Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

God, I'm (really) in Love! © Kaeru Kodok and H.N., her Mama and bestfriend.

Fantasy&Romance/Sho-ai (maybe)/straight (maybe)/typo as always/GENDERBEND/OC inside.

.

.

.

Dibuat sebagai kado perpisahan kelulusan sekolah

Untuk semua orang yang saya cintai

I love you. I'll miss you

Enjoy

.

.

.

.

.

"Apa yang kaulakukan, Satsucchi?"

"Hanya percobaan kecil, Ryouta-kun. Kau mau ikut?"

"Ah, sepertinya menarik."

.

.

.

CHAPTER 1: Meet an Angel

"Jadi, kau mau ke mana?"

"Pantai."

Musim dingin memang sudah berlalu, namun musim semi masih belum terlepas dari oleh-oleh Si Musim Beku—apalagi kalau bukan salju? Butiran-butiran putih yang mirip serutan es dalam jumlah besar itu masih terlihat menumpuk di sudut-sudut jalan, mulai pergi menguap dengan udara yang menghangat. Laut atau pantai bukanlah pilihan yang tepat saat ini jika kau tidak ingin sakit mendadak.

"Kau akan masuk angin."

"Nggak. Aku 'kan kebal."

"Dan bebal." Himuro Tatsuya menghela napas, tidak ingin membuang-buang tenaga lebih banyak untuk mencegah atau berdebat dengan orang seperti adiknya ini. "Aku pulang duluan. Jangan pulang terlalu malam. Jika kau butuh sesuatu, kau tahu harus ke mana. Kau masih memegang kunci apartemenku, kan?"

Walaupun orang ini adiknya, bukan berarti mereka tinggal satu rumah. Atau bahkan sedarah.

"Tenang. Selalu kubawa, kok." Kagami Taiga tersenyum.

Mereka kemudian berpisah di pertigaan jalan. Himuro berjalan ke arah rumahnya di pusat kota, sementara Kagami memilih untuk berlari di sepanjang jalan menuju pantai dibanding naik kereta. Selain karena itung-itung pemanasan, sekaligus menghemat uang dan menghangatkan badan.

Dan pertanyaan muncul. Apa sih yang dilakukan seorang cowok SMA di pantai saat awal musim semi?

Himuro tidak habis pikir adiknya itu akan repot-repot ke pantai hanya karena tim basketnya libur selama musim semi yang mengakibatkan ditutupnya lapangan basket indoor sekolah. Para senior dan anggota yang lain kan, juga manusia. Wajar saja dong jika mereka mengambil cuti setelah bermain gila-gilaan di Winter Cup. Kagami saja tuh, yang fisiknya bukan seperti manusia.

Di sepanjang perjalan, sesekali Kagami berlari sambil men-dribble bola atau melompat untuk mendapatkan teknik baru. Tidak dihiraukannya tatapan orang-orang yang melotot heran melihatnya berlari sambil mengenakan jas sekolah dan tas selempang yang ikut melompat-lompat. Ia hanya ingin menjaga otot dan tubuhnya tetap atletis, mengingat akan ada jeda yang sangat panjang sebelum Inter High dimulai lagi. Ia bahkan heran kenapa Himuro tidak mau ikut 'pemanasan' dengannya.

'Mungkin dia sudah dapat pacar, jadi tidak bisa sering-sering latihan denganku,' begitu pikirnya.

Padahal, boro-boro pacaran. Menyatakan perasaan pada gadis yang ditaksirnya saja Himuro tidak berani.

Begitu sampai di tepi pantai, lelaki dengan tingin badan di atas 190 cm itu langsung membuka seragam dan membiarkan dirinya hanya mengenakan kaus tipis berwarna hitam dan celana basket. Ditinggalkannya tas, sepatu, bola basket dan semua barangnya di dekat sebuah batu besar. Kemudian ia berlari bolak balik dari satu tempat ke tempat lain beberapa kali, sebelum memutuskan untuk mengambil napas di atas dermaga.

