Anti-System
By : Mikazuki Hikari
Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi©
All Chara belong to Fujimaki Sensei
This Fiction belongs to Mikazuki Hikari
No Profit Gained by writing this Fiction
Rate : T
Genre : Romance
Pairing : Akashi.S x Kuroko.T
Warning : Shonen-Ai, Male x Male, Alternate Universe (AU), Out of Character (OOC)
Don't Like Don't Read
I have warned you
.
.
.
"Kau tidak melakukannya secara benar Tetsuya!"
"Apa sih yang bisa kau kerjakan?!"
"Kalau tidak bisa melakukannya lebih baik tidak usah."
"Lihat lah yah, anakmu ini hanya melakukannya hanya karena ia ingin dilihat orang lain."
"Mengapa nilaimu turun Tetsuya."
"Kau tidak belajar ya?"
"Ini seharusnya tidak seperti ini."
"Bukannya lebih baik kalau kau mengalihkannya untuk hal yang lebih berguna?"
"Bukannya itu tidak penting sama sekali?"
"Memangnya kau tidak bisa peka sedikit Tetsu? Aku sayang padamu."
"Bukankah kami sudah bilang kalau kau seharusnya melakukannya seperti ini."
"Kau seharusnya melakukan seperti apa yang kami kehendaki, bukan seperti ini."
"Kau tidak pernah mengerti…."
Kau-
.
.
.
Anti-System
Mikazuki Hikari
.
.
.
Aku berjalan menyusur trotoar menuju swalayan terdekat dari rumahku. Udara dingin menyusup hingga ke lapisan baju terdalamku. Entah ini sudah tanggal berapa namun udara masih saja sedingin ini. Pintu kaca otomatis supermarket yang berembun itu kini sudah nampak di depan mataku.
Mari kita lihat…..
Wortel, Kentang, Bumbu kare, dan brokoli, juga beberapa alat kebersihan. Aku mengambil troli besi tua yang rodanya sudah hampir tertutup oleh karat permukaannya itu, dan mendorong menuju ke rak tempat cairan pembersih kamar mandi karena memang letaknya leih dekat dari kumpulan troli-troli tua yang ada di depan pintu.
Satu persatu mulai kuambil menurut daftar yang ibu tiriku berikan padaku. Ibu tiri? Pasti kalian bertanya-tanya bukan?
Kedua orang tuaku meninggal beberapa tahun silam. Kini aku tinggal bersama adik ayahku beserta istrinya yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri maka dari itu, aku menyebutnya sebagai ibu tiri walaupun pada kesehariannya, beliau masih ku panggil dengan sebutan bibi.
Mari kita lihat, selanjutnya aku harus mencari bumbu kare. Kalau tidak salah letaknya berdekatan dengan rak tempat makanan ringan. Aku mendorong troli tua itu perlahan, karena memang sudah terasa sangat berat karena karat yang menutupi permukaannya, sejenak aku melihat makanan ringan kesukaanku terpajang di rak besar bersama dengan jenis makanan ringan lainnya. Tanganku menjamah bungkus merah besar itu.
'Kau seharusnya tidak menghamburkan uang hanya untuk memenuhi keinginanmu Tetsuya.'
Ah…..
Aku meletakkan kembali bungkusan merah itu kembali pada tempat ia berdiri tadi. Aku berjalan melewati lorong yang dibentuk rak besar itu dan akhirnya tiba pada bumbu kare yang ibu suruh beli.
Aku kembali melihat daftar belanjaan yang sudah sedikit kucal itu dan melihat tulisan brokoli yang kini sudah sedikit pudar, karena rematanku, dibawah tulisan bumbu kare. Bak besar berisikan sayur mayur sudah nampak jelas di depan mataku, tanpa pikir panjang aku langsung beranjak menuju kesana.
