Ichie Kurosaki

Proudly Presents

The Dark Soul and Pure Heart

Rate: M

Genre: Romance-Drama

Character Pairing: Draco Malfoy-Harry Potter

Disclaimer : J. K. Rowling

Warning : Typo, BxB, Yaoi, Fluff, No-War, Bash Chara! OOC! OC!

Summary : Draco Black, seorang murid emas Gryffindor yang selalu terlibat masalah dan semua berkaitan dengan Lord Voldemort. Dan Harry Potter, Pangeran Slytherin yang dingin dan mendapat reputasi buruk meski dia adalah The Boy Who Lived. Nah, bagaimana cara takdir mempermainkan keduanya?

1981
October 31th, Malfoy Manor

Suara hembusan angin dingin membuat tengkuk Narcissa Malfoy merinding. Dia dengan kecemasan yang sangat menanti kehadiran suaminya sambil memandangi wajah anaknya yang berumur satu tahun lebih itu sedang bermain. Tidak lama setelahnya terdengar suara perapian yang menyala dan munculah suaminya yang sedang mengibas-ibaskan debu.

Terlihat sirat letih Lucius Malfoy yang biasanya berwajah dingin dan ada kekhawatiran serta panik. "Cissy! Kau harus lari!" serunya. "Dark Lord sudah gila!"

"A-apa maksudmu, dear?" tanya Narcissa takut. Dia memeluk suaminya yang balas memeluknya erat. "Apa yang terjadi?"

"Aku sangat menyesal, dear. Dark Lord berniat membunuh bayi keluarga Potter dan Longbottom karena ramalan akan kehancurannya. Dan dia curiga pada anak kita. Kita harus menyembunyikan Draco! Severus mendengar ramalan tentang Draco!" Lucius benar-benar kalut hingga matanya berkaca-kaca.

"Tapi bisakah kau jelaskan pelan-pelan?" Narcissa mengajak Lucius untuk duduk di sofa. Dia membiarkan saja Draco berguling-guling di permadani dan mulai mengemuti mainannya. Air liurnya membasahi mainan itu dan wajahnya. Lucius hanya mengernyit sedikit saat air liur anaknya menetes dan membasahi permadani dengan bulatan gelap sebagai bekasnya.

"Saat itu Severus menyampaikan ramalan yang dia dengar dari Trelawney pada Dark Lord. Ada kemungkinan jika anak dari keluarga penyihir yang tiga kali menentangnya, anak itu akan mengalahkannya. Setelahnya Dark Lord berniat membunuh bayi itu. Aku hanya bersyukur jika bayi itu bukan anak kita. Namun setelahnya Severus mendatangiku dan mengatakan jika kelahiran bayi dari pengikut Dark Lord akan menjadi penentu kehancuran Dark Lord sendiri. Dan yang mengacu jika itu Draco, adalah kelahiran yang lebih tua dua bulan!"

Narcissa menegang dan sulit untuknya menghirup udara. Apalagi Draco sudah berjalan kearah keduanya dengan cengiran yang air liurnya membasahi dagunya dan mulai mencoba melompat untuk dipeluk keduanya. Dia mengoceh dan terlihat beberapa giginya yang sudah tumbuh. Saat itulah Narcissa menangis, apalagi melihat Lucius mengangkat putra tunggal mereka dan memeluknya dengan air mata mengalir.

"Dia bilang, Dark Lord akan tahu tidak lama lagi setelah dia menyampaikan ramalan itu hanya setengah. Severus ingin kita melarikan diri. Aku akan melindungimu. Kau harus lari bersama Draco. Kau harus menyembunyikan Draco. Aku hanya ingin Draco hidup normal dan bahagia meski aku tidak ada di sisinya, Cissy." Tangis Narcissa semakin deras. Dia memeluk Lucius dan mencengkram jubah suaminya itu. "Kau memiliki sepupu 'kan? Yang tidak ada hubungannya dengan penyihir hitam. Aku tidak membicarakan Bellatrix. Tapi sepertinya kau bisa mempercayai Regulus. Bahkan aku rela jika itu Sirius!"

"Kenapa kita tidak lari bersama!?" tanya Narcissa dengan isakan. Dia menciumi pucuk kepala pirang Draco dan tercium harum bayi yang dia sukai. Mematrinya dalam ingatannya. Lucius bahkan menciumi pipi gembul Draco yang merona. Bayi itu tertawa geli akan ciuman Lucius dan bahagia dipeluki kedua orangtuanya. Tidak mengerti akan kejamnya takdir yang sedang menyiksa batin orangtuanya.

Saat itu juga Lucius terisak. Pedih membayangkan akan apa yang terjadi. "Kita harus menyembunyikan Draco. Dark Lord tahu jika kita memiliki anak. Mustahil kita bisa lari. Tidak lama lagi Dark Lord akan datang sebelum dia menyerang keluarga Potter baru berikutnya Longbottom. Severus sudah memperingatiku. Kau siap-siap. Aku akan memperkuat pertahanan Manor. Kau sebaiknya menemui Regulus. Aku akan menyusul. Ada kemungkinan kau juga dalam bahaya."

