Naruto dkk belongs to Masashi Kishimoto

Warning! Hard OOC, Typo, Absurd, DLDR, Abal, Receh, Garing, Romens gagal, Bahasa tidak baku, Nyubi. Lapak Pelarian HEHE.

Tidak ada unsur kesengajaan bila ada kesamaan kata-kata, setting, maupun alur. Terinspirasi dari beberapa sumber.

MOVE ME ON

Skyzofrenia

"Kurasa tidak ada yang cukup serius. Semuanya masih normal—" Manik kebiruannya bergulir dari lembar hasil tes darah menuju sosok wanita paruh baya di seberang meja yang balik menatapnya penuh harap.

"Pertahankan. Tetap jaga pola makan Anda, dan sampai jumpa bulan depan Kuriyama–san." Lanjut sang dokter sambil tersenyum kecil.

Setelah mengucapkan terimakasih dan saling berjabat tangan, wanita paruh baya yang ternyata berstatus pasien itu pamit meninggalkan si dokter pirang sendirian di ruangan serba putih berbau cairan desinfektan tersebut.

"Ha—h"

Dia—Yamanaka Ino, menengadah sambil menyenderkan beban tubuhnya di sandaran kursi empuk yang terhitung sudah hampir tiga jam ia duduki. Ia lelah. Hari ini memang tidak ada jadwal operasi yang harus ia lakukan. Tetapi entah kenapa jadwal konsultasinya begitu padat bahkan hingga nanti menjelang jam makan siang. Padahal biasanya, ketika jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh pagi seperti sekarang kursi tunggu di depan ruang prakteknya sudah mulai sepi pasien. Nah sekarang? Ino sudah berkali-kali menguatkan diri untuk tidak mengintip keluar jendela hanya untuk mendapati kursi tunggu itu masih penuh. Selalu begini. Hari senin selalu saja begini.

Kuso! Ia bahkan hanya bisa menghela napas lagi dan lagi ketika matanya menangkap siluet Moegi, perawat muda yang menjadi asisten Poli-nya terlihat tengah memanggil urutan selanjutnya bahkan belum genap tiga menit setiap kali dirinya selesai dengan pasien sebelumnya. Hmm, ternyata gadis muda itu juga ingin penderitaannya pagi ini cepat selesai.

Dan ingin rasanya ia menangis ketika menatap tumpukan rekam medis pasien rawat inap di ujung mejanya yang harus ia tinjau nanti.

Yalord. Kalau begini terus, jangan ejek dirinya jika sampai usianya lebih dari seperempat abad ini masih saja belum memiliki kekasih karena tidak punya waktu untuk berkencan.

Lamunan singkatnya terhenti ketika pintu ruangan itu diketuk dan tak lama muncullah sosok paruh baya lainnya yang berstatus pasien, kali ini pria.

"Yamanaka –sensei" Pria itu masih berdiri di depan pintu.

Secepat itu pula Ino mengganti raut wajah kuyunya menjadi cerah berhiaskan senyum 'bisnis'. "Silahkan masuk" Sapanya ramah.

Dann berlanjutlah sesi konsultasi yang cukup melelahkan mulut dan rahangnya. Wanita pirang itu hanya dapat melirik sekilas ponsel pintarnya yang berkedip sesaat memunculkan notifikasi pesan masuk.

Dari: Ki-baka

Kau sibuk? Ada kafe baru di ujung blok. Mau makan siang bersama? Aku traktir.

Membuat sudut bibirnya berkedut tipis tanpa beranjak membalas pesan singkat itu.

Matanya bergerak menyelusuri seisi sudut kafe yang cukup ramai itu. Setelah menangkap sosok yang begitu ia kenal, Ino pun beranjak menuju meja yang terletak sedikit agak ke dalam kafe yang diisi seorang pria yang sedang sibuk bermain ponsel.

"Pesankan aku Latte dingin dan seporsi Mac 'n Cheese."

Tidak ada 'Hai' atau 'maaf aku terlambat'. Hanya ada kalimat bernada suruhan yang menyapa membuat Inuzuka Kiba berpaling dari ponselnya, melirik jengkel wanita yang walaupun dengan helai-helai rambut pirang yang telah lolos dari kuncir kudanya tetap saja terlihat menawan. Menarik stok kesabaran, Kiba pun memanggil pelayan untuk memesan Limun, Latte dingin dan dua porsi Mac 'n Cheese untuk dirinya dan Ino.

"Sibuk ya?" Nada kiba mengejek.

"Begitulah. Reputasi ku sebagai Dokter Visual Konoha Hospital ternyata tak main-main. Aku cukup populer di kalangan pasien." Ino balas pura-pura memasang wajah mahfum. Membuat Kiba mendecih.

