Copyright © 2014 by Happyeolyoo

All rights reserved

.

.

Bye

Genre : Angst, Hurt

Rate : T

Pairing : HunHan as Maincast.

Length : Twoshoot

Chapter : 1/2

Warning : Genderswitch. Miss typo(s).

Disclaimers : The cast is belonged to God, their parents, and their company. All text here is mine. Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari cerita ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin dari penulis.

Summary : Persaingan itu selalu menimpa dua pihak yang terobsesi menduduki peringkat teratas. Xi Luhan memang terobsesi untuk menyingkirkan Oh Sehun sang jenius yang selalu dinobatkan sebagai si nomor satu. Akibat ambisinya yang terlalu besar, Luhan tidak pernah mencoba melihat Sehun dari sisi lain. Sehingga saat keduanya dipersatukan dalam satu takdir yang terbatas, Luhan baru tersadar jika semua obsesinya memang harus dibuang untuk mendapatkan kebahagiaan.

Sepecial Note : Dedicated for The Victims of Sewol Ferry

BGM : 약속 (Promise EXO 2014) by EXO

.

.

Awalnya, aku membenci Sehun setengah mati.

Luhan memandang lembar rapor yang baru dibagikan, menatap lekat-lekat sebuah nilai yang tertulis di kolom paling bawah dengan spidol biru tebal. Dalam hati ia merutuk, mengutuk diri dan kemampuan otaknya yang tetap tidak berkembang dari waktu ke waktu. Padahal sebelum ujian, ia sudah belajar keras sampai rela begadang demi mengerjakan semua latihan soal di buku diktat. Tetapi hasilnya, masih amat mengecewakan.

Ini jauh di bawah targetnya, melenceng dari perkiraan awalnya. Luhan tidak menduga jika dirinya akan kalah lagi, padahal ia sudah berjuang mati-matian.

Perlahan, kepalanya menoleh ke arah kanan, bola matanya bergerak melirik segerombol temannya yang sedang sibuk memberi ucapan selamat pada sang ketua kelas. Lalu beberapa detik setelahnya, Luhan kembali menghela napas—memilih menutup buku rapornya rapat-rapat dan menyimpannya di tas.

"Lulu! Lulu!" Seorang gadis bertubuh lencir dengan pita besar di rambutnya berjalan dengan melompat-lompat heboh ke arah Luhan. Ia mengibar-ngibarkan buku rapornya dan melempar senyuman lebar ke arah Luhan. Eternal magnae di kelasnya itu menutupi separuh wajahnya dengan buku rapor, kali ini menatap Luhan dengan mata bulan sabitnya yang lucu. "Semester ini nilaiku naik!"

Luhan hanya sedikit menarik kedua sudut bibirnya, melukis senyuman tipis untuk menanggapi pernyataan dari temannya.

"Oh, ya, berapa nilai rata-rata di rapormu?" Zitao bertanya setelah meletakkan buku rapornya di atas bangku Luhan. Kini kelopak matanya mengedip-ngedip memancarkan aura penuh rasa penasaran yang begitu tinggi. "Kali ini nilaimu kurang berapa dari nilai Sehun?"

Dahi Luhan mengerut ketika gendang telinganya ditembus oleh pertanyaan Zitao. Dasar sialan!Batinnya memaki gadis yang berdiri di hadapannya.

"Sehun itu hebat, ya? Dia magnae di kelas mau pun di tingkat dua sekolah ini. Tetapi otaknya jenius sekali. Aku sampai iri," Zitao mengerucutkan bibirnya, memasang wajah sebal setengah sedih menyerupai anak anjing yang hilang di tengah pasar. "Padahal kata Yifan sunbae, Sehun tidak pernah belajar jika berada di rumah. Dia sibuk main latihan menari tetapi hasilnya tetap memuaskan. Huh!" Zitao menghentak-hentakkan kaki ketika mengingat ucapan Yifan sunbae, kakak kandung Sehun yang kebetulan sedang dekat dengan Zitao—gosipnya mereka pacaran, entahlah.

