Nafasnya tersengal menahan rasa letih yang menyerang. Di tengah gelap hutan, kepulan nafasnya terlihat jelas karena cuaca dingin. Kakinya tak berhenti berlari membawa tubuhnya menjauh dari lokasi keributan tak jauh di belakang. Luka yang membuka di kening sebelah kanannya membuat dia tak bisa melihat jelas karena darah yang terus-menerus mengalir. Udara dingin dan pakaian yang tercabik di sana-sini membuat tubuhnya gemetar. Luka gores dan luka memar terlihat di setiap kulitnya yang terekspos.
"Aaah… a-aaah… hentikan. Hentikan. Ugh!" kaki kecilnya tersangkut akar pohon yang mencuat dari tanah dan membuatnya terjungkal ke tanah basah bekas hujan. Gambaran peristiwa mengerikan yang dilihatnya tadi membuatnya semakin panik. Kedua tangannya mengais tanah untuk meringkuk di bawah pohon, di sela-sela akarnya yang besar dan dahan yang menjuntai ke tanah.
Dia tak berhenti gemetar dan menggigil. Bunyi gemeletuk giginya samar terdengar di tengah angin hutan. Suara-suara itu masih bisa ia dengarkan. Hantaman metal, tangis, teriakan putus asa dan cipratan darah. Dia berusaha menghilangkan suara-suara itu dengan memejamkan matanya erat-erat. Tapi siapa sangka jika ia akan melihat dengan jelas peristiwa berdarah yang tengah terjadi. Seketika itu kedua tangannya menutup telinganya, berusaha memblokir suara-suara itu untuk tidak masuk semakin dalam ke rekaman indra pendengarannya. Bulir panas air mata mengalir deras dari kedua matanya yang masih tertutup terlalu rapat. Luka baru terbuka tatkala ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak tangis.
Gambaran terakhir yang dilihatnya sebelum gelap menjemput, adalah wajah ibunya yang tengah tersenyum ketika pedang berbau amis dan berlumur darah itu menembus jantungnya.
Bleach © Tite Kubo
Kieli © Yukako Kabei & Shiori Teshirogi
Chapter 1: The Meeting
A/N: niatnya sih one-shot. Tapi karena terlalu terlena… yaaaah… anda tahu seperti apa jadinya. Hehe… dapat inspirasi dari manga keren Kieli. Saya berharap kalau manga itu lebih dari dua volume.
Dibawakan untuk anda dari hiruk pikuk kebosanan yang saya sebut kehidupan.
Kedua matanya terbuka diiringi teriakan kecil dari bibirnya. Yang ia lihat adalah langit-langit berwarna kusam dan tangannya yang meraih ke atas. Nafasnya tersengal dan bulir keringat mengalir deras dari keningnya. Ketika deru nafasnya mendekati normal, ia berusaha mengamati keadaan di sekitar. Ternyata ia masih berada di tempat kemarin. Stasiun lama yang dibiarkan tak terurus. Punggungnya terasa sakit karena berbaring di atas kursi besi. Dari jendela sebelah kanannya, ia bisa melihat jajaran rel yang sudah tak terpakai.
Ketika terlalu lama melihat ke arah samping, rasa pusing mulai kembali menyerang kepalanya. Dengan tangan kanannya, ia memijit pelan keningnya untuk membantu menghilangkan sedikit rasa sakit. Ketika merasa cukup baikan, ia berdiri dan segera meninggalkan stasiun lama tersebut.
Mimpi tadi, adalah memorinya sembilan puluh delapan tahun yang lalu.
Kaki mungil yang terbalut sepatu flat hitam itu berjalan riang menuju taman kota. Gaun putih selutut yang dikenakannya melambai menyesuaikan langkah kakinya. Kedua tangannya menggenggam beberapa buku yang ia bawa di depan dadanya. Senyum kecil tersungging di bibir kemerahannya ketika ia semakin mendekati pintu taman.
Sesaat setelah ia melewati pintu gerbang taman yang besar dan tinggi, ia segera mengikuti jalan setapak di sebelah kiri. Ketika jalan setapak itu berbelok lima puluh lima derajat ke arah kanan, gadis mungil itu tetap berjalan lurus. Kini ia tak lagi menginjak beton jalan setapak, melainkan tanah semi kering berwarna hitam dengan sedikit rumput hijau dan daun-daun kering. Senyum kecilnya semakin melebar ketika ia melihat apa yang ada di depannya.
