Cokelat belgia sudah habis dimakan Yuu. Masuk ke dalam pencernaan suci miliknya dengan nikmat luar biasa. Pekerjaan ayahnya sebagai bolang tingkat tinggi yang punya jam kerja padat dan sering berpindah-pindah lokasi, membuatnya hanya mampu mengirim oleh-oleh dari tempatnya berada saat ini. Yuu tentu tak akan melewatkan oleh-oleh semanis cokelat belgia.

Yuu yang mulai kantuk saat melihat televisi lalu mematikannya. Ia lalu pergi ke kamarnya di lantai dua. Saat sadar ia belum menutup tirai, maka dengan segera ia akan melakukannya. Salah satu sisi hendak ditarik, sebelum ia mendengar suara dari rumah sebelah.

"Apa?! Teh buatanku tidak enak?!"

Sudah bukan hal baru bagi Yuu melihat tetangganya uring-uringan seperti itu. Namanya Yan He, sepertinya sih sudah bekerja. Keluarganya ditimpa masalah perceraian bulan lalu dan membuat Yan He harus mengasuh adik-adik kecilnya. Tapi, mungkin karena usia yang masih belia serta pemikiran yang belum sepenuhnya dewasa membuat rumah itu selalu dipenuhi suara-suara keras mengusik tetangga.

"Mereka lagi."

Yuu tidak peduli.

.

.

.


a little happiness

Vocaloid (c) Yamaha, Crypton, etc.

Story (c) panda dayo

Aslinya setoran untuk sebuah event tapi karena ga keburu ngelarin ya...beginilah. #gimana

.

.

.


Yan He sudah sibuk di dapur pagi-pagi. Semenjak perceraian kedua orang tua dan meninggalnya sang ibu yang mendapat hak asuh, mau tak mau ia harus mengurus semua adik-adiknya yang masih kecil.

Yan He memiliki tiga orang adik. Ling, Chika, dan Tianyi. Ketiganya mempunyai selisih umur masing-masing dua tahun, dan semuanya masih menempuh pendidikan sekolah dasar.

"Kak Yan He! Sarapanku telur dadar, ya!"

"Aku mau omelet yang tebal!"

"Tidak! Jangan telur lagi! Aku bosan makan telur!"

Yan He menepuk dahinya sendiri.

Ia memang sekarang sudah bekerja. Sudah baik hati, bosnya, Kagamine Rinto memberinya sedikit keringanan saat waktu menjemput adik-adiknya. Apa ia harus memberi kompensasi telat datang jam masuk kerja?

Demi paha semok Nakagawa Shoko! Ini sudah hampir jam tujuh! Sementara adik-adiknya masuk pukul setengah delapan. Yan He juga belum mandi, tung tara tung tung.

"Makan seadanya! Jangan manja!" Yan He juga gatal mendengar rengekan adik-adiknya.

Lalu ketiga adiknya akan diam tiap kali Yan He membentak penuh emosi. Menurut mereka itu sangat menyeramkan. Masakannya enak, hanya saja ia selalu bangun kesiangan karena juga harus bekerja hingga larut malam sebagai seorang designer di perusahaan Rinto.

Yan He melirik jam. Tujuh lebih sepuluh. Sarapan diletakkan di meja, dan ia bergegas mandi kilat agar wangi ketika mengantar adik-adiknya nanti. Sebagai perempuan, patutnya perlu menjaga penampilan diri.

"Aku akan mandi! Jangan pergi sampai aku selesai!" lalu suaranya perlahan menjauh.

Ketiga adiknya menatap sarapan mereka hari itu.

Telur mentah.

.

.

.

.

Yan He menggunakan jasa mobil sedan merah mengkilatnya untuk kebutuhan transportasi. Adik-adiknya berbaris rapi masuk ke dalam mobil dan duduk dengan tertib. Pernah sekali waktu ketiga adiknya bertengkar memperebutkan jok, Yan He langsung meninggalkan mereka bertiga tanpa mengatakan apa-apa. Akibatnya mereka harus jalan kaki bahkan pulang diantar oleh guru.

