Dazai Osamu menjadi pengelana pada reinkarnasinya yang ke sekian kali.

Keputusan itu dirayakan dengan menikmati senja lewat senandung, di Pelabuhan Yokohama yang menuliskan kenangan masa silam untuknya–hari-hari monoton dari reinkarnasi sebelumnya, sampai ia mampu merangkaikan keutuhan dari peristiwa-peristiwa yang terpecah.

"Kamu tidak bisa bunuh diri ganda, jika hanya seorang diri~" Camar terbang melewatinya yang bersenandung. Dazai merasa diperhatikan, dan ia melambai tanda berterima kasih.

Pengelana hanya nama bohongan, karena nyatanya Dazai tak sebebas itu untuk menantang waktu–ia mengemban tugas penting dan konsekuensi berat, sebagai bayaran atas keputusan tersebut.


Kenapa kamu selalu merebut mereka dariku?

Karena kau tidak pernah menganggap mereka berharga.


Sepi selalu datang, lantas menggantikan kenangan yang ditulis dengan pertanyaan itu. Lambaian Dazai terhenti. Matanya menerawang apabila teringat tragedi masa lampau, namun lukanya tidak menjadi berlalu bahkan semakin basah.


Selalu ada hari di mana Nakajima Atsushi–mantan bawahannya itu kehilangan kemampuan regenerasi yang berujung pada maut.

Waktu ketika Kunikida Doppo–mantan rekannya di Agensi Detektif Bersenjata kehilangan idealisme, dan berakhir mengenaskan tanpa berarti apa pun.

Saat di mana Nakahara Chuuya–mantan rekannya di Port Mafia mengaktifkan 'corruption', dan Dazai gagal menetralkan kemampuannya.

Yosano Akihiko mati di tangan Tachihara Mochizou. Edogawa Ranpo terbunuh gara-gara menangani kasus aneh. Tanizaki merelakan nyawa demi Naomi, tetapi adiknya ikut tewas. Miyazawa Kenji diracuni musuh. Izumi Kyouka tertembak usai melindungi Nakajima Atsushi. Fukuzawa Yukichi–pemimpin agensi bahkan meninggal, ketika membahayakan diri untuk membantu perlawanan.

Lalu yang terakhir ...


WHUSHHH ...!

Angin berembus kencang dari arah belakang. Sesosok monster hitam menyambut Dazai, dengan taring runcing yang siap memenggal kepalanya–gelagat tersebut amat familier, sehingga Dazai tidak menengok barang sejenak

"Pergilah sebelum kubunuh."

Akutagawa Ryuunosuke adalah korban terakhir dari keserakahan takdir. Kepulangannya paling menyedihkan, karena pergi tanpa membawa alasan hidup dari Dazai Osamu.


No Longer Human

Chara: Dazai Osamu x Akutagawa Ryuunosuke

Genre: Angst, poetry.

Disclaimer: Asagiri Kafka & Harukawa Sango.

Warning: OOC, typo, feel enggak dapet, kepanjangan, alur lambat, dll.

Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini, dan semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, serta diikutkan pada event "Dazai multi shipper" di tumblr.


Day 1: L'appel du Vide/Unwritten


Keputusan ini menciptakan konsekuensi, di mana Dazai menjadi tak kasat mata demi menjaga keseimbangan dunia. Jika Akutagawa bisa melihatnya sampai mengeluarkan rashomon–si monster hitam bertaring tanpa meleset, jelas ada pertanda buruk yang cepat atau lambat terungkap, dan terdapat satu jawaban untuk itu; kehancuran dunia.

Kemunculan Dazai adalah tanda bahwa dunia tiba di ujung waktu, lantas ia mengorbankan diri untuk melindungi Yokohama, Port Mafia serta Agensi Detektif Bersenjata tanpa perlu kehilangan siapa pun.

"Jadi kamu mau membunuhku atau tidak?" Tangan kanannya dikeluarkan dari kantong trench coat. Pandangan Dazai menemui mata hitam jelaga yang kosong, dan sejenak Akutagawa merasai persamaan di antara mereka.

"Membunuhmu bukan hal yang su–"

Secara ajaib sentuhan Dazai melenyapkan rashomon. Keterkejutan Akutagawa membuat ia membabi buta dalam menyerang, dan tidak satu pun mengenai lawan. Seringai kemenangan tercetak di bibir Dazai dengan cara yang konyol -terlalu lebar seolah-olah menahan tawa–seakan-akan Akutagawa bertindak jenaka, meski niat membunuhnya begitu kentara.