Pohon besar dengan akar yang mencuat dari tanah dan ranting yang menjuntai ke bumi. Daun hijaunya yang lebat membuat suasana di sekitar pohon itu menjadi lebih sejuk daripada tempat lain. Ini adalah tempat favoritnya. Ia bisa menghabiskan waktunya dengan berlama-lama duduk di dahan pohon tengah sambil membaca buku yang ia bawa dari asrama.
Namanya adalah Kuchiki Rukia. Gadis berumur tujuh belas tahun yang tinggal di asrama sekolah tak jauh dari taman kota. Ia selalu pergi ke tempat favoritnya ketika sekolah usai dan baru akan kembali ketika malam telah tiba. Walau ia selalu membuat pengurus asrama kewalahan karena tingkahnya dan membuatnya sering diberi hukuman, ia sama sekali tak berhenti mengunjungi tempat ini.
Dengan cekatan ia memanjat pohon yang ia kenal benar seluk-beluk batang dan rantingnya. Gaun putihnya sama sekali tak ia cemaskan karena ia sudah mahir memanjat. Bahkan ketika tulang tangan kirinya retak dua tahun lalu, ia tetap pergi memanjat dan menolak untuk berdiam diri di kamar asrama hingga kondisinya membaik.
Dengan tingkahnya yang seperti itu, tak heran jika ia sama sekali tak memiliki teman di asrama. Bahkan ia tak punya teman sekamar walau ada dua ranjang yang disediakan. Sejauh yang bisa dia ingat, ia tak memiliki siapapun yang dekat dengannya. Masa kecilnya dihabiskan dengan bertahan hidup dengan mencuri di jalanan hingga akhirnya ia dipungut keluarga Kuchiki yang mengaku saudara jauhnya. Walau sekarang ia telah menyandang sebuah marga dibanding hanya nama kecil, tetap membuatnya berdiri di atas kedua kaki mungilnya. Beberapa tahun tak lama setelah ia diadopsi, kakak tirinya dan anggota keluarga lain ditemukan tewas dibantai di mansion dalam satu malam.
Tak mengherankan mengingat nama Kuchiki merupakan saingan terkuat bagi keluarga lain yang menggeluti bidang yang sama untuk penghidupan, politik. Rukia yang masih berumur sepuluh kala itu selamat karena ia berada di tempat favoritnya. Duduk meringkuk di sela-sela akar yang mencuat sambil menangis terisak mengingat teriakan kakak tirinya yang menyuruhnya untuk lari. Dua tahun setelah penyelidikan tiada henti, akhirnya kasus itu ditutup dari pengadilan karena tak banyak memiliki petunjuk dan bukti mengenai pelaku. Rukia sama sekali menolak untuk bicara karena ia tak mau mengingat lagi peristiwa itu dan sebagian ingatannya malam itu terhapus karena rasa panik yang berlebihan. Bahkan ia sempat koma selama satu minggu dan harus menjalani terapi bertahun-tahun karenanya.
Ia membuka salah satu buku di halaman seratus tiga yang sudah ia tandai dengan lipatan kecil di ujung halaman kemarin. Buku-bukunya yang lain ia letakkan di antara dahan rimbun yang tak akan membuatnya jatuh. Dengan bersandar di batang pohon yang semakin menua dan sinar matahari dari sela dedaunan, ia mulai tenggelam di dunia mini miliknya sendiri, imajinasi.
Dua jam berlalu sejak ia berkutat dengan kata-kata dalam buku mungil dengan sampul tebal berwarna coklat tersebut. Satu lagi buku sastra yang ia baca dan ia rekam jalan ceritanya di dalam otaknya. Matahari kini berada di ujung barat dengan warna keemasan dan semburat warna hijau kebiruan dan ungu di sela-sela sinarnya yang masih tersisa. Ini adalah waktu yang ia tunggu-tunggu. Ia terlalu suka melihat warna sinar yang berbeda tiap harinya sampai matahari tenggelam sempurna. Dan kemudian, ia akan memanjat ke dahan yang lebih tinggi untuk menengadah ke atas, melihat langit hitam kebiruan dengan bulan di sebelah timur dan serakan bintang yang tak henti berkedip. Ia akan melihatnya sampai lehernya terasa sakit dan kaku dan badannya menggigil karena udara malam. Di saat itulah, baru ia akan kembali ke asrama.