Luhan kembali diam sambil memikirkan ucapan Zitao, ada segudang bahkan sejagat rasa iri yang menelusup ke dalam perasaannya—membuatnya kembali merasa mendidih setengah mati. Semua memang tak adil, pikirnya kalut.

Jika membandingkan usaha Luhan dan Sehun dalam mendapatkan nilai, maka Sehun akan kalah telak karena lelaki itu memang terlampau jarang terlihat memegang buku. Bahkan ketika pelajaran, dia sering pergi tidur atau mendengarkan musik dari ponselnya. Sehun tidak punya buku catatan khusus, mungkin dia hanya mencatat sesuatu yang sedikit sekali di kolom-kolom kosong di buku diktatnya.

Banyak yang bilang kalau dia bermusuhan dengan buku-buku diktat—karena dia sama sekali tidak pernah kepergok membaca buku. Tidak seperti murid-murid lain yang suka pergi ke perpustakaan ketika tanggal ujian semakin dekat, dia malah pergi ke tempat latihan menari sepulang sekolah sampai larut malam.

Pacar sehidup-sematinya itu cuma benda-benda portable yang berisi lagu-lagu berisik untuk menari!

Sekarang, coba bandingkan dengan Luhan.

Dia itu anak perpustakaan, setiap jam selalu berkutat dengan buku, teman setianya hanya buku notes bersampul merah muda dan satu kotak peralatan tulis—isinya super lengkap mulai dari pen dan spidol warna-warni, pensil, penghapus karet, tipe-x, penggaris berbagai bentuk, staples, lem, gunting, dan benda-benda lainnya. Oh, satu lagi yang tidak boleh ketinggalan. Kertas tempel.

Ketika istirahat, dia menghabiskan waktu di perpustakaan atau taman belakang sekolah untuk sekedar mengulang pelajaran yang baru didapat di kelas. Sepulang sekolah dia pergi ke tempat bimbingan belajar. Sepulangnya, ia makan malam lalu kembali sibuk dengan tumpukan buku-bukunya di meja belajarnya, menyempatkan diri memandangi kertas tempel yang merekat di sekitar dinding kamarnya.

Namun, takdir tetap takdir.

Kenyataannya, sekeras apa pun usaha Luhan untuk menjadi yang lebih baik, Sehun selalu unggul dengan segala kelebihan-kelebihannya. Seolah Luhan memang diciptakan untuk menjadi nomor dua, dan Sehun untuk nomor satu.

"Ya, Xi Luhan!"

Suara cempreng Zitao yang melengking kembali menarik ruh Luhan, membuat gadis itu tergelonjak karena kaget. Zitao yang ternyata masih menunggu jawaban Luhan, kini berdiri sambil berkacak pinggang di hadapannya. Alis gadis cantik itu melengkung tajam, sebal karena sudah diacuhkan.

"Maaf," kata Luhan lirih. "Kau tadi bertanya tentang apa?"

"Berapa nilai rata-ratamu?" Zitao kembali bertanya setelah menghela napas berat.

Pandangan Luhan merendah, terarah pada lantai ubin kelas yang dingin dan berwarna putih pucat. Ia mendekap tasnya, lalu tersenyum miring, "Rahasia."

"Mwo?" Zitao hampir memekik lagi. "Kenapa kau jadi sok misterius seperti itu?"

"Aku hanya tidak mau memberitahu nilai rata-rataku. Itu saja," Luhan mendongakkan kepala dan menatap wajah Zitao dengan pandangan tidak suka. "Kenapa? Aku berhak menyembunyikan nilaiku."

Zitao berdecih, "Aku hanya ingin tahu, Luhan!"

"Tidak mau," Luhan bersikeras. "Aku tidak mau membaginya denganmu."

Zitao sudah habis kesabaran dan langsung merebut tas punggung Luhan, membukanya paksa lalu mengeluarkan buku rapor dari dalam sana.

"Ya!" Luhan berteriak, bangkit dari duduknya lalu berusaha merebut buku rapornya dari tangan Zitao. "Kembalikan! Kubilang tidak mau ya tidak mau!"