Yan He sebenarnya tidak suka berkata kasar, ia hanya akan bertindak diluar dugaan. Tapi akhir-akhir ini ia sering mengomel, mungkin ada masalah pekerjaan di kantor. Walaupun masih kecil, ketiga adiknya tak sebodoh itu hingga tak mengerti.

Untuk menyelesaikan perselisihan tempat duduk, maka ketiganya menggunakan sistem giliran. Hari ini jatah Tianyi yang duduk di jok depan.

Yan He memanaskan mobil, sementara menunggu, ia membereskan dasbor yang sedikit berantakan. Membenahi cermin dan pengharum gantung. Tianyi menyalakan ac, rutinitas dan hak istimewa yang didapatkan apabila duduk di jok depan; Yan He tak keberatan.

"Sudah pasang sabuk pengaman?"

Ketiga bocah serempak mengangguk.

Yan He membenarkan sabuk pengamannya sendiri dan kakinya mulai menginjak pedal gas secara brutal. Aksi ini cukup berbahaya, tapi mengingat keterbatasan waktu serta adik-adiknya justru suka, jadi Yan He merasa tidak apa. Pagi-pagi begini, polisi masih belum ada.

Kendaraan itu melaju, melesat membelah jalanan yang tampak sepi. Ketiga adiknya bersorak lalu menyanyi sebuah lagu yang sedang populer. Entah apa, yang jelas tak ada urusannya dengan Yan He.

Ketiga adiknya bersekolah di sebuah sekolah swasta yang berjarak sekitar tiga kilometer dengan ngebut. Kantor Yan He butuh setidaknya sepuluh menit lagi dari titik ini. Ketiga bocah itu masih bernyanyi sebagai penghilang bosan.

Yan He mengerem tepat di depan gerbang sekolah. Adik-adiknya secara mandiri melepas sabuk pengaman dan turun hati-hati. Tak lupa mereka mengucapkan salam sebelum keluar dari kendaraan.

Yan He melihat ketiga adik kecilnya jalan beriringan menuju gedung sekolah. Ia menurunkan sedikit kaca jendela untuk memandanginya sejenak.

Indahnya saat masih kanak-kanak, ya.

Yan He tertawa pelan, lalu menutup pembatas translusen beraksen gelap. Setelah memastikan pintu mobil tertutup rapat, kemudian ia melaju pergi.

Selang lima menit, seorang pria datang menggunakan motornya memasuki gedung, sebelum menuju tempat parkir yang ada di samping bangunan, bersebelahan dengan parkir sepeda para siswa.

Di parkiran, ia berjumpa dengan beberapa murid yang baru saja akan meninggalkan tempat itu,

"Pagi, Matsuzaki-sensei."

Pengait helm dilepas, dan nampaklah sebuah wajah lembut disertai senyuman.

"Ah, pagi juga."

Ia meletakkan helmnya di salah satu stang dan menapak turun. Jaketnya dilepas dan dimasukkan ke dalam jok motor. Seragamnya sedikit ditata, nametagnya dipasang di sisi kiri dada, disematkan pada kemeja.

Matsuzaki Yuu.

.

.

.

"Pesta perpisahan?"

Yan He baru saja meletakkan tasnya di meja kantor dan mendengar gosip dari sebelahnya. Selebrasi apalagi coba, hanya buang-buang waktu, ia heran.

"Kudengar bos Kagamine akan dimutasi ke Jerman, ia diganti oleh seseorang dari cabang Tiongkok."

Yan He memilih duduk dan menyalakan komputer di mejanya. Tangannya menekan tombol power di CPU dengan cepat. Ia ingin menyelesaikan desain yang kemarin diminta untuk pakaian musim dingin tahun ini, yang rencananya akan diikutkan dalam fashion week di Prancis tahun depan. Masih ada sisa tiga bulan sebelum pergantian tahun, tapi Yan He tak suka menunda-nunda. Lebih cepat diselesaikan lebih baik, agar ia bisa berlibur juga di akhir tahun dan merayakan natal bersama adik-adiknya.