"Pantas saja masih jomblo."

Sekarang gantian Ino yang mendecih. "Aku bisa mendengarmu, Kibaka."

Perdebatan mereka masih akan terus berlanjut jika saja pelayan tidak menginterupsi, mengantarkan pesanan makan siang mereka. membuat baik Kiba maupun Ino sepakat untuk berdiam menyantap makanan mereka dengan syahdu.

"Hei gendut, pulanglah. " Kiba berceletuk tiba-tiba ketika mereka berdua tengah menyantap makan siang masing-masing. Membuat wanita itu menghentikan kunyahan Mac 'n Cheese-nya yang tiba-tiba saja terasa seperti karet. Haish padahal tadi rasanya enak! Baka Kiba.

Bukan. Ino tegang bukan karena dirinya yang langsing ini diejek gendut. Tetapi karena dirinya tahu akan kemana arah pembicaraan ini berlanjut.

"Untuk apa?" Ino bertanya santai, padahal batinnya saat ini tengah berkecamuk. Well, Kiba telah salah memilih topik pembicaraan. Terlalu sensitif untuk Ino.

Atau memang ini tujuan pria itu menemuinya?

"Shion merindukanmu. Rasanya aneh bila melihat sepasang kembar saling berjauhan seperti ini."

Menormalkan kembali mimik wajah, Ino berkata sambil kembali menyantap makan siangnya yang sempat terbengkalai "Bagaimana ya? Kau tahu 'kan—aku sibuk" Nada bicara Ino sungguh sangat santai. Malah terkesan main-main.

"Terserah kau. Tapi akhir pekan ini kau harus pulang." Balas Kiba cuek. Dirinya benar-benar buta untuk sekedar menyadari perubahan mood Ino sekarang ini karena muatan pembicaraan mereka.

"Kenapa harus?" Masih dengan gaya santainya Ino menggerakkan tangannya mengambil sesendok penuh menu makan siangnya itu.

"Pertemuan keluarga. Aku akan melamar adikmu secara resmi."

Suapan Ino berhenti di udara. Hening. Hening yang menyesakkan.

Setidaknya itu yang dirasakan Ino sekarang.

"Oke."

Ino terlalu blank untuk sekedar memikirkan jawaban dari kalimat Kiba. Dan hanya tiga huruf itu saja yang dapat digumamkan bibir ranumnya. Kelu.

"Lagipula apa enaknya sih tinggal sendirian dikelilingi tembok dingin seperti apartemenmu? Kau itu wanita, harusnya tinggal bersama dengan orangtua saja." Kiba terus saja mengoceh, tanpa tahu wanita yang ia ajak bicara sedang termenung dengan tangan yang masih menggenggam sesendok penuh makaroni.

"—No? Hei gendut!"

Ino terkesiap. "Hah?"

"Tch. Malah melamun."

Setelah mengambil napas dalam-dalam, Ino menyahut. "O-oiya... K-kau mau tahu kenapa aku betah tidak pulang ke rumah selain sibuk?" Suaranya sedikit bergetar di awal.

"Kenapa memangnya?" Kini atensi Kiba sepenuhnya menatap ke arah Ino.

"Jangan bilang Kaasan. Janji?" Ino mengacungkan jari kelingking ke depan muka Kiba yang tentu saja menuai dengusan dari pria itu.

"Bodoh." Karena terlanjur penasaran, Kiba pun mengikuti arah permainan Ino. Menautkan kelingking mereka berdua, namun belum ada dua detik sudah ia lepas. Seperti anak kecil saja. Menggelikan.

"Itu karena—" Ino mencondongkan tubuhnya ke arah Kiba serta sengaja memotong kalimat agar terkesan misterius.

"—Tetangga sebelah apartemenku saangat tampan dan Hot!" Ino sengaja menekankan kata terakhir.

Kiba terbelalak. "Dasar mesum!" Setelahnya bisa Ino rasakan jika kepalanya berdenyut karena jitakan dari Kiba.

Ino terbahak. Sakit. Tapi ia rela kepalanya nyeri, toh ia berhasil mengubah topik pembicaraan mereka dan mencoba memulihkan suasana hatinya sendiri yang sempat kacau tanpa Kiba sadari.

Apapun, asal jangan membahas masalah keluarganya.

'Jalang pembohong besar!'

Ino tertawa dalam hati ketika batinnya berteriak mengatai dirinya sendiri. Dan melihat reaksi Kiba atas kebohongannya tadi membuat Ino menyadari bakatnya yang terpendam. Akting.

