Disclaimer : I don't own any character in this fanfiction. All of characters in this fanfiction belongs to Square Enix
Seorang gadis berambut hitam menatap keluar jendela apartemen nya sambil sesekali mengetik di depan laptop nya. Gadis itu duduk di atas sofa yang diletakkan di depan jendela dan membuka tirai nya lebar-lebar.
Perhatian gadis itu terpecah antara tugas presentasi kantor yang harus dipresentasikan besok pagi dan pemuda di seberang jendela itu.
"Hey, Tifa. Lagi-lagi kau termenung di depan jendela. Apa kau sedang menatap si 'pemuda di seberang jendela' itu ?" , sebuah suara dan tepukan di bahu membuyarkan fokus gadis itu. Dengan cepat gadis itu menutup tirai.
"Ti-tidak." , gadis itu menjawab dengan tergagap dan menatap teman sekamar sekaligus sahabatnya, Yuffie.
"Benarkah ? Akhir-akhir ini aku sering melihatmu menatap jendela di malam hari, lho."
Tifa terdiam. Akhir-akhir ini ia memang sering menatap jendela. Sebetulnya, menatap ke arah jendela bukanlah hal yang disukainya, namun setiap malam ia selalu menemukan objek yang menarik perhatian nya di seberang jendela.
Sang 'objek' menarik bagi Tifa adalah seorang pemuda berambut pirang jabrik yang selalu menatap ke arah jendela dengan tatapan yang sulit diartikan setiap malam sambil sesekali merokok atau meminum sebotol minuman keras. Ekspresi wajah pria itu terlihat muram. Tifa tak tahu apa masalah di dalam kehidupan sang pria tak dikenal, namun ia sedikit penasaran akan siapa sosok sebenarnya dari pria itu.
Harus diakui, hal utama yang menarik atensi Tifa adalah penampilan pria itu yang terlihat menawan dengan wajah tampan. Ia penasaran apa hal yang membuat seorang pria yang begitu sempurna terlihat muram.
"Itu karena aku sedang mencari inspirasi. Akhir-akhir ini banyak tugas kantor dan aku benar-benar stress."
Yuffie berdecak kesal mendengar Tifa yang terus menerus mengelak. Sebetulnya ia sudah tahu bila saat ini Tifa sedang mengagumi seorang pemuda yang sering dilihatnya setiap malam diseberang jendela. Tifa tak pernah mengatakan nya secara langsung, namun Yuffie adalah tipe orang yang tahu segalanya bahkan ketika orang itu berusaha merahasiakan nya.
"Hm… kudengar Aerith baru saja pindah ke apartemen ini dan tinggal di tower A yang berada di seberang tower kita. Bagaimana bila hari sabtu nanti kita mengunjungi nya ?"
Seketika, Tifa mengalihkan perhatian dan menatap Yuffie dengan antusias.
"Boleh saja. Bagaimana bila besok kita mengunjungi nya sepulang kerja ?"
Yuffie tersenyum penuh arti, terutama setelah melihat ekspresi Tifa yang tiba-tiba saja terlihat bersemangat dan antusias.
"Ok"
….*….
Keesokan hari nya, sepulang bekerja, Tifa dan Yuffie kembali ke apartemen nya setelah sebelumnya membeli sebuah jam dinding dan lukisan sebagai hadiah atas kepindahan Aerith.
Tifa dan Yuffie berjalan beriringan memasuki tower A. Seorang satpam berdiri di depan pintu masuk apartemen seolah menghadang Tifa dan Yuffie.
"Siapa yang ingin anda temui ?" , ucap satpam itu dengan wajah yang terlihat jauh dari kesan ramah.
"Aerith Gainsborough, kamar 1028. Kami berdua adalah teman nya, aku adalah Yuffie, sementara dia adalah Tifa" , Yuffie menjawab sambil menunjuk Tifa yang berdiri di samping nya.
"Sebentar, saya akan menghubungi nya terlebih dahulu."