"Aku hanya ingin tahu!" Zitao mengangkat buku rapor Luhan tinggi-tinggi, berusaha lolos dari serangan balasan Luhan. "Jangan menghalangiku!"

Darah Luhan mendidih ketika pipi kirinya mendapat cakaran dari ujung kuku Zitao yang dicat dengan warna biru muda. Maka dengan sekuat tenaga, ia mendorong tubuh mungil Zitao dan menendang perutnya dengan salah satu kakinya yang kuat.

"Aduh!" Zitao berteriak ketika tubuhnya jatuh menghantam lantai, perutnya mendadak terasa nyeri setelah mendapat tendangan keras dari Luhan. Semua murid yang ada di kelas mulai menghentikan bincang-bincangnya, memilih memandang ke arah Zitao yang tersungkur sambil mengaduh di lantai, lalu memandang ke arah Luhan.

Pandangan Luhan yang tajam dengan api kemarahan yang menyala besar terarah ke arah Zitao, seolah berusaha memaki dan mengatai gadis lencir itu. Dia berjalan ke arah Zitao, merebut buku rapornya yang ada di genggaman tangan mungil Zitao dan kembali berdiri. "Sudah aku bilang, aku tidak mau," katanya sarkatis lalu melangkah keluar dari kelas.

OoOoO

"Kuharap, kejadian seperti ini tidak akan terulang. Kau mengerti, Xi Luhan?"

"Ne," Luhan merundukkan kepala, tidak punya niat untuk mengangkat kepala karena dia sedang berhadapan dengan wali kelasnya sendiri.

"Kau boleh kembali ke kelas. Oh, ya, sampaikan ucapan selamat dariku untuk Ketua Oh, ya?"

Luhan hanya mengangguk pelan, lalu ia benar-benar melangkah menjauhi meja konsultasi dan pergi dari ruang konseling itu. Ia menutup pintunya rapat-rapat lantas menghela napas. Dengan dada berat dan mata perih menahan air mata, Luhan mencoba melangkahkan kakinya menelusuri lorong lantai satu.

Kenapa kau menendang perut Zitao?Karena dia bertanya tentang nilai rapormu?Kau peringkat dua di kelas, tetapi kenapa kau tidak mau menunjukkan hal itu?

Ucapan Guru Kim beberapa menit lalu kembali terngiang di gendang telinga Luhan, membuat perasaannya kembali campur aduk: antara merasa bersalah kepada Zitao atau merasa tersinggung karena pertanyaan seperti itu.

Aku memang nomor dua di kelas.Tetapi Sehun nomor satu.

Itu yang membuat Luhan enggan untuk menjawab pertanyaan dari Zitao. Ia malu pada dirinya sendiri, sekaligus malu pada pemuda bernama lengkap Oh Sehun itu. Ia tidak mau melihat wajah puas terlukis di raut Sehun, lalu membiarkan lelaki itu semakin bersikap congkak kepada dirinya. Dan setelah itu, pasti Sehun akan kian senang menginjak harga dirinya.

Langkah kaki Luhan terhenti ketika ia akan menaiki tangga yang akan membawanya ke lantai dua. Kepalanya mendongak, menatap ujung tangga yang sepi lalu mengedarkan pandangan.

Dari pada kembali ke kelas dan mendapat cercaan sinis dari teman-temannya, Luhan ingin kali ini saja, untuk hari ini saja. Setelah itu, ia akan kembali menjadi Xi Luhan yang selalu sibuk dengan pelajaran dan buku-bukunya.

Maka sebelum ada seorang guru yang memergokinya, Luhan segera berbalik dan berlari ke arah taman belakang sekolah. Dengan napas terengah, ia membanting dirinya di depan sebuah kursi semen, menelangkup wajahnya lalu menangis tersedu-sedu.

Menangisi kekalahan yang serasa menguliti harga dirinya. Luhan kembali mengingat ke masa lampau, saat dirinya dipenuhi semangat membara untuk menguliti Sehun dengan mengalahkan pemuda itu dalam ujian semester kali ini. Tekadnya dibakar oleh keinginan yang kuat, sehingga Luhan mulai gila belajar selama beberapa waktu. Dia yakin akan mendapatkan peringkat satu. Dia begitu yakin.