Tetangga 'hot'?

Bah! Dusta!

Ino saja tidak pernah keluar apartemen selain untuk pergi bekerja, bahkan akhir pekan sekalipun! Hidupnya hanya seputar berangkat kerja- bekerja sampai kelelahan hingga terkadang lupa makan-pulang kerja- tidur- lalu berangkat kerja lagi- bekerja lagi—begitu seterusnya sampai ia merasa bosan dengan hidupnya. Dan kalau ia tidak salah mengingat, terhitung sudah hampir setengah tahun ia tidak menginjakkan kaki di rumah tempat ia dibesarkan.

Mau tahu alasan sebenarnya kenapa ia terkesan ogah-ogahan jika disuruh pulang, bahkan hanya untuk sekedar mengunjungi kedua orangtuanya?

Alasan yang bahkan Inuzuka Kiba yang notabene sahabatnya yang paling sering keluar masuk kediaman Yamanaka itu tak tahu.

Itu karena ia bukanlah 'pemeran utama' di rumahnya sendiri.

'Wah, permainan biola yang indah, Shion-chan! Iyakan Ino?'

'Belajarlah musik seperti Shion-chan, Ino. Kau tidak lupa kan kalau Yamanaka itu Keluarga Seniman?'

'Jaga sikapmu Ino! Kau itu perempuan. Bersikaplah seperti Shion yang anggun. Jangan membuat Tousan malu'

'Jika kau tetap bersikeras ingin menjadi dokter, carilah uang sendiri. Karena Kaasan tidak sudi membayar kuliahmu.'

'Shion ini, Shion itu, Shion terus.'

Sungguh Ino muak. Sikap kedua orangtuanya yang terlalu berat sebelah membuat Ino kesal. Bukan sekali-dua kali saja mereka bertingkah selalu mengutamakan Shion dibanding dirinya, membuat Ino berpikir apakah ia benar-benar anak kandung mereka atau hanya anak orang asing yang kebetulan memiliki rupa hampir sama dengan Shion.

Sebenarnya Ino hanya coba-coba saja menjadi seorang dokter, hanya agar ia terhindar jauh dari musik. Mengingat darah Yamanaka yang identik dengan seorang seniman. Sebut saja sang ayah Yamanaka Inoichi sang komposer terkenal, ibunya Yamanaka Maria yang merupakan penyanyi seriosa yang masih bersinar bahkan di usianya yang tak lagi muda. Ditambah lagi Shion yang memang berbakat dalam memainkan musik gesek setara biola. Dikelilingi orang-orang jenius musik yang melukai hatinya yang sialnya lagi adalah keluarganya sendiri membuat Ino semakin muak dengan yang namanya musik.

Walaupun sebenarnya kalau boleh sombong, jari lentik Ino cukup mahir bermain tuts piano.

Kini Ino sedang berada di jalan pulang menuju apartemennya. Jalanan terasa lenggang malam itu. Dan walaupun Ino sedari tadi sibuk meratapi nasibnya, namun anehnya ia masih bisa merasakan ada yang tak beres di sekitarnya.

Benar saja. Ketika Ino menguatkan hati untuk berpura-pura menoleh ke belakang barang sejenak, ia menemukan sosok tinggi besar berjaket tudung gelap yang menyembunyikan siluet wajahnya dengan sempurna. Benar-benar gelap namun Ino masih bisa merasakan tatapan tajam dari mata orang itu mengarah padanya. Bahkan ketika Ino sedikit mempercepat langkahnya, sosok itu masih saja mengikuti. Bulu kuduk Ino meremang.

Stalker kah?

Mencoba berpikiran positif, Ino meneruskan langkahnya.

Tinggal tiga meter lagi menuju belokan tepat sebelum area gedung apartemennya. Ino mempercepat langkah, dan segera setelah ia melalui belokan tersebut ia menyembunyikan tubuhnya dibalik tembok. Hanya untuk mencegat 'stalker' itu. Oh Ino merasa seperti sedang syuting adegan film Thriller.

Benar, Ino tau ia nekat.

Samar Ino perhatikan pria asing itu mengedarkan pandangannya barang sejenak. Ino tersenyum remeh. Pria itu salah memilih mangsa.

Dan ketika sosok pria itu hampir mencapai tempat Ino bersembunyi, buru-buru Ino muncul menghadang si 'stalker'

"Kau mengikutiku ya?"

Kaget karena kemunculan wanita di depannya tiba-tiba, pria itu berhenti. Matanya memandang kian tajam tepat ke manik kebiruan Ino.

Sebenarnya Ino bergidik, tetapi sekali lagi ia menguatkan diri.

