan bertemu dengan Yumeno Sakiko, itu berarti bibi...'

"Yumeno Sakiko?", Chiyo menarik diri dari pelukan hangat itu. Dan teriak begitu keras, penuh keterkejutan.

"Hai?"

Sebuah suara yang berat menyahut dari belakang Chiyo. Sementara wanita dihadapannya hanya tersenyum dan membalikkan tubuh Chiyo ke asal suara itu.

"Kau, memanggilku?"

"Yu...meno sen..sei", gumam Chiyo. Kini ia berhadapan dengan seorang pria berbadan jangkung. Ia bahkan harus mengangkat lehernya lebih tinggi untuk menatap wajah pria itu. Mata mereka bertemu dan sesuatu yang hangat, Chiyo merasakannya begitu dalam.

"Ah... kau jatuh cinta pada perempuan, Chiyooo", bisik sang ibu ditelinga Chiyo. Seketika semburat merah keluar dari pipi Chiyo.

"Apa kau lupa padanya, Chiyo-chan?", kata bibi memegang pundak Chiyo. "Pria jangkung dihadapanmu itu adalah Umetarou", seru nyonya Nozaki.

"Saya Nozaki Umetarou, senang berkenalan dengan Anda", anak sulung Nozaki itu membungkukkan tubuhnya.

"A...akuuu", ucapan Chiyo terputus.

"Apa-apan kau ini, jangan terlalu formal seperti itu. Kalian kan sudah dekat sejak kecil", Ibu Nozaki memukul anaknya ringan. "Hora, Chiyo-chan kau boleh melakukan kebiasaanmu dengan Umetarou. Lagipula kalian kan akan menikah~ me-ni-kaaaah~"

"Kebiasaan? Apa?", tanya Umetarou dengan wajah datarnya.

"Jangan belagak bodoh, Umetarou!", sebuah tangan yang besar bersarang diatas kepalanya. "aaa!", erang Umetarou.

"Paman!", Chiyo langsung berlari ke dalam pelukan orang tua itu. Tentu Chiyo sangat merindukan sosok seorang ayah. Lelaki yang dipeluknya adalah sosok pengganti ayahnya, ketika Chiyo ditinggalkan untuk selama-lamanya. Chiyo cukup lama mendekap tuan Nozaki. Pelukannya semakin kuat. Pria itu tahu, gadis kecil ini merindukan ayahnya. Ia hanya bisa memeluk kembali Chiyo dan mengelus rambutnya lembut penuh kasih sayang.

"Chiyo..", suara sang ibu menyadarkannya. Chiyo menarik dirinya. Jemarinya yang kecil itu menyeka buliran air mata. "Aa, paman maaf bajumu jadi basah".

"Aku siap dibanjiri air mata olehmu. Lagi pula kau akan menjadi anak ku, Chiyo", ayah Umetarou mengacak rambut Chiyo dengan hangat. Benar-benar nuansa yang sangat ia rindukan.

"Nee, Umetarou Nii-san..."

"Umetarou nii-san?", Tanya Umetarou. Ia menaikkan satu alisnya.

"Aaah Chiyo-chan selalu memanggilnya begitu yah. Aku jadi iri~", seru Ibu Umetarou.

"Apa kau benar-benar Yumeno Sensei?", Chiyo mendekatkan duduknya pada Umetarou. Ia menatap pria kekar disampingnya. Jantungnya berdebar bukan main. Sepertinya sesuatu telah menggerakkan hatinya. Jantungnya berdegup kencang, sangat kencang.

"Begitulah", Pria ini hanya meliriknya kecil.

"Yumeno sensei?"

"hai"

"Yumeno sensei?"

"hai"

"Yumeno sensei? Yumeno sensei? Yumeno sensei?"

"hai...hai...hai..."

"Yumenoooooooooooo senseiiiiiii!". Nozaki Umetarou hanya dapat menghela napas. Melihat tingkah gadis kecil disebelahnya.

'Apa gadis ini cukup umur untuk menikah denganku. Ah, terserahlah.'

"Ayah, langsung saja. Aku masih ada deadline", Nozaki Umetarou sangat serius dan membuat Chiyo sedikit gugup. Semua orang menjadi cukup serius.

"Yah, baiklah", ayah Umetarou berhenti sejenak. "Tentu kalian sudah tahu kedatangan kami kesini. Selain melaksanakan amanat dari ayah Chiyo yang juga teman baik ku, tentu aku ingin menjadikan Chiyo putriku seutuhnya", ia terhenti lagi. Seolah berpikir. "Aku rasa ini waktu yang tepat. Umetarou terlalu sibuk dengan dunia kerjanya sampai lupa mengurus dirinya sendiri. Aku ingin ada seseorang yang dapat mengurus anakku dengan baik, dan aku tahu betul siapa orang itu", ia melirik Chiyo. "Maukah kau menikah dengan Nozaki Umetarou, putraku?", Chiyo yang ditanya seperti itu menjadi bingung. Tentu dia akan menjawab 'iya', tapi ternyata Nozaki Umetarou melamarnya bukan atas kehendak dirinya sendiri. Tangannya saling mulai ragu.