Bukan malah seperti ini.

"Sudah kukira kau akan melarikan diri," tiba-tiba seseorang berucap, mengejutkan Luhan yang sedang asik menghayati kesedihan yang menggeluti perasaannya. Suara langkah kaki yang diseret-seret di atas permukaan rumput terdengar nyaring, semakin dekat dan semakin dekat. "Kau 'kan pengecut."

Dengan gerakan cepat Luhan menghapus air matanya, bangkit kembali dan menatap sang pembicara kurang ajar dengan mata merahnya. "Lalu?"

"Lalu," lelaki itu mengedarkan pandangan, beberapa detik setelahnya ia kembali memandang wajah Luhan yang berantakan. Senyuman meremehkan terlukis pada belah bibirnya, "Kau akan tetap menyembunyikan kekuranganmu di balik wajah sok tegarmu itu. Iya, 'kan?"

Luhan menggulung telapak tangannya kuat-kuat, berusaha untuk menahan amarahnya yang tersulut akibat ucapan pedas dari lelaki itu.

Yang baru saja bicara, menenggelamkan telapak tangannya yang mulai kedinginan di saku celana, "Oh ya, tentang perjanjian kita itu .."

"Kau mau apa?" Luhan memotong ucapan ketua kelasnya, sengaja. Kepalanya langsung pusing ketika mengingat tentang perjanjian konyol yang sudah ia sepakati dengan Sehun beberapa minggu sebelum ujian berlangsung.

Keputusan bodoh yang diusulkan Sehun saat Luhan dan Sehun kebetulan mendapat tugas untuk menyelesaikan sebuah laporan penting untuk kelas mereka. Saat Luhan tengah asyik mengerjakan bagiannya, Oh Sehun malah nyeletuk dan mengajukan tawaran tersebut. Tentu saja hal itu tidak disetujui Luhan begitu saja; awalnya, gadis itu menentang dan sempat menertawakan penawaran Sehun. Namun karena lidah Sehun terlalu lentur untuk menjilat api amarah Luhan, maka semuanya terjadi. Luhan menyetujuinya.

"Kau lupa, ya?" Perlahan Sehun berjalan mendekat ke arah Luhan. "Kau harus menjadi pesuruhku selama sebulan jika aku mendapat peringkat satu semester ini."

"Aku tidak mau!"

"Janji tetap janji," nada suara Sehun merendah, tatapannya semakin dingin dan tidak terbantahkan. "Karena sekarang kau sudah sah menjadi pesuruhku, kau punya tugas untuk mematuhiku. Secara tidak langsung, kau sudah berjanji untuk hal itu."

"Kau kira aku .."

"Janji," Sehun menyambar pergelangan tangan kanan Luhan, mengaitkan dua jemari kelingking mereka satu sama lain tanpa mencoba peduli tatapan seperti apa yang coba dilayangkan Luhan padanya. "Kau sudah berjanji."

OoOoO

Dua minggu sudah berlalu semenjak pembagian rapor, dan sudah dua minggu pula Luhan menjadi pesuruh Sehun. Mau tidak mau, gadis itu harus rela mengikuti Sehun ke mana pun pemuda itu pergi selama mereka berada di sekolah; datang menghampiri saat Sehun menelponnya, juga melakukan apa pun yang Sehun katakan sebagai perintah.

Luhan sudah tidak punya harga diri. Bahkan dia sudah dijuluki hewan peliharaan Sehun yang baru. Dia anjing manis Sehun yang setia, teman-temannya menyebutnya seperti itu karena memang begitulah kenyataannya. Luhan selalu mengekor langkah kaki Sehun dari belakang, mengikuti majikannya seperti anjing kecil berbulu putih yang manis.

"Ya, terimakasih sudah ikut berpartisipasi," wajah ceria Guru Kim selaku wali kelas, terlihat lebih cerah dari sebelum-sebelumnya. "Ibu senang karena kalian ikut dalam darmawisata ini."

