Dia.

Pemuda bersurai panjang. Beriris bening yang memabukkan, laksana tuak yang dituang oleh pedagang bermulut manis untuk melobi para saudagar kaya. Sepasang bibir tipis yang terpahat di paras tampannya. Serta rahang kokoh yang membingkai wajah putih porselen miliknya. Neji Hyuuga. Itulah namanya. Laki-laki yang selama ini memenuhi rongga dadaku, menyita seluruh perhatianku, memonopoli seenaknya jiwa ragaku.

Dan suaranya, suara bariton rendah yang kerap berbisik pelan di telingaku.

.

.

.

BISIKAN

Disclaimer © Masashi Kishimoto

Story © lydiasyafira

Pair : Nejiten

Warn : OOC, typo(s), AU.

.

.

.

[21 Januari 2013]

"Ini membosankan,"

Aku sedikit berjengit saat sebuah suara mengalir pelan di telingaku. Perlu kau tau, saat itu aku sedang mencoba menahan kantuk dan tetap fokus pada penjelasan dosen yang menjelaskan tentang teori James Cook atau apalah itu.

Segera saja aku membelalakan mataku padanya.

"Neji, kau mengejutkanku, bodoh."

"Sama-sama.." ia tersenyum menyebalkan.

Kutebak dia sengaja melakukan itu supaya aku tetap terjaga. Aku tidak ingin mengakuinya, tapi aku perlu berterimakasih untuk itu. Aku berdecak pelan.

"Terima kasih."

Hening merayap diantara kami, hanya suara dosen yang terdengar samar-samar menjelaskan tentang teori bumi bulat didepan sana.

"Menurutmu bumi itu bulat atau datar?"

Lagi-lagi.

"Hmm, bulat. Itu sudah jelas kan?"

"Ah iya, kau benar."

"Tidak biasanya kau tertarik dengan materi yang dijelaskan, memangnya kenapa?"

Oh jelas, dengan otaknya yang seencer air itu aku yakin bukan hal yang mustahil baginya untuk memecahkan rumus nuklir sekalipun.

"Tidak, hanya penasaran saja dengan jawabanmu."

"Lalu kau?"

"Apa? Pendapatku?"

Aku mengangguk pelan. Sambil sesekali mencuri pandang kearah dosen, berharap ia tidak menyadari dua orang mahasiswanya asik bercengkrama ditengah-tengah pelajarannya.

"Itu tidak penting."

"Hah?"

"Asal ada kau, bagaimanapun bentuk bumi aku tidak peduli."

Aku tertawa pelan, menyembunyikan semburat merah di balik surai coklat yang kubiarkan tergerai hari itu.

"Aneh." Seulas senyum tipis mengembang di bibirku.

.

.

Kalau diingat lagi, dia memang si jenius yang super aneh.

# # #

[13 Februari 2013]

"Sepertinya kau sedang senang hari ini," Aku berbisik pelan sambil melirik sinis padanya.

"Hn? Oh, tentu saja. Hari ini aku mendapat banyak coklat."

Aku memutar bola mataku kesal, tanganku bergerak untuk mengambil buku catatanku dan menyalin buku perpustakaan siang itu.

"Ah begitu, selamat ya. Kuharap besok kau bisa menerima lebih banyak."

Bisa kudengar ia menutup pelan buku yang dibacanya. Lalu, menopang dagu sambil melihatku? Entahlah, aku hanya melirik kecil dari ekor mataku.

"Cemburu?"

Aku membuang nafas kasar, tak berniat untuk membalas ucapannya. Dengan cepat aku beranjak untuk mencari buku yang lain.

Tak berapa lama aku kembali ke tempat dudukku, hanya untuk mendapati Neji yang sudah tidak ada ditempatnya. Secercah rasa bersalah merambati dadaku. Tapi, otakku paham Neji, ia tak mungkin merajuk hanya gara-gara itu. Tiba-tiba atensiku teralihkan pada buku yang tadi dibaca oleh Neji.

Sejarah Jepang.

Entah apa yang mendorongku, kuambil buku itu dan membuka halamannya. Lalu, secarik kertas yang sepertinya disobek dari suatu buku lain terjatuh dari dalam buku sejarah itu.

"Dasar dia itu…" seulas senyum maklum tersungging di wajahku. Lantas kekehan samar meluncur setelahnya.

Sebuah resep kue coklat sederhana,

.

.

Padahal seharusnya aku marah padanya saat itu, tapi, yang kulakukan malah membuat kue coklat yang diinginkannya.

# # #

[9 Maret 2013]

"Fhuu…"

"Neji!"

Aku nyaris membuang ponselku ke kolam besar di taman ini, saat hembusan nafas panas merambat di telingaku.

"Aku telat?"

"Sangat! Kau tahu jam berapa ini?! Aku nyaris meninggalkan tempat ini jika saj—"

Aku membelalak.

Jutaan gelembung sabun berhamburan memenuhi seluruh penglihatanku. Dapat kulihat orang-orang meniupkannya dari atas jembatan, bahkan dari jalan-jalan setapak. Entah siapa mereka, aku tidak mengenalnya. Dan kini mereka bersorak kearahku.

Neji berjalan mendekatiku, lalu mensejajarkan bibir tipisnya dengan telingaku.

"Selamat ulang tahun, Tentenku."

.

.

