Rewrite The Stars
Erehisu Fanfiction | By Prominensa
Suatu hari, kau akan bertemu dengan seseorang yang berpengaruh besar dalam kisahmu. Seperti sebuah bintang dan supernova; saat waktunya tiba, ia akan meledak dan sangat menawan. Berkesan. Tragedi. Tak bisa hilang dari memori.
Disclaimer: Karakter pada animanga Attack on Titan adalah milik Hajime Isayama | Penulis tidak mengambil keuntungan dalam membuat fanfiksi ini
Warning: Sifat pada karakter di dalam fanfiksi ini disesuaikan dengan imajinasi penulis. Pun plot dan settingnya. Merupakan alternate universe dan berpotensi out of character.
P.s: Eren berusia 27 tahun dan Historia berasal dari 8 tahun ke depan.
[]
Selamat Membaca
((Chapter 1))
[]
Ini masih terlalu pagi untuk mendengar suara vacum cleaner yang berisik. Sungguh, aku tak ingat kapan aku menyalakan benda sialan itu. Namun, telingaku tak mungkin berdusta. Segala kekacauan—yang mengganggu tidurku—berasal dari mesin penyedot debu.
"Tolong, berhenti!"
Aku berteriak sebelum menutup sebelah lubang telingaku dengan bantal, dan membalik tubuh miring menghadap dinding bercat kuning pucat. Beberapa detik kemudian, aku tak lagi mendengar kegaduhan. Rasanya terlalu ajaib hanya dengan satu perintah saja mesin itu langsung berhenti. Sedangkan di ruangan ini, aku tidak tinggal bersama orang lain. Zeke, saudara laki-lakiku, sudah pindah beberapa hari yang lalu. Ia tidak tahan dengan bau asap rokok dan alkohol yang menyebar bagai pengharum ruangan.
Lalu? Siapa?
Otakku terus berusaha mencerna apa yang terjadi. Tidak mungkin ini ulah hantu, tapi juga tidak mungkin ulah manusia. Aku mendadak tak bisa tidur. Di sisi lain, tubuhku enggan untuk bangkit. Kepalaku masih terasa berat. Mungkin sisa-sisa alkohol masih menggelayutiku. Aku masih setengah mabuk. Dan aku berpikir mungkin saja aku salah masuk kamar semalam. Sial.
Tiba-tiba pundakku merasakan guncangan. Terlalu lembut untuk ukuran tenaga perempuan, tapi juga terlalu lemah untuk ukuran tenaga laki-laki. Tanpa pikir panjang lagi, aku menoleh, dan sangat terkejut ketika mendapati seorang perempuan menatapku dengan bola matanya yang berwarna biru.
"Hei, kau sudah bangun?" katanya, sambil menyelipkan beberapa anak rambutnya—yang berwarna pirang—ke balik daun telinga.
Dahiku mengernyit. Mataku ikut menyipit. Pelan-pelan aku bangkit duduk dan menatapnya saksama. Ia hanya tersenyum. Manis. Dan itu justru membuat aku ngeri. Hingga pikiran buruk pun bersua di otak. Menciptakan satu pertanyaan yang menurutku amat sangat konyol.
"Apa aku sudah mati?"
Perempuan asing itu hanya meletakkan sebelah tangannya tepat di dahiku. Entah kenapa aku tak merasa risih dan membiarkannya. Telapak tangannya yang terasa hangat membuatku sedikit susah untuk bernapas. Namun, aku tak ingin tangan itu cepat-cepat pergi.
"Kau tidak demam. Mulutmu bau alkohol dan tembakau."
Refleks, aku mengatupkan bibir—yang jelas tanpa kusadari memang terbuka cukup lebar—saat tangan lembutnya menempel di dahi. Aku sedikit malu sekaligus kotor. Perempuan ini terlihat suci dan tak pantas berada di sini. Kamar ini penuh racun baginya.
"Apa aku salah masuk kamar?" Kepalaku memutar ke sekililing ruangan. Dan tangan itu lepas dengan sendirinya.
"Tidak. Ini memang kamarmu, Eren."
Ruangan ini memang tidak asing, tapi juga terlalu berbeda untukku. Terlalu bersih dan rapi. Terlalu sepi dan wangi. Terlihat ada yang kurang. Tak ada botol-botol minuman beralkohol; asbak dan batang rokok pun tak ada di atas nakas. Sisa piza semalam lenyap begitu saja. Aku tak mengerti, mungkin aku terlalu mabuk untuk mengingatnya. Barang-barang itu bisa jadi sudah aku buang sebelum tertidur di atas kasur. Lalu, aku mulai berpikir kembali. Perempuan ini, siapa?
"Jadi?"
"Ya?"
Ia tak lagi tersenyum, tapi tetap saja aku merasa jantungku berdebar tidak normal. Perempuan itu terus menatapku dan membuatku seperti akan dikuliti—sebentar lagi. Aku meneguk ludah sebelum berbicara.
"Kau siapa?"
"Eren, aku adalah—"
Aku memotong ucapannya, "Kau tahu namaku? Apa semalam kita tidur bersama? Maksudku bercinta?"
Perempuan itu tertawa. Sebelah alisku terangkat seolah meminta penjelasan. Namun, ia belum puas mengakhiri kegembiraan itu. Tertawa maksudku.
"Tentu saja aku tahu namamu. Dan—Hei, aku dan kau masih sama-sama perawan. Jadi kau tenang saja. Kecuali di masa depan. Ehm, aku yang sekarang mungkin tidak." Perempuan itu tampak ragu. "Ya, mungkin."
"Dari mana kau tahu aku masih perjaka, huh?" kataku sedikit membentak. Aku merasa marah dan dipermainkan olehnya. Ya, aku kesal karena perempuan cantik ini tahu kalau aku tak punya pengalaman seks.
"Kau memberitahuku di masa depan, Eren." Ia tiba-tiba duduk di tepi ranjang. Ranjangku tentunya. "Kita sama-sama tidak berpengalaman saat bulan madu."
Sudah cukup. Dia perempuan aneh. Mungkin juga gila.
"Katakan, siapa kau sebenernya? Tolong, jangan bertele-tele!" Aku memaksanya menjawab. Mataku mungkin sudah berkilat penuh amarah saat ini. Aku tidak peduli. Sungguh. Aku hanya merasa keberatan dengan perempuan asing yang tahu segalanya ini.
"Eren, aku adalah istrimu." Ia tersenyum sambil meraba jariku. "Aku istrimu di masa depan."
Aku sudah menduganya, pasti perempuan ini sudah gila. Sial.
To be continue
Author note:
Fanfiksi ini sebenarnya akan saya ikutkan dalam project fanzine bareng shipper EH secara global dalam versi Bahasa Inggris. Tapi karena wordsnya terlalu banyak, maka saya ganti dengan tema yang lain.
Terima kasih untuk Enji yang sudah memberi saya ide ini. Pun teman-teman seperkapalan yang sudah memberi banyak support. Fyi, saya sedikit mengubah gaya penulisan. Semoga masih tetap nyaman untuk dibaca.
