"I Am Compressed With My Love For You" – Do not own Black Butler either the title ("I am compressed with my love for Chris Colfer." – Darren Criss) – shounen-aiT-rated (some mature materials, you should think twice before read) – RomanceDramaFriendshipLANGUAGEDon't like, don't read.

xxXXxx

"I Am Compressed With My Love For You"

Black Butler fan-fiction

© Joanne Amanda Conrad, 2011

(I do not copycatting any fan-fictions. If you found out that someone had posted a fan-fiction with the same plot of this fan-fiction, please tell me immediately. I do not want making enemies here.)

xxXXxx

Sebastian is a gay kid who got a crush in Ciel, a straight boy who is confused about his feelings.

xxXXxx

London, United Kingdom

14 February 2011

Valentine's Day.

Hari Kasih Sayang. Berawal dari Santo Valentine yang blah-blah-blah-blah… Meskipun nilainya tinggi, Sebastian Antony Michaelis bukanlah murid yang gampang untuk disuruh memperhatikan. Apalagi kalau urusannya sudah ada Santo-Santonya…

Truthfully? He is a gay kid who is an atheist.

"Bonjour*, Antony. Kau tahu kau anak kesayanganku. Jadi, mohon perhatikan apa yang kujelaskan. Terima kasih." Ms. Gold berkata sambil tersenyum.

"Maaf, Miss Gold." Sebastian menegakkan badannya.

"Very well, Antony." Ms. Gold tersenyum lagi dan kembali menjelaskan tentang Valentine's Day…hingga bel pelajarannya selesai.

Sebastian langsung mengambil buku-bukunya dan berjalan ke lokernya yang tidak jauh dari kelas Sejarah. Mengambil peralatan lensa kontaknya dan membawanya ke kamar mandi. Oh, jangan lupa kotak kacamatanya.

Saat bel berbunyi kembali – 15.15 – tepat di saat dia masuk ke kelas ektrakulikulernya. Uhm, ralat, salah satu kelas ekstrakurikulernya. Dia mengambil tempat duduk di sebelah seorang ketua cheerleading squad di sekolahnya – Hannah Annafellow – yang kebetulan juga salah satu temannya yang paling dekat.

"So, queer, biasanya kau berdiri di sana, menghadap guru Asia kuning kita, dan mulai bernyanyi Defying Gravity," komentar Hannah.

"Hannah, aku menyanyikan lagu dari Wicked. Bukan Defying Gravity." Sebastian meralat.

"Whatever. Em, mana pacarmu?" tanya Hannah sambil mencari-cari sosok berbadan kecil itu.

"Dia bukan pacarku! Dia straight, 'kay? Aku yang gay. As simple as that," bela Sebastian.

"Kau menaksirnya, queer." Hannah melipat tangan di depan dada sambil menatap sang guru yang sudah siap menyanyikan sebuah lagu terburuk di industri musik: Ice Ice Baby.

Semuanya mengeluarkan napas lega saat melihat Ciel yang membawa partitur lagu; janjinya, lagu hits dari Pink, Raise Your Glass.

"It's Pink baby, it's Pink." Arthur Wordsmith, anak kelas senior yang sudah empat tahun di sana, mengangkat tangannya a la rapper.

"Heeei! Bapak ingin menampilkan lagu itu –"

"Sorry, Sir. Lagu itu harusnya musnah sejak kami lahir," sahut Ciel sambil tersenyum kemenangan. Di antara semua muridnya, hanya Ciel yang selalu membuatnya memasang wajah: fine do whatever you want but keep it save and do not being so sexy or sensual because you're too pretty to be a boy wait what did I'm thinking about oh my god.

"'Kay. Siapa yang pegang solonya?" tanya Satria Wardani, guru tersebut – seperti yang Hannah bilang, guru Asia kuning – sambil menatap kepada Ciel.

"Michaelis, tentunya." Ciel tersenyum lagi, lalu menatap Sebastian.

"Hah? Apa? Tidak! Kau saja!" tolak Sebastian. Ciel berdiri, mendekatinya, lalu memainkan blazer biru miliknya.

"Jangan buat aku memaksa, queer." – Itu cukup membuat Sebastian kaget. Ciel ini sudah dia kenal semenjak dia masih tinggal di Irlandia Utara sana, dan tidak pernah menyebut dirinya banci, dan dia sama sekali bukan banci semacam Grell Sutcliffe – cukup.