"Yan He, bisakah kau melihat desainku yang ini? Bagaimana menurutmu?" setumpuk kertas diletakkan di meja Yan He tiba-tiba.

"O-ow, Rin, bisakah kau tidak mengagetkanku?" Yan He nyaris terjatuh dari kursinya.

"Maaf ya..." yang disebut Rin tertawa. Mereka saling mengenal cukup lama, semenjak sama-sama menjalani sesi wawancara sewaktu melamar pekerjaan ke perusahaan ini.

"Ini desain untuk di Harajuku besok?" Yan He mengingat-ingat. Bagian Rin dan timnya adalah pameran busana bulan depan di Harajuku. Rencananya mereka akan menggunakan tema campuran neon dan lolita.

"Komposisi warnanya tak masalah, tapi mungkin kerahnya agak ditinggikan sedikit, lalu yang ini stockingnya jangan motif yang rumit, sederhana saja dan padukan dengan neon merah muda..." penjelasan Yan He disimak seksama oleh Rin yang mengangguk-angguk mengerti.

"Benar juga, ya. Terima kasih, Yan He!" Rin dengan riang membawa kembali kertas-kertas print out desainnya ke mejanya yang agak jauh.

"Lain kali, percaya dirilah akan desainmu sendiri!" seru Yan He.

"Laris seperti biasa ya, memang desainer utama." dari bilik sebelah -meja berbatas penghalang- sebuah suara terdengar. Yan He sedikit memundurkan kursinya agar dapat melihat pembicara,

"Tidak juga. Selera tiap desainer berbeda. Rin hanya kurang percaya diri." ujarnya.

Pihak di sebelahnya hanya membenahi letak kacamata.

"Tapi memberikan saran yang bermanfaat bagi lainnya, memang hebat, kan?" kilahnya. Yan He memutar mata malas dan memajukan kembali kursinya.

"Lalu siapa peraih gelar desainer terbaik tahun lalu? Yan He? Bukankah itu kau, Suzune Ring?"

Ring melanjutkan pekerjaannya mendesain di laman digital.

"Tapi tahun ini berbeda." komentarnya.

"Hentikan topik ini." Yan He risih, sementara tangan kanannya masih menggerakkan connector pen dengan lihai.

"Suzune Ring! Kami minta daftar bahan dan model yang kau rekomendasikan kemarin!" dari arah pintu, seorang pria datang tergopoh-gopoh. Ia tak melihat jalan dan tersandung kakinya sendiri.

BRUKK

"Hiyama! Sudah kukatakan jangan berisik!" Yan He tersulut emosi akibat mendengar kegaduhan. Bukan hanya sekali ini saja, tapi terlalu sering.

"Ma-maaf nyonya besar...saya berjanji tidak akan mengulanginya." pria itu menepuk bajunya, lalu bangkit berdiri seperti biasa. Ia berjalan ke arah meja Ring di sebelahnya.

"Ah, ini, Kiyoteru." Ring menyerahkan beberapa lembar kertas berisikan nama-nama model yang ia rekomendasikan beserta daftar bahan pakaian yang desainnya disetujui sebulan lalu untuk dipasarkan.

"Pakaian vintage yang sangat indah~" puji Kiyoteru. Ia semakin heboh saat mengganti daftar bahan dengan daftar rekomendasi model.

"Anri Rune yang itu?! Waow."

"Hiyama-san."

Kiyoteru menoleh gagap ke arah sebelah. Ada aura tidak enak, berwarna pekat kehitaman keluar dari sana.

"M-maaf nyonya besar.."

Sepasang manik Yan He berkilat merah imajiner; marah.

"Maafkan sayaaa!" Kiyoteru buru-buru berlari sampai lupa tidak membuka pintu keluar dan kejedot sebelum jatuh dengan tak elitnya.

"Kuhitung sampai lima. Lima. Empat. Tiga." Yan He mulai menghitung.

Kiyoteru buru-buru meraih daun pintu dan ngesot keluar.

