Original author: WillowBlueJay17

Translator: BrokenWings2602

DISCLAIMER: Big Hero 6 (c) Disney & Marvel


"Tadashi, sayang, jangan begitu..."

Cibiran Tadashi Hamada yang berusia enam tahun membesar mendengar kalimat ibunya. Ia menggulungkan diri menjadi seperti bola selagi ia berbaring di atas dipan, memainkan robot mainan yang ayahnya telah dapatkan untuk ulang tahunnya di minggu sebelumnya.

Ia mendengar kedua orang tuanya menghela nafas. Ia tidak menerima kabarnya seperti yang mereka harapkan, tetapi ia tidak peduli. Kau lihat, Tomeo dan Marie Hamada telah kembali dari kantor dokter dengan apa yang mereka kira sebagai kabar gembira.

Tadashi Hamada akan segera menjadi seorang kakak...dan ia sama sekali tidak menyukainya.

Tadashi telah mendengar tentang bagaimana rasanya menjadi saudara yang lebih tua dari anak-anak yang lain di sekolah. Ia juga telah melihat seperti apa. Para orang tua tidak pernah memiliki waktu untuk anak yang tertua lagi, memfokuskan seluruh perhatian mereka kepada bayi yang baru. Mereka sangat memanjakan si bayi sementara yang lebih tua diabaikan. Seorang anak lelaki di kelasnya telah bercerita ke dia tentang bagaimana adik perempuannya selalu berhasil lolos dengan merusak barang-barangnya karena ia adalah "malaikat kesayangan" orang tuanya. Salah satu anak perempuan bercerita tentang bagaimana tangisan adik lelakinya membuatnya terjaga semalaman. Tadashi telah melihat beberapa adik melakukan sesuatu yang salah, tetapi para kakak yang malah kena masalahnya. Karena itu adalah "pekerjaan" para kakak untuk menjaga para adik.

Jika itu adalah bagaimana rasanya menjadi seorang kakak, maka Tadashi tidak menginginkannya sedikit pun. Ia menginginkan seluruh kasih sayang orang tuanya untuk dirinya sendiri, terima kasih banyak.

"Tadashi," ujar ibunya pelan, mengambil tempat duduk di samping dimana ia menggulungkan diri di atas dipan, "Ayolah, sayang, aku tahu kau akan menjadi kakak yang luar biasa."

"Aku tidak mau bayi," gumam si anak berusia enam tahun, kerutan tertanam dengan jelas di wajahnya selagi ia memutar lengan robotnya ke arah sini dan situ, "Batalkan pesanannya."

"Tadashi, bukan...begitu caranya bekerja," balas ayahnya, kegelian terdapat di suaranya, "Kau akan menyukai adik lelaki atau perempuan barumu, aku yakin kau akan menyukainya."

"Tidak, aku tidak akan," Tadashi menjawab, duduk dan mendelik ayahnya, "Menjadi seorang kakak tidak menyenangkan. Anak-anak yang lain bilang begitu."

"Well, mereka baru menjadi saudara yang lebih tua," ujar Tuan Hamada, "Aku mungkin akan bertingkah seperti mereka jika aku mempunyai seorang saudara."

"Aku dulu begitu," tambah Nyonya Hamada, "Kau tahu bagaimana bibimu Cass itu adik perempuanku, 'kan, Tadashi? Oh, aku ingat menangis dan memohon kedua orang tuaku untuk mengembalikannya ketika aku pertama kali melihatnya di rumah sakit."

"Marie..." Tuan Hamada memulai dengan memperingati, melihat cara Tadashi menatap ibunya.

"Dia kelihatannya tidak pernah berhenti menangis juga!" lanjut Nyonya Hamada, terlalu larut dalam kenangan, "Aku nyaris tertidur di kelas untuk seluruh tahun pertama!"

"Marie..."

"Dan musang kecil itu selalu ngiler di seluruh barang-barangku. Aku menjadi sangat marah ketika aku melihatnya mengunyah buku favoritku."