"Baiklah." Sebastian menghela napas pasrah. Ciel tersenyum, lalu ber-high five bersama Hannah, dan kembali ke tempat duduknya yang tepat bersebelahan dengan Vanessa Daniels, salah seorang cheerleader yang juga sekarang 'menjabat' menjadi kekasihnya.

"Michaelis? Tentu saja. Penarinya?" tanya Wardani sambil menatap Ciel lagi.

"Vanessa, tentu saja, Lizzy, Arthur, dan saya."

"Di sini kamu dapat bagian sama besar denganku –"

"Kata siapa aku tidak bisa menari sambil menyanyi?"

xxXXxx

Raise Your Glass itu jauh dari lagu Valentine. Sangat jauh. Maka dari itu, Sebastian mau mengajukan protes kepada temannya yang bernama Ciel-freakin'-Phantomhive.

"Wa!" seru Ciel kaget saat melihat wajah Sebastian ada di depannya, tepat saat ia menutup lokernya. "Mau jalan?" tawar Sebastian sambil menawarkan sebelah tangannya. Ciel mengangguk dan membiarkan badannya dirangkul Sebastian, sementara ia menaruh tangannya di saku blazernya.

"Homos!" seru seorang Neanderthal.

"Hush." Ciel menahan badan Sebastian.

"Maaf," ujar Sebastian. Ciel hanya tersenyum. "Jadi?"

"Jadi apa?" Ciel menyikut pinggang Sebastian.

"Aw! Maksudmu apa?" tanya Sebastian.

"Aduh, aku benar-benar ingin memasukkan seekor hamster ke mulutmu…" Ciel menggaruk kepalanya.

"Wow. Maaf." Sebastian kembali lagi berkata maaf.

"Sebs, sudah ada dua maaf. Satu maaf lagi, aku akan tega melemparmu ke tempat sampah." Ciel berkata dingin.

"Ma – uh! Oke. Mau kopi?" tawar Sebastian.

"Hell yes," jawab Ciel.

Kebetulan, ada kedai Starbucks Coffee di dekat sekolah mereka. Barista berambut merah itu menyambut keduanya. "Ei, kalian kembali juga!"

"Ya, kami mau memesan –"

"Satu Italian cappuccino dan satu American espresso, dengan campuran rum. Aku ingat." Barista itu tersenyum, lalu berteriak dalam bahasa Italia.

"Apa artinya?" bisik Ciel.

"Satu Italian cappuccino, satu American espresso dengan sedikit campuran rum," jawab Sebastian.

"Namamu harusnya Giuseppe…" gumam Ciel.

"Dan masuk Masterchef US? Terima kasih, aku sudah takut dengan teriakan Gordon Ramsay di Hell's Kitchen. Tak mau menambah yang lainnya." Sebastian duduk segera setelah mendapat pesanan mereka.

"Hahaha!" gelak Ciel. "I'm glad I love you," lanjutnya sambil tersenyum.

Keheningan menerpa mulut Sebastian. Dia benar-benar menaksir anak laki-laki di seberangnya.

"Kau tahu aku ini homo, 'kan?" tanya Sebastian.

"Ya, aku tahu. Aku saaaaannnggggaaaaaatttt tahu." Ciel menjawab.

"Jangan menggodaku seperti itu, tolong." Sebastian memasang puppy eyes-nya.

"Aku tahu, kau menaksirku. Hannah dan Vann sudah cerita," Ciel tersenyum. Dia menyesap kopinya, lalu menatap rintik air hujan yang mulai turun.

"Kalau di desa di Indonesia –" Perkataan Ciel terpotong –

"Kau akan minum secangkir kopi tubruk, duduk di beranda rumah atau balkon hotel, dan mengirup bau tanah yang bercampur air hujan," lanjut Sebastian.

"Kau pernah ke sana bersamaku, ya? Fufu." Ciel tersenyum sendiri, merasa dirinya konyol.

"Justru aku duluan yang mengajakmu, kali." Sebastian menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, lalu mengacak-acak rambut Ciel. Tepat di saat itu, Vanessa dan Hannah muncul dari pintu masuk, memesan kopi, dan mencari cari tempat – Sebastian yang menyadari itu langsung melambai.

