Desclaimer : I do not own... blah... blah... blah... nor the stories or character in Persona 4. It's Atlus. Err.. untuk lengkapnya kalian bisa lihat langsung di official web-nya ok.

.

From Dusk Till Dawn

.

Dengan tergesa-gesa pangeran Junes ber-headphone itu turun ke lantai satu mengejar temannya. Ketika sosok yang dicarinya mulai terlihat, ia memanggil, "Souji, Tunggu!".

Pemuda berambut abu-abu yang sedang berdiri di sebelah lokernya sambil mengenakan sepatunya itu segera menoleh, "Huh? Yousuke? Ada apa?". Yousuke segera berdiri di sebelah teman baiknya itu, mengatur napas karena tadi ia berlari turun ke bawah. "Aah... maaf... maaf... Tapi Souji, apa hari ini kamu ada waktu?" Yousuke memohon, "Aku butuh bantuanmu di Junes hari ini. Bisakah? Tolong... Kami kekurangan pekerja...".

Souji menyentuh lehernya sendiri merasa bersalah, "Maaf, Yousuke... Kalau hari ini aku tidak bisa. Sudah ada janji lebih dulu.". "Kamu bercanda??" terdengar kekecewaan yang teramat sangat dari nada bicara Yousuke saat itu, membuat Souji semakin merasa bersalah, "Maaf...". "Ahh... sudahlah... Aku juga tidak mungkin memaksamu terus..." Yousuke terdiam sejenak lalu melangkah keluar sekolah, "Ya sudah. Aku duluan ya! Sampai bertemu besok."

Setelah memandang punggung Yousuke sampai menghilang di ujung gerbang sekolah, Souji pun beranjak pergi.

Hari ini ia memutuskan untuk pergi ke kuil. Memberitahukan kepada si rubah kalau ia sudah mengabulkan salah satu dari permohonan Ema yang lalu. Dan telah siap untuk mengambil permohonan yang baru lagi. Sesuai dugaannya, rubah tersebut telah menunggu kedatangannya di depan kotak sumbangan yang berada tepat di depan pintu kuil. Rubah itu sangat senang dengan kedatangan Souji, karena ia tahu pemuda itu pasti datang dengan membawakan berita baik.

Souji menceritakan semua hal yang terjadi sampai ia berhasil mengabulkan permohonan sebelumnya kepada si rubah yang terlihat begitu antusias. Rubah itu melolong dan mengitari dirinya, menandakan kepuasannya. Souji tersenyum, dan perhatiannya teralihkan kepada tumpukan ema yang digantung disalah satu sisi kuil. Salah satu dari ema tersebut dituliskan dengan tinta berwarna merah.

Aku ingin tahu rasanya hidup.

Begitulah bunyi tulisan yang tercoreng disana. Souji mengerutkan alisnya, berpikir. Permintaan macam apa ini? Aneh. Pikirnya. Mungkinkah itu tulisan seseorang yang menderita penyakit keras? Atau mungkin tulisan seseorang yang merasa frustrasi terhadap hidupnya? Atau malah mungkin... hantu? Masa sih... Ia merasa bodoh sendiri dengan dugaannya.

Lolongan keras si rubah berikutnya mengejutkan Souji. Ia sedikit terlompat dari posisinya sekarang, melihat ke arah hewan penunggu kuil yang berwarna oranye yang kini tengah mengerang ke arahnya. Rubah itu melompat, dan dengan kasar merebut ema yang berada di tangan Souji. Secara reflek pemuda itu menghindar, namun tangannya terkena goresan taring si rubah dan mengeluarkan rembesan darah dari punggung tangannya yang berwarna putih itu.

Tenggorokannya tercekat, dan memandang dengan penuh keheranan ke arah si rubah. Ada apa ini? Tidak biasanya rubah itu terlihat begitu emosional bahkan sampai menyerangnya. Si rubah terus menggigit ema yang tadi direbutnya hingga hancur. Lalu berlari ke halaman belakang kuil dan menghilang. Meninggalkan Souji yang terus kebingungan dengan apa yang barusan terjadi.

Saat itu, langit sore terlihat lebih merah dari biasanya.

.

.

"Woaaa... Apa-apaan tanganmu itu, Sou??" Chie bergidik melihat tangan Souji yang dibalut perban cukup tebal. "Hmm... Aku tergores pisau saat sedang menyiapkan makan malam kemarin." sahut Souji sambil tersenyum. Ia berbohong. Ia berpikir untuk tidak melibatkan teman-temannya dengan kejadian yang kemarin.

Gadis berambut hitam panjang dan berbando merah mendekati Souji dan memegang tangannya dengan lembut, "Kelihatannya sakit...". Agak malu-malu Souji membiarkan tangannya digenggam oleh gadis itu. "Tidak biasanya kamu teledor seperti ini, Souji-kun. Yakin kamu baik-baik saja?" tanya gadis itu lagi. "Ya, tidak apa-apa kok, Yukiko.".