Di saat kedua kakinya menapak tanah, ia melihat sejumput benda berwarna orange di sisi lain dari batang pohon. Ketika ia memiringkan kepala untuk menengok, ia tersentak dan terjatuh ke belakang, membuat gaun putihnya ternoda tanah dan debu. Jantungnya berpacu cepat dan nafasnya menjadi pendek. Tubuh yang bersandar itu tak bergerak dan sama sekali tak ada hawa kehidupan di dalamnya.
Tangannya gemetar ketika ia menjulurkannya ke arah wajah di hadapannya. Ia menelah ludah untuk mengurangi sedikit rasa takut dan gugup yang tengah ia rasakan. Ia tersentak ketika melihat kedua mata di depannya terbuka dan ia kembali merasakan kerasnya tanah di punggungnya ketika sebuah tangan menutup bibir dan menindih tubuhnya. Pandangannya sedikit mengabur karena air mata yang mulai keluar dari matanya. Ia berusaha melepaskan diri dari tindihan laki-laki di atasnya. Laki-laki dengan rambut berwarna orange cerah yang lima detik lalu terdiam tak bernyawa.
"Berhenti bergerak. Kau sungguh merepotkan." Suaranya yang sedikit parau dan rendah itu membuat tubuh Rukia semakin gemetar ketakutan. Ia mendengar kabar jika akhir-akhir ini ada pemerkosa yang suka berkeliaran di sekitar taman di malam hari. Pikirannya yang diliputi rasa panik membuatnya mengacuhkan fakta bahwa laki-laki di hadapannya ini bukan manusia.
"Heh… hehe… kenapa kau menangis, hm? Aku akan melepaskan bibirmu jika kau berjanji tak akan berteriak." Rukia hanya mengangguk cepat mendengarnya. Hanya ini satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk pergi menjauh dari laki-laki aneh di hadapannya. Ketika ia melepaskan telapak tangannya dari bibir Rukia, dengan sekuat tenaga Rukia berteriak.
"AAAAAG-HMPH! HHHHMMM!" tangan besar itu kembali menutup rapat bibir Rukia. Air matanya semakin mengalir deras ketika ia menyadari jika laki-laki yang tengah menindihnya ini mempunyai kekuatan berkali-kali lipat darinya yang bertubuh mungil untuk ukuran seorang gadis tujuh belas tahun.
"Ck! Sudah kubilang jangan berteriak. Merepotkan." Dengan tetap membungkam mulut Rukia, laki-laki itu mengangkat tubuhnya dan kini ia membayangi tubuh Rukia dengan bertumpu pada tangan kirinya di tanah dan kedua kakinya yang masing-masing berada di samping kaki Rukia yang tertutup rapat. "Dengar, aku tak akan melakukan apapun padamu. Dan aku bukan pemerkosa, kau mengerti? Jadi jangan berteriak dan berhentilah menangis. Aku benci melihat air mata." Dan dengan kalimat yang diucapkan dengan tegas dan nada yang sedikit meninggi, laki-laki itu melepaskan tangannya dan kembali duduk bersandar pada batang pohon.
Perlahan Rukia duduk dan mengambil posisi sejauh mungkin dari si laki-laki. Dengan punggung tangan, ia mulai mengusap air matanya sebersih yang ia bisa. Ia sama sekali tak peduli dengan gaun putihnya yang kini benar-benar kotor karena tanah. Mengambil nafas panjang, Rukia berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak berhenti berdegup kencang sejak tadi.
Ia melihat dengan seksama laki-laki yang tak jauh di dekatnya. Matanya kembali terpejam dengan kedua tangan ia lipat di depan dada bidangnya. Bahkan Rukia bisa melihat dengan jelas gerak ritmis dari dadanya yang bergerak naik-turun untuk mengambil nafas. Ketika pikirannya kembali jernih, fakta mencengangkan yang tadi ia ketahui kembali menginvasi kepalanya.