Pantai itu termasuk pantai yang sepi, karena terpencil dan ombaknya cukup besar. Dan seolah berniat untuk semakin tidak mempopulerkan pantai tersebut, Dewa menutupi matahari dengan awan hitam dan air laut pun mulai bergerak ganas menggigiti bibir pantai. Petir terlihat di kejauhan namun Kagami tetap berdiri di tempat untuk memperhatikan keadaan. 'Padahal tadi cerah,' ujarnya dalam hati.

Ombak semakin bergerak liar dan mulai menjilati kedua kakinya, namun tak membuat Kagami memilih untuk melangkah pergi karena masih ingin merasakan sensasi luar biasa saat alam mengamuk dan menggetarkan jiwanya. Hawa dingin yang lembab, cipratan air laut yang menerpa muka, dan gemuruh halilintar yang memekakkan telinga membuatnya merasa seperti raja pemilik dunia, yang sanggup menggetarkan alam dan berkuasa atasnya. Karena saat alam mengamuk, ia merasa ialah pria terhebat yang sanggup berdiri di tengah badai.

Namun, tanpa aba-aba, ombak besar seketika menyambar dan menyeretnya pergi—seperti personifikasi dari tangan Dewa yang geli melihat keangkuhannya.

Pria berambut merah gelap itu tergagap menggapai udara, berusaha tetap tenang namun kepanikannya malah menyeretnya semakin dalam menuju laut biru. Tak ada yang bisa ia raih di hamparan air selain ketakutan. Jadi ia mulai untuk menerima keadaan. Berhenti untuk mengelak arus dan membiarkan dirinya tenggelam untuk mencari ketenangan. Saat ia sudah merasa bisa mengendalikan dirinya, saat kepercayaan dirinya untuk menaklukkan badai kembali, dengan sigap ia berenang ke permukaan dan berhasil menghirup udara lagi. Ia senang, namun pertempuran belum berakhir.

Mata tajamnya ia gunakan untuk mencari di mana daratan atau ke mana ia harus pergi. Saat ia menemukan pantai yang tadi ia singgahi dan berenang ke arahnya, sesuatu berwarna putih dan berukuran kecil terlihat mengapung, membuatnya berhenti dan memutar otak. Benda apa itu? Sampan? Hiu? Lumba-lumba? Atau jangan-jangan manusia? Tidak mungkin hiu atau lumba-lumba karena benda itu tidak memiliki sesuatu yang menonjol ke permukaan seperti sirip. Tapi, yah, kemungkinan tetap saja ada. Dan karena masih sayang akan nyawanya, Kagami buru-buru melanjutkan berenang ke tepi.

"Tolong…"

Ia mendengar suara, sangat pelan dan lemah. Suara lembut yang dapat menggetarkan jiwa jika diucapkan dengan intonasi parau. Dan itulah yang didengar Kagami. Bulu romanya sampai berdiri tegap ingin digaruk.

Tidak mungkin dari dasar laut, kan? Memangnya ada sesuatu di dasar laut yang bisa meminta pertolongan? Atau jangan-jangan, itu adalah suara hatinya sendiri?

"Akashi-kun…"

Ini yang paling membuatnya takut. Takut karena merasa aneh. Tiba-tiba mendengar suara di tengah laut berbadai yang meminta pertolongan, dan sekarang mengucap nama seseorang. Siapa yang tidak akan takut?

Dan siapa pula si Akashi-kun?

Kagami tidak bisa menahan dirinya untuk tidak penasaran dan melihat sekeliling, mencari arah sumber suara. Mungkin, dengan kemungkinan yang sangat kecil sekali, memang ada seseorang yang bernasib sama dengannya—hanyut—dan sedang sekarat di tengah laut sambil meminta pertolongan dari orang yang saat ini tidak ada. Dan karena saat ini yang ada hanya Kagami, jadi ia tidak punya pilihan lain.

