Bintang tunggal yang bersemayam di langit mulai genit rupanya. Cahayanya kelap-kelip, terang, redup, lalu terang lagi. Seperti mengerlingkan mata pada dua insan yang sedang menatapnya lekat malam ini. Menunggu gelombang transparan yang mereka sebut "sinyal". Menunggu sinyal itu terhubung, sehingga handphone mereka bisa berdering.
TUT TUT TUT
Tiga bunyi senada yang terdengar. Cepat, dan tanpa kompromi. Berusaha mematahkan harapan gadis berambut pendek itu. Namun ia tak berhenti berusaha. Tombol bergambar gagang telepon hijau terus ia tekan. Tiga bunyi senada kembali menggerayangi telinganya. Helaan napas sesekali terdengar. Setelah menunggu sesaat, ibu jarinya kembali ia tekankan pada tombol bergambar gagang telepon hijau.
Pemuda berambut dark brown itu kembali mengangkat handphone-nya. Ibu jarinya diangkat sedikit—hanya beberapa milimeter. Nanosekon berdetik tanpa suara saat ibu jarinya diturunkan. Tombol bergambar gagang telepon hijaulah yang menjadi targetnya. Sesungguhnya, pemuda berambut dark brown itu terlambat. Keterlambatan yang sangat menguntungkan.
I don't wanna runaway but I can't take it, I don't understand
Ringtone berdering. Layar handphone pemuda berambut dark brown itu berkedap-kedip. Tepat saat sidik jarinya terpatri di tombol bergambar gagang telepon hijau itu. Untungnya ia belum memberi tekanan pada tombol itu. Seyum tersungging lebar di wajahnya. Ia pun menggiring handphone-nya ke telinga.
"Halo."
"Senang mendengar suaramu, Marco."
Akhirnya sinyal itu terhubung.
Disclaimer : Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki & Yuusuke Murata
WARNING! : Absolutely OOC, plotless, typos, Chara death, gaje, abal, dadakan, nggajelas, nggapenting, maksa, contains lyrics : If You're Not The One by Daniel Bedingfield and Takut by Vierra
.
karin-mikkadhira- presents :
Signal (Say It Before Late)
Prequel of The Last Cola
.
Untuk dirimu—kalian—yang sangat kurindukan. Aku merindukanmu—kalian, sangat.
Ego vere desidero.
.
—Signal (Say It Before Late) © karin-mikkadhira—
Saitama, H-7 Vday
.
Himuro menggiring kakinya menuju meja belajar yang terletak tepat di bawah jendela kamarnya. Disingkapnya gorden marun yang menyembunyikan jendelanya. Gaya dorong yang diberikan Himuro membuat jendela itu terkuak lebar. Menampakkan warna-warni lampu kota Saitama.
Himuro pun menerkam meja belajarnya. Menungganginya. Duduk dengan santai di atasnya—tepat di depan jendela. Memandang Saitama yang diterangi lampu, juga langit yang gelap. Mata Himuro hanya menangkap satu bintang kecil bersemayam di langit malam. Ia memandangi bintang itu. Lekat. Membayangkan wajah seorang pemuda berambut dark brown.
PLIK
Himuro mengedipkan matanya. Menyapu bayangan pemuda berambut dark brown itu dari pikirannya. Sorot matanya meredup. Diraihnya handphone, lalu dicarinya nomor kontak seseorang. Setelah ditemukan, Himuro menekan tombol bergambar gagang telepon hijau.
Nomor yang Anda hubungi sedang sibuk, silakan coba beberapa saat lagi.
Suara operator yang terdengar.
Kamu di mana, Marco? Aku… rindu…
—Signal (Say It Before Late) © karin-mikkadhira—
Nomor yang Anda hubungi sedang sibuk, silakan coba beberapa saat lagi.
Suara operator yang terdengar.
Di mana kau, Maria? Aku… rindu…
Marco menjauhkan handphone-nya dari telinga. Tidak begitu suka dengan suara yang terdengar. Espresso kembali diseruputnya, menghangatkan perutnya yang sedari tadi dingin diterpa angin malam. Pemuda berambut dark brown itu menengadahkan kepalanya, menatap bintang kecil di langit yang tinggi kalau kata Pak Daljono*. Sayangnya hari ini bintang yang menghias angkasa hanya satu, tidak banyak.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, namun Marco masih saja betah bertengger di beranda kamarnya, memandangi langit yang sepi sambil minum kopi. Marco percaya saja saat tadi pagi Kisaragi bilang bahwa sinyal handphone lebih bagus jika berada di tempat terbuka yang agak tinggi. Tapi nyatanya, sinyal itu tetap tidak mau terhubung.