Sehun yang mendapat tugas untuk mengumpulkan angket milik teman-temannya, kini berjalan ke depan lalu menyerahkan tumpukan kertas itu ke Guru Kim.

Guru Kim tersenyum, "Terimakasih, Ketua Oh," ucapnya. "Masih ada waktu seminggu untuk mempersiapkan semuanya. Jadi, kalian jangan terlalu pusing dengan rencana itu. Pelajaran tetap nomor satu untuk seminggu kedepan, kalian mengerti?"

"Ya!" semua murid menjawab serempak.

Guru Kim berbincang sebentar mengenai mata pelajaran biologi yang diajarkannya setelah menumpuk semua angket itu. Kemudian, bel tanda pulang sekolah yang amat dinantikan oleh semua murid berdentang nyaring. Guru muda itu tersenyum setelah mengemasi barang-barangnya, berjalan dengan langkah anggun keluar kelas seusai mengucapkan salam perpisahan.

Luhan menoleh menghampiri Sehun yang baru saja meninggalkan bangkunya, mengikuti jejak langkah kaki Sehun dan bertanya, "Apa aku boleh pulang cepat hari ini?" Binar matanya dipenuhi harapan agar Sehun akan memberinya satu kali dispensasi.

"Tidak," jawab Sehun acuh tak acuh sambil terus melangkah.

Luhan merengut, "Arasseo. Sekarang kau mau kemana?"

Sehun melirik wajah Luhan dari sudut matanya, "Kemana, ya? Aku lelah, jadi ingin pulang."

"Kalau kau pulang, apa gunanya aku mengikutimu?"

"Kau 'kan masih resmi menjadi pesuruhku. Kenapa kau cerewet sekali?" Sehun melayangkan tatapan kejam pada pesuruhnya. "Diam dan ikuti aku seperti biasa."

Luhan hanya diam setelah Sehun mengatakan kalimat itu dengan nada tanpa perasaan yang berhasil menguras habis keberaniannya. Kalimat umpatan yang siap dilontarkan untuk Oh Sehun seorang, mendadak ditelan bulat-bulat oleh Luhan. Disimpan saja. Daripada memulai perang adu mulut dengan si Congkak ini, sama sekali tidak asyik.

Sehun itu sosok dingin bermulut tajam, jadi Luhan malas jika disuruh berdebat lebih lama dengannya. Luhan akan selalu kalah jika ia beradu mulut dengan Sehun, yang pasti lelaki itu akan menggunakan senjata pamungkasnya untuk membuat Luhan diam merutuki kekalahannya yang ke seratus kali (atau bahkan lebih). Luhan adalah pesuruhnya, jadi Luhan tidak berhak menentang ucapan-ucapan Sehun.

Luhan terlampau malas mengajak Sehun berbincang, pasti jawaban yang keluar tidak akan jauh-jauh dari kata 'terserah' atau ucapan acuh lainnya. Jadi sepanjang perjalanan menuju apartemen Sehun, mereka hanya diam—bahkan ketika mereka menaiki bis kota dengan tujuan yang sama, mereka tetap mengunci mulut rapat-rapat dan memilih mengambil tempat duduk yang berjauhan.

Sesampainya di rumah Sehun, dia mengeluh jika perutnya lapar dan Luhan sudah tahu pasti jika ada satu perintah mutlak yang ditujukan padanya. Bahwa Luhan harus memasak; atau menyiapkan makanan. Seharusnya, rumah sebesar ini memiliki pembantu yang mengusuri urusan makanan. Tetapi sayangnya, Luhan tidak menemukan satu orang pun di sini.

Banyak sekali makanan-makanan yang disimpan dalam kotak tupperware bening di kulkas; kimchi sawi serta terung, sup daging, tumis kacang, dan ikan-ikan kering. Luhan harus memanaskan beberapa makanan sehingga Sehun tidak akan protes. Hanya memanaskan dengan microwave, selebihnya, selesai.