Satu-satunya yang bisa ia lihat selain air dan petir yang berkali-kali menyambar, adalah benda putih kecil yang sempat ia jauhi. Hanya benda itu yang memiliki kemungkinan untuk mengeluarkan suara, mengingat putri duyung tidak akan meminta tolong di dalam alamnya sendiri.

Jadi, dengan niat untuk melakukan hal baik yang kata hatinya bisikkan—walaupun mungkin untuk terakhir kalinya—dengan gagah berani yang terselip ketakutan ia berenang mendekati benda itu, yang ternyata tidak hanyut terlalu jauh dari tempat ia terakhir melihatnya.

Benda itu benar-benar putih, memiliki garis yang menonjol secara vertikal, dan ternyata tidak sekecil yang ia kira. Kagami tidak berani memasukkan kepalanya ke dalam laut dan melihat apa yang ada di bawahnya, karena ia takut ada mulut lebar dengan gigi-gigi tajam yang siap menyambutnya. Jadi, sambil berusaha tetap mengapung, ia menyentuh benda itu dengan hati-hati. Dingin, sedikit lembek, dan berkerut akibat terlalu lama berada dalam air.

Ia baru saja menyentuh kulit dari sesuatu.

Otaknya langsung berputar keras mencari pencerahan. Tidak mungkin lumba-lumba atau hiu (yang kemungkinan sudah mati karena sejak tadi tidak bergerak) memiliki kulit yang berkerut karena terlalu lama berada dalam air. Setahunya, hanya manusia yang bisa begitu. Dan berarti ia baru saja menyentuh tubuh manusia.

"Oh my God!" serunya, masih sempat-sempatnya menggunakan bahasa asing karena tidak bisa berpikir yang lain.

Ia langsung merengkuh benda itu dan meraba di seluruh permukaannya. Debaran lemah dari jantung yang dipenuhi air terasa di permukaan kulit yang halus. Diangkatnya benda itu, dan terbuktilah bahwa benda putih yang ditakutinya sejak tadi adalah manusia yang tenggelam.

Ia harus segera sampai di darat.

Sepertinya Dewa masih ingin lebih banyak menertawakan Kagami di masa depan, sehingga Ia membiarkan pemuda yang baru saja memiliki pengalaman pertamanya tenggelam di tengah badai, untuk bernapas dan bersombong ria lebih lama.

Yah, walau saat ini Kagami tidak bisa bersombong-sombong dulu karena masih panik luar biasa. Bagaimanapun, walau sudah berhasil mencapai darat sambil membawa orang yang ia selamatkan, pemuda berambut biru langit itu masih terpejam dan tak bergerak, membuat Kagami keringat dingin dan merasa hampir gila.

Ia berteriak minta tolong, namun kemudian teringat bahwa penduduk lokal saja enggan kemari. Tidak ada yang bisa ia pikirkan selain teknik-tenik yang biasanya sering dilakukan penjaga pantai pada korban tenggelam. Pertama apa dulu, ya? Memompa perut? Perut atau dada? Di saat genting seperti ini tidak penting yang mana, jadi Kagami memompa keduanya dengan sisa tenaga. Kemudian apa lagi? Napas buatan? Ide bagus. Dan karena terlalu panik, tanpa ragu ia menempelkan bibirnya ke bibir pria berkulit pucat itu dan mulai mengalirkan udara. Masa bodoh dengan homoseksualisme. Ini genting! Nyawa seseorang sedang dipertaruhkan. Dan Kagami tidak ingin berdebat dengan kewarasannya.

Ternyata memberi napas buatan nggak susah-susah banget, karena setelah Kagami melepas bibirnya, pemuda dengan warna rambut aneh yang ia selamatkan itu mulai bergerak, bernapas, tersedak, batuk-batuk hebat, muntah yang mengeluarkan berliter-liter air asin dan akhirnya membuka mata.