Lucius berdiri dan memeluk anaknya begitu erat membuat Narcissa menangis perih. "Lucius! Aku menyayangimu!" ujar Narcissa membuat Lucius tidak bisa menghentikan tangis pertamanya yang dilihat istrinya itu. Ini bukan waktunya mempertahankan imagenya. Dia mencium bibir istrinya dalam dan penuh perasaan.

"Aku mencintaimu. Kalian." Dia mengecupi wajah Draco seolah itu yang terakhir kalinya dan memang begitu kenyataannya. Tapi bayi itu tidak mengerti dan tertawa geli sambil menggenggam rambut Lucius dengan tangan mungilnya.

"Addy!" serunya dan memperlihatkan gigi kecilnya dalam cengiran lebar. Membuat Lucius ingin menyerah dan membiarkan mereka mati bersama demi lebih banyak waktu bersama. Tapi dia tidak bisa. Dia berikan Draco pada Narcissa yang mencoba menghapus airmatanya tapi sia-sia.

"Aku akan menulis surat demi kepentingan Draco di masa depan dan segala sesuatu soal hak warisnya. Sampaikan salamku untuk Regulus." Dia kembali menciumi istri dan anaknya penuh kasih. "Tegarlah Cissy."

"Aku mencintaimu, Lucius." Narcissa ke kamar Draco dan mengepak barang seadanya dengan penuh kesedihan. Dia memakaikan kalung berbandul huruf M dan menyihirnya dengan berbagai proteksi untuk Draco. Dia kemudian kembali ke ruang tengah dan menemukan Lucius memantrai berbagai macam mantra.

"Segera pergi temui sepupumu. Aku tunggu kabar darimu." Ujar Lucius dan mengecup Narcissa lalu memeluk erat keduanya. Seolah itu yang terakhir. Setelah keduanya mengangguk, Narcissa keluar Malfoy Manor untuk Dissaparate dan Lucius ke ruang kerjanya.

Narcissa muncul di depan Grimmauld Place. Dia mengeluarkan Patronusnya yang berbentuk burung Elang dan mengirimnya untuk Sirius Black dan Regulus Black. Setelahnya dia hanya tinggal menunggu. Dia menggendong Draco yang menguap karena mengantuk dan mulai gelisah. Bayi itu mengoceh.

"Weis ady? Weis ady?" (Where is daddy? Mana ayah?)

Narcissa ingin sekali kembali menangis. Dan itu yang dia lakukan. Dia lihat mata kelabu Draco yang indah dan menggemaskan memandangnya. Mengingatkannya akan Lucius.

"Amy?" tanya bayi itu lagi dan dengan nakalnya Draco menarik rambur pirang Narcissa. "Ady!"

"Maafkan, Mom dan Father, son." Dia terisak pelan. Tidak peduli rambutnya berantakan karena ditarik-tarik Draco. "Kau harus tahu, kau adalah anak kebanggaan dan kesayangan Mother dan Father. Kau harus jadi anak yang penurut pada Uncle Regulus dan Sirius nanti. Hiks!"

Seolah mengerti, Draco bayi terdiam dan melihat wajah meringis Narcissa yang menangis. Dia mengerjabkan mata beriris Silvernya. Dia pandangi mata Azure ibunya dan menyentuhkan telapak kecilnya pada wajah ibunya. Membuat Narcissa tertawa kecil.

"Jangan jadi anak yang nakal, Draco. Kau harus jadi murid terpandai seperti Mother. Dan jadi Seeker yang hebat seperti Father. Kau harus rajin belajar. Kau juga boleh bermain tapi dengan teman yang baik dan yang bisa kau percayai. Dan jangan boros dan tabunglah uang jajanmu. Jangan ikuti Uncle Sirius yang nakal dan suka berbuat onar."

Bunyi apparate membuat Narcissa menghentikan isakan kecil dan tangis menyedihkannya. Dia menoleh dan mendapati Regulus yang berjalan cepat kearahnya. Dia menghapus airmatanya. "Regulus!"

"Narcissa, apa yang terjadi?" tanya Regulus dan memandang bingung pada keduanya. "Kenapa kau bawa-bawa Draco keluar di saat berbahaya seperti ini!?"

"Dark Lord mengincar Draco!" jawab Narcissa panik. "Aku dan Lucius sepakat menyembunyikannya. Aku ingin-"

Kembali bunyi apparate menghentikan perbincangan keduanya dan munculah Sirius. Dia berwajah gusar dan melangkah kesal kearah dua saudaranya.

"Apa kalian ingin merekrutku jadi Death Eater?" tanyanya sinis dan menyindir. Tapi kemudian ada kerutan di dahinya saat melihat Draco. "Ngapain kau bawa-bawa anakmu, Narcissa?"