"Vann," Hannah menyenggol pinggang Vanessa sesampainya mereka di sana.

"Hei, hun." Ciel tersenyum.

"Tumben kau ke sini, bukannya ke mall," gumam Sebastian yang melihat Hannah dari atas ke bawah; rambut perak keunguan yang diikat satu di belakang dan seragam cheerleader. Oh, tunggu, apa rambutnya dipotong?

"Oh, aku benar ternyata." Sebastian menyeringai.

"Benar apa?" bingung Ciel.

"Mereka berdua dari mall. Salon."

"…Yups. A fag always knows." Hannah mencibir.

"You love that fag," seringai Sebastian semakin panjang.

xxXXxx

Boys Dorm; Room 134

Sebastian lupa niatnya tadi. Dan untungnya Ciel adalah roommate-nya. Sialnya adalah Ciel akan berlama-lama di kamar mandi jika sedang hujan di luar.

"Hei, kau bilang kau ingin bilang sesuatu –" Sebastian tak mendengar Ciel – dia justru bersenang-senang sendiri dengan iPod dan suaranya sendiri – lagu Broadway memutuskan mereka.

"You're gonna love me, yeah, uh, uh. You're gonna love me …" Suara lembut Sebastian seperti berbisik dari telinga Ciel yang tertutup handuk.

"Sebast?"

"And I'm tellin' you, I'm not goin'."

Ciel memutuskan untuk tidak mengusik Sebastian – dia hanya duduk di kasurnya dan menatapi Sebastian yang masih sibuk di dunianya sendiri. Di akhir, saat Sebastian sudah mulai melepaskan suara tingginya, Ciel seperti sudah jangan, jangan berhenti! Aku masih ingin mendengarmu bernyanyi! Please!

– Itu berakhir dengan Ciel ikut menyanyikan lirik terakhirnya.

"Love me, love me, love me, love… you're gonna love… me…!" seru keduanya. Sebastian sadar kalau ada orang yang ikut menyanyi – Ciel. Dia melepas earphone-nya dan bertanya, "Kau sedang apa?"

"Ikut bernyanyi." Ciel menjawab. Dia berdiri mendekati Sebastian yang duduk di atas ranjangnya. Tiba-tiba – dia berharap ini bukan mimpi, dan ini bukan mimpi – Ciel mencium Sebastian. Dengan tangan yang memegang wajah Sebastian, dengan bibir merahnya yang mendominasi, dengan jawaban dari Sebastian…

… dan dua lidah yang bersatu…

"Maaf." Ciel melepasnya dan menyingkir. "Kau ingin mandi? Aku akan mengeringkan rambut dan mengerjakan tugas-tugas –"

"Y-ya, tentu – tentu saja. A-ambil milikku saja kalau bingung – aku sudah selesai –" Segala jenis kecanggungan.

Snap, dia gagal lagi.

xxXXxx

15 February 2011

Sekolahnya, St. Lawrence London for Boys (atau sister school-nya, St. Mary London for Girls) merupakan branch dari sekolah St. Lawrence New York for Boys (dan sama, St. Mary New York for Girls) di New York City, Amerika Serikat, maka dari itu permainan mereka beda dari sekolah Inggris rata-rata – football.

"Break a leg, boys!" seru Ciel dari pintu ruang ganti milik St. Lawrence.

"Oi, kau kenapa di sini?" tanya Laurence Tao – bedakan, Lawrence dan Laurence – sambil membawa helmet-nya.

"Coach Terry Daniels tak bisa ikut mengawasi. Aku dan Coach Jack Daniels menggantikannya. Jadi. Go kick asses tonight or I will expel you all from the team ASAP." Ciel menatap tajam semua anggota tim.

"Aye, coach!" gurau mereka sambil berlari keluar, serentak dengan nama sekolah mereka dipanggil.

Tersisa satu orang di sana. Sebastian Michaelis.

"Boo," Ciel menepuk kepala Sebastian dan mengacak-acaknya. "Ng?"

"Break. A. Leg. Now. Or. I. will. Expel. You. From. My. Friend. List. For. Ever. And. We. Will. Never. Meet. Again." Ciel berkata per suku kata – niatnya, mengancam Sebastian.

Akhirnya?