'Aku butuh waktu'

"Sakura Chiyo, menikahlah denganku", Seketika pikiran Chiyo membuyar. lelaki disampingnya kini berlutut dihadapannya. "Aku...", Umetarou mengambil kertas note dari sakunya. Ia merobek dan memelintirnya menjadi sebuah lingkaran kecil. "Saat ini, hanya ini yang dapat aku berikan", ia menyematkan kertas itu dijari manis Chiyo. Cukup membuat hati gadis bermata besar itu luluh. "Aku janji, akan aku belikan cincin yang lebih indah dari ini." tambahnya. "Biar aku yang menjelaskan pada guru disekolahmu. Tidak akan ada masalah dengan sekolahmu". Kalimat terakhir yang membuat ayah dan ibu Umetarou menggernyitkan dahi. Bahkan Ibu Chiyo menutup mulutnya, ia sangat terkejut. Atau malah sebaliknya. Ia tertawa dibaliknya.

"Umm..metarou nii-san, eto... aku bukan anak sekolahan lagi",

"Ha?", suaranya benar-benar datar namun terselip keterkejutan disana.

"Umetarou, anak bibi walaupun kecil begini dia sudah 20 tahun", Ibu Chiyo memegang pundak Chiyo.

"Yang benar?", Umetarou kembali duduk di bangku. Ia memangku kepalanya, sesekali jarinya menggosok dagu. "Ah, maaf kan aku. Kau terlalu kecil untuk anak seusiamu"

"Chiyo, kau tidak perlu khawatir. Meskipun kau menikah dengan putraku kau masih tetap bisa kuliah. Aku dengar kau ingin menjadi pelukis pro dan membuka pameranmu sendiri. Tentu aku tidak akan menghancurkan impian putriku"

"Benarkah?", Wajah Chiyo sangat gembira. Ia bisa merasakan kebahagian didepan matanya. Lagi pula, orang yang disayanginya akan menjadi suaminya sendiri. "Aku akan menikah dengan Umetarou nii-san". Senyuman hangat keluar sangat tulus dari bibir Chiyo. Membuat para orangtua merasa tenang dan lega. Umetarou menatap dari ekor matanya, dia cukup merasa nyaman dengan senyuman itu. Senyuman seorang gadis yang tengah bahagia memeluk jari manisnya yang tersemat cincin dari kertas.

.

oOo

oOo

.

Hari yang paling mendebarkan bagi Sakura Chiyo yang akan berubah menjadi Nozaki Chiyo. Ia terus menatap cermin dihadapannya. Memegang pipinya sendiri. Mencoba merasakan kehangatan dari sana. Dengan tsuni kakushi dan balutan shiramuku yang cantik membuat tubuh mungil Chiyo semakin tenggelam, namun ia tetap cantik.

Waktu yang mendadak tidak dapat membuatnya memilih gaun pengantin. Tapi dia cukup senang karena memakai pakaian pengantin yang ibunya pakai saat menikah dengan ayahnya. Dengan nuansa tradisional jepang yang sederhana dan dihadiri keluarga serta teman dekat, pernikahan ini menjadi semakin sakral. Chiyo beberapa kali menarik napasnya.

Kini Chiyo memasuki ruang tengah. Pernikahan memang dilakukan dirumah Chiyo, dengan alasan jadwal gedung dan gereja yang sudah penuh. Lagi pula, ini hanya pernikahan sederhana. Bahkan Chiyo tidak dapat mengundang semua temannya. Hanya Seo Yuzuki, sahabat baiknya yang sedaritadi mencoba menenangkannya.

"Jadi, Chiyorin seperti apa suamimu itu?", Bisik Yuzuki. "Ah, dia teman kecilku"

'Aku tidak akan bilang kalau dia adalah Yumeno Sakiko,kan?'

"Apa dia tampan? Seumuran dengan mu dong?"

"Dia, 6tahun lebih tua dariku, Yuzuki"

"Heee, jadi kau menikah dengan pria dewasa..."

"Begitulaaah. Dia melamarku dengan ini", Chiyo menunjukkan cincin kertas yang masih melingkar manis di jarinya.

"Apa dia semiskin itu sampai melamarmu hanya dengan kertas?", Yuzuki mengangkat tangan Chiyo dan menatap dalam cincin kertas itu.

"Bu...bukan begitu Yuzuki, ini karena lamarannya mendadak. Nanti dia akan memberikanku cincin sungguhan"

"Jadi kau MBA, Chiyorin?"