Narcissa ingin sekali memutar bola mata birunya. Namun dia menahannya dan terlalu lelah. "Aku ingin menitipkan Draco pada kalian. Dark Lord mengincar keluargaku karena ramalan sialan! Kami harus menyembunyikan Draco. Lucius meminta tolong pada kalian. Dia sedang berusaha menahan kedatangan Dark Lord dan memberiku waktu untuk menyembunyikan Draco."

"Dengar ya, sepupuku. Aku bukan penitipan bayi. Lagi pula, kau yakin adik ularku ini tidak akan menyerahkan anakmu begitu saja pada tuannya?" sindir Sirius lagi. Dia tidak peduli pada wajah tercengang Narcissa.

"Aku sangat percaya padanya. Kalau ada yang bisa berkhianat lebih dari siapa pun pada Dark Lord sebagai Death Eater, itu Regulus! Kau tidak tahu 'kan? Lucius bilang, Regulus adalah orang yang bisa kau pertaruhkan nyawa untuknya. Dan aku mempertaruhkan nyawa Draco, pada kalian! Aku tidak bisa menitipkannya pada Severus meski dia adalah ayah baptis Draco. Karena Severus juga menyarankan nama kalian. Keluarga sedarah membuatnya lebih aman."

Wajah Sirius berubah dan dia berusaha tidak sesinis tadi pada dua saudaranya. Dia bahkan diam saja saat Regulus menggendong Draco yang langsung menjambak rambutnya. Dia cukup terkejut saat Regulus tidak mencoba membanting Draco yang mencakari wajahnya.

"Maaf, dia juga sering menjambak Lucius. Aku akan menjemput Lucius. Aku harus tahu keadaanya. Aku berharap banyak kalian akan menjaganya dan menjauhkannya dari sihir hitam. Dalam ramalan sialan itu, dikatakan jika dia adalah penentu hancurnya Dark Lord. Aku dan Lucius hanya ingin Draco tumbuh normal seperti anak lainnya dan tidak terlibat apa pun dalam perang ini. Maafkan aku!"

Sirius menepuk pundak Narcissa dengan ragu dan terkejut saat Narcissa malah memeluknya. "Jangan ajari dia jadi biang onar, Sirius. Terima kasih kau mau menjaga Draco. Kau sepupu yang kusukai, kau tahu." Sirius terkekeh dan menepuk punggung Narcissa.

"Aku ragu, Narcissa. Apa lagi dia laki-laki. Tenang saja, dia akan jadi anak paling bahagia di Hogwarts dan bersahabat dengan anak baptisku, Prongslet."

"Tenang, Cissa. Aku jaga Draco dari paman gila sepertinya." Regulus menjauhkan Draco bayi yang mau menjambak rambut panjang Sirius. "Jangan dekati keponakanku!"

"Hei! Dia juga keponakanku!" seru Sirius pura-pura marah. Hingga mereka berdua lega saat Narcissa sudah bisa tertawa kecil dan melepas pelukannya dari Sirius.

"Maafkan Mother, son!" Narcissa mengecup pipi Draco dengan tangisnya yang kembali menderas. Air matanya kembali mengalir dan dadanya begitu sesak meninggalkan anak tunggalnya. Seolah dia kehilangan udara.

"Cissa, terlalu berbahaya jika kau kembali. Sebaiknya kau tetap bersama kami." Saran Regulus dan meringis sedikit saat bayi itu mencengkram pipinya dengan wajah gemas marah. "Auw! Draco, kenapa kau gemas begitu?"

"Aku juga pasti sedang dikejar Death Eater. Terlalu berisiko tetap bersama Draco. Aku harus menyusul Lucius. Dan membawanya ke sini. Aku akan kembali." Narcissa merasakan kekhawatiran pada suaminya.

"Aku ada urusan dengan Hagrid yang ingin meminjam motorku. Setelahnya aku akan ke rumah James. Aku harus ke sana untuk mengecek keadaannya. Aku akan ke manormu Narcissa dan membantu kalian." Sirius memandang keduanya.

"Berhati-hatilah, aku akan bawa masuk Draco." Regulus mengangguk pada Narcissa dan Sirius sebelum keduanya pergi dengan Dissaparate. Regulus memandang Draco yang balas memandangnya dengan mata serupa. "Nah, Slytherin kecil, kau berurusan denganku." Regulus tersenyum saat Draco tertawa karena dia menciumi wajah bulat bayi itu. Dia meringis saat Draco mencengkram pipinya dengan tangan kecilnya. Wajah bayi itu begitu lucu saat menggeram gemas.

Regulus tidak tahu jika saat Narcissa kembali ke manor, dia berhadapan dengan Voldemort yang memaksanya mengatakan keberadaan Draco. Dan itu adalah saat terakhir Narcissa yang menyaksikan Peter Pettigrew menyeringai dan melihat Lucius tergeletak di sebelahnya tanpa nyawa. Dia meninggal setelah membayangkan saat terakhir dia dan Lucius memeluk Draco yang tertawa. Setelahnya api melahap Malfoy Manor.