Tak ada yang sadar sejak kapan, namun kedua bibir itu tiba-tiba bersatu. Tak lama – sama sekali tak selama ciuman pertama mereka.

"Wish me luck!" Sebastian menyeringai sambil berlari keluar.

"You don't need that! But luck!" teriak Ciel.

xxXXxx

Berdiri di sana, seorang quarterback bernama Sebastian Michaelis mengangkat trofi kemenangan dan menaruhnya di sebuah lemari kaca yang penuh dengan trofi ini-itu.

"Nice job, fairy." Ciel menggumam sambil menatap trofi itu.

"Don't call me fairy," gumam Sebastian balik.

"Fine. Homo quarterback," ralat Ciel.

"Itu buruk." Sebastian menyenggol Ciel.

"'Kay. Sebastian Antony Stefanus Michaelis." Sebastian hanya tersenyum mendengar Ciel memanggil nama lengkapnya.

"Terima kasih, Ciel Nicholas Zachary Phantomhive."

"Shut up, queer."

xxXXxx

16 February 2011

Ciel baru saja duduk di sofa dekat piano saat Vanessa muncul dengan wajah marah.

"Hei, Vann. Kenapa?" tanya Ciel sambil mengelus wajah Vanessa.

"You betray me!" bentak Vanessa.

"Hah?" Ciel menaikkan alisnya.

"You kissed Sebastian! That queer! That fag! That stupidly-handsome fairy!" seru Vanessa.

"Whaddaya mean?" tanya Ciel.

"We are over, idiot!" Vanessa menyolot. Ciel berdiri dan menangkap tangan Vanessa yang mau menamparnya. "Dengan alasan bagus apa?"

"You're GAY!" jerit Vanessa. "You're ga – mmppphh!" Bibir dengan lipstik hitam itu – mengikuti seragam cheerleader-nya – tertutup dengan bibir atlet basket mungil itu.

"Aku bukan gay." Ciel berkata pelan. "Aku tak tahu. Terakhir aku cek, aku masih menyukai perempuan."

Vanessa total blushing. Cukup malu berteriak-teriak di ruangan penuh dengan 18 anak lainnya.

Di saat tertentu, Ciel, bisa menjadi sangat gentle.

xxXXxx

Night, Boys Dorm; Room 134

Ciel baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat William Thomas Spears dan Sebastian berbaring di ranjang teman sekamarnya, melakukan sesi make out yang cukup panas.

"Ngh – ah – uh – Will –" desah Sebastian sambil meremat rambut William. Ciel hanya tersenyum sendiri sambil merangkak ke tempat tidurnya dan pergi ke alam mimpinya terlebih dahulu.

"Slut." William menyeringai sambil menindih Sebastian. Sementara pemuda yang tertindih di bawah itu hanya tersenyum.

"I am," sahut Sebastian. Dan sesi make out yang panas itu pun kembali lagi.

xxXXxx

17 February 2011

"Wua!" seru Sebastian kaget saat ia menutup pintu lokernya – William bertengger di depannya.

"Aku menakutkanmu?" tanya William.

"Tidak, tidak – aku hanya kaget." Sebastian tersenyum.

"Uhm, aku mau bertanya." William berujar.

"Yeps?"

"Are we boyfriends?" tanya William. Sebastian menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal.

"Kalau kau ingin – mmmph!" Sebastian membulatkan matanya saat William mengunci bibirnya dengan bibir miliknya.

"Kuhitung itu sebagai … 'iya'?" goda William. Wajah Michaelis muda itu merona merah.

"Hahaha! Kau lucu jika begitu," kata William sambil menepuk pipi Sebastian dan meninggalkannya. "Jangan lupa, aku ada pertandingan hari ini!"

"Pacar baru?" tanya Ciel dari belakangnya.

"WUA!" jerit Sebastian, lebih keras dari sebelumnya – kali ini dia nyaris terjengkang.

"Kau ini! Penakut banget!" cibir Ciel. Namun tetap, ia menahan badan Sebastian yang benar-benar tinggal satu dorongan jatuh.

"Apa, kamu!" gerutu Sebastian.

"Memangnya aku seburuk itu hingga mengagetkanmu? Aku hanya memakai jaket timku saja, bukan seragam cheerleader-nya Vann!" bela Ciel.

"Ih. Ya sudah. Kenapa?" tanya Sebastian.

