.

.

.

Sudah berulang kali pria dengan rupa tak terawat ini lewat jalan itu. Sudah berkali – kali pula matanya jelalatan menatap sekitar, melihat situasi dan kondisi beragam musim yang singgah pada waktunya di kota tempat pria itu berada.

Ia hafal di mana dan apa saja yang terjadi di jalan itu. Seperti yang mana toko bunga yang menjadi satu - satunya, yang mana cafe para muda – mudi menghabiskan waktu, restoran dengan harga terjangkau, toko buku yang sudah berumur namun masih gagah perkasa, kantor biro jasa yang selalu dikunjungi orang – orang, jumlah gang sempit yang banyak sampah namun cukup bersih untuk di tinggal tunawisma yang malang, dua kantor penerbit yang selalu bersaing sehat, kantor sekaligus beberapa pos polisi setempat yang selalu siap sedia melayani masyarakat, dan sebagainya dan sebagainya, seperti halnya kota biasa. Pria tinggi menjulang dengan raut wajah datar dan hobi merokok itu tahu, bahkan dia hafal letaknya tanpa melihat/ memastikan terlebih dahulu, jika ditanya orang pendatang baru tentang dimana tempat ini – dimana tempat itu.

Ia juga tahu, bahkan pemilik toko, para polisi, atau orang – orang yang langganan lewat di jalan itu tahu siapa si pria ini.

Mereka, jika di tanya, selalu menjawab bahwa dia adalah pria tinggi berambut pirang jerami dengan tatapan datar dan memiliki brewok—yang mengelilingi rahang dan dagunya. Itu benar, rupa fisiknya demikian.

Meski waktu merangkak dengan ganas, apa yang terjadi dan orang – orang lakukan di jalan itu—di kota itu, adalah sama. Monoton. Seperti ferris wheel yang terus berputar ke atas dan ke bawah, walau hanya bergerak begitu – begitu saja, tapi orang yang menaiki wahana itu akan merasakan sisi atas dan sisi bawah.

Tapi, seminggu yang lalu, jalanan itu ada yang berbeda.

Tepatnya di salah satu gang tikus yang cukup kumuh daripada gang lainnya. Di sana, banyak sampah – sampah yang terkukung dalam plastik hitam besar—dengan semut, belatung dan lalat; menunggu diambil petugas kebersihan kota yang seminggu penuh tak menjemputnya. Itu bukan fokus iris mata si pria, pemandangan itu biasa ia lahap sampai habis tak tersisa.

Melainkan sesosok anak kecil yang meringkuk dengan selimut tipis di tubuhnya—ia meringkuk tak berdaya di mulut gang, dengan sebuah sepatu boot tua yang kusam. Tubuhnya yang mengigil karena sebagian di guyur air mata langit yang tersedu – sedu, tampak mungil—kurus, bahkan pria itu bisa melihat cekungan rahang karena kedua pipinya mengurus. Pria itu melihatnya dari jarak beberapa langkah diantara mereka.

Anak kecil itu, masih disana, tak peduli jika ia di bogem mentah oleh hujan, menatap pada sepatu boot yang ternyata berisi beberapa keping uang logam dengan sorot sendu. Terkadang, ada beberapa orang yang bermurah hati memberi keping uang, meletakkannya dalam boot basah itu. Dan ada juga yang hanya lewat tak peduli, bahkan menatap jijik pada dia.

Sesekali kedua tangan anak malang itu yang tampak tak berdaging, lebam dan kotor, saling bergosokkan, lantas begitu dirasa hangat, telapak tangan mungil itu ditempelkan ke pipi oleh si anak.

Tubuhnya bergerak menyamankan ringkukan, tapi pria yang seorang novelis amatiran itu bisa mendengar desis lirih dan isak tangis di tengah langit yang masih menangis menganak sungai. Sadarlah sang pria, bahwa di salah satu pergelangan kaki si anak malang terdapat luka yang menimbulkan noda merah di kain tipis itu.