Seisi ruangan hening.

Yan He memang adalah pribadi yang keras. Tutur katanya tak manis namun ada benarnya. Sepanjang waktu, matanya itu seakan penuh dendam akan sesuatu. Membuat orang yang mula tak mengenalnya pasti akan lari ketakutan. Orang-orang di sini sudah hafal di luar kepala akan sikapnya. Tapi, mereka tak pernah bisa menegurnya karena Yan He menunjukkan prestasinya yang gemilang di bidang fashion. Tak ada yang tak menghormatinya meski masih ada yang membatin soal perilaku buruknya.

"Kalau sikapmu begitu terus, jodohmu jadi jauh, tau." Ring terkikik sembari meneruskan pekerjaannya.

Yan He tidak peduli pada apapun selain ketiga adiknya.


.

.

.

.


Chika sangat senang saat jam istirahat tiba. Karena saat itulah, ia dapat menemui kedua adiknya.

Chika saat ini berada di kelas enam, Tianyi di kelas empat, dan Ling di kelas dua. Mereka membuat kesepakatan akan bertemu di kantin karena tak sempat sarapan.

Chika berseri-seri, sebelum melihat kerusuhan di kantin.

"Apa?! Meja ini punyamu? Aku dulu yang mendudukinya, sialan!"

Chika sih tidak masalah kalau ada pertengkaran antar siswa, tapi ini benar-benar gawat karena ternyata itu Ling yang sedang menghajar seorang siswa kelas lima.

"Ling! Hentikan. A-aku tidak apa-apa, kita cari tempat lain saja." Tianyi berusaha menahan Ling yang sedang kalap.

"Tapi, Tianyi! Dia meludahimu! Kau pikir aku terima?!"

Tianyi gemetar ketakutan sambil menahan tangan Ling, mencegahnya agar tak memukul lagi. Ia harus bisa menenangkan Ling yang memang berjiwa preman dari dulu.

Siapa yang kakak siapa yang adik.

"Lihat! Dia bilang tak apa-apa. Kau saja yang cari masalah!" seru siswa yang bonyok dihajar Ling.

"Kau menantangku?! Ayo!"

Chika tampak was-was, ia lalu berjalan keluar dari kantin hendak memanggil guru untuk melerai, tapi rupanya ia tak perlu mencari. Karena salah seorang guru berjalan ke arah kantin.

"Sensei! Sensei! Matsuzaki-sensei!" Chika melompat sembari melambaikan tangan.

Yuu yang melihat salah satu muridnya mengernyit heran saat menghampirinya.

"Ada apa, Chika?" tanyanya. Chika menyeret lengan Yuu ke dalam kantin dan guru itu sangat terkejut akan aksi smackdown di sini.

Para penonton menyingkir, memberi arena pertarungan bagi Ling dan siswa sialan tadi; Mikuo. Mereka lalu saling adu pukul dan tendangan, bahkan tampar-menampar hingga jambak-jambakan. Seluruh siswa riuh dan meneriaki jagoan mereka.

"Ling! Hajar bocah sombong itu!"

"Mikuo! Jangan mau direndahkan adik kelas!"

Tianyi menggigiti kuku jarinya karena merasa gagal tak dapat menahan Ling tadi. Ling tidak perlu sampai begini hanya karena dirinya. Ia bersalah.

"Cukup, hentikan!"

Yuu masuk ke tengah kerumunan lalu memasuki arena, melihat kedua anak didiknya babak belur di segala tempat.

"Kalian, ke ruangan konseling sekarang juga."

Ling meludahkan darah dari mulutnya.

"Tapi, sensei, dia menghina Tianyi."

"Kita akan selesaikan nanti. Nah, ayo bubar semuanya."

Sebagian besar khalayak tampak kecewa, tapi mereka memilih menuruti perkataan guru daripada kena masalah. Chika lalu berlari menghampiri Ling.

"Ling, kau tidak apa-apa?"