"Spears. Dia pacar barumu?" tanya Ciel.

Sebastian merona merah. "Iya! Hahaha! Akhirnya, Sebs! Kau mendapat seorang gay juga."

"Maksudmu?" tanya Sebastian sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Ciel.

"Kau kan menaksirku, manusia straight se-straight-nya Lawrence. Sekarang kau mendapatkan seorang asexual! Akhirnya!"

"Asexual?" bingung Sebastian.

"Mirip bisexual," sahut Ciel.

"Aku mengerti, Ciel. Tapi apa maksudmu dengan asexual pada Will?" tanya Sebastian.

"Aku lupa, kau bukan tim basket. Dia itu bukan gay, benar-benar gay sepertimu," jelas Ciel, "dia masih menaksir perempuan. Kemarin saja dia masih mencium ganas Hannah!"

"Oh, ya sudahlah. Tidak peduli." Sebastian mengibaskan tangannya.

"Eh, Sebs! Jangan lupa ke pertandinganku, ya!" Ciel menepuk pundaknya dan berlari ke kelas Sosiologi.

"Terserah…"

xxXXxx

House: 15 / Guest: 12 / Time: 00:01

House: 17 / Guest: 12 / Time: 00:00

Tahukah kau dengan lagu Now or Never, dari musikal Disney berjudul High School Musical? Anggaplah Ciel dan para cheerleader, termasuk beberapa pemain basket menyanyikan lagu itu.

Tepat sekali julukan mereka adalah wildcats. Dan diakhiri dengan Ciel serta Vanessa berciuman… di depan publik – tepatnya orang Harvard University dan Oxford University serta beberapa kampus lain yang sedang mencari bakat untuk diberi beasiswa.

Standing applause.

Selesai pertandingan, William duluan mendekati pacar barunya, disusul Ciel.

"Whaddaya think?" tanya Ciel.

"Yeps hun, whaddaya think?" William mengikuti Ciel.

"Umm, kau lebih tinggi dari Ciel." Sebastian mengangkat alis. Keduanya memukul kepala bagian belakang Sebastian.

"Idiot!" seru keduanya.

"Sorry. Uhm. Will, you look sexy in that outfit. Ciel – KAU MUNGIL BANGET!"

"… Bangsatlah kau," umpat Ciel.

"HAHAHA!" gelak William. Dia bergerak untuk mencium pipi Sebastian.

"No sweat."

xxXXxx

18 February 2011

William duduk di sebelah Sebastian sambil menyenderkan kepala di punggung Sebastian. Terkadang menjilati leher Sebastian.

"Jangan vulgar kau," Sebastian menepuk kepala William sambil memainkan lembaran partitur lagu.

"Dasar…" William menegakkan badannya. Sebastian tersenyum semanis mungkin padanya, lalu kembali menghafal beberapa lirik dan gerakan.

"Cheerleaders, cepat keluar sebelum kukeluarkan kalian semua dari anggotaku!" seru Coach Drocell Keinz. Pelatih eksentrik itu menunjuk semua cheerleader yang ada dan mengarahkan semuanya yang baru ia tunjuk untuk keluar.

"Ada penari yang lebih bagus dari Vanne dan Lizzy?" tanya Ciel.

"Mungkin dia," sahut Sebastian sambil menunjuk William.

"Hah? Aku tidak menari sebagus itu!" tolak William.

"Itu, saudara-saudari sekalian, adalah kata-kata seorang William Thomas Spears yang baru saja menampilkan Single Ladies/Put a Ring On It di depanku kemarin malam. Uh, dengan baju yang sangat ketat. Dan rambut yang di-gel, dan wajah teaser, serta kaki yang menendang sana-sini dan tangan yang bergerak luwes. Jadi?" Sebastian tersenyum kemenangan.

"Fine." William mengangkat tangan, menyerah.

"Liz?" tanya Ciel lagi.

"Me?" tawar Sebastian.

"Seperti kau bisa menari saja."

xxXXxx

Elizabeth Middleford menyenderkan kepalanya kepada adik sepupunya – Ciel Phantomhive – di kamar milik pemuda itu.

"Kompetisi cheerleading. Humph." Elizabeth cemberut. Sementara itu Ciel mengelus rambut pirangnya dan menyahut, "Kau ini cheerleader terbaik. Lebih dari Vann."