"Aku tidak tahu kalau tren stalker itu masih ada."

Kening pria itu berkerut dalam mendengar kalimat Ino yang sarat akan kesinisan.

"Sudahlah. Cepat pergi sebelum aku memanggil Polisi" Ino bersedekap. "Kenapa kau mengikutiku? Kau penggemar rahasia ku ya?" Oke, Ino memang sedikit terlalu percaya diri. Tetapi kemungkinan itu bisa terjadi kan?

"Aku?—" Suara pria itu yang dalam membuat kepercayaan diri Ino hampir saja melorot jatuh ke perut.

"—mengikutimu?" Nadanya kali ini terkesan mengejek.

Loh? Bukan ya?

Ayolah, jangan bercanda.

"Lalu? Apa namanya jika ada pria tak di kenal bertingkah mencurigakan yang sedari tadi mengikutimu dari belakang tanpa berniat mendahului atau menyapa tetapi malah menatap mu tajam seolah ingin membolongi punggungmu?" Ino tetap kekeuh menyampaikan analisisnya.

"Bagaimana jika pria yang mencurigakan itu ternyata memang searah denganmu?"

Tanpa berkata lebih lanjut, lelaki itu berbalik berjalan mendahului Ino. Dan lebih mencurigakan lagi, Tujuan mereka benar-benar sama!

Ino tak bisa berhenti mengedip-kedipkan kelopak matanya ketika netranya menangkap bayangan pria itu memasuki lobby Akatsuki Building. Gedung apartemennya.

Atau gedung apartemen 'mereka'?

Ino akan terus menduga-duga jika tidak membuktikan sendiri kenyataanya. Dan dengan itu ia gantian mengikuti pria itu yang kini sedang berdiri menanti lift.

Ting!

Mereka berdua berada dalam keheningan. Sambil sesekali Ino melirik ke sosok di sudut lain lift lewat pantulan dinding.

Ino kembali menduga-duga saat mengamati gerak-gerik pria itu. Kenapa? Karena ia tidak berajak menekan tombol lantai tempat ia tuju. Tetapi pria itu malah hanya diam dan hanya sekali melirik Ino ketika ia menekan angka 25, tempat unit apartemennya berada. Kemudian tubuhnya berdiri di sudut sambil terang-terangan menatap Ino lewat pantulan dinding lift. Begitu terus hingga suara denting menandakan mereka sudah sampai lantai yang dituju.

Dan apa? Pria itu kembali mengikutinya dari belakang keluar dari Lift. Bayangkan! Bagaimana Ino tidak memikirkan yang iya-iya?

Tinggal lima langkah menuju pintu unitnya, Ino berhenti dan memutar tubuh ke belakang. Menghadap pria itu yang secara reflek juga berhenti memandang Ino dengan heran.

"Sampai kapan kau mengikutiku, eh Stalker –san?"

Pria itu yang masih saja betah menggunakan tudung yang menutupi seluruh rambutnya gantian menggulirkan pandangan seolah Ino menumbuhkan tanduk rusa di kepalanya.

Bukannya menjawab pertanyaan Ino, pria itu malah melenggang santai melewati Ino setelah sebelumnya merogoh sesuatu di kantung jaketnya.

Ingin rasanya Ino menenggelamkan kepalanya ke inti bumi ketika netranya mengikuti tubuh pria itu hilang dibalik pintu apartemen bernomor 149 tepat di depan pintu apartemen bernomor 146. Catat itu. Kau mau tahu dimana Stalker-san itu tinggal?

TEPAT DI DEPAN UNIT APARTEMENNYA.

The Hell. Dipikirnya ini akan tetap ber-genre Thriller yang menegangkan nan mendebarkan, tetapi dalam sekejap mata malah banting setir ke Comedy yang sungguh-sungguh konyol dan membuatnya bingung harus tertawa atau menangis duluan.

Ayolah. Ingin rasanya Ino berkata kasar.

Ternyata omongan konyolnya kepada Kiba tentang 'tetangganya yang hot' itu bukanlah bualan semata.

TBC (Atau FIN?)

A/N: Udah baca Warning kan ya? Jangan nyesel loh kalo udah baca sampe A/N

P.s: Lapak sebelah ngadat dulu boleh ya? HEHEHE /kedipkedipmanjah

P.s.s: Udah ada clue belom Stalker-san nya itu siapa?

P.s.s.s: Terakhir! Enaknya lanjut gak? Atau Fin sampe segini aja biar jd oneshoot? Wkwk. Feel free buat melempar kritik dan masukan di kolom review kay. Muah.

See ya!

Skyzofrenia.