Bagi pemuda itu, hal pertama yang dilihatnya adalah sesuatu yang terbelah di atas mata Kagami.

"Are you alright?" Kagami merasa pria itu merupakan orang asing (dilihat dari warna rambut dan matanya yang tidak biasa) sehingga dengan bijaksana ia memilih bahasa asing sebagai antisipasi. Kebijaksanaan kecilnya itu bahkan membuatnya bangga.

Pemuda itu tidak menjawab, hanya menatap Kagami datar sambil sesekali terbatuk yang mengeluarkan air.

"I'll help you," ujar Kagami, meraih pundak pemuda itu dan membantunya duduk.

Pemuda itu terus terbatuk.

Kagami kemudian teringat bahwa ia sempat membawa beberapa isotonic drink di dalam tasnya. "Wait a minute. I'll take you some drink." Dan ia berlari menghampiri tas dan barang-barangnya di dekat sebuah batu karang besar.

Pemuda ia selamatkan hanya menoleh saat Kagami pergi, mengira bahwa ia benar-benar ditinggalkan oleh orang yang menyelamatkannya. Namun, ia juga maklum. Karena Akashi-kun bilang manusia memang licik dan kejam.

Ia kemudian mendongak, melihat langit yang perlahan kembali biru dan sinar matahari musim semi yang walau tidak terasa hangat, namun berhasil membuatnya rindu dan sedih.

Apakah Akashi-kun juga sedang bersedih?

"Here." Bukannya menyerahkan isotonic drink seperti yang dijanjikan, Kagami malah melampirkan jas sekolahnya ke pundak pemuda tersebut, yang ternyata berukuran sangat besar hingga dapat menutupi seluruh bagian tubuh atasnya. "And here the drink." Barulah ia menyerahkan sebotol isotonic drink, satu-satunya minuman yang bisa ia berikan karena tidak pernah membawa botol berisi air putih.

Pemuda itu hanya menatap botol air yang ada di genggamannya.

"Why? You won't drink it?" tanya Kagami, heran.

Pemuda itu tak berkutik.

"It's okay if you won't—"

Pemuda itu menempel-nempelkan kepala botol yang masih tertutup ke bibirnya.

Kagami tertegun. Ia tidak menyangka orang yang tenggelam bisa kehilangan ingatan juga, bahkan untuk pengetahuan dasar-sar-sar seperti membuka tutup botol.

'Pantas saja ia tidak kunjung meminumnya,' tawa Kagami dalam hati. "Give it to me."

Si korban tenggelam semakin terdiam dan terheran-heran. Tadi pemuda bertampang seram ini memberikan benda itu padanya, sekarang malah mengambilnya kembali? Apakah manusia memang selicik dan sekejam itu?

Namun ia tetap memperhatikan bagaimana cara Kagami memutar sesuatu yang berbentuk bundar di puncak botol, "Like this, and now you can drink," dan memeragakan bagaimana cara meminumnya—sebagai antisipasi kalau saja si rambut biru tidak ingat juga cara minum dari botol. "And this is how you drink it."

Si rambut biru mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia mempraktekkan apa yang Kagami ajarkan dengan teliti.

"How is it?" tanya Kagami.

Pemuda itu mengernyit, wajahnya berubah masam. Yah, kebetulan yang ada di tas Kagami hanya yang rasa jeruk.

"You like it?"

Kali ini pemuda itu tak merespon.

Kagami curiga, jangan-jangan dia sama sekali tak mengerti apa yang ia bicarakan? Jadi, ia coba untuk memastikannya dulu. "Sorry, but are you deaf?"

Tak ada respon.

"Are you Japanese, or what?"

Pemuda berambut biru itu membulatkan mata besarnya. Ia pernah diberitahu bahwa Jepang (Nihon/ 日本) disebut Japan oleh manusia lain, tapi apa pula 'Japanese'? Akashi-kun tidak memberitahu apa-apa tentang itu.