"Thanks, Ciel." Elizabeth tersenyum sambil memeluk Ciel, lalu berdiri dari atas ranjang.

"Uhm, Thanksgiving?" Elizabeth menyerahkan secarik kertas undangan.

"Siapa saja yang diundang? Aku juga?" sahut Sebastian.

"Shut up," Ciel memberi death glare pada Sebastian.

"Rata-rata para atlet diundang. Uhm, kalau tak salah Hanne sudah diberi undangannya oleh Francesca."

"Francesca? Francesca Patel?" tanya Sebastian.

"Yeps." Elizabeth mengangguk.

"'Cesca sengaja membuat satu undangan khusus untukku dan Sebastian langsung, ya?" tanya Ciel.

"Ha?" bingung Elizabeth. Ciel menunjukkan kertasnya – Untuk: Ciel NZ Phantomhive & Sebastian AS Michaelis.

"Mungkin." Elizabeth menaikkan bahunya. "Dunno. Uhm, aku pergi dulu. Sekarang sudah jam 9." Elizabeth mencium pipi Ciel dan mengecup kening Sebastian, lalu keluar dari kamar.

"Jeez." Ciel mengelus-ngelus pipinya.

xxXXxx

19 February 2011

Ciel dan Sebastian baru saja keluar kelas Bahasa Inggris sebelum melihat William dan Vanessa – kau tahu.

Sebastian sendiri langsung jaw dropping, sementara Ciel hanya menatap stoic. Vanessa dan William. Bukan perpaduan buruk.

"Wh-" teriakan Sebastian ditutup mulut Ciel. Uh, bilang saja, dia menciumnya. Sambil melirik Vanessa dan William yang kali ini terkaget, dia malah – uh – membuka jas dan dasi Sebastian. Bermain dengan rambut panjangnya.

Ciuman balas dendam itu terhenti setelah Vanessa menariknya dan memarahinya. Ciel meresponnya dengan mudah; "Siapa yang mencium seorang pacar temanku?"

"How could you –"

"Wait, I'd think you just dumped me."

xxXXxx

"Tell me, Ciel. You're gay." Vanessa menaruh kepala di paha Ciel, yang kali ini berdiri. "Kalau aku gay, bukannya itu berarti kau harusnya takut padaku? Seingatku, kau ini salah satu dari jenis cheerleader yang homofobia." Ciel tersenyum, lalu duduk di sebelah Elizabeth sambil menyenderkan kepala di pundak anak pirang itu.

Namun perbedaannya – Ciel biasa-biasa saja. Dan William … somehow, dia menangis sambil mencium Sebastian di atas sofa. Dan guru mereka hilang entah kemana.

"We screwed." Ciel berbisik. Elizabeth mengangguk setuju. Dia memainkan rambut Ciel, lalu memeluk pundaknya erat.

Keheningan terputus dengan semua pelatih cheerleader, football, dan basket memanggil semua murid mereka.

xxXXxx

Sambil memantulkan bola di lapangan, Ciel terus saja mencetak three points. Uhm, maksudnya, seringkali.

"Oi, Phantomhive," panggil William. Ciel menutup botol air minumnya dan menyahut.

"Maaf," kata William.

"Untuk?" tanya Ciel.

"Michaelis," jawab William.

"Spears, you broke his heart." Ciel meminum air putihnya lagi.

"Ada alasannya." William membela diri.

"Kau jatuh pada Vanne. Aku tahu." Ciel tersenyum.

"Bukan." William memejamkan mata.

"Lal – mmmppphhhh!" Ciel membulatkan matanya. William Spears, menciumnya hingga jatuh ke lantai.

"Fuck this, I'm not gay." Ciel mendorong William.

"You are." William makin menindih tubuh Ciel.

"For your ex. For you? I'm one hundred straight." Ciel menepuk pipi William dan menyelip keluar. Untung saja badannya kecil.

Setelah itu? Selama coach Daniels tidak memperhatikan, dia melempar semua bola pada kepala William.

Fair enough.

xxXXxx

Keduanya terdiam di kamar masing-masing. Sampai Sebastian mengajaknya untuk membantunya dalam tugas bahasa Jerman.

Akhirnya? Jatuh di karpet antara tempat tidur mereka, kepala Ciel di atas tangan Sebastian. Tertawa terbahak-bahak sebelum menyadari posisi mereka.