"Marie..."

"Dan jangan membuatku mulai di saat itu dengan go-kart dan truk es krim itu! Kedua orang tuaku tidak pernah membiarkanku mendengarkan akhir yang itu-"

"Marie!"

Nyonya Hamada terlonjak kaget mendengar teriakan suaminya, sebelum mengikuti jarinya, menunjuk ke arah putra mereka. Ia tertawa kecil malu-malu melihat ekspresi ngeri di wajah Tadashi.

"Yup," Tadashi memutuskan selagi ia melompat dari dipan, "Aku tidak mau bayi baru!"

Dengan begitu ia lari keluar dari ruang tamu, menuju kamar tidurnya sendiri. Itu sudah diputuskan. Tidak mungkin Tadashi akan pernah menyukai bayi baru ini. Ia hanya berharap kedua orang tuanya mengerti dan memutuskan untuk membatalkan pesanan mereka.


Sembilan bulan telah berlalu dan Tadashi mendapati dirinya menunggu dengan Bibi Cass di luar ruangan rumah sakit dimana kedua orang tuanya ada di dalam. Kedua orang tuanya, meski dengan argumen Tadashi, telah memutuskan untuk tidak membatalkan pesanan mereka untuk si bayi.

Tadashi harus mengakui selagi ia masih tidak terlalu senang untuk si bayi, ia telah menjadi lebih tertarik menjadi kakak selagi beberapa bulan telah berlalu. Ia telah menjadi penasaran selagi ia melihat perut ibunya membesar dan membesar. Ia tidak begitu yakin mengapa kedua orang tuanya tertawa ketika ia bertanya bagaimana si dokter dapat memasukkan bayinya ke dalam sana.

Terkadang ia akan pergi bertanya ke ibunya tentang sesuatu, tetapi ia malah mendapati ibunya mengusap perutnya dengan senyuman yang sangat manis di wajahnya. Ia telah menanyakan ini dan itu tentang si bayi, ia bahkan membantu mempersiapkan kamar anak.

Tadashi ingat kedua orang tuanya memberitahukan dia bagaimana bayinya akan menjadi seorang lelaki. Ia harus mengakui, sebuah bagian dari dirinya tertarik tentang itu. Seorang adik lelaki...

Meskipun begitu, Tadashi masih tidak menginginkan si bayi mencuri seluruh kasih sayang kedua orang tuanya dari dirinya.

"Oh, tidakkah kau senang, Tadashi?" tanya Bibi Cass, "Kau akan segera bertemu dengan adik bayimu yang baru!"

"Yeah..." gumam Tadashi, mengayunkan kedua lututnya dengan gelisah selagi ia duduk di atas kursi.

Bibi Cass mengangkat alis melihat tingkah Tadashi, mencondongkan diri sedikit dekat dengan si anak berusia enam tahun.

"Ada apa?" Bibi Cass bertanya kepada Tadashi, dengan pelan memalingkan wajah Tadashi untuk menatapnya, "Adikmu bahkan belum disini dan kau sudah lelah akan dia?"

Tadashi hanya mengerutkan alisnya sedikit mendengar pertanyaannya, mengalihkan pandangannya sebelum menarik kedua lututnya dekat dengan dadanya.

"Well, aku harus bilang kau beruntung kau yang lebih tua," cerita Bibi Cass kepadanya, "Menjadi saudara yang lebih muda itu susah, percaya deh!"

"B-Benarkah?" Tadashi terkejut mendengarnya, "Apanya yang buruk tentang itu?"

"Oh, bukannya itu adalah hal yang buruk, beneran deh. Hanya saja cukup susah. Maksudku, bertumbuh aku selalu berpikir aku tidak pernah bisa sehebat Marie. Dia cantik, lucu, keren-"

"Tapi kau 'kan keren, Bibi Cass!" seru Tadashi.