Dengan cepat diarahkannya kedua tangan untuk menutup mulutnya yang hendak berteriak karena spontan. Matanya terbelalak lebar dan tubuhnya kembali gemetar melihat laki-laki di hadapannya. Ini baru pertama kali baginya untuk melihat sesuatu di luar kebiasaan di samping arwah yang berkeliaran di sekitarnya.
Selama hidupnya, Rukia tak ingat sejak kapan ia mulai bisa melihat arwah. Ia merasa kemampuan ini sudah ada bersamanya ketika ia lahir. Bahkan ia bisa berkomunikasi dengan mereka. Tak ada seorangpun yang tahu mengenai kemampuannya yang satu ini. Ia sudah cukup dibenci untuk alasan yang tak jelas, dan ia tak butuh alasan lain untuk semakin dijauhi dan dibenci.
Laki-laki itu membuka mata kanannya dan menatap Rukia. Semakin lama ia menatap Rukia, semakin dalam kerutan yang berada di dahinya. "Aaah… sebenarnya ada apa denganmu? Berhenti memandangiku seperti itu. Kau terlihat seperti menelanjangiku dengan dua mata besarmu yang berwarna violet itu."
Wajah Rukia terasa panas. Kata-kata yang dilontarkan laki-laki itu sungguh vulgar dan membuat darahnya mendidih karena geram dan malu. Untuk sesaat, ia tak peduli jika sedang berhadapan dengan orang mati yang benar-benar hidup. Dengan sekuat tenaga, ia melontarkan tinju kirinya ke arah rahang laki-laki tersebut.
"AGH!" Rukia menarik kembali tangannya yang terasa nyeri sehabis membuat laki-laki vulgar di depannya merasakan sedikit sakit. Dengan air mata yang sedikit keluar dari pelupuk matanya, ia mengusap jari-jarinya dengan rambut raven pendeknya. "A-apa-apaan kau, gadis kecil? Memangnya aku berbuat apa padamu?" laki-laki itu memegang rahangnya yang terasa sakit sambil ia elus perlahan. Matanya yang kini ia tahu berwarna amber itu menatapnya lekat.
Dengan masih sedikit gemetar karena rasa sakit, Rukia berusaha menemukan suaranya yang entah kenapa menghilang sejak ia bertemu dengan laki-laki ini. "I-itu karena kau mengatakan hal yang vulgar! Dan jangan menyebutku gadis kecil! Aku ini sudah tujuh belas tahun, kau tahu? Kau bodoh atau apa? Hanya karena badanku yang mungil, bukan berarti aku ini masih kecil!" nafasnya tersengal ketika ia selesai meneriakkan beberapa pendapatnya kepada si laki-laki.
Laki-laki vulgar di hadapannya itu hanya menatap ke arahnya dengan mata terbelalak lebar dan punggung yang sedikit ditekan ke arah batang pohon secara reflek karena kaget dengan teriakan Rukia yang dianggapnya secara tiba-tiba dan berlebihan. Beberapa saat setelah meredakan rasa kagetnya, tubuhnya bergetar dan ia tertawa terbahak-bahak hingga perutnya terasa sakit dan air mata keluar dari ujung matanya. "A-AHAHAHAHAHAHAHA~ HAHAHA! Khhh~ khukhu…"
"A-apa? Kenapa kau tertawa?" berusaha menahan rasa malunya mati-matian, Rukia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat dan mencengkeram erat gaunnya hingga akan meninggalkan bekas kusut.
"Heh… kau tahu kan?" setelah keadaan mulai sedikit tenang dan tanpa degup jantung yang terlalu kencang, Rukia menatap heran ke arah laki-laki yang kini tengah memandangi langit dengan menyandarkan tubuhnya dengan santai ke batang pohon. Tangan kanannya ia letakkan santai di atas lutut kaki kanannya yang ia tekuk, sedangkan tangan dan kaki kirinya ia biarkan begitu saja.
"Apa maksudmu?"
"Jangan bercanda. Kau tahu apa maksudku." Dan laki-laki itu kembali menutup matanya sambil menunduk, berusaha menutupi raut wajahnya dengan rambutnya yang sedikit panjang.