"Tidak, jangan khawatirkan aku. Kau jaga Tianyi saja. Ini salahku." Ling berdiri dengan susah payah. Sementara Mikuo memegangi perutnya yang sempat jadi sasaran tinju Ling. Chika mengangguk dan menuju ke arah Tianyi. Mengajaknya kembali ke kelas setelah membeli beberapa tusuk dango. Tianyi menatap nanar pada Ling sebelum meninggalkan kantin, tapi Ling melempar senyum, seolah semua akan baik-baik saja.

"Nah, ayo."

Ling dan Mikuo kemudian diseret oleh Yuu ke ruangan konseling.

Matsuzaki Yuu bekerja di tempat ini selepas kuliah. Cita-citanya dari dulu adalah ingin menjadi seorang guru. Mimpinya terkabulkan, tapi ada saja masalah para siswa. Terutama sejak Ling masuk sekolah. Anak itu tampak tak bisa dikontrol sama sekali. Yuu harus memanggil kakaknya kemari.

Yuu tahu benar, kalau cebol ini adalah penghuni sebelah rumahnya. Tapi, ia tak pernah berinteraksi dengan mereka karena si kakak sepertinya sangat galak. Jadi, Yuu memilih rute aman saja.

Mereka bertiga sampai di ruang konseling. Ling dan Mikuo lalu duduk di sofa yang disediakan. Sementara Yuu membuat teh untuk mencairkan suasana. Tak lupa dengan sebungkus permen untuk masing-masing dari mereka.

Yah, beginilah guru yang harus merangkap sebagai pengurus konseling. Yuu sebenarnya mengajar geografi, tapi karena jam terbangnya masih kurang, ia ditugaskan jadi salah satu guru pembimbing juga.

"Jadi, benar pertengkaran tadi karena kau menghina Tianyi, Hatsune-san?"

"Aku tidak menghinanya. Dia hanya rakyat jelata."

Yuu swt.

Ia beralih atensi, "Dan Ling, kau mudah tersulut emosi. Bukankah sebaiknya kalian bicara agar mudah? Kasihan Tianyi yang hampir menangis tadi."

Ling mendengus sembari menyilangkan kedua lengannya.

"Aku hanya membela saudaraku."

Yuu tersenyum, "Ya, apapun masalahnya anggap saja sekarang sudah selesai. Hatsune-san, kupikir tidak baik membeda-bedakan orang, dan Ling...kumohon jangan menambah catatan burukmu tahun ini kalau masih ingin naik kelas."

Keduanya saling membuang muka ke arah berlawanan.

"Tapi, kalian tetap harus dihukum karena membuat kegaduhan." Yuu masih tersenyum dan berceletuk, "membersihkan toilet. Akan kuijinkan kalian di pelajaran selanjutnya."

Ling dan Mikuo saling menatap tajam.

'Ini gara-gara kamu!'

.

.

.

.

.

Yan He menikmati makan siangnya di cafetaria bersama dengan Rin dan Ring. Karena hanya mereka yang tahan dengan perangai Yan He.

Rin memesan satu porsi cake tiramisu. Ring memilih menu nasi ayam, dan Yan He sekedar salad plus kopi.

Benar-benar berbeda.

"Majalah kita bulan ini bagaimana?" Rin membuka percakapan.

"Seperti biasa, laris manis."

Tempat mereka bekerja adalah di Bplats, sebuah wirausaha dalam dunia fashion. Nama Bplats sudah tak asing lagi dalam dunia mode pakaian. Berdiri semenjak enam tahun lalu, popularitas mereka menanjak pesat. Tentu hal ini tak terlepas dari para desainer dan semua staff yang telah bekerja keras. Bermula dari terbitan majalah, lalu mendapat tawaran serta prestasi yang luar biasa di dalam dan luar negeri. Yan He dan Suzune Ring adalah desainer andalan dari Bplats, sementara Rin merupakan pekerja baru yang memulai debutnya setahun lalu.

"Kau yakin hanya makan salad, Yan He?" tanya Ring.

"Kenapa? Perutku sendiri." Yan He tampak tak peduli sambil menyeruput kopi setelahnya. Rin asyik menghabiskan cakenya sendirian, seolah itu adalah cake terakhir di dunia.