"Dan kau adalah seorang pria setelah hatiku sendiri, bukankah begitu?" Bibi Cass tersenyum, meletakkan tangannya di dadanya, "Well, aku rasa aku keren. Tetapi dulu aku tidak berpikir begitu. Aku selalu berpikir Marie lebih baik dalam segalanya. Dan dia juga selalu lebih pintar. Tidak ada yang kaget ketika ia menjadi peneliti utama di Lab. Robotik San Fransokyo. Aku ingat merasa bangga, namun juga iri karena ia selalu terlihat melakukan banyak hal-hal luar biasa dalam hidupnya."

Bibi Cass nyengir ke arah Tadashi sebelum mengacak-acak rambutnya.

"Tapi jika ia tidak pernah melakukan hal-hal tersebut maka ia tidak akan pernah bekerja dengan ayahmu dan lalu kami tidak akan memilikimu atau adikmu."

"Kau tidak membenci Ibu, 'kan, Bibi Cass?" Tadashi bertanya.

"Sama sekali tidak!" Bibi Cass tertawa, "Aku sangat sayang Marie! Tentu, kami pernah berantem selama bertahun-tahun. Kami pernah mengatakan hal-hal buruk kepada satu sama lain. Dan kami pernah saling menyebabkan satu sama lain kena masalah sebelumnya. Kami selalu bersaing untuk perhatian orang tua kita."

Bibi Cass menutup matanya dan tersenyum lembut, seolah-olah larut dalam kenangannya.

"Tapi kami masih saling menyayangi. Kami menangis dan tertawa bersama. Kami telah berbagi rahasia dan saling melindungi. Kami juga saling menguatkan. Aku membantu Marie menyadari betapa inginnya ia mengejar sebuah karir di bidang sains. Ia membantuku untuk berhenti mencoba untuk menyenangkan orang tua kita dan melakukan segalanya yang telah ia lakukan. Ia melihat bagaimana aku tidak senang dan membantuku menyadari betapa inginnya aku mau menjalani kafeku sendiri."

"Jadi..." Tadashi memulai setelah sesaat, "Apakah rasanya susah atau mudah? Memiliki seorang saudara?"

"...Keduanya," jawab Bibi Cass, "Terkadang yang satu, terkadang yang lain. Tetapi pada akhirnya, keduanya."

Itu bukan jawaban yang persis ingin didapatkan oleh si anak berusia enam tahun. Tadashi tidak yakin ia sungguh mengerti apa yang dimaksud Bibi Cass.

"Hei, guys."

Tadashi dan Bibi Cass menoleh ke arah sumber suara untuk melihat Tuan Hamada berdiri di depan pintu yang menuju ruangan rumah sakit, ekspresi lelah tetapi bahagia terlihat di wajahnya. Tuan Hamada berjongkok agar matanya dapat menatap mata Tadashi.

"Kau mau bertemu adik lelakimu, Tadashi?" ia bertanya.

"...Oke..."

Ruangannya besar dan dinding-dindingnya putih, kecuali untuk spanduk-spanduk berwarna biru dan balon-balon berwarna cerah yang telah dibawakan oleh Bibi Cass dan para pemberi selamat. Di ranjang yang besar terdapat Nyonya Hamada, penuh keringat dan terlihat sangat kelelahan, tetapi masih dapat tersenyum dengan cerah.

"Hai, sayang," bisiknya ketika Tadashi menghampiri ranjang, "Kau adalah seorang kakak sekarang."

Ia dengan lelah menunjuk ke arah ranjang beroda yang lebih kecil di sebelahnya. Tadashi dapat mendengar bunyi-bunyi lembut dari ranjang kecil tersebut, tetapi ranjang itu terlalu tinggi untuknya untuk melihat ke dalam. Tuan Hamada menggendong si anak berusia enam tahun itu agar ia dapat mengintip isi ranjang tersebut.

"Tadashi...Katakan halo ke Hiro."

Si bayi, Hiro, ternyata...lebih kecil daripada yang Tadashi kira. Makhluk mungil dengan kulit kemerah-merahan dan mata yang tertutup rapat. Ia dibungkus dalam sehelai selimut berwarna biru gelap, sebuah topi berwarna sama di atas kepalanya, beberapa helai rambut hitam mencuat keluar dari bawah topi kecil tersebut.