"Oh…" Rukia hanya menjawab laki-laki itu dengan santai. Bahkan ia kini tengah mengelus gaunnya yang tadi ia cengkeram kuat hanya untuk membuatnya sedikit terlihat lebih rapi.
"Oh?" dua pasang amber dan violet bertatapan seketika.
"Hm?" Amber dengan ekspresi heran dan kesal di dalamnya, violet dengan ekspresi heran total di dalamnya.
"AGH! Kau benar-benar membuatku kesal, gadis kecil!" laki-laki itu mengacak rambutnya karena merasa sebal dan Rukia hanya diam menatapnya. Tentu saja setelah melempar kerikil ke arah kepala orange laki-laki tersebut.
"Bagaimana kau tahu kalau aku tahu tentangmu?" tanpa sadar Rukia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah laki-laki tersebut agar ia bisa dengan jelas melihat ekspresi wajahnya di bawah cahaya remang lampu taman yang terletak cukup jauh.
"Tahu saja." Jawaban yang hanya sekenanya itu membuat darah Rukia kembali mendidih. Entah kenapa sejak tadi ia ingin memukul laki-laki vulgar di hadapannya hingga babak belur. "Pulanglah. Ini sudah malam. Tak baik pulang larut untuk gadis kecil sepertimu." Wajah laki-laki itu kini tersungging seringai kecil hanya untuk mengganggu Rukia.
"Huh!" Rukia hanya membuang muka. Merasa sebal karena lagi-lagi ia disebut gadis kecil. Tapi rasa kesalnya menghilang ketika ia mendengar suara tawa kecil yang berasal dari bibir si laki-laki. Dengan muka memerah, Rukia menatap lekat-lekat raut wajah si laki-laki yang tengah mengendurkan otot-otot wajahnya untuk sekadar bersantai.
"Apa? Suka padaku?" wajah Rukia memerah hingga ke tengkuk lehernya. Terlihat jelas karena kulitnya yang putih seperti porselen.
"B-bodoh! Mana mungkin aku suka laki-laki vulgar seperti dirimu?" mata laki-laki di hadapannya terbelalak lebar mendengar sebutan yang diberikan Rukia khusus untuknya.
"Vu-vulgar?" rasa syok terlihat jelas di kedua mata si laki-laki. Rukia yang semakin memerah karena terus diperhatikan, semakin berteriak.
"Ya, vulgar! Dengan kata lain, kau itu laki-laki mesum—"
"H-hey! Kecilkan suaramu!" laki-laki itu terlihat panik. Tak ingin ada orang yang tiba-tiba datang dan salah sangka jika ia benar-benar orang mesum dan dibawa ke kantor polisi.
"—lagipula, sudah kubilang jangan sebut aku gadis keci-hmp!" mata Rukia terbelalak lebar ketika wajah si laki-laki itu berada terlalu dekat dengan wajahnya. Tangannya yang besar sekali lagi menutup mulut Rukia. Mungkin jika laki-laki itu sedikit memperhatikan wajah Rukia ketimbang melihat keadaan sekitar, ia bisa melihat wajah Rukia yang kemerahan dan merasakan wajahnya yang semakin memanas dari balik telapak tangannya.
"Sudah kubilang jangan berteriak. Merepotkan kalau ada yang salah paham. Susah payah aku mempertahankan image ini tahu! GEH!" dengan cepat laki-laki itu melepas tangannya karena rasa sakit yang tiba-tiba ia rasakan. Berusaha mengurangi rasa sakit, laki-laki itu menatap sang pelaku yang menatapnya dengan alis yang bertekuk sambil memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya.
"Rasakan! Beraninya menyentuhku dengan tanganmu itu!" tanpa menunggu respon dari si laki-laki, Rukia berdiri dan membersihkan gaunnya sebersih mungkin. Dipungutnya buku-buku yang sejak tadi tergeletak di tanah dan digenggamnya erat-erat. Tanpa sepatah kata, Rukia berbalik dan berjalan menuju pintu gerbang taman untuk kembali ke asrama. Kedua tangan yang memegang bukunya terlalu erat terasa sakit karena ia menyadari pandangan menusuk dari mata amber si laki-laki yang tengah menatap punggungnya. Tapi ia sama sekali tak menyadari bahwa pandangan itu kosong.