Sudah seminggu Marco dan Himuro lost contact. Himuro begitu sibuk dengan status barunya sebagai mahasiswi sampai-sampai tidak meluangkan se-nanosekon pun untuk sekadar membalas SMS pending dari Marco. Padahal mereka belum lama merajut cinta —kembali. Hanya handpone-lah satu-satunya penghubung mereka, mengingat mereka berdua sama-sama tidak terjun di dunia jejaring sosial. Terlebih lagi Marco adalah tipikal pecinta yang luar biasa sabar. Marco tidak mau buru-buru menyambangi rumah Himuro hanya karena lost contact selama seminggu. Itulah kekuatan cinta Marco, kekuatan kepercayaan.
—Signal (Say It Before Late) © karin-mikkadhira—
Tujuh hari menjelang Vday, dan Himuro teronggok di kamar apartemennya dengan sejuta tugas kuliahnya. Gadis berambut pendek itu menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela. Sesekali angin menerpa rambutnya dari bawah. Maklum, kamar apartemen Himuro berada di lantai tigabelas. Hanya Himuro yang berani duduk tepat di depan jendela seperti itu.
Himuro mulai galau lagi. Tak dapat dipungkiri bahwa ia sangat merindukan Marco. Ingin sekali ia menyampaikan sinyal kerinduannya. Air mata penantian dan kerinduannya jatuh. Himuro menengadahkan kepalanya, menatap handphone yang sedari tadi bersandar di telapak tangannya.
"Kami seperti sinyal handphone ini… Menunggu…tanpa pernah terhubung,**" gumanya. Kini ditatapnya si bintang kecil. Seandainya saat ini dia menatap langit yang sama denganku—menatapmu, bisakah kau sampaikan untaian rinduku padanya?
—Signal (Say It Before Late) © karin-mikkadhira—
Bintang tunggal yang bersemayam di langit mulai genit rupanya. Cahayanya kelap-kelip, terang, redup, lalu terang lagi. Seperti mengerlingkan mata pada dua insan yang sedang menatapnya lekat malam ini. Menunggu gelombang transparan yang mereka sebut "sinyal". Menunggu sinyal itu terhubung, sehingga handphone mereka bisa berdering.
TUT TUT TUT
Tiga bunyi senada yang terdengar. Cepat, dan tanpa kompromi. Berusaha mematahkan harapan gadis berambut pendek itu. Namun ia tak berhenti berusaha. Tombol bergambar gagang telepon hijau terus ia tekan. Tiga bunyi senada kembali menggerayangi telinganya. Helaan napas sesekali terdengar. Setelah menunggu sesaat, ibu jarinya kembali ia tekankan pada tombol bergambar gagang telepon hijau.
Pemuda berambut dark brown itu kembali mengangkat handphone-nya. Ibu jarinya diangkat sedikit—hanya beberapa milimeter. Nanosekon berdetik tanpa suara saat ibu jarinya diturunkan. Tombol bergambar gagang telepon hijaulah yang menjadi targetnya. Sesungguhnya, pemuda berambut dark brown itu terlambat. Keterlambatan yang sangat menguntungkan.
I don't wanna runaway but I can't take it, I don't understand
Ringtone berdering. Layar handphone pemuda berambut dark brown itu berkedap-kedip. Tepat saat sidik jarinya terpatri di tombol bergambar gagang telepon hijau itu. Untungnya ia belum memberi tekanan pada tombol itu. Seyum tersungging lebar di wajahnya. Ia pun menggiring handphone-nya ke telinga.
"Halo."
"Senang mendengar suaramu, Marco."
Akhirnya sinyal itu terhubung.
"Maria? Bintangku? Kenapa suaramu bergetar?" Suara Marco di seberang telepon terdengar gombal, gentle, dan teduh.
"Ma-Marco…" Suara Himuro bergetar. Sekujur tubuhnya juga ikut bergetar. Merinding. Bahagia meluap-luap, gejolak di dada tak tertahankan.
"Akhirnya sinyal kita terhubung juga, Maria. Tenanglah, aku di sini," ujar Marco menengangkan. Suaranya begitu teduh, seakan sedang berada di samping Himuro.
"Iya, aku benar-benar merindukanmu, Marco. Oh iya, minggu depan aku akan membawakan cake buatanku sendiri!" ujar Himuro riang. Tangannya menjelajahi meja, mencari buku resep cake yang terbuka di halaman Mille Feuille***. Sementara tangan yang satunya masih melekat di handphone-nya. Himuro masih mempertahankan posisi duduk bersila di depan jendela yang berada di lantai tigabelas itu.
"Masa' iya sih kau bisa membuat cake?" tanya Marco jahil.
"Tentu sa—Ah!"