"...Ia tidak melakukan apa-apa," ujar Tadashi.

"Ia sedang tidur," balas ibunya, "Bayi-bayi akan banyak tidur."

Tadashi memiringkan kepalanya, terus menatap makhluk mungil yang sekarang akan menjadi adik bayinya.

"Jadi apa keputusannya, pria kecil?" Bibi Cass bertanya, sebuah cengiran terdapat di wajahnya.

"...Aku rasa ia cukup imut..."


Tuan dan Nyonya Hamada cukup senang akan perkembangan di antara Tadashi dan bayi Hiro. Tadashi menghindari diri dari si bayi dalam beberapa minggu pertama. Tetapi, rasa penasaran si anak berusia enam tahun tersebut segera menguasai dirinya. Tadashi akan meminta untuk digendong untuk mengintip ke dalam tempat tidur bayi Hiro. Ketika kedua orang tuanya sedang menggendong si bayi, Tadashi akan menyodok pipi Hiro dengan lembut, melihatnya dekat-dekat.

Terkadang, Tuan dan Nyonya Hamada akan mengintip ke dalam kamar Hiro, mendapati Tadashi berada di sana, berdiri di atas ranjang terdekat untuk mendapatkan pandangan tempat tidur bayi yang baik di sebelahnya. Ia akan memamerkan salah satu robotnya atau temuan yang ia buat, berbicara dengan penuh semangat dan secara hati-hati mengulurkannya agar Hiro dapat mengintipnya. Hiro, yang biasanya cukup diam, akan mulai berceloteh.

Beberapa bulan berlalu, terkadang kedua orang tua yang bangga itu akan mencoba dan membiarkan Tadashi menggendong adik bayinya. Tentu saja, di awal-awal tidak begitu baik, dengan Tadashi mendekatkan wajahnya terlalu dekat, menyebabkan Hiro dengan senang hati menggenggam hidungnya atau menjambak rambutnya. Sementara Tuan dan Nyonya Hamada kuatir bahwa hal tersebut akan menghalangi putra mereka yang lebih tua untuk berinteraksi dengan putra yang muda, mereka terkejut oleh beberapa kali Tadashi ingin mencoba lagi.

"Aku tidak akan menyerah padamu," ujar si anak berusia enam tahun penuh tekad ke Hiro sebelum merebahkan diri di atas dipan dan meminta untuk menggendong bayi itu lagi.

Akhirnya, Tadashi dapat menguasai menggendong Hiro tanpa menghasilkan jambakan yang sakit. Tuan dan Nyonya Hamada tersenyum selagi Tadashi cekikikan mendengar suara-suara konyol yang Hiro hasilkan selagi ia menggapai wajah kakak lelakinya.

Ada perkelahian kecil tentunya. Tadashi tidak pernah senang melihat Hiro menempatkan mulutnya dan ngileri proyek yang sedang ia kerjakan. Dan ada saatnya dimana tangisan Hiro menjadi terlalu berlebihan untuk Tadashi hadapi.

Tetapi Tadashi sepertinya mengambil ide menjadi kakak lelaki lebih baik dari pada yang Tadashi sendiri kira. Dan Hiro kecil sepertinya cukup berbakti kepada kakak lelakinya.

Bagaimanapun juga, Tuan dan Nyonya Hamada melihat bagaimana, ketika Hiro sudah cukup tua untuk merangkak, bayi tersebut akan mengejar Tadashi kapanpun, meskipun kenyataannya ia biasanya terlalu pelan untuk tidak ketinggalan dengan anak lelaki yang lebih tua. Tadashi, sebagai balasannya, akan sering kali nyengir ketika ia menoleh di balik bahunya dan melihat sosok kecil yang tidak asing mengikutinya, sengaja melambat.


"Ayo, Hiro, datang ke Ayah!"

"Tidak, datang ke Ibu, Hiro!"