"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya Akutagawa memajukan langkah. Tatapan mereka berhenti berjumpa, semenjak Dazai disambut dengan serangan beruntun yang selalu saja, tidak mengandalkan akal.

"Ini baru pertama kalinya kita bertemu."

"Aku tidak tahu apa yang kau lakukan terhadap rashomon. Tetapi, pergilah dari sini."

"Heee~ Siapa juga yang mau mendengarkan omonganmu? Tidak seharusnya kamu berlagak, setelah dikalahkan seperti tadi." Berlama-lama menatap punggung itu menjadikan Akutagawa gagal memahami dirinya sendiri. Kenapa ia kehilangan amarah untuk membenci, dan malah terheran-heran akibat merasa familier?

"Sebagai gantinya aku akan mengawasimu."

Perbincangan santai bukanlah rutinitas atau kegiatan senggang mereka. Dazai membiasakan Akutagawa dengan kekejaman, penyiksaan yang berlarut-larut agar musuh tidak membunuh hatinya, melainkan Akutagawa sendiri yang menikam rasa. Berakhir di pelabuhan ini bersama senja, Akutagawa, dan menjadi 'kita' yang bukan lagi Dazai seorang benar-benar tak diduga oleh senyumannya yang tahu-tahu, mekar dalam kebahagiaan.

Menampakkan wajah baru yang penuh tawa, senyum, dan segala kekonyolannya tentu tidak buruk sepanjang mereka menjadi asing. Jika kebaikan ini dihadirkan di masa lalu, Akutagawa mungkin membencinya lantas beranggapan; kau bukan Dazai-san yang aku kenal.

(Dulu sekali, Dazai sekadar ingin menjaga Akutagawa dengan bertindak sewajarnya, tanpa melebih-lebihkan kebaikan yang selalu Akutagawa anggap tidak pantas)

"Jadi boleh tolong jelaskan kenapa aku harus pergi dari sini?" Giliran Dazai yang memecah sunyi. Tangannya bahkan menepuk-nepuk tempat di samping, supaya Akutagawa tidak berdiri di belakang.

"Pelabuhan ini adalah daerah kekuasaan Port Mafia. Orang asing tidak seharusnya masuk."

"Orang asing, ya ..." Kepahitan itu menggetarkan tangannya, sewaktu Dazai mengulang kalimat serupa. Akutagawa tahu ada yang salah, dan ia ingin mencari tanpa pernah tahu, setelah ditemukan Akutagawa akan kehilangan banyak.

(Pengorbanan Dazai mungkin sia-sia lagi)

"Kalimatku benar adanya. Lagi pula kau sendiri yang bilang ini pertama kali kita bertemu."

"Hahaha ... benar, kok~ Abaikan saja yang tadi."

"Lagi pula sejak kau berada di sini?" Kejanggalan lainnya adalah, Dazai tidak disadari oleh anak buah Port Mafia. Mereka selalu bergiliran berjaga, ditambah akhir-akhir ini pengawasan diperketat, karena suatu insiden.

"Sejak tadi. Sudah cukup lama juga sebelum kamu hadir."

"Kau mencuci otak mereka?"

"Maksudmu pakai deterjen begitu?"

"Jangan bercanda. Katakan dengan jujur." Keseriusan dan ketidaksabarannya belum berubah, yang sedikit-banyak melegakan Dazai. Ia tidak merindukan sifat Akutagawa yang demikian, hanya saja ...

Mungkin, Akutagawa yang tidak berubah adalah jawaban mengapa Dazai tampak di hadapannya. Meskipun mereka sebatas dua orang asing di dunia yang usang, benak Akutagawa menyimpan sedikit kesadaran mengenai hal paling berharga untuknya sepanjang masa.

(Itu selalu saja Dazai, walau Akutagawa tidak menyadarinya di garis dunia yang ini)

"Kamu tidak seharusnya melihatku, dan anak buahmu benar jika mereka tidak menyadariku."

"Aneh."

"Eh? Aneh bagaimana?" Saking kagetnya Dazai mengerjap-ngerjap. Baru semenit lalu ia lega, kini malah berdebar lagi karena kebingungan Akutagawa.

"Chuuya-san berkata, 'semua orang pantas diperhatikan'. Dia bilang begitu padaku, saat memungutku dari Nadir."