Satpam itu meraih gagang telepon yang tergantung di dinding di samping pintu masuk apartemen, sementara pintu kaca terbuka dan terlihat seorang pria berjalan keluar dari pintu itu.
Jantung Tifa berdebar seketika. Pandangan nya bertemu sejenak dengan tatapan pria itu, dan pria itu menatapnya sekilas dan mengangkat sedikit sudut bibir nya membentuk senyum tipis sebelum berlalu meninggalkan nya.
Tubuh Tifa seolah membatu seketika. Ia hanya terdiam tanpa sanggup menyapa atau setidaknya membalas senyuman pria itu.
Pria itu terlihat sangat tampan bila dilihat dari dekat. Pria itu memiliki iris aquamarine dan tatapan yang terlihat menawan sekaligus memancarkan setitik kesedihan. Pria itu memiliki hidung mancung serta bibir tipis kemerahan yang sangat indah. Otot lengan dan perut pria itu menyembul di balik t-shirt hitam yang dikenakan nya.
Tanpa sadar, Tifa terus menatap pria itu hingga pria itu meninggalkan tower dan kini bahkan sudah tak terlihat.
"Tifa.. ayo masuk. Satpam sudah mempersilahkan kita masuk." , ucap Yuffie sambil mengguncang tubuh Tifa. Namun, Tifa masih tak bergeming.
"Tifa Lockhart !", teriak Yuffie tepat di telinga Tifa.
Seketika, Tifa terlonjak kaget. Ia menatap Yuffie dengan tatapan binggung.
"Mengapa kau berteriak tepat di telinga ku ? Suara mu memekakan telinga, tahu" , keluh Tifa sambil menutup lubang telinga nya dengan jari untuk menghilangkan efek berdenging akibat teriakan Yuffie.
"Dari tadi aku memanggilmu, namun kau mengacuhkanku." , balas Yuffie sambil memelotototi Tifa. "Sudahlah, cepat masuk."
Yuffie menarik tangan Tifa melewati pintu kaca. Satpam yang sejak tadi menahan pintu menatap Tifa dengan tatapan jengkel.
"Maaf." , ucap Tifa singkat dengan perasaan bersalah pada satpam itu.
"Ya. Tidak apa-apa, nona" , jawab satpam itu dengan keramahan yang sedikit dipaksakan.
Yuffie dan Tifa melewati pintu dan menekan tombol naik pada lift. Tak lama kemudian, lift terbuka dan Yuffie masuk ke dalam lift bersama Tifa.
Yuffie menekan tombol angka 10 dan lift pun mulai bergerak naik. Tak ada seorangpun di dalam lift selain mereka berdua.
"Pria yang tadi lewat adalah pria yang selalu kau tatap di seberang jendela, kan ?" , ucap Yuffie sambil tersenyum menatap Tifa.
"Kurasa ya. Mereka memiliki rambut pirang yang sama. Dan sepertinya mereka seusia."
"Pria itu sangat tampan, tahu. Dan tadi dia tersenyum saat berjalan melewatimu."
"Tersenyum padaku ? Tak mungkin, Yuffie. Kurasa ia bahkan tidak sadar bila aku terus memperhatikan nya. Atau kalaupun ia menyadarinya, seharusnya ia merasa terganggu." , ucap Tifa dengan rasa tidak percaya yang menguasai diri nya.
"Aku serius. Kau ini benar-benar membuatku cemburu, tahu. Pria itu sangat tampan dengan tubuh yang sexy.", kali ini Yuffie terlihat benar-benar cemburu. Ia dapat merasakan bila Yuffie seolah mendukung nya untuk mendekati pria itu, atau setidaknya mencari tahu mengenai pria itu.
"Ah.. bukankah kau sudah memiliki kekasih ? Siapa namanya ? Aku tidak ingat."
"Vincent Valentine ?"
"Ya, itu maksudku. Aku yakin ia akan sedih bila ia tahu kau memuji pria lain seperti itu.", jawab Tifa sambil menata[ Yuffie yang seketika terlihat jengkel.