"Apakah kita benar-benar bersaing akan ini?"

"Kita bersaing akan semuanya, Tomeo."

"Benar..."

Tadashi mendongkak dari PR-nya untuk tertawa pelan pada dirinya sendiri terhadap kelakuan kedua orang tuanya. Tuan dan Nyonya Hamada berada pada satu kaki di arah yang berlawanan dari Hiro yang berusia setahun, yang berdiri di atas kedua lututnya yang goyah, memegang meja terdekat untuk menopang dirinya. Hiro telah mengambil beberapa langkah sebelumnya, namun jatuh cukup cepat. Tetapi, dalam semangat Hamada sejati, anak itu tetap mencoba lagi dan lagi. Dan kini, Tuan dan Nyonya Hamada bersaing untuk melihat ke siapakah Hiro akan berjalan duluan.

Tadashi yang kini berusia tujuh tahun mengembalikan fokusnya ke PR-nya untuk beberapa menit saat ia mendengar ibunya bersorak.

"Tadashi, lihat!"

Tadashi menoleh dan kedua matanya melebar. Hiro...Hiro berjalan! Berjalan ke arahnya!

Si anak berusia tujuh tahun melompat keluar dari kursinya dan berlutut, melebarkan kedua lengannya.

"Ayo, kawan, kau hampir sampai!" ujarnya menyemangati sementara ibunya menyuruh ayahnya untuk segera mengambil kamera.

Hiro hanya beberapa langkah dari Tadashi, kedua lengannya menjangkau dirinya seperti biasa, ketika ia tersandung dan mulai terjatuh. Tadashi segera bertindak dan menangkap si bayi sebelum ia terjatuh di wajahnya.

"Bagus sekali, Hiro!" seru Tadashi, tersenyum lebar ke anak kecil yang berada di kedua lengannya.

Hiro cekikikan sebagai balasannya, menggapai wajah Tadashi. Selagi Tadashi bermain dengan adik lelakinya, ia mendengar ayahnya merintih dengan menyedihkan di belakang.

"Aku tidak percaya kita kalah sama si kakak lelaki lagi..."


"Ayo, Hiro, katakan 'Tadashi'."

"Dashi!"

"Bukan, bung, Tadashi..."

"Dashi, Dashi!"

"Kau melupakan bagian awal namaku."

"Dashi!"

"...Yah, aku rasa aku bisa menjadi Dashi untuk sekarang."


"Oke, siap, Hiro?"

Hiro yang kini berusia dua tahun menatap Tadashi yang berusia delapan tahun dengan cengiran penuh tekad. Tadashi telah mencoba untuk mengajari Hiro cara bersalaman yang istimewa untuk dimiliki mereka berdua. Tentu, mungkin agak terlalu berlebihan untuk diingat oleh seorang anak berusia dua tahun, tetapi itu tidak menghentikan kedua anak lelaki tersebut dari mencoba.

"Oke, pertama, caranya seperti ini," ujar Tadashi pelan, memanipulasi tangan adik lelakinya untuk bagian awal dari salaman tersebut, "Sekarang, buatlah sebuah genggaman. Dan kita akan membenturkan gemggaman kita. Siap untuk bagian terakhirnya?"

Tadashi kemudian menarik tangannya jauh dari tangan Hiro, melepaskan genggamannya dan membuat bunyi ledakan. Hiro segera tertawa begitu mendengar bunyi tersebut.

"Lagi, lagi!" seru Hiro, mengulurkan tangannya untuk melakukannya lagi.

"Baiklah, mari kita lakukan ini."


"Hiro!"

Si anak berusia dua tahun terlihat sedikit malu ketahuan bermain dengan peralatan robotik yang telah Tadashi dapatkan untuk Natal oleh Tadashi sendiri. Kedua tangan Tadashi berada di atas pinggulnya dan kerutan terdapat di wajahnya. Ia hendak memarahi Hiro sampai ia melihat apa yang telah adik lelakinya lakukan.