"Boleh aku bergabung?"

Suara bariton menginterupsi acara makan cantik para desainer.

"K-Kagamine!" Ring keselek.

"Bos, kumohon jangan potong gajiku!" Rin memohon padahal pihak satunya belum mengatakan apa-apa.

Meletakkan pantat pada kursi, lalu melahap nikmat hamburger yang ada di piring bawaannya.

"Jangan sungkan-sungkan..." kata Rinto usai memindahkan makanan ke lambungnya.

"Kupikir tidak baik mengusik pembicaraan wanita." Yan He menyorot tajam.

"Ahahaha, aku mengganggu rupanya. Tapi sebentar saja kok, nih sudah mau habis." Rinto berkilah, tak ingin diusir secepat ini.

Yan He tak menjawab dan menghabiskan kopinya hingga tetes terakhir. Tepat saat ia meletakkan cangkir kosong di meja, ponselnya berbunyi keras. Segera, ia mengangkatnya karena tak ada nama yang tertera.

"Selamat si-"

"Maaf, sepertinya anda salah sambung." Yan He tidak suka dikerjai penelpon iseng.

"Eh? Tapi kata Ling ini nomor kakaknya. Maaf, ini Matsuzaki Yuu."

Yan He hanya ber'oh' ria karena mengingatnya. Walaupun tak terlalu kenal, ia tahu Yuu adalah tetangganya.

"Ada apa?"

"Bisakah anda datang ke sekolah sekarang? Ada hal penting yang harus dibicarakan mengenai Ling."

Yan He seperti dapat menebak apa yang terjadi.

"Haa...baiklah. Sebentar lagi juga jam pulang. Tak ada salahnya, terima kasih." Yan He mengakhiri sepihak dan berdiri dari kursi, meletakkan sejumlah uang di meja agar dibayarkan Rin atau Ring. Ia berjalan keluar dan menuju arah kantor di seberang jalan untuk mengambil mobilnya.

Yan He pergi dengan kecepatan sedang menuju sekolah adik-adiknya. Dalam benaknya terlintas beberapa gambaran apa ulah adiknya yang bernama Ling kali ini. Membuang sepatu temannya? Menyoret bangku? Atau menyembunyikan buku? Membuat temannya jatuh tersungkur?

Kasus-kasus itu adalah catatan kriminal sebelumnya dari Ling. Dasar bocah cabe, bikin pusing saja. Biasanya Yan He akan berjumpa dengan Mizki, guru yang paling sering mengurus Ling. Tapi, sepertinya kali ini sedikit berbeda.

Yan He sampai di dekat gerbang sekolah. Ia mematikan mesin lalu menguncinya, kemudian turun dari kendaraan beroda empat itu. Ia berjalan masuk dan melihat siswa-siswi berhamburan pulang. Rupanya Yan He tiba tepat waktu. Ia berusaha mengingat jalan menuju ruang konseling; tempat langganan Ling. Begitu ia menyusuri koridor, banyak murid yang memandanginya serta berbisik-bisik.

Yan He akhirnya sampai di sebuah ruang dengan papan gantung penanda di atas tembok rangka pintu. Ia mengetuk lalu menengok ke dalam.

"Permisi."

Seorang yang duduk di dalam refleks berdiri menyambut tamunya dan mempersilahkan duduk. Di dalam ternyata juga ada Ling dan seorang bocah lain yang bertengger manis di sofa merah.

Yan He melihat adiknya dan bocah di sebelahnya babak belur. Tanpa mendengarkan Yuu yang hendak menjelaskan situasi, Yan He bergegas menuju Ling dan menamparnya keras, membuat semuanya terbeliak termasuk Mikuo.

Ling tidak bereaksi, ia hanya menunduk karena menyadari kesalahannya.

"Pulang." ucap Yan He dingin. Ling turun dari sofa dan menghadap Yan He dengan wajah merah menahan tangis. Yan He ingin menamparnya lagi sebelum menyadari bahwa tangannya ditahan oleh Yuu.