"Tidak mungkin, jangankan aku. Bahkan ia tak peduli dengan dirinya sendiri. Lihat saja, bahkan rambut nya sama sekali tak terawat dan ia membiarkan nya tumbuh panjang seperti itu. Kurasa ia bahkan tak pernah memotong rambut nya." , keluh Yuffie sambil memonyongkan bibir.
Tifa hampir tersenyum melihat kelakuan Yuffie. Sebagai sahabat, ia sangat mengenal kepribadian Yuffie. Yuffie adalah seorang gadis centil yang lebih suka membicarakan pria-pria tampan dibanding kekasih nya sendiri.
"Tidak juga. Sebenarnya kekasih mu juga tampan, kok. Hanya saja, sepertinya ia adalah seorang anti sosial."
"Pria berambut pirang itu lebih tampan tahu. Dan aku yakin ia pasti memiliki banyak teman, baik dan perhatian. Tak seperti kekasihku itu. " , Yuffie menggembungkan pipi dengan jengkel. "Bodoh nya aku, kenapa dulu aku menerima saja saat ia menyatakan cinta, sih ?"
Tifa tak membalas perkataan Yuffie. Yuffie memang selalu mengeluhkan kekasih nya hampir setiap kali ia membahas soal kekasih nya. Sebetulnya, Tifa ingin menjawab keluhan Yuffie dengan pandangan pribadi nya. Namun, untuk saat ini ia memilih untuk mengacuhkan Yuffie. Ia masih mengingat pertemuan nyata dengan pria yang selalu ditatap nya setiap malam di jendela serta senyuman singkat pria itu.
Pintu lift terbuka di lantai sepuluh. Yuffie dan Tifa segera keluar serta berjalan menuju kamar apartemen Aerith.
"Aku mendukungmu bersama pria itu lho. Bagaimana bila kita menanyakan mengenai pria itu pada Aerith ?Mungkin saja dia kenal.", ujar Yuffie setelah mereka meninggalkan lift.
"Belum tentu. Lagipula bukankah Aerith baru saja pindah ke apartemen ini ? Aku malu menanyakan itu padanya."
"Bukankah jendela kamar pria itu berhadapan dengan jendela kamar kita ? Mungkin saja ia juga tinggal di lantai sepuluh seperti kita."
"Ya sudah. Kalau begitu akan kucoba menanyakan nya" , jawab Tifa tanpa menyembunyikan rasa penasaran yang kini dirasakan nya.
….*….
Aerith membukakan pintu dan mempersilahkan Yuffie dan Tifa duduk di sofa putih yang terletak di tengah ruangan.
Tak lama kemudian, Aerith kembali dengan membawakan nampan berisi tiga gelas air dan beberapa toples makanan kering.
Yuffie dan Tifa memberikan kado yang sudah dipersiapkan untuk Tifa dan berkata, "Ini untukmu."
"Terima kasih, sebetulnya tidak perlu repot membawakan hadiah untukku.", ucap Aerith sambil memindahkan gelas dan toples ke atas meja.
Tifa berusaha memberanikan diri bertanya pada Aerith dan menghembuskan nafas perlahan.
"Um.. Aerith, boleh kah aku bertanya padamu ?"
"Tanyakan saja. Sungkan sekali padaku."
"Uh.. I-itu.. a-apakah kau mengenal pria berambut pirang jabrik dengan mata biru ? Dia tinggal di tower seberang kamar kami." , Tifa berkata dengan cepat dalam satu tarikan nafas. Ia dapat merasakan wajah nya memerah bagai kepiting rebus dan jantung nya berdebar sangat cepat.
Aerith mencoba mencerna perkataan Tifa dan mengingat sejenak. Kemudian ia menjentikkan jari dan berkata.
"Oh.. Iya aku kenal, nama nya Cloud Striffe. Ia juga belum lama pindah ke apartemen ini. Memangnya kenapa ?"