Dan Regulus juga tidak tahu jika Sirius tidak menyusul Narcissa karena diserang oleh Peter Pettigrew dan ditangkap para Auror dan dimasukkan ke Azkaban. Regulus tidak tahu hingga dia terlelap bersama Draco di kamarnya. Dan ketika esoknya, dia menemukan berita itu dari Daily Prophet dengan kehancuran di hatinya. Bahkan lenyapnya Voldemort tidak mengurangi kepedihannya akan meninggalnya Narcissa dan Lucius serta masuknya Sirius ke Azkaban.

Dia menangis sambil memeluk Draco bayi yang masih tidak mengerti apa pun. Tidak mengerti jika ayah dan ibunya telah meninggal dalam kebakaran di rumah mereka sendiri. Dan pamannya difitnah hingga dipenjara.

Xxxx

Ten Years Later
1990
Grimmauld Place, London

Berguncangnya kasur pagi itu membangunkan Regulus dari tidur nyenyaknya dan menemukan keponakan tersayangnya sedang melompat-lompat. Dia mengerang kesal dan menarik Draco hingga anak itu jatuh kepelukan mautnya. Bocah sepuluh tahun itu tertawa keras dalam dekapan pamannya.

"Ampun Uncle!" serunya dengan tawa geli. "Habisnya kau tidur seperti orang sekarat!"

"Kau menantangku hah? Bocah kecil yang licik!" Regulus menggelitik perut anak berambut pirang itu hingga tawa keduanya memenuhi kamar besar Regulus. Dia menghentikan serangannya saat Draco sudah tertawa dengan air mata di sudut matanya. "Nah, sana turun ke bawah, aku akan menyusulmu, son."

"Aye, Uncle Reggy!" Draco memberi hormat lalu melarikan diri sebelum Regulus menangkapnya. Bocah itu tertawa sepanjang koridor karena puas meledek pamannya.

Suara tawa Draco yang meredup membuat senyum Regulus ikut meluntur. Dia menahan kepedihannya mengingat sepinya tempat ini. "Cissa, keinginanmu terkabul. Draco tumbuh jadi anak dengan kehidupan normal yang kau inginkan tanpa sihir hitam sedikit pun di sekitarnya. Kuharap kau setuju dengan keputusanku meminta perlindungan Orde untuk Draco. Kau pasti ingin dia berteman dengan teman yang baik juga 'kan?

"Dia hidup dengan bahagia, Lucius, Cissa. Meski Sirius tidak menanamkan keonaran, dia tetap saja jadi biang onar." Suara tawa pelan itu terdengar menyedihkan. Apa lagi dia mengingat Sirius yang mendekam di Azkaban karena tuduhan membunuh sahabatnya sendiri dan beberapa muggle. Meski Regulus tidak mempercayai berita itu, dia tetap saja kecewa.

Setelah sikat gigi, Regulus menyusul Draco yang sedang mengguncang-guncangkan kadonya demi mendengar apa isi kado itu. Bibir tipisnya sedang mengapit cookies coklat buatan Kreacher. "Uncle, mana kado darimu?" tanyanya setelah melepas kue itu dari mulutnya dan mengunyah sisanya.

"Kau masih butuh kado, kid?" tanya Regulus dengan seringai. Membuat anak berambut pirang itu merengut. Dia menghindar saat Draco mau melemparnya dengan kue. "Hahaha, ambil saja di kasurmu."

Matanya melebar dan secepat kilat dia berlari ke kamarnya. Lalu terdengar teriakan senang dari anak itu. Regulus terkekeh saja dan duduk di sofa depan perapian. Ada beberapa kado dari anggota Orde Pheonix untuk Draco. Regulus butuh banyak alasan yang dia karang agar mereka mau melindungi Draco tanpa harus membongkar identitasnya.

Tidak ada yang tahu jika Draco adalah pewaris Malfoy. Mereka hanya tahu jika Draco adalah keponakan Regulus yang orang tuanya juga Death Eater yang berkhianat hingga Draco diincar Death Eater lain. Bahkan Albus Dumbledore pun sempat mencurigai Draco namun Regulus meyakinkan pria tua itu jika dia hanya butuh perlindungan untuk Draco.

Terdengar seperti gemuruh badai saat Draco turun dengan langkah berderap dan memandang Regulus penuh harap. "Kita akan ke The Burrow 'kan?" tanya bocah pirang itu dengan antusias.

Regulus mengangguk saja. Mengingat saat ada pertemuan terakhir beberapa tahun lalu saat Regulus meminta penyamaran untuk Draco. Anaknya itu sangat akrab dengan anak lelaki keluarga Weasley yang seumuran. Segera saja Draco yang manja tidak mau berpisah saat menemukan teman sebaya. Regulus tidak pernah mencarikan Draco teman.

Karena Regulus saja susah payah menghindari teman-teman penyihir hitamnya. Dan canggung saat dia meminta tolong Albus Dumbledore. Jika saja saat itu pria tua itu tidak mengajaknya berkenalan dengan keluarga Weasley, Draco mungkin tidak punya teman sama sekali. Mengingat ketatnya Regulus menjaga Draco.