"Benar-benar kalimat yang bagus, ya~ Kenapa dia bilang begitu padamu?"

"Katanya selama kau hidup, mau menjadi orang jahat atau baik, tentu pantas diperhatikan karena itulah yang membuatmu semakin hidup."

"Orang itu sangat baik. Kamu pasti menyayanginya." Memutuskan ditiadakan memang tepat, karena Akutagawa bisa diajarkan sebuah hal, selain tidak dikalahkan oleh diri sendiri atau menjadi kuat untuk diakui.

Chuuya tahu cara menjadikan Akutagawa lebih baik tanpa menyalahi kegelapan. Tidak dihancurkan obsesi untuk mengejar punggung seseorang, melainkan menghormati dalam batasan karena mereka bersahabat. Meski yang terpenting;

Chuuya meringankan beban Dazai yang berkali-kali menemukannya, dan harus menjaga Akutagawa dengan kekejaman serupa–kebaikan yang puluhan waktu ia pelajari di agensi, tentu tidak memiliki harga selain menjadikan Akutagawa kalah dari diri sendiri.

(Pada akhirnya, Dazai memang tidak pernah tahu cara membebaskan Akutagawa dengan kebaikan)

"Bukan hanya itu. Chuuya-san juga bilang, 'aku membawamu dari Nadir bukan semata-mata untuk menjadikanmu alat. Kita adalah teman'."

"Setidaknya kamu memiliki hidup yang bahagia, meskipun menjadi mafia."

"Ya. Aku menghormati Chuuya-san. Hanya saja, dia juga mengatakan 'ada orang lain yang lebih kau kagumi'."

"Jangan-jangan itu wanita yang kamu temui secara acak di jalan, dan kamu jatuh cinta pada pandangan pertama. Ataukah penyanyi? Motivator? Pembunuh bayaran ter–", "Seseorang yang lebih kuhormati dibandingkan Chuuya-san, adalah sosok di dalam mimpi," potong Akutagawa tajam. Mata yang semula menatap laut, kini tertuju pada wajah penasaran Dazai.

"Orang itu mirip denganmu, bahkan bisa jadi dia adalah kau."

"Lalu jika orang itu benar-benar aku, bagaimana reaksimu?"

"Aku ingin bertanya padanya kenapa dia pergi."

"Kalau misalnya dia menjawab, 'aku pergi karena lelah dengan semua ini'. Apa responsmu?"

"Padahal dia kelihatan bahagia bersama teman-teman barunya. Kalau orang itu memang merasa keberatan ..." Hening terselip pada percakapan mereka. Akutagawa tampak menimbang pilihan kalimatnya, dan Dazai menanti kata-kata mendatangi dia.

"Dia tidak perlu melakukannya. Tersenyum dan tertawa bukan satu-satunya cara untuk baha–"

Kata-kata digantikan kedatangan air mata yang merangkum rasa, dan sunyi mengantarkannya kepada Akutagawa yang diam-diam, ingin tahu mengapa ia pedih–resah ketika tangannya bersiap menangkap bahasa air mata, mengecap kegetiran itu, lantas mengakhiri dengan ... apa?

(Memangnya Akutagawa diizinkan memahami? Dia itu hanya mimpinya, bukan?)

PLAK!

Tangan Akutagawa ditepis kasar. Perjanjian Dazai dengan Sang Pencipta sudah terlanggar, dan hukumannya bekerja sangat cepat karena pelabuhan Yokohama, Akutagawa atau senja akan berhenti menuliskan kenangan Dazai.


Dazai tidak lagi memilikinya, karena dia harus menghilang.


"Namamu ... Dazai?" Kontak fisik mereka mengembalikan ingatan Akutagawa akan sosok di hadapannya. Penyesalan Dazai tampak menjadi-jadi, karena dua kali menghilang dan menghancurkan Akutagawa tanpa mengabulkan keinginannya.

"Boleh aku tahu siapa namamu?" Cahaya berpecahan di langit jingga, dan Dazai dikikis oleh kebahagiaan. Kalau waktu bisa diputar, ia ingin mengangkat tangannya lebih tinggi untuk mengusap rambut Akutagawa.

"Namaku ..."

"Sebelumnya jika kamu mengingat sesuatu tentangku, kumohon lupakansaja sampai diriku menghilang." Ah ... semua salahnya, bukan? Jika Akutagawa tidak bersikeras mencari, Dazai tentu masih di sini. Dazai akan hidup. Dazai pasti–

"Siapa namamu?!"