Noda merah yang cukup banyak, memberi indikasi di kalbu sang pria jika itu luka yang cukup parah dan menyakitkan. Sisi lukanya pun menyeplak di kain itu, bercampur dengan darah dari luka, lebam yang berwarna ungu kebiruan, dan air hujan yang tak bersih.

Namun, si pria tinggi berpayung kelabu itu hanya diam, menikmati bibirnya mengapit batang rokok yang masih menyala. Menatap datar tanpa ekspresi, lantas ia pergi dari tempatnya singgah sementara di trotoar, melanjutkan perjalanannya menuju flat tercinta bersama orang – orang lain yang berjalan satu arah di trotoar apik itu.

Sayangnya, sang pria tidak tahu jika anak malang itu menatap diam punggungnya dari jauh. Tangan kanannya terulur ke depan, pelan, jarinya bergerak seakan ingin menggapai punggung lebar tersebut.

Anak itu...

... menangis dalam diam.

Tidak menyangka jika ada satu orang yang sudi menatapnya selama itu—meski tanpa ekspresi, tidak bermurah hati memberi koin simpati, dan justru pergi.

Namun anak malang berambut dan bermata sehitam malam itu berdoa dalam hati, di tengah kondisinya yang buruk luar biasa seperti ini, ia masih percaya kepada Sang Pemurah.

Berdoa kyusuk, ia ingin semoga pria bergaya pakaian semrawut dan memiliki brewok itu datang lagi dan menatapnya.

.

.

.

.

Tender Feeling

.

Screenplays!KrisTao

.

T/ Slice of Life

.

Akai with Azul

.

All about character is not mine, just a fic and idea

.

Yaoi/ BL/ Be eL/ Boys Love/ Alternative Universe with baby typos

.

No like, Don't read!

.

Summary!:

Cerita antara pria tua brewokan dan semrawutan dengan anak malang yang meringkuk di mulut gang tikus. Cerita kedua insan yang memiliki kesamaan, saling menguatkan dan memberi dukungan, sekaligus saling memberi kehangatan dan perlindungan satu sama lain melawan ganasnya hidup ini.

Tanpa kata, mereka bisa mengerti dan saling membutuhkan satu sama lain.

.

.

.

.

Slice of life pertama Al. Dan ff tanpa dialog satupun.

Aldiz. Ksh yang rekues dibuatin ff tanpa dialog—juga buat kalian. [:D]

Backsound music ff ini instrument song-nya Kajiura Yuki, Tender Feeling. Al membuat ff ini sambil mendengarkan lagu ini, dan itu benar – benar menakjubkan—karena Al terbawa suasana ke dalam ceritanya. Seolah Al menyaksikan langsung dari dekat kejadian di dalam ff ini. [:'D]

Coba kalian dengarkan lagunya sambil baca ini, mungkin kalian akan begitu juga.

.

.

.

.

.

Sang pemurah mengabulkan doa kecil si anak malang.

Hari kemudian, pria semrawutan dan beraut wajah datar itu kembali menatapnya, di tempat yang sama di trotoar itu, dengan bibir yang masih mengapit batang rokok dan ia berlindung di balik payung kelabunya yang tampak tua namun masih gagah perkasa, juga datang di jam yang sama dengan hari sebelumnya.

Mata tajamnya yang selalu menatap tanpa ekspresi atau kilat hidup mengawasi anak malang itu, yang juga ikut menatapnya dibalik poni hitam yang lepek karena diguyur hujan. Percuma, tentu percuma jika kau menutupi kepalamu dengan selimut usang setipis itu, dasar bocah—batinnya berkata dingin. Sejenak ia menoleh ke jamnya yang melingkar cantik di pergelangan tangan, lantas ia menghembuskan asap rokok dan berbalik arah.

Pria berjas selutut warna coklat madu dan bercelananya jeans robek sana-sini itu meninggalkan kembali si anak. Menuju flat kecil yang hangat dan akan mendaratkan tubuh letihnya di ranjang.