"Nona, kurasa tak baik menampar seorang anak kecil."

"Kau mau kutampar juga?" sinisnya.

"Kekerasan tak akan menyelesaikan apapun, nona Yan He." balas Yuu tak mau kalah. Mereka saling berpandangan dan melepas genggaman dengan sendirinya.

"Cih. Mengganggu saja. Jangan menangis, Ling! Kau bukan pengecut!"

Ling berusaha menahan air matanya tapi gagal. Ia buru-buru mengusapnya agar tak dimarahi lagi.

"Mengapa anda kasar sekali?" Yan He berganti menatap selidik pada Yuu, "He? Lalu? Apa urusanmu, sensei?"

"Ini di lingkungan sekolah. Kuharap anda tak memberi contoh buruk." ujarnya sambil melirik pada Mikuo yang tampak ketakutan.

"Terserah. Aku bawa adikku pulang. Beritahu Chika dan Tianyi agar pulang sendiri."

Yan He menarik Ling dan berjalan keluar ruangan, lalu menutup pintu begitu kasar.

Yuu merasa khawatir dengan Ling, beruntung bel pulang berbunyi tak lama setelahnya. Mikuo merasakan sentuhan lembut di kepalanya saat bergetar.

"Semua akan baik-baik saja, Hatsune-san."

Mikuo menggigit bibirnya, "Bu-bukankah kami sudah membersihkan toilet? Tapi kenapa Ling..." ia lalu sesenggukan.

Yuu juga mau tahu soal itu.

.

.

.

.

.

Malamnya, Yuu tidak bisa tenang ketika mendengar suara tangisan dari rumah sebelah.

Seharusnya ia tidak peduli.

Tapi...bagaimana dengan Ling?

Yuu menyibak gorden dan membuka jendela kamarnya. Melihat lampu rumah tetangganya masih menyala. Berhati-hati, Yuu melangkahkan kaki keluar jendela dan berjalan di atap. Kemudian ia melompat ke balkon sebelah dengan mudah. Digeser pelan jendelanya, memasuki rumah orang dengan cara yang tidak sopan.

Saat ia sepenuhnya berada di dalam, pintu terbuka, mendapati seseorang datang tanpa diduga.

Yuu refleks mundur begitu mengetahui siapa-

"Matsuzaki?"

-ternyata Yan He.

"A-aku sedikit cemas dengan Ling." jawabnya.

"Ling menonton film dengan yang lain di bawah. Kau tahu, Tianyi menangis karenanya jadi aku matikan saja tvnya." Yan He tampak tak peduli bila Yuu berhasil nyelonong ke rumahnya. Ia mengambil handuk, disampirkan ke bahunya dan satu setel pakaian ganti.

"Aku mau mandi dulu. Lain kali kau masuk lewat pintu. Kalau kau mencemaskan Ling, lihat saja di bawah." Yan He menuju sebuah pintu lain di ruangannya, diduga kamar mandi. Ia tampak menguap sebelum menutup akses.

"Kupikir dia orang temperamen jangka panjang." Yuu tertawa pelan. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok dan jatuh terduduk sembari memijit kepalanya yang mendadak pening.

"Adaw! Kakiku!" terdengar suara gaduh dari dalam kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, Yuu membuka pintu penghubung dan mendapati Yan He mengaduh di bawah shower.

"Kau baik-baik saja, Yan He?!"

Yan He yang masih meringis kesakitan akibat kakinya yang mendadak kram, menoleh ke belakang dengan patah-patah. Air dari shower masih mengalir, membasahi tiap senti rambut putih pendeknya. Menyadari suara lain disaat ia tengah tak berbusana, sangat mengerikan.

Yuu buru-buru keluar saat Yan He berteriak,

"Keluar! Jangan lihat!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

.


a/n : susah sekali menulis yuuyanhe dengan rating aman, jadi saya bakal kasih rate M demi adegan2 di chapter selanjutnya /ADEGAN APA/

thanks for read