SYUUSH
Angin tiba-tiba berhembus kencang. Terlampau kencang untuk angin musim dingin. Tangan kanan Himuro menggenggam halaman resep Mille Feuille, sementara lembaran halaman lain berkibar-kibar tertiup angin dari sebelah kanan gedung apartemen. Tangan kiri Himuro yang menggenggam handphone ditariknya refleks menuju wajahnya.
BREEKK
Ganasnya angin merobek buku itu. Tak sampai dua detik sejak angin mengibarkannya. Yang tersisa di tangan Himuro hanya setengah halaman resep Mille Feuille yang tadi digenggamnya.
"Tidak!" pekik Himuro. Refleks Himuro mengulurkan tangannya menuju buku resep itu. Tindakan yang sangat salah. Gaya dorong dari alam bawah sadar Himuro terlalu kuat, tanpa ingat bahwa Himuro sedang berada di lantai tigabelas.
"Maria?" panggil orang di seberang telepon. Pekikan Himuro tak terdengar karena dahsyatnya angin yang menghantam gadis pujaan hati Marco tersebut.
Maria membuka matanya. Mendapati dirinya tengah membuktikan hukum gravitasi dengan kepala lurus menuju tanah. Handphone masih digenggamnya. Dapat terdengar suara Marco yang memanggilnya. Himuro mengangkat handphone-nya dengan sisa kesadaran.
"Sinyalnya masih tehubung 'kah?" gumam Himuro dengan nada datar dan ekspresi polos. Bukan ekspresi orang yang tubuhnya akan menghujam tanah dari ketinggian duapuluh meter.
"Marco?" Ia memanggil lawan bicaranya di seberang telepon.
KRSK KRSK
"Ma-Maria? Sinyalnya…" Suara Marco terdengar samar di telinga Himuro. Sinyalnya mulai terganggu.
Himuro tersenyum tipis. "Aku…mencintaimu."
TUT TUT TUT
Tiga bunyi senada yang terdengar. Cepat, dan tanpa kompromi. Memutus sinyal yang sudah susah payah terhubung sejak tadi.
Cairan crimson menggenangi aspal. Memutus secara permanen sinyal handphone gadis itu. Mulai saat ini, sekeras apapun pemuda berambut dark brown itu mencoba, sinyalnya takkan pernah terhubung. Setidaknya, yang harus diucapkan sudah terucap. Takkan ada penyesalan, karena kata cinta sudah terucap.
—Signal (Say It Before Late) © karin-mikkadhira—
.
| *)Bapak Daljono, pencipta lagu Bintang Kecil (menurut sumber) |
|**)"Kami seperti sinyal handphone ini... Menunggu...tanpa pernah terhubung." ~Kotobuki Ran, GALS! |
| ***)Mille Feuille, kue pai bertumpuk dari Perancis |
| Sebuah fanfic yang didasari oleh perasaan rindu semata. Tak pernah direncanakan untuk menjadi prequel The Last Cola |
| PS : Sebelum sinyal terputus, katakanlah apa yang ingin kau katakan. Katakan sebelum terlambat |
| Sign, |
| [Karin Hanashi]-[Mikkadhira Aoi] |
.
.
TUT TUT TUT
Tiga bunyi senada yang terdengar. Cepat, dan tanpa kompromi. Memutus sinyal yang sudah susah payah terhubung sejak tadi.
"Habis pulsa, ya?" gumam Marco sambil menatap layar handphone-nya.
Aku takut kamu pergi, kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin, kau di sini, di sampingku
Selamanya…
"Aku juga mencintaimu, Maria."
Marco masuk ke dalam kamar. Menutup rapat pintu menuju beranda agar angin malam yang membekukan tulang tidak menyeruak masuk. Marco menyikat gigi dan mencuci mukanya, bersiap-siap untuk tidur. Sudah menjadi kebiasaan Marco untuk menonton berita sebelum tidur. Marco pun naik ke ranjang, meraih remote TV, lalu menyalakan TV-nya.
"Kembali bersama kami, Headline News pukul sepuluh malam. Pemirsa, sesosok mayat wanita ditemukan di lobby apartemen X, blok Y Saitama, Tokyo. Menurut saksi mata, korban terjatuh dari jendela kamarnya di lantai tigabelas apartemen. Korban diketahui bernama Maruko Himuro, sembilanbelas tahun, mahasiswi Universitas AAA, Saitama. Polisi akan melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk menyelidiki penyebab kematian. Apakah korban bunuh diri, dibunuh, atau terjatuh karena kecelakaan. Demikian Headline News pukul sepuluh, kami akan kembali pukul sebelas malam nanti. Selamat malam."
—Signal (Say It Before Late) © karin-mikkadhira- : OWARI—
.
| Review, Critics, and Concrit? |