Kagami menggaruk-garuk kepalanya, mulai frustasi dengan orang aneh yang ditemuinya. Ia tidak habis pikir masih ada orang yang tidak mengerti bahasa Inggris, bahasa multietnis, di tengah-tengah zaman modern seperti sekarang ini. Dan sekarang dia harus apa? Berbicara dengan bahasa kera? Sayangnya Kagami juga tidak mengerti.

"Ah! Mendoukuse! [Ngerepotin!]" serunya pada langit.

Si biru sontak membulatkan mata besarnya. "Mendoukusai? Nani ga? [Merepotkan? Apanya?]" balasnya.

"Omae da! [Elo!]"

"Watashi ga? [Saya?]"

"Aku sudah repot-repot nolongin benda aneh yang ngapung-ngapung, dan ternyata benda itu manusia dan nggak ngerti bahasa Inggris! Dan sekarang aku ngomong pake bahasa Jepang, dan kamu ngerti?"

"Hai. [Iya.]"

"Argh! Nyebelin banget, tau nggak! Dari tadi udah repot-repot pake bahasa Inggris dan sekarang kamu—eh, kamu ngerti bahasa Jepang?" Kagami terdiam, melotot pada pria berambut biru berantakan di depannya. "Omae… hontou ni shaberu no ka? [Kamu… beneran ngomong?]"

"Hai. [Iya.]"

"Tapi… dari tadi aku ngomong…"

"Itu karena aku tidak mengerti."

"He?"

Sekarang Kagami melotot heran. Ternyata benar. Ternyata benar ada orang yang masih tidak mengerti bahasa Inggris dan malah mengerti bahasa Jepang walau tidak terlihat seperti orang Jepang. Apa ini perasaannya saja, atau standar bahasa Inggris manusia zaman sekarang menurun?

Tapi kalau diperhatikan lebih teliti, pemuda yang sedari tadi tak banyak berekspresi itu juga lumayan mirip orang Jepang.

Berarti standar mutu bahasa Inggris orang Jepang saja yang menurun?

Kagami menggaruk kepalanya lagi—kali ini untuk menenangkan dirinya. "Oke." Ia duduk bersila di atas pasir. "Jadi, sekarang kita sudah bisa berkomunikasi."

Si orang-asing-tapi-mungkin-orang-Jepang itu mengangguk setelah meneguk isotonic drink sekali lagi.

"Aku tidak tahu harus memulai dari mana, tapi… uh, banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi sebelum itu, yang lebih penting, kenapa kau berada di tengah laut? Apa kau hanyut juga? Dan…" Suasana yang panik tadi memang membuatnya tidak sempat berpikir hal lain selain cara-pertolongan-pertama-pada-orang-tenggelam. Dan setelah segala hal terasa lebih baik dan hatinya bisa dikendalikan, Kagami baru sadar bahwa, walaupun ia tidak dengan sengaja memperhatikan, tapi pemuda aneh yang ditolongnya tak memakai penutup apapun. Tidak bahkan selempar celana renang. "Apa kau mabuk?"

Itu bisa jadi salah satu alasan yang logis.

Namun pemuda itu menyanggah dengan gelengan. "Aku tidak suka anggur."

"Kalau sake?"

"Sake?"

Lagi-lagi, kecurigaan Kagami bahwa pria berwajah oriental ini bukan orang Jepang, bertambah. Jika ia memang orang Jepang, masa sake saja tidak tahu? Bahkan anak TK setidaknya tahu apa pengertiannya lah. Kagami saja yang tidak dibesarkan di Jepang, juga tahu kok.

"Itu lho… Minuman hasil fermentasi yang mengandung alkohol." Setidaknya hanya sampai situ yang Kagami tahu.

Si orang-asing-tapi-mungkin-orang-Jepang-yang-mungkin-juga-bukan-orang-Jepang hanya menatap datar. Datar banget hingga berkesan sudah berabad-abad semenjak Kagami melihat alisnya berkerut dengan ekspresi tersiksa saat memuntahkan air laut tadi—padahal hanya beberapa menit lalu.