"Menginap?" pandangan Draco dengan iris kelabunya yang melebar membuat Regulus menghela napas berat. Itu tatapan memohon kelemahan Regulus. Serius deh, dia paling tidak tahan saat Draco menatapnya begitu.

"Ya, ya, siapkan barangmu!" keluh Regulus. Dia meminum coklat panas yang disediakan Kreacher. Sambil mengingat kembali saat dia sendiri dalam dukanya. Dia tidak bisa menenangkan Draco yang bangun tidur dan menangis kencang. Dia bingung dan kalut. Hingga dia akhirnya mengirim Patronus Serigalanya untuk sepupunya yang bisa dia harapkan, Andromeda.

Andromeda datang dan menemukan dia menangis bersama Draco dalam dekapannya. Sepupunya itu tidak bertanya apa pun. Hanya memeluknya beberapa saat dan membantunya mengurus Draco. Andromeda mengajarinya cara mengurus Draco dan dia juga yang mendengarkan cerita Regulus. Andromedalah yang menyarankannya meminta perlindungan Albus Dumbledore.

Dan selama ini hanya pada Andromeda dan keluarga Weasley Regulus berinteraksi. Sepertinya Albus memikirkan Draco jauh ke depan. Regulus paham alasan Albus mengenalkannya pada keluarga Weasley, semata-mata kakek tua itu menginginkan kebahagiaan Draco.

Tidak mudah untuk Regulus menghadapi ini sendirian. Kehilangan Narcissa dan ditinggal Sirius kadang membuatnya putus asa. Namun hanya dengan melihat wajah Draco, dia kembali mendapatkan semangatnya. Dia jadi ingin tertawa saat Draco mencoba belajar berekspresi dingin sepertinya di depan orang lain, tidak ada seminggu hingga anak itu menyerah.

Dan dia kembali mendengus bosan saat terdengar suara gaduh karena Draco yang mencoba mengepak barang. Dasar tuan muda yang manja!

Xxxx

Little Whinging, Surrey

Bola mata beriris hijau cemerlang itu menatap benci pada pamannya yang mencengkram kerah bajunya. Hingga dia ditarik dan didorong masuk ke lemarinya.

"Kau tidak akan dapat makan malam!" seru pria gendut bernama Vernon Dursley itu. "Dasar bajingan kecil, merusak sarapan pagiku di hari natal."

Anak kecil bernama Harry Potter itu menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. Jika dia menangis, hukumannya akan bertambah. Dia benar-benar membenci hidupnya. Menjadi bulan-bulanan sepupunya yang seperti babi itu. Dan juga kenapa dia harus terlahir menjadi anak aneh?

Hingga kapan dia harus menahan penderitaan seperti ini? Kalau saja dia punya kekuatan, dia akan melakukan apa pun yang dia sukai. Dan akan menghancurkan semua yang dia benci. Hanya karena menjatuhkan telur, dia harus menerima jambakan pagi ini. Dia menyentuh sedikit pipinya dan sudut bibirnya yang berdarah karena dipukul.

Heh, siapa yang peduli dia terluka? Seluruh tubuhnya sudah penuh luka entah sejak kapan. Tapi itu tidak sebanding dengan luka hatinya. Dia sudah tidak punya harga diri lagi. Kenapa dia tidak ikut mati saat kecelakaan mobil bersama orangtuanya? Jadi dia tidak perlu menderita seperti ini.

Dia hanya ingin bahagia. Hanya ingin hidup normal seperti anak lain. Kenapa dia tidak layak mendapatkannya? Ironis sekali Takdir membencinya. Dan air mata mengalir dari iris Emerald miliknya. Dia tahan jeritan pilu yang ingin dia teriakan. Dia menjerit tanpa suara. Dan menangis dalam diam.

Harry Potter membenci hidupnya.

Xxxx

Couple months later
1991, Diagon Alley

Saat itu Draco sedang memandang sekeliling ketika Regulus bertemu dengan seseorang yang berbadan besar. Dia diam saja dan memandang pria besar yang jenggotan itu. Sepertinya teman Regulus itu raksaksa.

"Albus suruh aku ambil sesuatu di vault 713, di Gringgrots," ujar pria besar itu. Dia sempat melihat Draco yang sembunyi di belakang Regulus namun berlalu begitu saja. Draco melihat ada anak kecil yang berjalan bersama raksaksa itu.

"Dia itu Hagrid. Dia yang akan kau temui di Hogwarts, son" kata Regulus. "Ayo kita beli perlengkapan Hogwartsmu. Orangtuamu pasti senang dan bangga mengetahui kau masuk Hogwarts." Draco bisa melihat senyum sendu yang tipis milik Regulus. Dan dia tidak menyukai senyum jenis itu.