"Kau hanya menghangatkan masakan ibuku?" Sehun baru kembali dari kamar setelah mengganti seragamnya dengan kaus serta celana pendek katun yang nyaman. Alisnya melengkung tajam saat pandangannya menyusuri meja makan.

"Memangnya kenapa?"

"Kau tidak .., astaga," Sehun ingin melontarkan hal yang kejam, tetapi dia malah menutup bibir dan duduk anteng di kursi lalu meraih sumpitnya. "Baiklah, akan kumakan karena aku sudah sangat lapar."

Keadaan menjadi semakin hening, yang terdengar di ruang makan itu hanya suara kunyahan Sehun. tidak ada topik pembicaraan, mungkin suasana kaku seperti ini akan terus terulang jika mereka berdua tetap bersikeras untuk sama-sama diam dan tidak mau membuka diri. Seperti sebelum-sebelumnya.

Sehun mengerti kenapa Luhan hanya diam dan tidak banyak bicara akhir-akhir ini—lebih tepatnya setelah Sehun menyelipkan kata 'sebagai pesuruh di kalimatnya. Lelaki itu tahu jika Luhan membencinya, mungkin gadis itu sudah muak dengan ungkapan-ungkapan Sehun yang menganggapnya sebagai pesuruh.

Ya, Sehun cukup mengerti. Sehingga dia tidak mau bertanya.

OoOoO

"Ingat, ya. Sesampai di Pulau Jeju nanti, aku sudah bebas! Aku bukan pesuruhmu lagi. Jadi jangan menyuruhku seenaknya!"

"Ya, ya. Aku bahkan ingat kalau perjanjian ini akan berakhir pukul sepuluh nanti! Jadi tidak usah sampai menunggu kapal sampai di Jeju-do!" Ketus Sehun sambil menyeret langkah kakinya malas-malas memasuki kapal ferry.

"Benar, ya? Perjanjian akan berakhir pukul 10 nanti?" Luhan mendekat, berjalan di sampingnya sambil memasang wajah penuh harap. "Kau harus menepati janjimu!"

"Aku tidak akan kabur!" Sehun membentak, membuat Luhan mengerucutkan bibir. "Sekarang, duduk dengan tenang ketika kapal ini berjalan," dia menarik pergelangan tangan Luhan, memaksa gadis itu untuk duduk di salah satu kursi yang kosong. "Kau tidak akan mabuk laut, 'kan?"

"Kau kira aku anak SD?" Luhan tersinggung.

Sehun terdiam sebentar, mengacuhkan kalimat Luhan yang terakhir kali terucap sebagai pertanyaan tidak bermutu. Ada suatu hal yang tiba-tiba melesat di otak jeniusnya, membuatnya menolehkan kepala ke arah Luhan dan angkat bicara. "Apa ambisimu sudah berakhir?"

"Ambisi?"

"Kau selalu berambisi untuk menjadi nomor satu."

Luhan memilin ujung bajunya, suaranya mendadak berdengung. "Suatu saat nanti aku pasti akan membuatmu lengser dari peringkat nomor satu."

Suara kekehan meremehkan terdengar dari mulut Sehun, "Ternyata kau masih berambisi."

"Aku tidak berambisi," Luhan merasa tidak setuju dengan kalimat Sehun. "Tetapi aku tidak akan membiarkan perjuanganku berakhir sia-sia."

"Kalau begitu, berhentilah berjuang. Kau tidak akan menang."

Luhan mengeram marah, "Dengar, Hun. Aku sudah muak dengan sikap sok pintarmu itu. Kau pikir, selamanya kau akan tetap berada di puncak nomor satu itu? Apa kau tidak pernah berpikir jika seseorang akan datang dan mengambil semua peringkat nomor satumu, kemudian membuangmu ke negeri antah berantah yang jauh di sana?"

Sehun mengedikkan bahu skeptis, "Apa seseorang yang kau maksud adalah dirimu sendiri?"

Dagu Luhan terangkat, "Ya. Aku sudah datang dan akan menyingkirkanmu!"

"Coba saja," Sehun menanggapi tantangan Luhan dengan nada yang terlampau tenang. "Kalau kau bisa menyingkirkanku, aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi."