Dengan hati-hati ia membawa nampan berisi makan siangnya ke arah meja di paling ujung. Ia ingin sekolah hari itu berlalu dengan cepat. Kepalanya terasa sakit karena ia tak bisa berhenti memikirkan laki-laki yang ia temui kemarin. Tentang siapa dirinya sebenarnya, mengapa ia bisa tetap hidup walau sudah mati, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berputar di kepalanya sejak kemarin.
Tapi ia mengingat satu hal yang tak mungkin. Mengenai legenda di saat perang berlangsung lebih dari delapan puluh tahun yang lalu. Mengenai tentara yang tak bisa mati, 'The Undying.' Pikirannya hanya bisa sampai pada kesimpulan itu, sebab ia baru kali ini bertemu orang hidup yang sudah mati tanpa mengalami pembusukan pada tubuh. Biasanya ia hanya melihat arwah di sekitarnya. Bahkan sekarang ada arwah seorang nenek tua yang tengah menatapnya makan dari bangku di depannya. Rukia hanya bersikap tak acuh karena ia selalu berada di sana ketika jam makan siang.
Kantin kini semakin penuh dengan gerombolan siswi yang datang. Ia bisa mendengar bisikan tak menyenangkan dari meja yang terpaut lima meter dari tempatnya duduk. Ia hanya tetap makan karena sudah terbiasa dengan perlakuan itu. Setidaknya, sampai sekarang mereka tak berbuat apapun yang mencelakainya. Selama hal itu tak terjadi, ia akan tetap diam.
Setelah selesai dengan makan siang, ia menyelinap keluar dari sekolah untuk pergi ke taman. Ia memutuskan untuk membolos dua mata pelajaran terakhir hari itu dengan alasan tak bisa berkonsentrasi. Daripada tak bisa berpikir dan semakin merasa penasaran, akan lebih bagus jika ia pergi untuk bertanya langsung pada laki-laki kemarin. Setidaknya ada satu hasratnya yang terpenuhi. Di dalam hati, ia hanya berharap laki-laki kemarin masih berada di sana hari ini.
Udara siang ini tak begitu panas, matahari sejak tadi timbul tenggelam di sela-sela awan putih yang tersebar terlalu banyak hari itu. Rok hitam sekolahnya yang berhenti di bawah lutut berkibar ketika ia berlari menjauhi sekolah lewat jalan belakang, jalan yang tertutupi rimbunan pohon dan semak. Jika ia mengikuti jalan setapak yang sudah dihafalnya bertahun-tahun itu, ia akan sampai di samping gereja yang dekat dengan taman kota. Mulai dari sana, ia bisa berjalan santai sampai ke taman.
Keringat sedikit mengalir dari keningnya. Karena tak membawa apa-apa selain tubuhnya, ia menyeka keringatnya dengan lengan baju panjang seragam. Ada satu dua orang yang menatapnya heran karena berada di luar ketika jam sekolah tengah berlangsung. Tapi Rukia sama sekali tak peduli dan tetap berjalan menuju tempat favoritnya.
Ketika ia melihat siluet batang pohon besar itu, Rukia berhenti. Apa yang akan ia lakukan jika ia tak ada di sana. Tapi yang lebih mengkhawatirkan, komentar menyebalkan apa yang akan dilontarkan laki-laki vulgar itu jika ia tahu kalau Rukia membolos sekolah hanya ingin bertanya sesuatu padanya. Urat nadi di keningnya berkedut ketika menyadari apa yang tengah ia pikirkan. Ia tak peduli dengan apa yang akan diasumsi laki-laki itu terhadapnya. Yang penting ia mendapatkan jawaban dan kepalanya tak lagi merasa sakit.