Ciel merangkak lebih dekat, lalu memejamkan matanya.

"Kau tahu sesuatu, Sebast?" tanya Ciel.

"Mm?" sahut Sebastian.

"I think you just turned me to be a homosexual who kissed a homo three times in case of his singing talent, his occupation as a jock, and trying to be not jealous."

Sebastian kembali tertawa sebelum Ciel memukul dadanya. "Nggak lucu!"

"WUAHAHAHAHAHA!"

xxXXxx

20 February 2011

Entah kenapa, prom diadakan lebih cepat tahun ini. Dan dua anak dari kamar 134 dari St. Lawrence tidak mempunyai siapapun untuk diajak.

"Screw this."

"Yeah."

Keduanya melihat data anak-anak St. Mary (untuk Sebastian, St. Lawrence, tentu) yang masih kosong.

Total? 0, kecuali di St. Lawrence – Sebastian Antony Stefanus Michaelis dan Ciel Nicholas Zachary Phantomhive. Terpaksa…

"Pleeeaaazzzeee?" pinta Sebastian.

"Fine." Ciel menepuk kepala Sebastian.

"Yayyy!" Sebastian memeluk Ciel seerat mungkin.

"Get off of me, fag."

xxXXxx

Night – The Ball

Sebuah lagu berjudul Dancing With Myself dan sepasang (atau kekasih) teman menari di lantai dansa.

"Hahaha!" tawa Ciel saat lagu itu selesai. Dia menjatuhkan kepalanya ke bahu Sebastian. Tepat di saat itu, Candles dinyanyikan. Sebagai seorang pasangan

"Dance?" Sebastian berlutut di depan Ciel yang akhirnya mengangkat dirinya dan menjawab, "Why not?"

Ciel menaruh tangannya di atas pundak Sebastian sementara Sebastian menaruh tangannya di pinggangnya. Phantomhive itu menyenderkan kepalanya di pundak Sebastian. "You smell nice."

"Merci beacoup*." Sebastian mengeratkan tangannya di pingang Ciel.

Entah apa yang telah terjadi, kepala sekolah mereka berdiri di atas panggung dan menyuruh semuanya untuk berpasangan. Sambil membuka amplop bertuliskan Prom King

"Sebastian Michaelis, St. Lawrence!" seru Gloria Ethan. Ia memakaikan Sebastian sebuah mahkota berwarna emas dan menyematkan sebuah tongkat (—anggaplah seperti tongkat milik Mia Thermopolis di Princess Diaries: The Royal Engagement)

Kali ini, Prom Queen

"Ciel Phantomhive, St. Lawrence!" seru Heinrich Stevenson. Sementara Ciel sendiri syok mendengar namanya dipanggil – dia ini laki-laki. Tapi dia tetap berdiri menghadap Heinrich dan juga dipakaikan seperangkat mahkota dengan tongkatnya.

Katrina Stevenson berdiri di panggung sambil menyanyikan Love Story milik Taylor Swift, dibantu oleh Georgina Thompson. Ciel dan Sebastian menatap satu sama lain di lantai dansa.

Pelan-pelan, Sebastian meraih pinggang dan tangan Ciel, melakukan sebuah slow dance dengannya. Entah bagaimana dia mendapat kepercayaan dirinya – ia mencium Ciel tepat di depan William. Dan Vanessa. Dan Elizabeth. Dan beberapa atlet yang mempercayai Ciel seorang straight. Straight yang membalas ciuman seorang homosexual.

"Can I hit you?" tanya Sebastian setelah melepas ciumannya.

"Shut the fuckin' up." Ciel, tanpa ia inginkan, blushing.

"I love you too."

xxXXxx

End? Perhaps.

xxXXxx

So here we are with my first fan-fiction! Yayzzz! It took (really) a week to finish this! I know I'm not good at Romance but well I'm better than Kurt Hummel right? Whose don't know any first step in sex…ups. =p

I remembered I add two footnotes here so:

Bonjour: good day in French.

Merci beacoup: thank you in French.

I would love if you left me any review(s) =D

Maybe alerts? Or favoriting? =3

(PS: I'm terribly sorry if you found any typos…It's like 3.25am here so I'm half asleep in front of my computer so pleeazzeeee?)