Brokoli ini sudah sedikit layu, tapi setidaknya masih bisa untuk dimakan kalau memang hari ini juga benda ini dimasak. Tapi, apa orang itu tidak akan mengomentari hal ini nantinya? Tapi, jika aku tidak membelinya sama sekali, ucapannya akan menjadi lebih tajam dari apabila aku membeli yang layu ini.
.
.
.
"Aku pul-"
"Lama sekali? Kau pergi kemana dulu? Memang kau kira tidak ada kerjaan yang menunggu di rumah ini? Hebat sekali kau bisa mengulur waktu selama ini." Wanita tua itu meletakkan kedua tangannya. Nenekku yang sedang marah karena alasan yang sangat tidak masuk akal itu lebih menyeramkan dari mimpi buruk paling seram yang pernah kau lihat.
Aku melihat pada jam tangan yang masih melingkar pada tanganku. Aku baru pergi selama empat puluh lima menit.
"Kau ini tidak bisa menghargai waktu ya? Apa orang tuamu dulu tidak mengajarkanmu. Hey anak muda, kalau bukan aku yang menasihatimu siapa lagi? Apa kedua orang tuamu akan bangkit dari kuburan dan datang menasihatimu?" aku bisa melihat urat kemarahan bertengger di dahinya yang sudah keriput.
Lagi-lagi aku melakukan kesalahan.
Aku melangkahkan kakiku dan menuju kearah dapur untuk membersihkan sayur yang baru saja kuberikan.
"Kakek, apa tidak melihat kalau cucumu itu tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar?" wanita tua itu mengejarku dengan omelannya hingga ke dapur.
"Sudah lah, dia sudah melakukan apa yang ia bisa." Sanggah Kakekku.
Namun tetap saja aku masih bisa mendengar sumpah serapah, dan juga cacian yang tertuju padaku. Ingin menangis?
Terlambat. Aku sudah terlalu kebal dengan semua ini.
Aku beranjak ke tempat tidurku saat semua sayur itu sudah bersih benar. Badanku sangat lelah, bukan karena aku baru saja pergi berbelanja, tidak, bukan karena itu. Ucapan nenek yang menurutku sangat keterlaluan itu membuat letih ini menjadi semakin menjadi.
Aku memejamkan mataku saat lampu yang ada di kamarku sudah kumatikan.
"Bisa-bisanya kau tidur-tiduran dan bermalas-malasan seperti ini. Memang rumah ini bisa bersih dengan sendirinya?"
Entah sejak kapan, nenek sudah ada di depan tempat tidurku.
"Sebentar sore pamanmu datang, dan aku ingin semua makanan itu sudah ada diatas meja, dan rumah ini, harus sudah bersih sebelum pukul empat."
Aku tidak bisa membantah. Walau rasanya ingin, aku teringat pesan mendiang ayah untuk tidak durhaka kepada orang tua walaupun keinginannya itu tidak lah masuk akal. Ayah juga sudah memberi tahuku kalau memang nenek seperti itu.
.
.
.
TIIINN
Bunyi klakson mobil terdengar menggema diseluruh rumah dan aku bergegas membuka pagar pintu rumah kami. Tampak paman dan bibi—ah tidak, kedua orang tua tiriku datang dengan mobil hitam besar milik mereka.
"Ah Toshi, kau sudah datang rupanya." Nenek menyambut hangat pamanku dan memeluk tubuh tambun pria paruh baya itu.
"Tetsuya, bawakan semua barang yang ada di dalam mobil itu masuk." Ibu menunjuk ke arah pintu mobil yang sudah menganga. Kujumpai tumpukkan pakaian kotor dan perlengkapan milik mereka dalam jumlah yang tidak bisa dibawa dalam sekali angkut.
Mereka berdua ditugaskan di Osaka selama lima tahun saat paman, maksudku ayah naik pangkat.
Nenek sangat sayang padanya. Kata mendiang ayahku, pamanku ini adalah anak emasnya jadi tak heran melihat caranya memeluk dan menciumi pria itu tadi.