"Setiap malam Tifa selalu menatap pria itu di seberang jendela. Dan tadi merupakan kali pertama ia bertemu dengan pria itu. Dan kau tahu, pria itu langsung tersenyum pada nya." , Yuffie berkata dengan antusias. "Benar-benar membuatku cemburu.. ck"
Aerith dan Tifa saling bertukar pandang dan menatap Yuffie. Yuffie sama sekali tidak berubah dibandingkan saat masih bersekolah dulu. Yuffie tetaplah seorang gadis yang cerewet dan hobi bergosip.
"Oh, jadi kau tertarik padanya, Tifa ?" , tanya Aerith sambil menatap wajahTifa yang kini memerah.
"T-tid-"
Ucapan Tifa terputus. Yuffie menyela ucapan Tifa.
"Ya, Tifa tertarik pada pria itu."
"Bagaimana bila aku memperkenalkanmu pada Cloud ? Aku memiliki nomor telepon nya bila kau mau. Namun, ia hampir tidak pernah mengangkat telepon.", ujar Aerith sambil membuka toples cookies dan memakan nya.
Wajah Tifa semakin memerah. Perlahan ia mengangukkan kepala.
"Bagaimana kepribadian pria itu ?", tanya Tifa. Ia terlihat lega berhasil mengekspresikan rasa penasaran yang selama ini ia simpan rapat-rapat dalam hati nya.
"Menurutku dia cukup ramah. Namun ia pendiam dan penyendiri. Aku jarang melihatnya bersama orang lain selain beberapa orang teman pria nya."
"Apakah dia tinggal di lantai yang sama denganmu, Aerith ?"
"Ya. Dia tinggal di sebelah kamar ku."
"Beruntung sekali !" , pekik Yuffie dengan suara yang memekakan telinga. Tifa seketika menutup telinga nya.
"Kebetulan, aku ingin mengajak kalian pindah ke apartemen ini. Tadi nya, aku sepakat untuk menyewa apartemen ini bersama dengan dua temanku. Namun tiba-tiba saja mereka berdua dipindahtugaskan ke Rocket Town."
"Benarkah ? Boleh saja. Lagipula Tifa juga dapat bertemu dengan si 'pria di seberang jendela' kan ?" , Yuffie mengangguk dan mengiyakan tawaran Aerith.
"Tapi, kontrak apartemen kita baru akan selesai bulan depan, Yuffie."
"Tidak apa-apa. Dengan pindah ke tower ini, kau dapat bertemu dengan pria itu, kan ?"
Tifa terdiam. Ia terlanjur terlena akan kepuasan menatap pria itu dari kejauhan dan kini, ia merasa terlalu takut bila harus berhadapan dengan pria itu langsung.
"Aku khawatir bila pria itu berpikir aku adalah stalker.", ucap Tifa dengan khawatir.
"Yare... yare… kalau begitu kami akan pindah bulan depan. Tidak apa-apa kan, Aerith ?"
"Tidak apa-apa. Kalian juga boleh menginap bila kalian mau."
"Benarkah ? Arigato Gozaimasu.", Yuffie tersenyum pada Aerith. "Kalau begitu, malam ini kami menginap, ya ? Tenang saja, aku akan mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih."
"Tidak apa-apa. Bagaimana bila kalian menginap tiga malam ? Jadi, hari senin kalian baru kembali ke apartemen kalian ?"
"Arigato, Aerith", ucap Yuffie dan Tifa.
….*….
Keesokan hari nya, Tifa terbangun pukul enam pagi dan keluar dari kamar nya. Semalam, ia dan Yuffie kembali ke apartemen mereka serta mengambil pakaian-pakaian mereka.
Tifa berjalan ke depan kamar Yuffie dan Aerith serta membuka pintu sedikit dan mengintip melalui celah pintu.
'Sepertinya mereka masih tertidur', batin Tifa sambil kembali menutup pintu.
Seperti biasa yang dilakukan nya setiap pagi, Tifa mengambil kantung sampah dan berjalan meninggalkan apartemen Aerith setelah menyelipkan kunci apartemen Aerith yang diletakkan di atas meja dapur ke dalam saku celana nya.
Tifa berjalan keluar dari tower menuju tempat penampungan sampah dan meletakkan kantung sampah yang sudah diikatnya dengan rapih.
