Chapter 1 : Anak Ayah dan Ibu yang Lain

Aku tahu bahwa prestasiku di sekolah tidak bisa dikatakan membanggakan untukku, bahkan untuk ayahku, dan…mungkin juga untuk ibu yang sekarang di sana.

Aku juga tahu bahwa aku bukan –mungkin belum- menjadi kakak yang baik untuk kedua adikku, Karin dan Yuzu.

Aku juga sudah tahu bahwa tidak banyak pekerjaan di rumah yang bisa kukerjakan hingga tuntas dengan baik. Tapi…setidaknya aku mencoba membantu Yuzu, seperti memanaskan kari sisa makan malam, yah, walaupun akhirnya anjing tetangga pun enggan mengendusnya.

Hangus. Makhluk ajaib mana yang mau mengendus?

Tapi aku mencoba hal lain, membersihkan rumah, menyapu, mengepel, menggunakan vacuum cleaner …walaupun vacuumnya meledak setelah kugunakan. Mencoba membantu ayah di klinik, juga pernah kulakukan, tapi ayah menolak. Katanya, takut kalau pasiennya bernasib sama dengan vacuum cleaner.

Akh! Aku sadar kalau aku ini…kadang…tidak berguna dalam hal apapun. Tapi itu bukan alasan bagi ayah untuk menggeser posisiku sebagai anak sulung dengan seorang 'anak' sulung baru yang tidak jelas asal-asulnya!

'TAK!'

Hah? Kapur? …dan sakit.

"Kurosaki! Ayo perhatikan pelajaran! Kau mau kuberi tugas tambahan lagi setiap akhir pekan, ha?" Lagi-lagi Ochi-sensei mengancamku. Melempar kapur, dan mengomel. Apa tidak ada benda lain untuk melemparku? Kursi misalnya?

"Maaf, Sensei."

Haaahhhh…aku sudah tidak memperhatikan pelajaran sejak jam pertama pagi tadi. Konsentrasiku sudah buyar sejak semalam.

Bayangkan saja, ayah mengajak aku, Karin, dan Yuzu berkumpul semalam. Tadinya kukira akan ada acara konyol buatan ayahku lagi. Tapi ternyata…

Flashback –

"NAH! Karena semua sudah berkumpul –", ujar Pak Kurosaki dengan tampang sok berwibawa, namun gagal.

"Ayah! Tidak usah basa-basi. Mau ada acara apa lagi? Kurosaki's Bon Voyage Part II? Father-doughter Weekend Trip? Ichi-nii's Home Alone Part VII? Atau ada judul kegiatan baru yang Ayah buat lagi?", semprot putri Kurosaki yang paling cuek pada jagad raya.

Karin menyebutkan sebagian jenis kegiatan edan yang pernah dibuat ayahnya setelah ibu mereka tiada. Dia kesal, tengah malam dibangunkan untuk sesuatu –yang ia curigai- sama sekali tidak penting.

Hal yang hampir sama terjadi pada anak sulung paling nyentrik –rambutnya, di keluarga Kurosaki. Ichigo, sama sekali tidak tampak tertarik, seperti biasa. Dia hanya duduk di salah satu sudut meja makan, berkedip-kedip tanda mengantuk like hell, sesekali menguap tak beradab, di sebelah adiknya yang lain, Yuzu, yang tampak antusias pada topic yang akan dirapatkan oleh ayahnya, anak manis.

"..Hmm..Baiklah, Karin. Maafkan ayah", ujar Isshin Kurosaki dengan style yang benar-benar berbeda. Tidak seperti biasanya, kali ini beliau benar-benar berbicara dengan tegas, dan tampak begitu normal seperti ayah-ayah lainnya. Tidak ada tanda-tanda gangguan psikosomatik yang biasanya kambuh.

"Eh?", terkejut, terbelalak, terlonjak tidak percaya. Ketiga Kurosaki Junior itu sontak melotot bersamaan pada ayah mereka. Tidak percaya, tentu saja, pada sikap ayah mereka yang tiba-tiba malah lebih aneh.

"Ada apa, Ayah?", tanya Yuzu, masih antusias, pada ayahnya.

Kemudian dengan tampang yang sulit dipercaya, Isshin mengambil nafas dalam dan mulai berbicara.

"Maafkan ayah sebelumnya, seharusnya hal ini ayah lakukan sejak dulu", raut mukanya berbalik sedih dan…menyesal?

"Ibu kalian…", Isshin melanjutkan, "sebelum dia meninggal, meninggalkan pesan yang benar-benar ayah lupakan".

"Pesan apa, Ayah?", tanya Yuzu lagi, sementara kedua saudaranya berjuang mati-matian menahan rasa kantuk dan penasaran.

"…Masaki dan aku, punya anak angkat sebelum ada Ichigo", kata Isshin.

"HA?", Ichigo terbangun dari alam setengah mimpinya ketika mendengar pernyataan ayahnya.

"Ichi-nii jangan 'ha' – 'ha' dulu donk!", Karin tampak mulai tertarik.