Kelereng mata anak berkantung mata hitam dan berbibir kucing itu mengerjap pelan, dua kali, sampai akhirnya ia tersenyum kecil—untuk pertama kalinya dalam delapan tahun ia tumbuh berkembang. Dua hal yang membuatnya demikian, karena doa kecilnya di kabulkan dengan cuma – cuma oleh Sang Pemurah...

... dan juga karena pria dalam doanya tersebut memberinya sebungkus roti, alih – alih satu keping uang logam, dalam sepatu tua miliknya.

Walau pria itu melemparnya tanpa menoleh, tapi anak malang itu sudah cukup senang. Ya, ia cukup senang, sampai – sampai ia tidak tahu, kalau bibit harapan yang ia tanam di benaknya mulai tumbuh menjadi tunas indah.

Tunas indah yang rapuh, namun dilindungi butir cahaya yang hangat.

.

.

.

Sudah tiga hari pria berumur dua puluh lima tahun itu memberikan sebungkus roti pada si anak malang. Sudah tiga hari itu pula ia selalu melihatnya beberapa langkah jauh antara mereka setelah ia memberikan sebungkus roti. Sudah tiga hari pula, langit terus menangis tersedu – sedu, tak bosan membasahi permukaan bumi yang sudah berceloteh pada langit kelabu karena capek mendengar rengekannya. Tapi peduli apa langit, jika ia masih sibuk dengan tangis dan rengekannya—dan bumi sadar jika dia tak diacuhkan.

Di jam yang sama, di kondisi yang sama, kedua pasang kelereng indah itu saling bersirobok begitu dia—sang lawan pandang, berada di tempat yang sama. Hanya membalas tatap kelereng cantik tersebut tanpa kata, bahkan salah satu dari mereka tak ada yang mengalah untuk membuat ekspresi berbeda—sebab pria tinggi yang kini memakai jaket hitam polos dan celana training terus memasang wajah datar tanpa minat, dan sang anak malang hanya mencuri kecil tatapan karena masih malu.

Wajarlah anak malang berwajah oriental itu malu dan gelisah, di tatap selekat itu oleh orang yang tak dikenalnya. Meskipun sudah tiga kali pria itu memberinya roti yang sangat enak—ya, itu roti yang sangat enak, barulah anak itu tahu jika merek roti yang terpampang di bungkusnya adalah merek roti terkenal di kota itu.

Di balik wajahnya yang minim ekspresi, pria itu baik. Dan anak itu menyukainya.

Namun, hari ini pria itu tidak datang. Sudah lima jam terlewat dari jadwal mereka bertatap mata, tak salah apabila anak itu bermuram durja. Murung dan menatap balok – balok trotoar yang sebagian tergenang air hujan—baru saja langit kelabu berhenti menangis, dengan sendu. Dibalik tangannya yang tersembunyi dalam kain putih usang itu, teremaslah tiga bungkus roti yang lelau diberika oleh si pria baik hati.

Mendekapnya erat dengan tangan gemetar. Sambil berusaha menahan butir – butir air mata yang ingin melaju terjun ke bawah, ia mengenyahkan pikiran kejam yang terlintas di benaknya.

Jangan – jangan pria itu muak melihatmu?

Siapa yang tidak muak dan jijik padamu yang menyedihkan seperti ini?

Bahkan orang tuamu saja tidak menganggapmu anak, dan mereka membuangmu ke tempat menyedihkan seperti ini, kau ingat?

Mereka pun jijik dan muak padamu, kenapa pria itu juga tidak mungkin?

Sadarlah, kau ini memang tidak pantas untuk dimanja dengan kasih sayang dan cinta!

Kau cacat, kau bahkan tak bisa bicara lancar padahal kau sudah sembilan tahun hidup di dunia ini!

Jika mereka dan pria baik itu merasa jijik dan muak padamu karena hal itu, bukankah itu artinya kau tidak berguna?

Bukankah jika tidak berguna artinya tidak pantas untuk digunakan—tidak pantas ada?

Hal yang tidak berguna itu harus di hilangkan, bukan?