Dazai pasti tidak perlu menghilang, karena orang bodoh sepertinya.

"Akutagawa Ryuunosuke."

"Namamu bagus. Terima kasih telah menemaniku mengobrol."

"Jadi kau bukan mimpi?" Sulit bagi Akutagawa untuk menerima kenyataannya. Ingatan itu terlalu penuh, dan membanjiri tanpa jeda yang memberatkan benak.

"Aku ini apa? Tidak ada yang tahu bahkan diriku sendiri. Terserah padamu ingin menganggapnya apa."

"Kalau orang itu memang kau ... apa kau pergi karena merasa lelah?"

"Bukan. Aku yakin bukan karena itu. Kali ini kepergianku disebabkan oleh ... anggap saja kesalahan, tetapi bukan karenamu yang bisa melihatku."

"..." Tanpa kata Akutagawa memalingkan wajah. Menyaksikan orang ini pergi, dan ia tidak mengenali apa yang sebelumnya dirasakan jauh lebih mengerikan dibandingkan mencoba memahami.

"Tetapi setidaknya ... aku menghilang bukan karena tidak menganggap seseorang berharga, kan?"

"Soal itu-", "Aku ... aku tidak tahu bagaimana seseorang bisa dianggap berharga. Apa karena mereka baik? Perhatian padaku? Selalu memahamiku? Rasanya semua itu salah. Padahal ..." Padahal aku sudah berusaha memahami.

"Kalau kau bisa menjelaskan seseorang itu berharga, maka sebaliknya menurutku dia tidak berharga untukmu." Bukan kata-kata yang merangkum dunia, tetapi air mata Dazai. Seluruh perasaan itu telah terbang, dan tiba pada Akutagawa bukan untuk dipahami.

Cukup diterima saja, karena Akutagawa merangkum rasa dengan kata-kata. Jika ia memahami, maka bukan lagi merajut abjad, tetapi diam untuk menenangkan dengan hadir.


Memangnya apa yang lebih menenangkan, dari kehadiran seseorang untuk mendengarkan tangisanmu?


"Apa benar begitu?"

"Terserah mau memercayainya atau tidak. Lagi pula menurutku, kau tidak kehilangan karena menganggap seseorang tidak berharga."

"Menurutmu karena apa jadinya?" Perlahan Dazai menerbitkan senyuman. Tubuhnya sudah hangat oleh senja, sementara hati diteduhkan oleh wajah Akutagawa yang meskipun datar, Dazai tahu ada ketenangan di sana.

"Kehilangan, ya, kehilangan. Tidak perlu alasan."

"Benar juga, ya ... kalau begitu sampai jum–", "Kau menangis untuk seseorang. Dia sudah jelas berharga." Sayangnya ketawa pun membutuhkan waktu, dan Dazai kehabisan jatah. Garis dunia ini gagal ia lindungi, padahal hari pertamanya mengobrol dengan Akutagawa paling ingin Dazai kenang.

Mau bagaimana lagi? Dazai memutuskan berhenti ditulis oleh dunia, dan ia tidak berhak menuliskan apa pun untuk dikenang.


Tamat.


Omake:


Seseorang yang familier menghampiri Akutagawa di Pelabuhan Yokohama. Fedoranya sedikit miring, karena angin malam bertiup kencang.

"Apa yang kau lakukan–" Sewaktu pemuda itu menepuk bahu Akutagawa, pertanyaan tersebut gugur tanpa arti ketika menyaksikannya menangis. Sesuatu jelas terjadi, saat dia mengerjakan misi dari Bos Mori.

"O-oi ... ada apa denganmu? Kenapa menangis?"

"Aku tidak tahu, Chuuya-san."

"Seseorang menjahatimu di sini? Apa jangan-jangan ... dia adalah orang yang kau kagumi itu?!"

"Entah kenapa aku tidak mengingat apa pun. Menurut Chuuya-san aneh?"

"Mungkin artinya kau sangat lelah, atau bisa jadi ..." Fedora Chuuya dipindahkan untuk menutupi kepala Akutagawa. Anak buahnya itu benci terlihat lemah, dan Chuuya akan berpura-pura tidak mengetahui apa pun.

"Kau melupakan sesuatu yang berharga. Makanya menangis."

Siapa yang tahu? Chuuya membiarkannya saja kali ini.