Kemudian Isshin melanjutkan lagi. " Kami berdua seharusnya memeliharanya dengan baik sejak dia kecil dan hingga dia dewasa, sesuai janji kami berdua pada kedua orang tuanya sebelum mereka meninggal. Tapi....Masaki dan aku melupakannya begitu saja ketika kami punya Ichigo. Bahkan kami menelantarkannya di bumi Sapporo yang dingin sendirian. Dan ayah juga melupakannya setelah ibu kalian meninggal"

Semua terdiam, entah karena mengantuk atau saking terkejutnya hingga tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Hanya Yuzu yang kini sudah berkaca-kaca nyaris menangis. "...Ayah..."

"Karena itu, untuk menebus kesalahan, Ayah berniat membawanya ke Karakura dan tinggal bersama kita semua...kalian setu-"

"Tentu! Tentu setuju, Ayah! Akan sangat menyenangkan kalau keluarga kita bertambah", pekik Yuzu bersemangat sekaligus terharu, "benar kan, Karin-chan?", meminta persetujuan saudara kembarnya.

Karin hanya mengangguk mantab.

"Dan...kau Ichigo", kini Isshin menatap tajam pada Ichigo.

'Apa-apan tatapan ayah ini?' ujar Ichigo dalam hati.

"Karena ayah dan ibu melupakan anak angkat ini oleh sabab kelahiranmu dan tingkahmu yang imut saat kecil dulu, maka dalam masalah 'kelupaan' ini, kaulah yang paling bersalah dan patut memperbaikinya. Mengerti?", Isshin tampak tidak main-main.

Tapi bagi Ichigo alasan ayahnya itu KONYOL. Karena tingkahnya yang imut waktu kecil kedua orang tuanya melupakan anak angkat?

'Heh, konyol!'

"Kenapa? Itu jelas-jelas bukan salahku!", bantah Ichigo yang kini full mode sadar dari tidur.

"Terserah saja kalau kau mengelak. Tapi kau harus memperlakukan anak ayah itu dengan baik nanti".

Dan, malam itu berakhir dengan cek-cok tidak penting Isshin-Ichigo, adu argument ayah dan anak, sekaligus kesenangan Yuzu berpikir akan memiliki saudara baru, dan Karin yang masa bodoh seperti biasa.

"haaahh….orang-orang aneh, membuatku makin mengantuk saja". Karin berlalu begitu saja menuju kasurnya.

End-Flashback

Dan akhirnya neraka untuk hari ini selesai, bubar. Pukul 15.17 pm. Memang waktunya pulang, tapi sekolah masih ramai. Lihat saja di kelas ini masih banyak siswi yang mengoceh entah tentang apa, dan oh, lihat di sana ada Tatsuki yang sedang nimbrung dengan kawanan cewek-cewek ganas, layaknya Mahana, Michiru, Chizuru, Inoue, dan.....Senna.

Ya, Senna....

PLUK! Seseorang memukul kepalaku pelan, dengan gulungan kertas yang ia bawa. Mizuiro. " Ichigo, kamu ini... haaahh masih saja.."

" Ichiiigooo...huweeeee...diam-diam kau melirik Inoue-san dengan tatapan aneh seperti itu...", pekik Keigo di depan wajahku. Duh, hujan lokal.

"Heh! Hentikan Keigo, hentikan! Jangan lap ingusmu di seragamku! Hei!", lengan bajuku kini basah. Menjijikan Keigo ini.

"Habis ...kamuuuu....lirik-lirik Inoue-san sih!", tangisnya lagi.

"Siapa yang meliriknya? Tuh Ishida dari tadi melotot ke Inoue!", tunjukku langsung kepada Ishida yang memang dari tadi melihat Inoue.

Spontan saja Ishida mengirim death glare nya kepadaku, "Hmm….apa salah kalau aku melihat pacarku sendiri, Kurosaki?"

What? Jadi mereka sudah jadian. Kurang ajar. Dia belum mentraktirku.

Lalu tak lama kemudian Ishida disusul Inoue keluar kelas. Kemudian Tatsuki, melambai dan nyengir kepadaku seolah bilang 'aku duluan, Jeruk!'. Mereka pulang. Begitu juga dengan teman-temanku yang lain.

Sekolah makin sepi. Suara murid-murid kelas tiga yang mendapat jam tambahan pun mulai tak terdengar, tampaknya mereka sudah selesai dengan pergulatan mempersiapkan ujian hari ini.

Dan seharusnya aku juga pulang.

Tapi aku enggan untuk melangkah. Aku tidak mau, tidak suka, menemui 'anak' ayah dan ibu yang itu. Aku tidak pernah mengira akan ada anak yang lebih dari tua dariku tinggal satu atap denganku. Dan mungkin saja dia akan mengambil semua yang menjadi milikku selama ini.

Egois? Mungkin. Tapi aku tidak suka ini. Aku lah yang punya hak melindungi keluarga ku, adik-adikku, dan mungkin juga ayahku,….yah setidaknya begitulah kata ibu dulu. Tapi kini, ada 'anak' lain yang datang, semoga dia bukan perempuan.