Kalau begitu, kenapa kau tidak menghilang saja?

Cepatlah menghilang, dan jangan biarkan dunia merasa dibebani oleh hal tidak berguna macam dirimu ini, Tao!

Mulut Tao terbuka, pelan, dengan getar. Mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar bebas dari dalam. Tao menangis deras, matanya yang amat sedih dan memerah mengeluarkan bulir – bulir dingin, membelai wajahnya yang tirus dan tak terawat. Ia terus mencoba mengeluarkan suara—ingin mendengar teriakan yang bersumber darinya. Tetap saja, hanya suara serak lirih terpatah yang tak terdefinisi mengucapkan apa. Anak sembilan tahun itu meraung dalam hati, menjerit lantas meratap menyedihkan, berteriak pada kalbunya yang bisa – bisanya melintaskan pertanyaan dan pernyataan macam itu pada dirinya yang rapuh dan ringkih.

Tubuhnya yang sebagian tak terlindungi selimut tipis mulai terhuyung ke depan. Tao membungkuk dengan tubuh gemetar.

Anak berusia sembilan tahun itu baru akan memukul dadanya yang berdenyut perih dengan telapak tangan yang masih meremas bungkusan roti, sampai sepasang telinga di balik rambut hitamnya mendengar sebuah suara berat yang dingin.

Saat itu, langit kelabu mulai kembali.

Mulai menitikkan air yang jatuh bebas ke tubuh bumi, ketika kelereng cantik Tao yang berkaca – kaca bersirobok dengan sepasang kelereng lain yang menatap dingin padanya.

.

.

.

Pria yang dicari Tao mendesah kesal luar biasa. Mengumpat dalam hati tentang editornya yang berusaha menahan lama ia di kantor hanya untuk mencomblangkan pada wanita yang menjadi teman editornya. Padahal ia berniat mengirim naskah novel selanjutnya—yang akan diterbitkan di majalah sastra perusahaan tempatnya bekerja, setelah itu ia akan pulan begitu ia sudah membeli sebungkus roti di toko roti sebrang kantor.

Namun, dengan sigap kerah leher belakangnya berhasil dicekal tangan sang editor, menyeretnya ke ruang pertemuan untuk ternyata bertemu dengan temannya. Sangat ingin pria itu kabur dari situasi menyebalkan itu, namun ia tidak bisa. Meskipun ia pria berwajah minim ekspresi, namun bukan berarti ia tidak punya sopan santun pada orang – orang sekitarnya—kecuali anak malang di bibir gang tikus itu, anak malang yang berhasil mencuri pandang dirinya sejak dua hari yang lalu, tepatnya saat kelereng mereka bersirobok satu sama lain.

Mengingat anak itu, tak ragu si pria tersebut pamit untuk pulang duluan. Menulikan telinganya sesaat dari teriakan melekik khas perempuan yang kesal, bersumber dari editornya yang masih gigih mencomblangkan salah satu novelis yang dinaunginya. Pria itu kabur sambil berlarian kecil, menuju toko roti di sebrang yang wanginya menguar – nguar di udara kota sore hari, membeli sebungkus roti yang biasa ia berikan pada si anak malang.

Ia tergopoh – gopoh, melaju di jalur yang biasa ia lewati dari flat ke kantor dan sebaliknya, ditemani rintik hujan yang menyapa ramah warga kota, berlomba dengan sang waktu yang terus mengejeknya, menuju tempat biasa—pada anak malang yang biasa ia berikan sebungkus roti alih – alih pecahan uang logam di sepatu boot jelek si anak.

Tapi akhirnya, sang waktulah yang menang. Ia bersorak sorai, tertawa terbahak – bahak sambil meninggalkan si pria berambut pirang jerami yang terpaku di depan toko bunga yang tutup. Dengan bantuan lampu jalan yang bersinar cantik, menyambut datangnya malam disertai langit kelabu yang menangis dan mengukung cakrawala kota, dan suara hujan yang terpadu dengan desing mobil yang sesekali berlalu lalang, kelereng mata pria itu berkaca – kaca. Deru nafas dan tubuh yang terguyur air hujan ia abaikan, memilih menunduk. Tangannya yang menggenggam payung lipat kelabu dan plastik berisi bungkusan roti mengerat kencang. Lalu mengendur perlahan – lahan.