"Ya, kau memang harus berjanji untuk itu," Luhan memotong ucapannya lalu mengangkat salah satu lengannya, memerhatikan jarum jam di jam tangannya yang melingkar di sana. Matanya menyipit, "Assa! Sepuluh menit lagi pukul sepuluh!"

Mungkin senyum kemenangan Luhan adalah bom bastis untuk Sehun, memukul perasaannya berulang kali hingga membuatnya tak mampu lagi berbuat jahil. Sehun tahu jika semua kebersamaannya dengan Luhan akan segera berakhir, itu berarti Luhan tidak akan ada lagi untuknya.

Luhan benar-benar senang ketika tahu bahwa perjanjian mereka akan berakhir beberapa menit lagi. Dan sesungguhnya pun Sehun tidak dapat menahan perasaannya yang membuncah ketika melihat senyum manis yang tersungging di kedua belah bibir Luhan.

Gadis itu teramat cantik dengan senyuman menawan di lengkung bibirnya, terkesan sangat lembut jika ditelisik dari sinar bola matanya yang hitam bening. Semangat menggebu yang selalu timbul dari pancaran sorot matanya kian membuat Sehun terpesona, mabuk kepayang hingga menciptakan ambisi seperti Luhan.

Berambisi untuk memiliki gadis itu dengan kemampuan otaknya.

Sehun memang terus menantang Luhan, membuat gadis itu terus bekerja keras walau sebenarnya ia sudah tahu siapa yang akan menjadi pemenang. Ia senang membuat Luhan merasa terintimidasi dengan ambisinya, maka dengan begitu ia bisa mendapat lirikan mata dari gadis itu. Walau kejam, namun Sehun menyukainya.

"Ketua Oh, tolong awasi teman-temanmu, ya? Sepertinya mereka berpencar entah kemana," Guru Kim tiba-tiba datang dan langsung menghampiri Sehun. "Aku sampai bingung mencari mereka. Padahal sudah diperingatkan agar terus bergerombol sesuai kelompok kelas."

Sehun bangkit dari duduknya dan segera memberi salam saat tahu jika wali kelasnya tiba-tiba datang. Ia mempersilahkan gurunya untuk duduk ditempatnya lalu berkata, "Saya akan mencari mereka, ssaem. Anda tunggu saja di sini dengan Luhan. Saya akan segera kembali."

"Oh, betapa beruntungnya aku memiliki ketua kelas sepertimu," Guru Kim membanting pantatnya di kursi dan menghela napas lega. "Terimakasih."

Sehun merundukkan badan lalu benar-benar pergi dari dek A, meninggalkan Luhan dan Guru Kim di sana. Luhan benci kenyataan jika Sehun meninggalkannya dengan Guru Kim. Sekiranya, hubungannya dengan Guru Kim sedikit memburuk semenjak insiden Luhan menendang perut Zitao waktu itu.

Guru Kim sempat mengira jika Luhan adalah gadis penuh kekerasan yang sekarang tengah menyamar sebagai gadis pintar. Namun, sebagai orang dewasa yang penuh dengan pemikiran kritis dan realistis, akhirnya Guru Kim menyangkal pikiran konyolnya dan berusaha memaafkan perilaku muridnya. Kesalahan seperti itu memang sudah wajar dilakukan sekali-dua kali oleh seorang murid.

"Luhan," tiba-tiba Guru Kim memanggil nama muridnya, kepalanya menoleh ke arah Luhan dan melempar tatapan lembut. "Kau pacaran dengan Ketua Oh, ya?"

"Ne?"

"Ibu sering melihat kalian jalan berdua .."

Awalnya, Luhan memang tidak mengerti dengan apa yang baru saja ditanyakan oleh gurunya. Tetapi, setelah kalimat terakhir itu diucapkan, Luhan serasa ditampar oleh telapak tangan seseorang dan membuatnya reflek menyangkal dengan kata-kata. "Tidak. Kami tidak pacaran, ssaem," Luhan menyangkal sambil melambaikan telapak tangannya. "Ssaem salah paham .."