Haaah....tapi kalau dipikir-pikir mau tidak mau aku harus pulang 'kan? Aku cuma murid kelas 2 SMU, memangnya bisa apa aku tanpa rumah, tanpa keluarga, tanpa uang jajan dari ayah?

'KUROSAKI's CLINIC' ….. ah tampaknya aku sudah sampai di rumah. Papan besar menyala itu tandanya. Seperti orang bodoh saja, kupandangi lambang klinik itu, entah berapa lama, berpikir entah apa. Kesal? Marah? Atau …lapar?

Lalu, "Maaf. Apa ini kediaman keluarga Kurosaki?", suara yang lembut dan menyenangkan. Eh? Tapi siapa?

Begitu berbalik, tampak seorang gadis bermata ungu kebiruan menatapku mananti jawaban. Tampaknya dia begitu kedinginan, wajahnya pucat sekali. Rambut hitam legamnya terurai agak berantakan, tertiup angin malam. Tubuhnya mungil menggigil, sambil menggenggap erat koper besar yang tampaknya dari tadi diseretnya.

Entah mengapa kupadangi dia lekat-lekat, dan rasanya tanpa sekalipun kedipan mata. Hingga, "Hey...Halllooo...aku bertanya padamu, Tuan". Kalimatnya membuatku kembali menjejak bumi.

"Hah?", hanya itu kata yang keluar dari mulutku. Sial! Ketahuan deh aku tadi malamun.

"Aku tanya, apa benar ini kediaman keluarga Kurosaki? Kamu malah bengong, hehe...aneh", ujarnya, "Jadi apa benar ini rumahnya?"

Jangan-jangan...."Heh! Kau ini buta huruf atau memang tidak bisa bahasa Jepang? ITU! Kau tidak lihat, ha? Tulisan itu kan jelas-jelas terbaca KU-RO-SA-KI ! Pake nanya lagi, dasar bocah!", sekalian saja aku berteriak padanya. Aku tidak sedang dalam mood yang bagus malam ini. Dan aku curiga dia ini yang ditunggu-tunggu ayah.

"HEY! Aku bertanya baik-baik! Apa sih masalahmu?", tampaknya dia tidak mau kalah galak denganku. Dan memang dia tampak lebih mengerikan dibandingkan lima detik yang lalu.

"Bukan urusanmu apa masalahku. Yang jelas kamu ini konyol sekali, bertanya hal-hal yang sudah jelas jawabannya ada di pelupuk matamu!", balasku lagi, tidak mau kalah.

"Apa salah kalau aku bertanya untuk memastikan? Kalau tidak mau jawab ya tidak usah. Dasar Jeruk aneh! Kapalamu itu aneeeeeehhh!"

"Apa? Berani sekali kamu panggil aku jeruk! Tinggi badanmu itu juga memprihatinkan! Pertanyaanmu tadi itu pertanyaan tolol!"

"Apa katamu?"

"Aha! Kau juga tuli ternyata"

"Apa kamu bilang?"

"Tuh kan, tuli"

Kutinggal kan saja dia jerit-jerit seperti orang kesetanan di situ. Huh, pasti pasien ayah, sama anehnya. Padahal tadi kukira 'anak' itu yang datang. Begitu kulangkahkan kaki ini ke pintu klinik (hari ini aku pulang lewat pintu klinik), ayahku menyeruak begitu saja dari dalam sana. Pintu klinik menjeblak terbuka, menghantam hidungku. Oh, ya ampun seketika saja banyak serangga berpantat neon di sekeliling kepalaku. Ingin rasanya membalas perlakuan ayahku tadi. Tapi....

"Ruki-chan! Ayah sudah menunggumu dari tadi, Nak!", ujar ayahku senang sambil memeluk gadis tadi yang kini tersenyum dalam pelukan ayahku.

'Ruki?'

"Ayah, maaf aku terlambat, kereta dari Sapporo terhalang longsor salju", ujarnya pada ayah.

"Wah, longsoooorr? Kau tidak apa-apa 'kan, Ruki?", tanya ayahku lebay.

Dia mengangguk, dan kembali tersenyum.

Hei, hei, opera sbun apa lagi malam-malam begini. Sadar dong, hidungku berdarah ini. Oy! Ayah!.

"Oh, iya Ruki, kau pasti sudah kenal dengan Ichigo, 'kan?", tanya ayahku lagi padanya. Dia hanya menatap bingung. "Tadi kudengar kalian bercakap-cakap disini"

"Ichigo, kau sudah kenalan?", aku cuma bengong, menggeleng bloon pada ayah.

"Aneh. Ya sudahlah. Mari ayah perkenalkan. Rukia ini Ichigo, adikmu yang bandel. Dan Ichigo ini Rukia, kakakmu, sopanlah padanya"

"WHAT THE….fu#?", pekik kami berdua bersamaan.

End of – Chap ONE.