Tifa berbalik dan hendak meninggalkan tempat penampungan sampah ketika mata nya kembali menangkap sosok pria yang berjalan mendekat sambil membawa kantung sampah.
Wajah Tifa kembali memerah, dan kali ini ia berusaha memalingkan wajah dari pria itu.
Pria itu meletakkan kantung sampah nya dan menatap Tifa. Jantung Tifa berdegup begitu kencang dan kini ia seolah dapat mendengar debaran jantung nya sendiri.
Pria itu kembali tersenyum tipis pada Tifa. Tifa mengumpulkan seluruh keberanian nya dan memberanikan diri memulai percakapan.
"K-kita bertemu lagi, ya ?", ucap Tifa pada pria berambut pirang yang ditemuinya kemarin.
Bagi Tifa, pria itu tetap terlihat tampan dengan celana training hitam dan kaos berwarna abu-abu. Bahkan, walau pria itu terlihat baru saja bangun tidur dengan rambut yang sedikit berantakan, ia tetap terlihat menawan.
"Ternyata, kau tinggal di tower ini ?" , ucap pria itu, untuk yang pertama kali nya pada Tifa.
Tifa semakin berdebar mendengar ucapan pria itu, walau sebetulnya itu hanya pertanyaan umum.
"Tidak. Aku menginap di apartemen teman ku."
"Oh. Bukankah kau wanita yang tinggal di tower seberang dengan jendela yang berhadapan dengan kamar ku ?"
Seketika, Tifa terkesiap. Wajah nya semakin memerah dan kini lidah nya terasa kelu. Ia merasa sangat malu setelah menyadari bila pria itu menyadari diri nya memerhatikan pria itu.
"B-bagaimana kau mengetahuinya ?"
"Setiap malam kau selalu membuka jendela mu dan menatap keluar jendela. "
Diam-diam, Tifa menyembunyikan kelegaan yang terpancar di wajah nya. Ia merasa lega, setidaknya pria itu tidak menyadari bila ia selalu membuka jendela setiap malam dan menatap pria itu.
"Ya. Senang bertemu denganmu."
Pria itu mengangguk dan tersenyum sebelum berjalan mendahului Tifa memasuki tower dan menuju lift. Tifa mengikuti pria itu karena ia juga ingin segera kembali ke kamar nya dan membersihkan tubuh nya.
Tifa masuk ke dalam lift ketika pintu lift terbuka dan beberapa penghuni apartemen yang juga ingin membuang sampah keluar dari lift. Tifa masuk ke dalam lift bersama pria itu dan lift pun tertutup.
Kini, hanya mereka berdua di dalam lift. Tifa memilih berdiri di pojok lift, sementara pria itu di dekat tombol lift.
"Maaf, bisakah tolong memencetkan tombol lantai sepuluh ?" , ucap Tifa pada pria itu.
Pria itu menoleh mendengar suara Tifa dan berkata, "Sudah"
Dan, mereka kembali terdiam seolah fokus dengan pikiran masing-masing. Tifa hanya dapat menatap ke arah pria itu diam-diam, berusaha agar pria itu tak menyadari nya.
Lift terbuka di lantai sepuluh dan Tifa keluar dari lift itu dan berjalan di belakang pria itu. Pria itu terlihat tidak nyaman saat menyadari Tifa mengikutinya walaupun tidak menunjukkan nya secara eksplisit. Dan Tifa berusaha untuk tidak menghiraukan walaupun ia menyadari bila pria itu terlihat tidak nyaman.
Pria itu berhenti di depan pintu kamar nya serta mengeluarkan kartu dan mengarahkan ke knop pintu kamar apartemen nya. Tifa terpaku menatap knop pintu kamar apartemen Aerith dan menyentuh kunci di dalam saku nya.
Ia meringis menyadari bahwa ia mengambil kunci –yang sama sekali tidak dapat dipakai untuk membuka pintu- yang salah. Ia tidak ingat bahwa seluruh tower di apartemen itu menggunakan kartu untuk membuka pintu.