Dan pria itu baru saja akan melangkah untuk melanjutkan perjalanan pulang dengan rasa kecewa, sampai akhirnya dibalik suara deras hujan yang mengguyur liar kota terdengar teriakan yang bersahut – sahutan.

Pria itu terdiam. Menajamkan pendengarannya, dan mengetahui jika teriakan itu milik seorang pria yang berkata dengan kata kasar luar biasa.

Namun bukan itu yang membuat pria hobi perokok dan bergaya semrawutan itu terkejut dan lantas berlari kesetanan, melainkan asal suara itu yang bersumber di gang tikus tempat biasa anak malang itu meringkuk tak berdaya.

Semakin dekat jarak pria dengan brewok di sekitar rahang dan dagunya antara gang tikus itu, semakin jelas teriakan kesetanan seseorang, dengan kata kasar tak patut diluncurkan oleh bibir seorang manusia.

Sedetik pria itu berhasil tiba di mulut gang tempat suara berasal, ia mendengar suara debum benda tumpul yang dipukulkan dengan kasar, menuju satu objek yang terbaring dan berdaya—yang hanya menangis tanpa suara, menerima ikhlas pukulan benda tumpul itu meski hati dan tubuhnya tidak ingin. Pria itu tahu siapa yang menjadi objek pemukulan si pria tunawisma paruh baya beberapa meter ke dalam gang tikus tersebut.

Meradang dan emosi lantas naik menuju puncak.

Semua berjalan sangat cepat—pria berambut pirang yang lantas mengambil kerah leher si pelaku pemukulan, dan mendaratkan bogem mentah di rahang si tunawisma. Tunawisma itu terhuyung beberapa langkah dan terjatuh, darah mengucur cantik dari lubang hidung dan sudut bibir kanannya. Lantas tunawisma yang terkejut dan merasa tidak terima, menyerang balik pria brewokan di hadapannya dengan sebongkah kayu yang telah terpercik darah segar—tak sengaja menginjak luka yang mengelilingi pergelangan tangan Tao—si anak malang, yang membuat anak itu menjerit tertahan tanpa suara, yang membuat pria itu semakin meradang kebenciannya dan akhirnya mengambil sebuah botol yang tergeletak di pinggir tubuh Tao yang lemas menyender dinding, menghacurkannya, dan menusukkan ujung tajam botol itu pada leher si tunawisma. Darah segar berbondong keluar dari sana.

Sang tunawisma berteriak, meraung membelah cakrawala yang berbaik hati menabur air pada bumi, lalu tergeletak dengan darah mengucur dari leher setelah ia mendarat diatas tumpukan plastik sampah yang dikerubungi tikus, lalat dan cacing – cacing menjijikkan.

Di dalam gang tikus itu kembali hening. Bau darah segar dan bau sampah saling beradu, berdansa di udara, menciptakan aroma menyengat hidung bagi orang yang berada di sekitarnya. Langit kelabu yang menangis mulai berhenti ditenangkan oleh ratu malam yang berkilau cantik, memintanya tenang dan menyaksikan dalam diam manis pada si pria yang baru saja berkelahi dengan sang malaikat maut pencabut nyawa si anak malang.

Pria itu terdiam. Dengan nafas terpatah – patah dan kelereng matanya yang masih berkaca – kaca. Tak hiraukan sebagian tubuh dan telapak tangannya yang terciprat darah segar dari si tunawisma, ia masih ingin menatap si anak mata yang menyender dinding gang sambil tersedu kesakitan tanpa suara. Meski bibirnya yang bergetar terbuka, si pria tidak mendengar adanya suara tangis di gang itu, hanya deru nafas diantara mereka dan lirih sendat yang memaksakan keluar dari kerongkongan tubuh bocah lelaki yang membiru dan berdarah.