"Tidak tahu."

"Yasudah, lah."

Kagami menyerah juga.

Saat Kagami mengecek HP-nya, ada 12 panggilan tak terjawab dan 27 SMS yang secara garis besar berisi sama, dan dari orang yang sama pula. Ia menghela napas dan memutuskan untuk menelpon balik.

"Halo?"

"Halo gundulmu! Kenapa dari tadi nggak dijawab, hah?"

Eh, dia malah dibentak duluan. Padahal kan, Kagami tuh yang niat mencak-mencak pada orang tersebut karena sudah membuat memori HP-nya penuh.

"Aku sampai tidak bisa mengunyah dengan benar karena berita menakutkan di TV membuatku khawatir sampai hampir gila! Kau tidak tahu kan, berapa kali pembawa acara TV mengatakan larangan keluar rumah, apalagi ke pantai bagian Timur? Apa kau tidak tahu ada badai tiba-tiba? Apa kau baik-baik saja?" Ocehan seseorang di seberang telepon membuat telinga Kagami berdengung.

Padahal, jika sedang dalam keadaan biasa, Himuro bisa menjadi orang paling tenang di dunia, dengan senyum lembut dan tatapan hangat terutama pada adiknya. Tapi kalau sudah marah—dalam konteks ini karena khawatir luar biasa—ia bisa sejudes, segalak dan seseram Alex saat PMS.

Dan curigaan pula.

"Ah, maaf," balas Kagami, tidak tahu apa yang harus ia katakan selain minta maaf. "Sejak tadi aku sibuk—yah, begitulah kira-kira," lanjutnya.

"Apa maksudmu 'yah, begitulah kira-kira'?"

"Yah, begitulah."

"Apa maksudmu?"

"Begitulah."

"Apa kau bisa menjelaskannya?"

"Begitulah."

Bukannya apa, tapi Kagami tidak bisa menjelaskan keadaan lewat telepon, karena selain ia tidak bisa mengutarakannya dengan kata-kata, ia juga ragu Himuro akan percaya. "Kau tidak akan percaya," lanjutnya.

"Coba saja," tantang Himuro, menjadi jengkel dengan adiknya.

"Sudahlah, nanti kujelaskan."

"Nanti ka—"

"Hei, bisa aku mampir ke rumahmu? Pemanas air di tempatku mati."

Himuro bengong sebentar. Sebenarnya dia gondok karena si 'adik kecil' berani banget memotong omongannya. "Kau ingin datang ke rumahku hanya untuk mandi?"

"Kau mau tahu keadaannya, atau tidak?"

"Baiklah." Di seberang sana, di dalam apartemennya, di depan TV, sebenarnya Himuro sedang cemberut. "Akan kupanaskan air untukmu."

"Sebenarnya bukan untukku, tapi sudahlah," Kagami membalas cepat. "Terimakasih. Dah!"

"Bukan untuk—Hei!"

Tut tut…

Kagami menghela napas, panjang dan berat. Seolah dengan mengeluarkan hampir seluruh karbondioksida di tubuhnya, ia juga bisa menyingkirkan rasa lelah, pusing, heran, kaget, tidak percaya beserta seluruh masalahnya—yang tentu tidak akan terjadi karena Tuhan tidak memberikan masalah untuk dipecahkan hanya dengan helaan napas.

"Ano…"

Bulu romanya merinding. Suara itu persis seperti yang ia dengar saat berusaha menyelamatkan diri dari badai tadi. Suara yang lemah lembut, namun bisa menjadi sangat mengerikan.

"Apakah benar begini cara memakainya?"

Kagami berbalik, dan melihat orang aneh yang ia selamatkan sudah tidak bertelanjang bulat seperti beberapa saat lalu. "Terimakasih atas pakaiannya, walau sebenarnya sedikit longgar." Bukan 'sedikit' lagi, tapi memang kebesaran banget. Orang asing itu ingin bersikap sopan atau menyinggung badan besar Kagami, sih? "Tapi apakah tidak apa-apa?"