"Aku tidak mau masuk Slytherin," sahut Draco tiba-tiba membuat Regulus membeku hingga berhenti melangkah. Dia memandang Draco meminta penjelasan. "Itu tempat penyihir yang membunuh Mom dan Dad. Aku mau masuk asrama mana pun, asal tidak di asrama itu."

"Aku akan bangga di mana pun kau berasrama, kid" Regulus tersenyum tipis dan kembali menarik Draco berjalan. Draco juga benci senyum sedih yang ditutupi itu.

Cukup lama Draco berbelanja bersama Regulus. Hingga pamannya itu meninggalkannya di toko Madam Malkin untuk membeli perlengkapan kerjanya. Dan Draco bertemu lagi dengan anak kecil yang seumurannya yang bersama raksasa tadi. Dia datang saat Draco menunggu di belakang toko.

"Hallo, aku Draconis Xander Black" kata Draco untuk menarik perhatian anak itu. Dan Draco senang saat usahanya berhasil. Dia lihat anak itu menoleh padanya. Dan nyali Draco ciut saat anak itu memandangnya begitu dingin. Persis tatapan Regulus saat bertemu orang baru. "Ehm, kalau kau?"

"Harry" sahut anak itu singkat dan kembali memandang ke arah lain. Draco yakin Harry itu anak baik karena masih menjaga kesopanan untu menjawabnya. Seperti Regulus yang sangat baik.

"Kau tahun pertama juga 'kan? Kita sama kalau begitu. Apa kau sudah tahu akan masuk asrama mana? Aku ingin seperti saudaraku Tonks, di Gryffindor." Lanjut Draco. Namun dia malah mendapati anak itu mengernyit bingung. Dan itu membuat Draco ikut bingung. "Apa kau-"

Saat anak itu mengernyit tidak suka padanya, Draco terdiam. Hingga anak itu pergi bersama Hagrid yang membawa sangkar berisi burung hantu yang berwarna putih. Draco kini menunduk sedih. Ternyata tidak semua orang bisa kau jadikan teman. Kenapa begitu mudah dengan Ron dan keluarga Weasley, bahkan Tonks, tapi tidak dengan anak tadi. Apa Draco menyinggungnya?

Dan pikiran itu membuatnya sedih. Bahkan makan es krim di Florean Fortescue bersama Regulus tidak membuatnya merasa lebih baik.

Xxxx

Saat sampai di rumah, Draco masih murung. Bahkan kini Regulus sudah memandangnya khawatir. Anak berkulit putih ivory itu duduk di sofa depan perapian dan melamun menatap ke perapian. Hingga dia terkejut saat api itu menyala dan munculah seseorang yang pandangan matanya persis Regulus.

"Severus!" serunya.

Severus Snape tidak membalas sapaan Draco. Dia mengangkat alisnya melihat Draco dan datanglah Regulus dari dapur dengan dua gelas mug berisi coklat hangat.

"Sev?" sapa Regulus dan duduk di sisi Draco. "Lihat anak baptismu ini. Dia murung sejak kembali dari Diagon Alley." Regulus tidak terpengaruh pada tatapan tajam Draco. "Ceritakan ada apa!"

Draco mengambil mug dari tangan Regulus dan berpaling. Dia makin tertekan saat Severus malah duduk santai di sofa tunggal. Menantinya bercerita. Dan Draco mengeluh.

"Tadi aku mencoba berkenalan dengan seseorang anak yang juga masuk Hogwarts di toko Madam Malkin. Tapi anak itu sama dinginnya dengan kalian. Kupikir dia juga pasti baik. Tapi dia dingin sekali dan kupikir dia tidak menyukaiku." Menunduknya Draco dengan wajah murung membuat Severus mendengus.

"Jangan cengeng!" ketus Severus. Itu membuat Draco cemberut dan berlari ke kamarnya. Tindakan kekanakan itu membuat Regulus menghela napas.

"Kenapa kau begitu?" tegur Regulus. "Lihat dia jadi ngambek!"

"Kau terlalu memanjakannya!" sahut Severus dingin. "Aku ingin bicara serius. Buku sihir nama murid tidak bisa dibohongi. Namanya tetap tertulis sebagai Malfoy. Tapi kau tenang saja, guru-guru di Hogwarts sudah mengantisipasi mengubah namanya."

"Kau tahu apa yang membuatku terkejut sekali hari ini?" tanya Regulus setelah hening cukup lama. Mata kelabunya yang mirip mata Draco memandang kosong ke perapian.

"Kau pikir aku peramal," jawab Severus datar.

"Draco tidak mau masuk Slytherin. Dia ingin masuk asrama lain. Asal bukan Slytherin. Dia membenci Dark Lord hingga tidak mau menginjak asrama yang sama." Lanjut Regulus tidak peduli reaksi Severus.

"Kau tidak menekannya 'kan?" Severus memandang curiga pada Regulus. Dibalas tatapan keji oleh Regulus yang tidak terima dituduh begitu.

"Tidak" sahut Regulus dan dia mengalihkan tatapan kearah lain. Entah kenapa, hal itu begitu mengganggunya. Meski dia bangga akan pemikiran Draco yang tidak biasa itu.