"W-wow, Hiro," suara Tadashi penuh perasaan kagum selagi ia mendekat, berlutut di sebelah adiknya, "Kau telah menyatukan separuhnya!"

"Keren, 'kan?" tanya Hiro, tersenyum selagi ia memegang robot yang separuh jadi itu.

"Beneran keren," Tadashi mengangguk, mengacak-acak rambut Hiro, "Man, kau melakukan pekerjaan yang baik dengan peralatan robotik itu."

"Perlu bantuan."

Hiro memegang sebuah potongan yang aneh. Tadashi mengenalinya sebagai potongan yang ia sendiri kesusahan dalam memasangnya. Potongan tersebut sepertinya tidak cocok dimana saja, tetapi Tadashi tahu potongan tersebut memang adalah bagian dari peralatan maka pasti potongan tersebut cocok di suatu tempat.

"Yah, kau tahu apa yang Ibu dan Ayah katakan," Tadashi mencoba memperdalam suaranya untuk meniru ayahnya, "'Semua masalah ada solusinya. Jika kau tidak bisa menemukannya, lihatlah dari sudut yang berbeda!'"

"Hah?"

"Yah, kalau kau tidak bisa menemukan jawabannya, lihatlah masalahnya secara berbeda, dan mungkin itu akan membantu!"

Hiro mengangguk mendengar penjelasan Tadashi sebelum mencoba, dan gagal, untuk melakukan handstand.

"Apa yang kau lakukan, knucklehead?" tanya Tadashi, mencoba untuk tidak tertawa melihat usaha adiknya melakukan handstand berulang-ulang.

"Aku melihat secara berbeda!" balas Hiro, mengerang setelah usahanya gagal lagi.

"Aku...rasa Ibu dan Ayah tidak memaksudkannya secara harfiah...Tapi kenapa tidak?"

Tadashi mengikuti usaha Hiro dalam melakukan handstand, keduanya mencoba untuk memecahkan misteri potongan robot yang aneh. Keduanya tidak menyadari kedua orang tua mereka mengintai di pintu dengan kamera di tangan masing-masing.


Tadashi Hamada tidak iri...Oke, mungkin sedikit...

Rasa iri tersebut berhubungan dengan adik lelakinya yang berusia tiga tahun. Beberapa minggu sebelumnya ibunya telah meninggalkan selembar kertas dengan kalkulasi yang kompleks di atas meja. Ketika ia kembali untuk mengambilnya, ia menemukan Hiro menggunakan krayonnya di kertas tersebut. Nyonya Hamada segera mengambilnya, kuatir catatannya rusak.

Namun, ia benar-benar tertegun sewaktu ia melihat bahwa Hiro sebenarnya telah menulis solusi dari separuh masalah tersebut dengan krayon...Dan solusinya benar.

Setelah itu, Tuan dan Nyonya Hamada pergi keluar dengan Hiro menuju ke beberapa dokter. Kabar yang mereka dapatkan luar biasa. Hiro Hamada adalah seorang anak yang luar biasa kepandaiannya, IQ-nya jauh di atas rata-rata untuk usianya. Ia bisa memecahkan masalah-masalah ilmiah dan matematika yang tingkat kesulitannya sangat tinggi, bahkan oleh standar penelitian.

Hiro Hamada yang berusia tiga tahun adalah seorang jenius yang bersertifikat.

Tadashi tertegun ketika ia menguping kedua orang tuanya membicarakan kejeniusan Hiro dengan semangat, memancar dengan rasa bangga terhadap lelaki kecil mereka. Hiro berada di pojokan, tampak fokus terhadap buku mewarnanya. Tapi, dari rona di kedua pipinya, sepertinya anak balita tersebut menyadari pujian-pujian yang ia dapatkan.

Tadashi mengintip kalkulasi-kalkulasi yang Hiro telah pecahkan. Kepalanya terasa sakit beberapa detik kemudian dan ia tidak dapat menemukan solusinya, bahkan solusi-solusi kecil Hiro.