Rukia mengambil langkah kecil untuk mendekati pohon itu. Lagi-lagi ia berhenti karena mendapati bahwa tempat itu tak ada siapapun. Bahkan rumput di sekitar pohon itu tak terdapat jejak bekas telapak sepatu ataupun tubuh yang duduk bersandar di batang pohon. Sesaat ia merasakan sakit di dadanya, kecewa karena merasa kembali ditinggalkan sendiri—
"Hey!" Rukia terlonjak ketika suara berat itu masuk ke pendengarannya. Dengan sedikit panik ia menoleh ke berbagai arah untuk mencari sang sumber suara. "Di atas. Di atas." Seketika itu ia mendongak dan matanya terbelalak mendapati laki-laki itu bergelantungan terbalik dengan bertumpu pada kedua kakinya di ranting. Rambut orangenya bergerak mengikuti ritme angin yang berhembus dan ia melambai santai pada Rukia dengan wajahnya yang tetap terlihat datar walau kerutan di dahinya masih tetap ada. Dan entah kenapa Rukia merasa semakin kesal.
Sekarang mereka berdua tengah duduk di ranting pohon dengan dipisahkan batang pohon yang lebar dan besar itu. Sudah lima menit berlalu dan mereka masih tetap diam. Di dalam otak mereka, ini seperti sebuah kompetisi. Siapa yang bicara duluan, dia yang kalah. Tapi karena mereka berdua sama-sama memiliki sifat keras kepala dan tak suka kalah, mereka berusaha bertahan hingga tingkat ukur emosi yang mereka miliki mencapai titik puncak dan meledak bersamaan.
"Hey!" "Oi!"
"Apa?" "Apa?"
"Geez… kau mau bicara apa gadis kecil?"
"Tidak ada!"
"Hhhh… kau yang datang kemari dan memasang wajah seperti itu. Mana mungkin tidak ada?" laki-laki itu memilin ujung poninya yang sudah melewati mata dan menyentuh bagian atas pipinya. Sejenak Rukia merasa ragu dengan apa yang ingin ia ketahui. Bagaimana kalau ini hanya khayalannya saja? Bagaimana kalau ia benar-benar manusia? Bagaimana kalau ia menertawainya? "Hey, aku tak akan memaksamu untuk bicara kalau kau segitunya tak mau."
"B-bukan! Bukan seperti itu." Rukia menundukkan wajahnya dan menatap kedua tangannya yang mencengkeram erat rok sekolahnya.
"Hm? Lalu?" dari ujung matanya, Rukia bisa melihat mata amber laki-laki itu tengah menatapnya.
"Aku… hanya merasa tak enak kalau bertanya."
"Heeeh… kalau begitu, aku saja yang bicara. Kau dengarkan dan tak usah menyela." Rukia menatap laki-laki di sampingnya dengan kaget. Jantungnya berdegup kencang memikirkan hal apa yang akan diketahuinya. Dengan cepat ia menganggukkan kepalanya. "Aku ini…"
Laki-laki itu menggantung kalimatnya untuk melihat ke arah awan yang bergerak pelan. Rukia menelan ludahnya ketika laki-laki itu menoleh dan menatapnya. "Tidak tertarik pada gadis dengan dada rata."
Rukia merasa gelap mata. Kepulan asap rokok yang dihembuskan laki-laki itu ke arah wajahnya membuat ia dengan cepat melayangkan tinju kanannya. Dengan suara hantaman yang terdengar memuaskan di telinganya, Rukia bersiap untuk melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi ada laki-laki yang benar-benar vulgar itu. Tetapi laki-laki itu hanya menghindari tiap serangan Rukia dengan tertawa kecil.
Karena terlalu bersemangat untuk membuat laki-laki itu babak belur, Rukia sama sekali tak menyadari jika kakinya terpeleset dari ranting yang ia pijak. Ia hanya bisa menutup mata dan berpegangan pada apapun yang bisa diraihnya. Secara tak sengaja, yang bisa ia raih hanya tubuh laki-laki itu. Rukia membuka mata dan mendapati sepasang amber yang menatapnya lekat. Rokok yang ia hisap tergantung pasrah di sela bibirnya. Rukia merasa tak nyaman karena ia tengah melingkarkan kedua tangannya di dada laki-laki itu dan merasakan salah satu tangan kuat si laki-laki yang tengah menahan punggungnya.
"Heh… kau lucu sekali." Rukia menatap wajah laki-laki itu hingga tawa yang ia dengar dan lihat menghilang dan kembali menampakkan amber yang sempat tertutup karena tertawa. "Kalau kau berpikir aku ini undying, kau sama sekali tak keliru."
