"Baiklah, kali ini giliran Ugo yang mencuci piring," kata Setta.

"Eh? Bukan giliran Sheba, ya?"

"Jangan pura-pura lupa. Cepat lakukan tugasmu sana!" timpal Ithnan dingin.

"Ta-tapi aku harus segera melanjutkan penelitianku setelah ini."

"Kalau begitu izinkan aku membantu," sela Arba. "Tapi sebagai gantinya, ketika giliranku tiba kau juga harus membantu."

"Ah, tidak tulus kau ternyata." Gelak tawa meledak di meja mereka. Tapi Sheba hanya diam. Sepertinya mood gadis itu hancur lagi. Candaan seringan itu tidak cukup untuk memancing tawanya.

"Sheba kenapa, aru? Sedang tidak enak badan?"

Gadis itu menggeleng sebagai jawaban. "Aku duluan," ujarnya datar sambil beranjak meninggalkan yang lainnya.

Wahid memandanginya sebentar lalu kembali menoleh kepada Falan. "Dia patah hati lagi?" tanyanya. Falan berdehem—mengingat Arba masih berada di antara mereka. "Aku tidak tahu, aru."

Meskipun Falan tidak mengatakannya, tapi Arba cukup mengerti situasi. Pasti hari ini Sheba melihatnya berlatih pedang dengan Solomon lagi. Tidak ada yang tidak tahu bahwa Sheba sudah jatuh hati pada Solomon. Yah, kecuali Solomon sendiri. Bahkan di hari sebelumnya, Solomon dengan terang-terangan mengatakan bahwa dia hanya menganggap Sheba sebagai seorang anak nakal.

Situasi ini kerap kali membingungkan Arba. Pasalnya kedekatannya dengan Solomon membuat hubungannya dengan Sheba kadang meregang. Padahal Arba tidak pernah punya perasaan khusus kepada Solomon seperti yang dimiliki Sheba.

Sebelum suasana tak mengenakkan semakin merebak, cepat-cepat dia mengajak Ugo membereskan piring-piring dan gelas yang telah selesai dipakai. "Ayo, Ugo. Kau bilang kau harus segera melanjutkan penelitianmu, bukan?"

"A-ah, ya."

Arba bersyukur diamnya Sheba ternyata tidak terlalu berpengaruh pada yang lain. Satu-satunya yang Ithnan pedulikan sepertinya hanya Setta. Seperti biasa, dia akan tersipu malu-malu jika Setta memujinya. Sedangkan Wahid jelas kembali kepada kebiasaannya. Tapi akhir-akhir ini Falan sedikit menjauhkannya. Mungkin karena kebiasaan Wahid sedikit mengganggunya berdekatan dengan putra kecilnya, Tess.

Sesampainya di tempat pencucian piring, Arba-lah yang membuka percakapan di antara mereka. Awalnya dia ingin membahas tentang penelitian Ugo. Tapi pada akhirnya ia malah menanyakan Sheba. "Bagaimana menurutmu, Ugo? Aku tidak ingin anak itu menganggapku sebagai musuhnya."

"Mungkin jika kau memberinya dukungan, dia akan menghilangkan pemikiran itu."

"Dukungan?"

"Ya." Ugo mengangguk. "Setidaknya beri dia kejelasan bahwa kau tidak menyukai Solomon. Mungkin kau bisa menyuruhnya untuk lebih berani. Menyarankannya agar menyatakan perasaannya pada Solomon atau semacamnya. Kalau kau yang memberinya dukungan, dia pasti yakin bahwa kau bukanlah penghalang dan justru mendukungnya."

Tatapan aneh Arba sukses membuat Ugo merinding. "Ma-maafkan aku. Hal itu terasa berlalu begitu saja di kepalaku. Ja-jangan salah paham," ujarnya gelagapan.

Tapi Arba malah terkekeh geli. Dan akhirnya wanita itu malah tertawa. "Bukan begitu. Hanya saja aku tidak menduga kau akan menyarankan hal seperti itu. Kukira kau tidak akan paham soal cinta anak muda seperti ini. Tapi ternyata aku salah menilaimu."

"Jadi kau akan melakukannya?"

"Mungkin," jawab Arba. "Dan kurasa menyatakan perasaan itu kurang."

"Maksudmu?"

"Hm… mungkin aku harus menyuruhnya menikah dengan Solomon? Ahaha~ pokoknya seperti itulah."

"Me-menikah?!"

Arba mengangguk dengan penuh semangat. "Bukankah mereka cukup serasi? Intinya terima kasih atas usulanmu tadi, Ugo. Jadi ayo cepat selesaikan ini agar aku bisa segera menemui Sheba."


A/N: Sekedar fic pengendali WB—yahahah. RnR? Magi tetap jadi punyanya Ms. Shinobu Ohtaka.