Nah, Tadashi sebenarnya pintar juga. Sepertinya kepintaran tersebut datang dengan menjadi putra dari dua peneliti robotik terbaik. Ia cukup maju untuk usianya, mengerjakan masalah-masalah dan membaca buku-buku dengan tingkatan yang di atas tingkatnya.

Tetapi Tadashi yang berusia sembilan tahun tidaklah sama dengan si cerdas Hiro yang berusia tiga tahun.

Tadashi tentu benar-benar bangga akan adik bayinya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ia merasa iri juga.


"Tapi...Kalian janji!"

Tadashi marah selagi ia bolak-balik melihat antara ibu dan ayahnya. Hiro, yang berada di kedua lengan ibunya, sepertinya tidak menyadari akan ketegangan situasi selagi ia bermain dengan robot yang Tadashi telah berikan sebelumnya.

Empat bulan...Ia telah menunggu selama empat bulan dengan tidak sabar! Mereka telah berjanji empat bulan yang lalu bahwa mereka akan mengantarnya!

Ada expo robot besar-besaran yang diadakan selama seminggu di jantung kota San Fransokyo. Para ilmuwan dan murid-murid dari seluruh dunia akan memamerkan teknologi terbaru. Tadashi telah memohon dan memohon dan akhirnya kedua orang tuanya telah mendapatkan hari libur dari kerja agar mereka dapat menghadiri expo tersebut.

Tetapi sekarang, ada perubahan rencana.

"Aku minta maaf Tadashi," ujar ayahnya, meletakkan tangannya di atas bahu si anak berusia sembilan tahun, "Aku tahu betapa inginnya kau menghadiri expo itu. Tapi para dokter benar-benar membutuhkan kita untuk membawa Hiro untuk memeriksa perkembangannya."

"Tapi tidak bisakah kau menjadwalkan ulang?" tanya Tadashi, "Kau berjanji padaku duluan!"

"Aku tahu, sayang, kami sudah mencoba tapi para dokter tidak bisa datang di hari lain," ibunya menjelaskan.

"Tapi...Robert Callaghan akan berada di sana!"

Robert Callaghan adalah salah satu ahli pimpinan dalam bidang robotik, dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu perintis kemajuan di tahun terakhir. Ia adalah salah satu idola Tadashi dan expo ini seharusnya menjadi kesempatan baginya untuk bertemu dengan pria yang sangat ia kagumi.

"Kami benar-benar minta maaf, Tadashi," ujar ibunya, "Lain kali bila expo itu ada kami akan memastikan untuk membawamu. Tapi hari ini kami benar-benar perlu pergi dengan Hiro. Kau bisa menjadi anak yang baik dan tinggal dengan Bibi Cass-mu untuk beberapa jam, 'kan?"

Tadashi menyipitkan matanya ke arah kedua orang tuanya sebelum pergi ke kamarnya tanpa bicara apapun, membanting pintu. Ia merebahkan diri di atas ranjang, menatap tajam langit-langit kamar.

Tidak adil! Mereka telah berjanji kepadanya! Ia telah menunggu berbulan-bulan untuk ini! Dan sekarang mereka mengingkari janjinya karena sebagian dokter terobsesi dengan adiknya yang super cerdas.

Setengah jam kemudian, ketika Bibi Cass tiba dan kedua orang tuanya pamitan, Tadashi menolak untuk berbicara kepada mereka, masih sangat marah akan janji yang teringkari.

Setelah sejam bermain-main dengan bibinya, Tadashi menyadari ia telah bertingkah cukup kekanak-kanakan. Meskipun begitu ia masih marah. Tetapi ia memutuskan ia akan minta maaf kepada kedua orang tuanya saat mereka kembali dengan Hiro.

Tetapi ketika Bibi Cass mengangkat telpon, menjatuhkan cangkir kopinya dan mengeluarkan jeritan terhadap apapun yang ia dengar, Tadashi tahu...

Ia tahu bahwa dunianya telah berubah.