Jujur saja. Souji sendiri tidak menyangka kalau luka yang ditimbulkan si rubah kemarin lebih parah dari kelihatannya. Tangannya terpaksa mendapat 3 jahitan, dan sekarang ia kesulitan untuk memegang pensil sekalipun. Karena tangannya itu masih terasa sangat sakit.

"Ya ampun, Sou!! Apa yang terjadi dengan tanganmu itu??!" Yousuke yang baru saja masuk ke dalam kelas, terkejut melihat tangan Souji yang diperban. Souji hanya diam, tidak membalas pertanyaan temannya itu. Ia malas kalau harus mengulang perkataannya tadi.

"Katanya ia teriris pisau saat memasak kemarin..." jawab Chie.

"Kamu? Teriris pisau saat memasak?" Yousuke keheranan, "Tidak biasanya..."

"Awalnya juga aku tidak percaya..." timpal Yukiko, "Tapi yaa... sepintar-pintarnya bajing melompat, pasti akan jatuh juga."

"Eegh... Yukiko-san, sebaiknya untuk hal ini kamu tidak menggunakan peribahasa..."

"Terasa asing di telingamu, Yousuke?" goda Chie yang tahu kalau Yousuke paling tidak pandai dalam ber-peribahasa. "Kamu sendiri pasti megap-megap kalau ada orang bule yang mengajakmu bicara." balas Yousuke dengan sinis. DUAKK. Yak. Tendangan maut Chie telak mengenai kejantanan Yousuke yang dibanggakan. Pemuda berambut coklat susu itu tidak sempat berteriak dan hanya bisa meratapi nasibnya dengan berguling-guling di lantai. Membuat penyakit lama Yukiko kambuh lagi dan menyita perhatian teman-teman sekelasnya yang lain. Sampai King Moron, Morooka, membubarkan keributan dengan khasnya dan memulai pembelajaran hari itu.

"Awas kau, Chie...!!" ancam Yousuke sambil berlinangan air mata. Gadis berambut pendek dan mengenakan sweater hijau yang tadi menendangnya itu hanya mencibir ringan ke arahnya.

.

.

Hari itu, latihan klub basketnya selesai lebih cepat dari biasanya karena pelatihnya berhalangan untuk hadir. "Bagaimana kalau kita ke Aiya dulu? Aku lapar..." ajak Kou sambil mengelus-elus perutnya yang sudah mulai berpaduan suara. Souji memperhatikan teman setimnya itu sesaat, "Ok... Setelah aku bereskan bola-bola ini ya.". "Eerh... Ayolah, Sou, biarkan saja Ai yang membereskannya. Itu kan sudah tugasnya sebagai manager.".

Belum sempat Kou menarik tangan Souji, seorang gadis berambut keriting berteriak kearah mereka. "Kou! Jangan sembarangan kamu ya! Aku sudah berbaik hati hari ini datang ke klub, seharusnya kamu juga membantuku!! Bola-bola ini berat tahu!!" omel Ai dengan kasar. Sebenarnya Ai menyukai Kou. Hanya saja kalau ia memang tidak terima perlakuan orang terhadapnya, tidak peduli ia suka atau tidak, ia pasti akan langsung menghardiknya.

Menyerah, Kou pun mendekati Ai dan membantunya. Souji hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya yang sebelumnya. Lalu ia merasa bulu kuduk di belakang lehernya berdiri, ia yakin ada seseorang yang memperhatikannya. Ia menoleh kebelakang. Sekelebat terlihat bayangan di depan pintu keluar gym. Ia mengenali dengan jelas pemilik bayangan itu.

Souji pun berlari keluar tanpa mempedulikan Ai yang berteriak memanggilnya. Ketika sampai di pintu, ia melihatnya. Di balik pohon seberang pagar. Seekor binatang yang mengenakan scarf dengan gambar hati di lehernya dan sepasang matanya yang tajam menatapnya. Itu si rubah. Entah apa yang ia inginkan, setelah menatap Souji sejenak, ia pun pergi menghilang di balik rerumputan.

"Souji!!" dengan kesal Ai menarik kembali tangan pemuda bermata perak yang sedang termenung itu, "Kamu tidak akan kuizinkan pergi sebelum membantuku!!" sentaknya.

"Ayo, Sou, kita selesaikan ini dan segera makan di Aiya..." gerutu Kou sambil menggeser sekeranjang besar bola basket.

Butuh waktu hingga hampir 2 jam untuk membereskan semua peralatan yang terpakai hari itu. Bukan hanya sekedar membereskan tapi juga membersihkan. Ketika Souji dan Kou meninggalkan Gym, semuanya sudah terlihat rapi dan bersih. Sedangkan diluar langit sudah mulai memerah, menandakan waktu yang sudah sangat sore. Daisuke yang juga sudah janjian dengan mereka, menunggu di dekat gerbang sekolah sejak tadi. "Kalian lama sekali. Baru saja aku mau menyusul."