"Benarkah?" raut wajah Guru Kim berubah, nampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. "Namun, kupikir Ketua Oh itu menyukaimu .."

Guru Kim segera melanjutkan kalimatnya, "Ketika Ibu mengajar, Ibu sering memergokinya sedang memandangimu diam-diam. Dan ssaem yakin jika pandangan Ketua Oh kepadamu adalah pandangan penuh arti di baliknya. Kau tahu apa itu? Cinta ... Ya, cinta," ia mengakhiri penjelasan singkatnya lalu tersenyum—seolah sedang menunjukkan kepada dunia bahwa ia adalah seorang wanita lajang yang sepenuhnya tahu dan mengerti segala hal mengenai cinta.

Luhan menelan ludah susah payah, "Saya tidak tahu apa yang sedang ssaem bicarakan," katanya, masih mencoba pura-pura tidak mengerti—padahal sebenarnya ia sedang gugup setengah mati.

"Ibu sedang memberitahumu tentang rahasia terbesar milik Ketua Oh!" Guru Kim sedikit melukis raut merajuk yang aneh di wajahnya. "Ibu sebagai gurunya saja tahu tentang apa yang Ketua Oh rasakan kepadamu. Kenapa kau yang setiap hari bersamanya tidak pernah mengerti?"

Helaan napas berat meluncur dari bibir Guru Kim, "Sudahlah. Sepertinya percuma mengatakan hal seperti itu kepadamu. Jangan merasa terganggu dengan apa yang baru kukatakan tadi, oke? Tetaplah belajar dan pertahankan nilaimu .."

"Arasseoyo, ssaem ..," kepala Luhan mengangguk lalu merunduk.

"Sepertinya, Ibu harus pergi ke ruang informasi. Ketua Oh pasti kesulitan mencari anak-anak badung itu," Gurunya berdecak. "Luhan, tetap di sini sampai Ketua Oh kembali."

Lagi-lagi Luhan mengangguk, kemudian ia mengangkat kepalanya dan memerhatikan punggung gurunya yang sudah hilang di balik ambang pintu.

Seketika, bibir Luhan mengerucut maju. "Omong kosong apa lagi itu?" dia menggerutu dengan suara pelan, hampir menyamai sebuah bisikan yang sulit didengar. Ia sebal karena Guru Kim mengatakan suatu hal yang macam-macam tentang perasaan Sehun kepadanya. Padahal, hal itu belum terbukti kebenarannya.

Buruknya, karena hal itu ia jadi berdebar seperti ini. Mendadak pikirannya buyar, buntu, dan hanya terfokus pada Sehun. Perasaannya mulai goyah, antara percaya-tidak percaya terhadap ucapan wali kelasnya. Suatu sisi dalam dirinya mulai menuntut kebenaran, dan Luhan ingin tahu apa yang sebenarnya dirasakan Sehun terhadapnya.

Apa benar-benar menyukainya?

TBC

#PrayForSouthKorea

Masih ingat dengan kejadian kapal sewol yang tenggelam sekitar satu tahun lalu?

FF ini terinsipirasi oleh aksi heroik dari beberapa penumpangnya; Ketua Kelas Jung Chawoong, Kru Kapal Park Jinyoung, dan sepasang kakak-adik yang harus terpisah selamanya.

Ini versi aslinya dengan cast KyuMin, ya. sebenarnya, nggak ada niat buat repost ini dengan cast HunHan. Tapi karena tadi sore aku iseng-iseng buka notif wp aku, baca komen-komen baru, trus aku tertarik buat baca yang ini.

Trus, gue nangiiiis. Demi apa gue nangis waktu baca ulang ff lama iniiii? Trus, aku langsung mikir buat membagi kisah/? ini dengan kalian semua .. Recommended banget buat baca sambil dengerin BGM-nya, biar lebih kerasa :")

Jadi, gimana menurut kalian? ...

Ditunggu chap duanya, ya. Well, genrenya nggak akan diubah seperti ff ku yang terakhir kali /Come Back Although isn't Easy/ :"")) Aku bakal update soon kok.

Xoxo.