Mereka pernah menyetir dalam cuaca hujan sebelumnya. Itu bukan hal baru. Dan itu bahkan bukan hujan berat. Tetapi, terkadang, hal-hal terjadi. Semuanya hanyalah kebetulan yang menyebabkan mobil tergelincir di luar kendali. Hanya kebetulan bahwa dampaknya hanya membunuh Tomeo dan Marie Hamada secara langsung.

Hanya kebetulan bahwa Hiro Hamada berhasil selamat dengan beberapa potongan dan memar.

Isakan Tadashi berhasil mengurangi isakan Hiro selagi si anak berusia sembilan tahun itu melekat kepada adik bayinya di lorong rumah sakit, bibi mereka Cass melingkari kedua lengannya masing-masing di tiap keponakan.

Semuanya hanyalah kebetulan, satu putaran takdir yang kecil.

Dan kini Tadashi dan Hiro Hamada adalah anak yatim piatu.


Meskipun seluruh tangisan yang telah ia lakukan dari hari ke hari, Tadashi sangat tenang selama acara pemakaman berlangsung. Hiro, di sisi lain, tidak berhenti menangis dan menanyakan kedua orang tuanya.

Setelah jasa pemakaman selesai, Tadashi menghabiskan sebagian waktu sendirian di kamarnya, tirai-tirainya ditarik ke bawah. Ia masih memakai setelan hitam yang ia kenakan saat di pemakaman.

Di tangannya terdapat foto dirinya, adiknya, dan kedua orang tua mereka dari beberapa bulan sebelumnya.

Ini tidak adil...Semua ini tidak adil.

Apakah ini adalah hukumannya? Karena ia telah menjadi anak bandel terhadap orang tuanya tentang expo itu maka hukumannya adalah ia kehilangan mereka? Ia seharusnya tidak pernah marah. Itu hanyalah satu expo bodoh. Akan ada expo-expo lainnya yang dapat ia hadiri. Ia mungkin akan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk bertemu Robert Callaghan.

Ia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal kepada orang tuanya hari itu. Hanya diam saja dengan keras kepala, sama sekali tidak memeluk mereka. Mereka meninggal dengan ingatan terakhir mereka tentang Tadashi bertingkah seperti orang yang menjengkelkan.

Tadashi mengertak giginya, mencoba sebisanya untuk tidak mulai terisak lagi.

Suara tangisan yang lainlah yang menangkap perhatiannya. Diam-diam, ia meninggalkan kamarnya dan melihat Bibi Cass mencoba menenangkan Hiro yang masih terisak-isak.

"Sudah, sudah, Hiro," Bibi Cass mendiamkan selagi ia menggoyang-goyangkan Hiro, "Aku di sini..."

"Biarkan aku mengambil dia, Bibi Cass," ujar Tadashi, mengulurkan kedua lengannya untuk si anak laki-laki.

"Oh, sayang, tidak apa-apa, aku tidak-"

"Aku bisa mengatasinya."

Setelah sesaat, Bibi Cass menyerahkan si anak berusia tiga tahun. Tadashi memegang Hiro dengan dekat selagi ia kembali ke kamarnya, mengambil tempat duduk di atas ranjang.

"Aku mau Ibu dan Ayah," tangis Hiro.

"...Aku juga," bisik Tadashi.

"Di mana mereka?"

"Mereka...jauh, Hiro. Bibi Cass akan menjaga kita sekarang. Kau sayang Bibi Cass, 'kan?"

Hiro melekat kepadanya lebih erat, tangisannya mulai memelan.

"Tadashi...Kau tidak akan pergi, 'kan?"

Tadashi mempererat pelukannya di sekitar Hiro, membenamkan wajahnya di rambut adiknya.

"Tidak, aku tidak akan. Hanya kau dan aku sekarang, Hiro."

Dia dan Hiro. Ia harus mengambil tugasnya sebagai kakak lebih serius lagi dari pada sebelumnya.

Itu adalah satu-satunya cara ia dapat memperbaiki bagaimana ia telah bertindak terhadap kedua orang tuanya.