Melirik ke arah luka di pergelangan kaki, lantas pria itu ikut menitikkan air mata, manakala ia menyadari bahwa luka itu terbuka—menganga dan mengeluarkan darah segar yang cukup banyak, serta cairan lain yang tak ia ketahui namanya. Belum lagi luka itu membengkak parah.

Seandainya ia tidak melayani ide gila editornya...

Seandainya ia tidak datang ke kantor atau mampir ke toko roti...

Seandainya cepat – cepat kemari sebelum mendengar teriakan kasar pria tunawisma itu...

Seandainya waktu itu ia langsung membawa anak malang ini pulang ke flatnya yang sederhana sejak kemarin..

Seandainya...

Seandainya..

Se..

..an..

..dai..

..nya..

Si pria menangis tersedu tanpa suara, sama dengan anak malang itu—sebab pria itu bisu, sambil berjalan menuju sang bocah yang terkulai tak berdaya. Tubuh yang kurus, yang kini tercetak luka dan lebab di permukaannya, yang tak bertenaga menyender pada dinding gang, yang basah sekali dimadikan hujan, terkukung dalam pelukan hangat pria itu.

Awalnya, Tao berjengit mendapatkan pelukan tiba – tiba yang lembut dan hangat itu.

Tapi kemudian ia bergetar dan menangis kembali tanpa suara saat menyadari ada bulir – bulir baru yang membasahi bahu kanannya yang terekspos jelas luka lebam. Pelan, kedua tangan Tao bergerak menuju punggung hangat dambaannya, meremas jaket merah marun yang basah itu dengan erat—dan menyembunyikan wajahnya, masih menangis tersedu, di ceruk leher si pria yang tubuhnya juga gemetar karena tangisan yang mendalam.

Akhirnya, si pria itu membawa pulang Tao—menuju flatnya yang sederhana namun nyaman dan hangat. Menyusuri malam yang semakin larut, menyusuri balok – balok trotoar yang sebagian tergenang air dan dibiaskan lampu temaram jalanan, menyusuri toko – toko yang telah tertutup di jam tutupnya, menyusuri jalanan yang tak lagi ada kendaraan berlalu lalang.

Sambil menggendong pelan anak itu yang dilindungi oleh jaket merah marun dan tubuhnya, si pria memeluk erat dan menyalurkan kasih sayang. Sesekali, bibir pucat pria itu mendarat di bahu dan tengkuk Tao, mengirimkan sinyal bahwa anak malang itu mendapatkan lindungan, kepedulian, kasih sayang dan cintanya.

Tao menatap diam pria itu, lantas tangannya yang dingin terulur ke atas, menuju pipi pria itu yang dingin karena diterpa angin malam. Pelan dan sangat pelan, telapak tangan mungil yang masih gemetar itu mengusap sayang pipi itu, cukup lama, bahkan ketika telapak tangan pria tinggi ia memeluk hangat telapak tangannya, sampai akhirnya ia berhenti dan menyamankan diri di pundak tegap nan lebar milik si pria.

Ia menguap kecil, dan mulai menerima jemputan mimpi tatkala sebuah kecupan manis mendarat di bibir kucing anak itu.

Untuk pertama kali, Tao tertidur dengan mimpi indah, di mana di mimpi itu ia bermain – main riang gembira bersama pahlawannya—pria itu, dengan rasa hangat manis yang menyelimuti hati dan bunga rapuh penuh harapan yang kini berbunga sangat cantik di kalbunya.

.

.

.

.

... The End

.

.

.

Sejujurnya, diantara ff lain yang kubuat, aku suka ff ini. Ini... benar – benar slice of life. Suatu kebanggaan tersendiri Al bisa buat ff bergenre yang langka seperti ini, bagian dari kehidupan nyata, namun tidak lebay seperti sinetron/ drama. [:')]

Jaa,

Want to review, minna..? [:')]

.

.