"Huh? Kenapa?"

"Kau harus mengenakan pakaian tipis itu di udara sedingin ini karena meminjamkan pakaianmu padaku."

Dibanding pemuda berambut biru muda ganjil yang mengenakan blus putih dan celana panjang kebesaran Kagami, si pemiliknya sendiri malah terlihat lebih aneh (dan lucu, sebenarnya) karena memakai jas sekolah di luar kaos hitam tipis dan celana basket selututnya. Gaya pakaiannya pasti akan dikomentari para pengamat fesyen sebagai 'Gaya Formal Pebasket Kampungan'.

Dan sejujurnya, Kagami memang kedinginan setelah basah kuyup akibat air laut.

"Sudahlah, aku kebal, jadi tidak apa-apa." Ia berusaha tersenyum meyakinkan, yang malah tanpa diduga-duga membuat pemuda asing itu balas tersenyum dengan mata besarnya yang indah.

"Terimakasih banyak." Wajah pucat itu terlihat sangat manis dengan senyum tipis dan mata yang berbinar. Bahkan seolah ada kerlap-kerlip cahaya di sekelilingnya. Dan untuk alasan yang tidak jelas, jantung Kagami mulai berdetak tidak beraturan.

Aneh. Padahal di dekat Alex pun ia tidak pernah seperti ini.

"Ayo kita pergi," ajak Kagami, mengalihkan pembicaraan dan juga perhatian matanya. "Kau bilang kau tidak bisa kembali ke tempatmu, kan? Jadi bagaimana kalau kau ke tempatku?—sebenarnya kita akan ke tempat temanku dulu, sih. Bagaimana?"

"Tidak masalah. Tapi aku benar-benar tidak enak merepotkanmu—dan temanmu."

"Kau bisa berterimakasih dan meminta maaf nanti," ujar Kagami. "Ayo ke stasiun."

Mereka berjalan berdampingan di sepanjang jalan menuju stasiun. Sebenarnya berjalan berdempetan, karena si orang asing terus menempel dengan jarak yang dekat sambil berusaha mengimbangi langkah lebar Kagami. Jika melihat dari cara berjalannya saja yang pelan dan pendek-pendek, Kagami pasti mengira bahwa orang di sampingnya ini adalah perempuan—apalagi kakinya sangat putih, kecil dan mulus. Tapi ternyata bagian fisiknya yang lain tidak menunjukkan tanda-tanda seorang betina—kecuali mata besar dan kulit putih mulusnya sih.

Namun Kagami memilih diam dan menyimpan pertanyaannya untuk nanti.

Ketika mereka sudah duduk di dalam kereta, Kagami tidak kaget lagi jika orang asing itu duduk bersebelahan dengannya. Tapi berbeda jika ia duduk terlalu dekat di gerbong yang sepi, sambil terus mencengkeram lengan Kagami seperti anak hilang.

"Hei," Kagami tentu risih digelayuti oleh lelaki. Digelayuti Alex saja ia tidak pernah betah. "Kenapa? Kau takut naik kereta?"

"Ah, jadi ini kereta manusia?"

Malah komentar polos itu yang ia dapat.

"Kau itu aneh, kau tahu?" ujar Kagami, semakin risih dan heran. Anehnya ia malah tidak kunjung menyingkirkan rangkulan si orang asing pada lengannya.

"Bagiku kau juga aneh. Tapi di saat yang sama, aku juga sering melihat orang sepertimu," balas si orang aneh, sangat berhasil membuat Kagami semakin heran, dan kali ini penasaran.

"Maksudmu?"

"Ada kenalanku yang bertubuh tinggi besar sepertimu. Tapi ternyata kau berbeda dengannya."

Kagami menggaruk kepalanya. "Apakah itu pujian?"