Xxxx

King Cross station

Senyum tidak muncul di wajah Draco saat itu. Lebih tepat jika dikatakan tegang. Regulus dengan wajah datarnya mengacak rambut Draco yang langsung diprotes anak itu. Dia mendengus saat memperhatikan tingkah Draco yang begitu peduli pada penampilannya. Khas ayahnya meski anak itu tidak sadar.

"Aku akan merindukan kegaduhan ala Gryffindor darimu di rumah." Komentar Regulus itu mendapat tatapan ganas dari Draco. Namun tidak lama hingga dia melihat keluarga Weasley yang datang dan dia tersenyum senang melihat si kembar dan Ron. Tapi senyumnya tidak bertahan lama hingga dia melihat anak yang dia temui di toko Madam Malkin waktu itu. Harry.

Draco tersenyum kaku pada Regulus dan memeluknya. Setelah ceramah singkat dari pamannya itu, dia menyusul Ron yang sudah masuk ke dalam kereta. Dia mau memperingati Ron soal anak yang dingin itu. Ketika dia masuk kompartemen yang sama dengan Ron dan menemukan temannya itu duduk sendiri, dia melihat jika Harry sedang berjalan ke ujung kereta. Mungkin mencari tempat kosong lain demi menyendiri.

Ron menyambutnya dan mereka mengobrol selama perjalanan. Saat asik mengobrol, ada anak perempuan yang menginterupsi dengan menanyakan apakah mereka melihat kodok milik seorang anak lain bernama Neville. Ron berkomentar jika dia tidak menyukai sikap anak tersebut yang terlihat sok. Sedangkan Draco bersyukur anak itu mengingatkan mereka untuk ganti baju.

Ketika mereka akhirnya sampai di Stasiun Hogsmaede, Hagrid menggiring anak kelas satu untuk ke danau dan naik perahu. Draco senang sekali dan kagum melihat kastil Hogwarts yang besar. Draco satu perahu dengan Ron dan anak yang kehilangan katak juga gadis berambut coklat mengembang tadi. Dia melihat Harry duduk bersama anak laki-laki berambut coklat gelap, gadis yang sama dinginnya berambut pirang dan gadis lain berambut hitam pendek.

Dan Draco merasa dia tidak harus berdekatan dengan mereka yang wajahnya berekspresi seperti Regulus. Hingga sampai mereka bertemu Professor McGonagall dan akhirnya acara Topi Seleksi. Draco merasa kakinya menempel pada lantai dan dia begitu gugup. Dia lihat semua sama pucatnya, kecuali anak berambut hitam yang dia tahu bernama Harry itu. Meski Draco jadi tidak menyukainya, anak itu entah kenapa selalu jadi perhatian Draco.

Harry terlihat menghembuskan napasnya dan berjalan menjauhi kerumunan tengah. Sepertinya dia tidak suka berada di keramaian. Hingga seleksi dimulai dan Draco merasa perutnya mulas. Gadis berambut mengembang berwarna coklat yang terlihat gugup masuk Gryffindor. Dia terlihat senang sekali ketika disambut di asrama itu. Draco lihat si kembar Weasley mengedip padanya membuat Draco tertawa.

Namun tawanya mengering saat namanya dipanggil

"Black, Draconis" suara McGonagall membuatnya membeku. Seketika Aula hening dan Draco makin gugup. Dia mendengar desas-desus dan suara bisik-bisik.

"Bukankah keluarga itu sudah tidak ada? Keluarga penyihir hitam yang salah satunya di Azkaban?"

Draco duduk dan pandangan orang-orang adalah yang terakhir dia lihat sebelum topi seleksi menutupi matanya. Dan dia mendengar suara topi seleksi yang bergumam. "Cerdas, hmm-" Dalam hati, Draco membatin, 'jangan Slytherin, jangan Slytherin kumohon!'.

"Jangan Slytherin, eh? Tapi kau masuk kualifikasi di sana. Darah Slytherin mengalir deras di tubuhmu. Kau yakin tidak mau di sana? Tidak?-ehm-baiklah, GRYFFINDOR!"

Saat mengangkat topi itu, meja Gryffindor pecah riuh dan Draco turun ke meja Gryffindor dengan tawa senangnya. Rambutnya diacak gemas oleh si kembar Weasley. "Kau berhasil, Draco!"

Dia lihat Ron yang tersenyum meski wajahnya masih pucat dan dia tegang. Hingga Aula kembali sunyi saat McGonagall melanjutkan seleksi. "Potter, Harry!"

Dan Draco memperbesar matanya saat melihat Harry, anak yang dingin itu, naik ke bangku Topi Seleksi dengan wajah dinginnya meski dengungan tidak percaya menyebar. Ini lebih parah dibanding saat nama Draco disebut tadi. Tapi kelihatan sekali Harry tidak suka akan keadaan itu. Draco tidak percaya jika Harry adalah Harry Potter!