Tifa menekan bel berkali-kali dan berdiri selama hampir setengah jam. Namun, tak seorangpun membukakan pintu. Tifa terduduk di lantai dan berharap Aerith atau Yuffie akan segera membukakan pintu.
Tifa menyesal telah meninggalkan ponsel nya di dalam kamar. Ia merasa tidak perlu membawa ponsel karena ia hanya akan keluar tidak lebih dari lima belas menit.
Tifa kembali menekan bel dan meringis. Apartemen nya memiliki system keamanan yang cukup tinggi dan ia khawatir bila sebentar lagi satpam akan mendatangi nya dan mengusir nya secara paksa.
Tifa baru saja memejamkan mata ketika ia mendengar suara pintu terbuka. Seketika ia berdiri dan membuka mata nya.
Pria berambut pirang itu membuka pintu dan menepuk pundak Tifa.
"Apa yang sedang kau lakukan ?."
Tifa seketika menatap pria itu dan menundukkan kepala.
"Maafkan aku. Namun aku salah mengambil kunci dan teman ku masih belum membukakan pintu. Aku juga meninggalkan ponsel ku di kamar. Aku menekan bel berkali-kali agar teman ku membukakan pintu."
"Masuklah"
"Eh ?"
"Masuklah ke dalam.", pria itu membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Tifa masuk ke dalam.
"Terima kasih" , Tifa masuk ke dalam dengan wajah yang memerah.
Apartemen pria itu termasuk sederhana walaupun termasuk cukup mewah. Ya, sebetulnya tower A adalah tower termewah diantara semua tower di apartemen itu.
Ruangan apartemen pria itu sangat luas walaupun tidak terdapat banyak barang di dalam nya. Terdapat sofa dengan televisi layar datar 65 inci.
"Duduklah. Aku akan menyiapkan minuman.", pria itu mengantar Tifa untuk duduk di sofa.
"Tidak usah. Aku hanya sebentar. Bolehkah aku meminjam telepon mu ?"
"Silahkan"
Tifa berjalan menuju telepon dan menelpon ke nomor telepon Aerith yang dihafal nya diluar kepala.
"Halo, Cloud. Ada apa ? Tidak biasanya kau menelpon" , terdengar suara Aerith yang masih mengantuk.
"Aerith, ini aku. Bisakah kau membukakan pintu untukku ? Aku lupa membawa kartu dan tidak bisa masuk ke dalam."
"Tifa ? Sekarang kau berada di tempat Cloud ?"
"Ya, aku berada disana. Bisakah tolong bukakan pintu untukku."
"Ok", jawab Aerith sebelum menutup telepon.
"Terima kasih-" , ucap Tifa. Ia hampir saja menyebut nama pria itu, namun ia segera mengingat bila mereka bahkan belum memperkenalkan diri sama sekali.
"Siapa nama mu ?" , ucap pria itu seolah tahu bahwa Tifa tengah berharap bila pria itu akan menanyakan nama nya.
"Tifa Lockhart. Dan, siapa nama mu ?"
"Cloud Striffe."
"Senang bertemu denganmu." , Tifa kembali menundukkan kepala dengan sopan.
"Ya, senang bertemu denganmu.", pria itu membalas dengan menundukkan kepala
Tifa tersenyum tipis dan pria itu kembali tersenyum padanya. Pertemuan pertama nya dengan sang 'pria di seberang jendela' kemarin, dan perkenalan mereka hari ini membuatnya semakin penasaran akan kehidupan pria itu.
-To be Continued-
Thanks bwt yang udah baca fict ini. Sebetulnya ini fict pertama CloudxTifa, jadi maaf kalau Cloud, Tifa & Yuffie OOC.
Author buat fict ini karena request an temen author yang minta FF CloudxTifa & LightningxNoctis.
Fyi, fict ini ga akan lebih dari tiga chapter. Kemungkinan besar cuma dua chapter.
Oh ya, author sangat mengharapkan kritik & saran dari para readers ^^