"Iya," orang aneh itu tersenyum. Ia kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak Kagami dengan santai. "Ia orang yang kasar, obsesif dan jahil. Mungkin baginya sikapnya itu adalah bentuk candaan, namun tidak akan ada yang menganggapnya begitu jika sudah keterlaluan. Aku salah satu yang sering diganggunya, tapi dengan alasan cinta."

"Wow." Penjelasan panjang si orang orang aneh tentang seseorang yang tidak diketahunya membuat Kagami tidak tahu harus merespon apa. Lagipula, kenapa orang ini tiba-tiba curhat? Padahal sejak pertama bertemu, ia sudah memancarkan aura sebagai orang yang tertutup dan pendiam. Dan barusan dia malah curhat pada Kagami, yang notabene juga orang asing baginya? "Wanita yang obsesif, huh? Aku juga mengerti perasaanmu, karena ada teman wanitaku yang juga melakukan hal yang sama." Pada akhirnya Kagami berusaha menyambung pembicaraan dengan curcolan.

"Bukan." Orang asing itu mendongak dan menatap Kagami. "Dia laki-laki."

Mendengar itu, dunia kecil Kagami seolah berputar dan terbalik, dimana kenyataan bahwa ia digelayuti laki-laki malah membuat jantungnya berdebar dan ternyata seseorang yang homoseksual berada sangat dekat dengannya.

"Kau…" Kagami tidak enak to-the-point, tapi tata bahasanya lumayan minim untuk yang menyangkut masalah sentimen seperti ini. Masa dia harus bilang, "Jadi, kau homo?" di depan orangnya langsung? Setidaknya dia harus memoles bahasanya. "Kau… ukm. Jadi orang itu homo?"

Yang ternyata tidak lebih baik.

"Ah, tidak," balas si orang-aneh-yang-kemungkinan-homo. "Pada dasarnya, aku adalah perempuan."

Dan Kagami adalah kera. Ya, ya. Siapa yang akan percaya hal itu?

Tapi kenapa wajah Kagami seolah berkata, "Oh, jadi itu alasannya kenapa dia cantik sekali dan jantungku berdebar?"—dengan kata lain, tampang bengong yang terlihat blo'on, namun akhirnya mengangguk dengan senyum cerah dan mantap. "Oh, kau perempuan, ya? Hahaha. Operasi plastik Korea memang hebat, ya."

"Operasi plastik? Korea?"

"Eh?"

Jadi dia juga bukan orang Korea? Padahal jika iya, maka Kagami tidak perlu terus pusing dengan asal usul manusia aneh bin ajaib yang mengaku perempuan ini.

"Jadi… kau bukan orang Korea?"

"Apa itu 'orang Korea'?"

Rasanya Kagami ingin melompat keluar kereta.

"Sebutan bagi orang yang berasal dari negara bernama Korea—negara tetangga."

Si rambut biru ber-oh ria. "Aku bukan orang Korea. Bahkan, pada dasarnya aku bukan dari bumi."

Jadi, dia ingin bilang bahwa dia adalah alien betina yang jatuh ke bumi tapi tiba-tiba berubah menjadi manusia laki-laki, begitu?

Fiksi fantasi begitu bukan bidangnya Kagami.

"Jadi… sebenarnya kau ini… 'apa'?"

"Aku dewi bulan. Namaku Kuroko Tetsuki."

TBC

Gimana? Bahasa Inggrisnya abal? Maaf deh. Saya belom 100% menekuni Bahasa Inggris.

Btw, Menarik nggak? Hehe, bingung? Sengaja. :P #dihajar

Semua masih ambigu. Silahkan teruskan membaca dan temukan sendiri misterinya. Eh, JANGAN LUPA REVIEW!

Anyway, I'm a newbie at this fandom. Kore kara yoroshiku onegai-shimasu!

(Selasa, 28 Januari 2014)
Great hug,
Kodok