Xxxx

Harry duduk dan topi seleksi menutupi matanya. Dia dengar topi itu berguman kecil di telinganya. "Sulit. Sangat sulit. Keberanian besar, rupanya. Otak juga encer. Ada bakat, oh, astaga, ya-dan kehausan untuk membuktikan diri, ah, itu menarik…Jadi, sebaiknya di mana kau kutempatkan?"

Harry diam saja dan mulai merasa tidak nyaman karena dengungan bingung semakin terdengar. Rupanya seleksinya lebih lama dibanding anak-anak lain.

"Kau punya kualifikasi untuk keempat asrama, wah, kau begitu ambisius ternyata. Kau bisa jadi penyihir hebat, semuanya ada di kepalamu, dan Slytherin bisa membantumu mencapai kemasyhuran, tak diragukan lagi-lebih baik SLYTHERIN!"

Tidak ada suara gemuruh penyambutan dan Harry, meski bingung dan ganjil tetap diam dan sedikit peduli. Dia melihat Hagrid terlalu shock dan menjatuhkan pialanya. Bahkan si kembar Weasley yang membantunya mengangkat koper, terdiam tidak percaya. Profesor Dumbledore dan seluruh anak Slytherinlah yang memecahkan kehenyakan itu dengan tepuk tangan pelan.

Harry turun dari bangku, dan berjalan dingin ke meja Slytherin dan duduk di sana, di samping Daphne Greengrass yang dikenalnya dari kompartemen. Dia melirik Draconis Black yang masih memandangnya tidak percaya. Tapi dia acuhkan saja bocah pirang itu dan menoleh pada Dhapne yang mengangkat sedikit sudut bibirnya.

"Sudah kubilang, kau akan membuat Hogwarts gempar. Tapi tadinya aku juga menduga kau akan masuk Gryffindor. Tidak kusangka kau meledakan dunia sihir dengan masuk Slytherin. Mereka menganga bodoh, kau lihat?"

Harry tersenyum kecil, "Terima kasih, tapi aku tidak peduli. Sungguh. Di mana pun yang bisa membuatku kuat."

"Jadi itu alasan topi seleksi memasukanmu ke sini, ambisi ya?" tanya Daphne dan keduanya tepuk tangan saat teman mereka, Blaise Zabini masuk Slytherin. Anak pendiam itu duduk di samping Harry dan dia menjadi penutup di acara topi seleksi.

Ya, Harry Potter masuk Slytherin. Tidak ada yang menyangka.

To be Continued….

Ichie's Note :

Sumimasen desu minna san…~

Hollaaaa, Minna-san! /tebar kemiri/pada item/

Gomen-ne, Mianhae, So sorry! Sekuel The Beauty of Silver Eyes masih dalam perjalanan. /lirik truk gandeng/

Jujur ragu buat bikin sekuel karena takutnya lebih jelek dibanding aslinya. Atau gak sesuai harapan reader. Makasih buat yang dukung Ichie, Arras-hyung (kecup2) dan sierra-san. Ini projek baru multichap yg Ichie janjiin. Tehee, masih dalam pengerjaan. Ichie mau liat respon reader atas ff ini sekalian Vote buat kelanjutannya. Harap bales di PM atau kolom Review, yg mau kasih saran atau tanya2 bisa lewat PM, pasti Ichie bales karena kalo lewat Review kadang kelewatan. Gomen reader san. Tapi seberusaha mungkin Ichie bales review kalian. Karena Ichie akan aktif di ff ini. Semoga kalian suka. Nah buat votenya. Akan ada sesi request buat Pairing.

1. Kalian mau ini jadi Pair Draco-Harry atau Harry-Draco?

2. Kasih saran Pairing siapa lagi yang mau kalian masukin di ff ini, contoh kayak, Ron-Hermione, Ron-Theo, atau Blaise-Hermione, Blaise-Daphne, Sirius-Regulus, atau Sirius-Remus, atau atau… terserah kalian. Bahkan Tom-Harry juga boleh.

3. Kalian boleh masukin ide cerita, pasti Ichie akan kasih kalian klaim kalo pada chapter berapa itu ide dari kalian. Boleh minta fluff, akan Ichie kasih. Yang jelas Ichie minta keakktifan kalian pada ff ini. It's all depending on you! Jadi jalan cerita ini akan buat kita puas.

4. Juga ada sesi tanya jawab, yang di chap berikutnya akan Ichie cantumin di Author's Note setelah update chap 2.

Update Chapter 2 ; Wednesday, 13th July 2016

"Dia itu Harry Potter!"

"Apa kau akan melarangku, jika aku mencoba dekat dengannya? Ron tidak suka Potter, katanya Potter itu sok kaya dan sombong."

"Aku punya urusan dengan Black"

"Apa hubunganmu dengan Potter?"

"Ya, ada urusan apa kau dengan si sombong Harry Potter itu?"

"Bagaimana jika aku memilih memihak Voldemort?"

"Itukah alasanmu masuk Slytherin!?"

Preview

See You Next Chapter!