"Jangan ditanya! Aku capek..." lagi-lagi Kou menggerutu dan menempatkan tangannya didepan wajah Daisuke, "...dan lapar... Ayo cepat kita ke Aiya! Lebih baik kita lewat jalan yang itu.". "Jalan itu?" Daisuke berpikir sebentar untuk mencari tahu maksud sahabatnya itu, "Maksudmu gang sempit di belakang rumah Tanaka itu?".

"Rumah Tanaka?" Souji merasa pernah mendengar nama itu di suatu tempat. "Kamu pernah nonton acara shopping di tv setiap hari minggu?" jelas Daisuke, "Acara itu lho... Errmm... Tanaka remaking...".

"Tanaka's Amazing Commodities!" Kou membetulkan pernyataan Daisuke yang salah, "Geez... Bahasa inggrismu buruk sekali sih? Kasihan sekali Ueda yang duduk di sebelahmu. Ia pasti disulitkan olehmu setiap kali ada ujian bahasa inggris..."

"Diam!"

Tawa Souji lepas mendengar pernyataan teman-temannya itu. "Diam, Sou!!" hardik Daisuke dengan kesal.

Mereka bertiga berjalan beriringan, sambil terkadang saling menggoda satu sama lain. Yang paling sering terkena sindiran adalah Daisuke yang memang bisa dibilang paling banyak kelemahannya jika dibandingkan dengan Souji dan Kou. Suara tawa terus terdengar setiap kali ada yang berbicara. Walaupun cuma bertiga, tapi kegaduhan yang mereka timbulkan seperti sebuah kesebelasan saja.

Akhirnya mereka tiba di gang jalan belakang rumah Tanaka. Seperti yang Souji duga pada awalnya, rumah seorang presenter terkenal pastilah besar. Bahkan halaman belakangnya pun luas. Rasanya unik melihat rumah seperti itu di kota kecil seperti Inaba. Yang membuat Souji terkejut adalah penjelasan Daisuke. Katanya rumah Tanaka yang mereka lihat itu hanya seperti semacam villa saja. Rumah Tanaka yang asli, yang tentunya lebih besar lagi, sudah tentu berada di ibukota. Dasar orang kaya, pikirnya.

Pandangan Souji dari villa Tanaka teralihkan oleh sebuah rumah bergaya jepang kuno di belakangnya. Rumah itu kelihatan sudah sangat tua dan tidak terurus, tapi masih berdiri dengan kokoh. Entah kenapa pandangan Souji tidak bisa lepas dari rumah tua tersebut.

Kou dan Daisuke masih saja terus berdebat sejak tadi. Tidak jelas apa yang sebenarnya mereka perdebatkan, yang terdengar hanya 'kamu-sih' dan 'lho-kok-aku'. Tampaknya mereka berbeda komentar mengenai villa Tanaka yang mereka lewati tadi. Mereka terus berjalan, tanpa menyadari kalau Souji sudah tidak mengikuti mereka lagi.

"Hei, Souji, katakan sesuatu pada orang ini!" Kou berbalik untuk melihat Souji, "Jangan diam saja... huh?" Kou bingung, menyadari Souji sudah tidak ada di belakangnya lagi.

"Huh? Mana Souji?" Daisuke memperhatikan sekelilingnya, mencari sosok Souji. "Mungkin ia tertinggal di gang itu. Tadi kan ia melihat villa milik Tanaka itu terus-menerus." Kou pun bergegas berjalan kembali ke arah gang, diikuti oleh Daisuke yang geleng-geleng kepala, "Dia anak kota bukan sih? Masa melihat rumah seperti itu saja sampai lupa yang lainnya."

Mereka berjalan dan terus berjalan, hingga Kou menyadari posisi mereka sekarang, "Lho? Ini kan Samegawa..."

"Samegawa??" Daisuke tersentak di belakang Kou, "Kou, kamu itu bagaimana sih?? Itu artinya gang tadi sudah terlewat kan?"

"I, Iya sih..." jawab Kou ragu-ragu.

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo kembali!" Daisuke pun segera berlari ke arah gang itu terletak. Hingga akhirnya ia juga menyadari, "Huh? Ini kan sudah di shopping district..." ujarnya dengan bingung. "Apa gangnya terlewat lagi??" gerutunya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Menyadari ada yang janggal, wajah Kou pun memucat, "Tidak, Daisuke... Kita sejak tadi tidak melewatkan gang itu..." suaranya yang keluar terdengar gemetaran. Daisuke menatap Kou dengan wajah yang bingung, "...Apa maksudmu?". Kou mengangkat wajahnya untuk melihat mata Daisuke secara langsung dan dengan mimik yang penuh keseriusan, ia berkata, "Daisuke... gangnya... hilang..."

Keadaan langit di sore itu jauh lebih merah dari hari sebelumnya.

.

.

TBC

.

Silakan review-nya. Saya gak akan protes walaupun kalian mau nge-gudge. ^^

.

.

Regards,

Chokekka.