"Toshi kau tahu? Anak ini sangat tidak berguna." Mata yang kemerahan itu mendelik tajam kearahku.
"Memang kau tidak mendengarkan apa yang selalu kubilang Tetsuya? Tidakkah kau bisa menghargai nenekmu sedikit saja?"
"Menghargai? Aku bahkan diperlakukan seperti keset olehnya."
PLAK!
Dengan satu hantaman keras tubuhku terjatuh hingga ke lantai. Rona kemerahan menyala terang pada pipiku.
"Beraninya kau memerlakukan nenek seperti itu!"
"Benar Toshihiko, anak ini tidak bisa menjaga sopan santunnya pada kami." Kakekku ikut menyerangku saat tubuh bungkuk itu nampak dari arah kamar mandi.
Kepalaku tertunduk dan wajahku pun layu. Namun mereka sama sekali tidak mengindahkannya. Aku bisa mendengar nenek berkata bahwa ia sudah lelah memasak serta berbelanja seharian dan aku? Ia bilang kalau aku seharian ini hanya tidur saja.
Aku masuk kedalam kamar dan mematikan lampu. Aku memutuskan menghabiskan sisa malamku di kamar, tanpa memerdulikan apa yang mereka ucapkan tentangku.
Telefon genggamku berdering. Aku bisa melihat nama kekasihku di layar. Mungkin Aomine-kun bisa menjadi penghilang lelahku, begitu pikirku.
[Tetsu maaf, aku tidak pernah mengerti jalan pikiranmu.
Kau berubah, dan kau tidak lagi menjadi seperti yang aku inginkan dan aku tahu.
Kau sudah tidak bisa lagi memuaskanku tapi yang aku tahu saat ini, Kise bisa melakukannya, mungkin juga Satsuki.
Jadi selamat tinggal]
Menjadi seperti apa yang orang inginkan eh? Aku tidak pernah mengerti apa maksud dari kata-kata itu.
Dan tidak pernah mengerti…
.
.
.
"Kakek, Nenek, Ayah, Ibu, aku berangkat kuliah dulu ya?" Aku menyambar sarapan pagiku dan bergegas menalikan sepatuku. Mataku masih membengkak akibat semalam.
"Hati-hati di jalan ya Tetsuya." Hanya ibu saja yang membalas salamku.
Aku membuka pintu depan rumah dengan pikiranku yang masih berantakan. Kakiku menjadi terasa berat karenanya. Aku menghela nafas panjang guna menghilangkan penatku sejenak. Namun tidak bisa.
Entah bagaimana caranya aku tidak tahu. Aku sudah melakukan seperti apa yang aku bisa namun mereka tetap saja tidak puas. Aku pernah mencoba untuk bertanya tapi selalu saja, jawaban yang keluar dari mulut mereka tidak pernah memuaskan.
Entah apa aku seburuk it-
BRUKK!
"Maaf aku tidak-"
"Tidak apa, aku baik-baik saja, kau bisa berdiri?" seorang pemuda berambut merah mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri.
"Kau habis menangis eh?" obsidian merah terang itu sedikit redup saat kepalanya sedikit ia miringkan.
"Tidak, tadi mungkin saat terjatuh ada debu masuk ke mataku… Ehehe….." Aku mengusap mataku dan mencoba untuk tertawa. Tapi reaksiku jelas saja tidak membuat pemuda merah itu puas. Apa mungkin rupaku sudah seburuk itu sejak semalam. Tadi saat di kamar mandi nampaknya wajahku baik-baik saja.
"Kau mau kemana? Mungkin bisa kuantar, aku ingin menebus kesalahanku tadi." Pria itu mengebaskan jaketnya dengan tangannya dan berjalan disebelahku.