"Yuzuki...", kelakuan sahabatnya sedikit mencairkan ketegangan Chiyo. Tapi sosok Nozaki yang berbalut montsuki haori hakama benar-benar keren di mata Chiyo, cukup membuat hatinya berdegup semakin kencang. Bahkan riasan wajah tidak dapat menutupi semburat tomat di pipinya.

"Hoh! Sensei!", teriak Yuzuki. Ia bangun dari duduknya. Seisi ruangan hanya menatap gadis berambut coklat itu.

"Kau datang, Seo?", ia melambaikan tangannya kepada Yuzuki. Chiyo menatap heran pada Yuzuki, tangannya terangkat seolah bertanya. Sementara itu Yuzuki hanya tersenyum garing.

'Apa ini? Yuzuki mengenal Umetarou nii-san? dan... ia memanggilnya sensei...'

"Nee, Kau mengenal Yuzuki", bisik Chiyo pada lelaki disisinya.

"Ah, dia asistenku"

"USO!", gadis itu langsung menutup mulutnya.

"Sssst... Chiyo!", Ibunya menegur. Chiyo hanya tertawa dan meminta maaf. Calon suaminya hanya diam saja tanpa ekspresi.

.

.

.

Mereka manuangkan arak pada dua buah piring kecil. Pendeta mengucapkan ikrar suci yang akan dijawab oleh kedua mempelai. Dengan tegas Nozaki Umetarou menjawab 'iya'. Tidak ada keraguan disana. Chiyo yang menyaksikan itu semakin menguatkan hatinya. Ia memegang cincin kertas dijari manisnya dan menjawab 'iya' dengan tenang. Kini, mereka meminum arak yang sudah di siapkan sebelumnya. Saling menyilangkan tangan. Chiyo agak kesulitan karena tubuh Umetarou yang tinggi, dan memaksakannya untuk menurunkan tubuhnya hingga mereka sejajar. Sedikit gelak tawa terdengar diruangan itu. Membuat kehangatan tersendiri untuk Sakura Chiyo, atau Nozaki Chiyo.

Kini mereka resmi menjadi suami dan istri. Pendeta menyuruh Umetarou untuk menyematkan cincin kepada Chiyo, setelah itu ia boleh menciumnya. Umetarou mengambil cincin pada sebuah nampan berhiaskan mawar putih dan merah. Cincin itu berwarna putih bersih, bersinar dengan satu buah mutiara yaang tertanam di tengahnya. Ia menyematkan cincin itu di jari manis Chiyo.

"Sakura, cincin kertasnya mengganggu. Lepaskan saja yang itu"

"Hey... kau ini masa memanggilnya Sakura. Dia itu sudah menjadi Nona Nozaki sekarang", seru sang ayah.

"Baiklah. Biar ku lepas cincin kertas ini", tangan Chiyo menghentikan jari jenjang Umetarou untuk melepas cincin itu.

"Ti...tidak usah", Chiyo tersenyum simpul. "Biarkan aku memakai keduanya", lanjutnya.

"Terserah kau saja kalau begitu".

Nozaki Umetarou disaksikan oleh peendeta dan tamu undangan lainnya, menyematkan cincin di jari manis Sakura Chiyo yang kini telah menjadi Nozaki Chiyo. Ketika cincin itu dimasukkan, Umetarou terhenti. Ia menatap Chiyo tanpa ekspresi kemudian melihat kembali jari manis Chiyo. Para tamu dan pendeta menjadi penasaran.

"Cincinnya... terlalu besar", bisik Umetarou. Chiyo yang mendengar hal itu menjadi panik. Ia mencengkram pergelangan tangan Umetarou dengan kencang, bahkan Umetarou bisa merasakan perihnya.

"Ja...ja...jangan panik... tersenyumlah", pria yang tengah kesakitan itu menenangkan istrinya. Bukan senyuman pura-pura, Chiyo malah polos hampir menangis. Air matanya hampir saja tumpah ruah. Akhirnya Umetarou mendorong cincin itu dengan kuat, memaksa masuk walau sebenarnya banyak ruang tersisa, tapi itulah masalahnya. namun, cincin itu berhasil masuk dan tersemat di jari manis Chiyo, tidak longgar. Rupanya cincin itu menindih cincin kertas yang masih setia melingkar disana. Entah karena ketakutannya atau rasa sakit di jarinya Chiyo tidak sanggup menahan air matanya. Ia menyeka air matanya sendiri.

Karena merasa bersalah, Umetaraou yakin Chiyo menangis karena sakit dijarinya. Pada akhirnya ia memegang pipi Chiyo lembut dan mengecup keningnya. Chiyo masih menangis dan berakhir dalam pelukan Umetarou. Tidak ada yang tahu apa yang benar-benar terjadi pada saat itu.

.

.

.

To be Continued