"Ah justru seharusnya aku yang meminta maaf, aku sudah menabrakmu tadi karena aku tidak melihat sekitarku saat berjalan." Aku tersenyum menanggapi tawaran pemuda baik hati itu. Anda semua orang sebaik dirinya.
"Kau sudah berusaha dengan baik, jangan terlalu memaksakan dirimu ya." Pemuda itu tersenyum saat tangannya membelai surai biru mudaku dengan lembut.
Ah...
Aku bisa merasakan bulir hangat menyusuri pipiku yang ikut panas tanpa sebab. Jauh di dalam lubuk hatiku aku merasakan perasaan hangat dan sentuhan yang amat kurindukan. Tanpa kusadari bulir bening itu menjadi semakin deras. Aku sesegera mungkin menyeka permukaan yang basah dan pergi meninggalkan pemuda itu dan langsung menuju halte bus yang lebih jauh dari tempat kami berdiri.
.
.
.
Bodoh sekali aku, bisa-bisanya aku menangis di depan orang yang jelas baru saja aku temui. Aku menghela nafas panjang hingga bus yang kutumpangi hingga kampus pun akhirnya datang. Aku menaiki tangga yang membawaku ke dalam bus.
"Yo!"
Astaga! Pemuda itu lagi. Ah, kuharap ia sudah melupakan kejadian tadi.
"Kalau tidak keberatan kau bisa duduk di sebelahku." Ia menepuk bagian yang kosong disebelahnya.
Aku tidak bisa menolak tawarannya dan aku pun langsung duduk disana dengan satu harapan tinggi, pemuda itu tidak ingat kejadian aku menangis tadi.
Aku hanya diam membisu dan memberi jarak duduk diantara kami. Aku tidak ingin terkesan sok akrab dengan orang yang baru saja kutemui terlebih, dia baru saja melihatku menangis yang mana tidak pernah kutunjukkan selain pada Aomine-kun.
Mataku terasa berat akibat semilir angin yang berhembus dari celah jendela. Tidur sebentar mungkin tidak terlalu buruk untukku saat ini. Aku memutuskan untuk memejamkan mataku, aku sudah sering melakukannya, jadi aku tahu benar kapan harus bangun.
.
.
.
"Oii Tetsuya, bangun. Kau sudah harus turun kan?" jemari besar menyentuh puncah kepalaku lembut.
"Mmnn…." Dengan kantuk yang sedikit masih tersarang aku berusaha membuka mataku. Wangi parfum laki-laki menyeruak pekat dihidungku, kepalaku juga terasa nyaman mengesampingkan posisi tidurku yang seadanya tadi.
Tunggu dulu-
Tunggu...
Itu berarti sedari tadi aku tertidur di- pundaknya-? Kepalaku terjatuh kah? Atau memang—
"Kita sudah tiba di kampus Tetsuya." Ucapnya.
"Darimana kau tahu namaku? Dan darimana kau tahu aku berkuliah di tempat ini?"
"Maafkan kelancanganku tapi tadi saat tubuhmu terguncang, dompetmu jatuh dan aku yang mengambilkannya untukmu. Tadi aku tak sengaja melihat kartu mahasiswamu. Kebetulan aku juga berkuliah di tempat ini jadi, ayo turun. Tadi kau tertidur lelap sekali." Dia terkekeh.
Banyak hal di dunia ini yang terjadi di luar dugaan dan ekspektasiku-
Termasuk hari ini…
Seorang pemuda baik hati baru saja membuat hariku menjadi lebih berwarna.
-=To Be Continued=-
.
.
.
-=Author's Note=-
Yo, benda ini sudah lama tak berkunjung disini. Berhenti nulis? Ah mika udah hapus tulisan di bio itu, seenggaknya pengen kembali aktif saat ada waktu luang. Tapi mika udah semester lima di kampus jadi-
Kayaknya ga begitu aktif deh
Gimana ceritanya? Bagus ga?
Mau tau kelanjutannya? Review(…)
Adieu~