Mungkin wajah Neji saat itu, kini samar diingatanku, tapi aku tak dapat melupakan hangatnya pelukan Neji saat itu.

# # #

[5 Mei 2013]

Aku berlari menyusuri lorong dengan air mata yang mengucur deras dari pelupuk mataku. Sekuat tenaga aku menggosok bibirku yang baru saja tertempel sesuatu yang amat menjijikan, sama menjijikannya dengan pemiliknya.

Neji, kau dimana?

Kakiku berhenti di atap sekolah. Entah apa yang membawaku hingga sampai kesi—tidak, aku tahu pasti kenapa aku kemari.

"Tenten? Kenapa kau bisa disin—"

Aku langsung menghambur ke dadanya. Mengesampingkan kemungkinan air mataku akan mengotori seragam sekolahnya. Aku menumpahkan semuanya disana.

Hanya menangis sepanjang waktu. Tanpa ada kata-kata yang keluar dari bibirku.

.

.

Hari itu, aku merasa Neji tidak banyak bicara. Padahal kupikir ia akan menghujani berbagai pertanyaan padaku.

# # #

[7 Mei 2013]

Sebuah rumah putih menjulang di hadapanku. Aku menghela nafas pelan sebelum menekan bel rumah.

Seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu depan. Wajah riangnya masih sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya.

"Baa-san,"

"Araa~ Tenten-chan, ohisashiburi.." ujarnya seraya mencium puncak kepalaku. "Kau semakin jarang kemari ya sekarang."

"Ehehe, gomenasai nee baa-san," aku balas memeluk wanita itu, "Neji ada di dalam, baa-san?"

"Ada sayang, masuk saja ke kamarnya. Kasihan dia, merintih setiap hari." Baa-san terkekeh pelan, seolah apa yang menimpa putra semata wayangnya itu adalah hal biasa.

"Baik, baa-san," aku tersenyum simpul menanggapinya.

.

"Hei,"

"Hei!"

Neji menoleh cepat kearahku setelah membenarkan perban yang melilit tangan kirinya. Aku menyadari gesturnya yang seperti ingin menyembunyikan tangannya.

Aku tersenyum membalas sapaanya. Berusaha mengabaikan sikap Neji barusan. Aku mengerti Neji, ia bukan orang yang suka menyembunyikan sesuatu. Jadi, bila pemuda itu melakukannya, itu berarti aku memang tidak seharusnya tahu. Dan aku tak akan memaksanya.

Lalu, hari itu kami habiskan dengan obrolan ringan seputar sekolah, alih-alih menanyakan luka di tubuhnya.

.

.

Malamnya, aku mendengar kabar bahwa kemarin Neji bertengkar dengan salah seorang senior di sekolah.

Senior yang sama yang menciumku dua hari sebelumnya.

# # #

[7 Juni 2013]

Hari ini tepat 2 tahun kami berpacaran. Aku sudah melakukan banyak hal untuk memberinya kode, tapi dia tetap saja bergeming di tempat duduknya. Aku menghembuskan nafas pasrah. Hari ini pasti sama saja seperti hari lainnya bagi orang itu.

Beberapa menit berlalu, sejak terakhir aku mencoba menarik perhatiannya dengan pura-pura lupa membawa kamus, agar ia akhirnya membuka kamusnya dan menemukan secarik kertas bertuliskan harapan-harapan bagi hubungan kami kedepannya. Tapi percuma! Dia bahkan tidak ingat bahwa ada kamus di tasnya! Arg! Menyebalkan!

"Ten,"

"Iya?" tanpa sadar aku mendekatkan wajahku padanya dan secercah harapan menyembul.

"Perhatikan pelajaran."

Aku berdecih pelan. Tak lama setelah itu dosen yang membimbing kami keluar dari ruangan. Tiba-tiba beberapa anak yang duduk di dekat jendela berteriak saat melihat sesuatu di lapangan kampus.

Karena penasaran aku berdiri dan menghampiri mereka. Aku terkejut melihat pemandangan di hadapanku.

Sebuah tulisan yang disusun dari daun-daun kering, bertuliskan "Neji & Tenten". Aku ternganga lebar, nyaris berteriak jika saja aku tak menutupi mulutku. Segera saja aku kembali ke tempat dudukku dan tersenyum padanya.

"Kau… melakukan ini untuk hari ini?" aku nyaris berteriak, tak dapat kusembunyikan raut wajah bahagiaku.

"Hm? Hari ini? Memangnya ini hari apa?" bisiknya.

Aku mengerutkan kening. Ketika hendak menjawabnya, tiba-tiba seorang dosen masuk dengan wajah merah menahan amarah.

"Siapa yang bertanggung jawab atas ini!?"

Dengan santainya Neji berdiri, dan tersenyum sumringah.

"Saya, sensei."

Sebelum Neji benar-benar meninggalkan tempat duduk, ia melirik padaku dan berbisik pelan.

"Aku menyayangimu."

.

.

Hari itu Neji benar-benar tidak tahu jika itu adalah hari jadi kami yang kedua. Tapi, disaat bersamaan dia mengatakan pada seluruh tukang kebun di kampus untuk mengumpulkan semua daun kering dan menuliskan tulisan itu.

Dia bahkan tertawa saat menyadari bagaimana semuanya bisa begitu kebetulan.

# # #

[15 Juli 2013]

Di sebuah taman yang cukup ramai,

"Tenten, kau lihat dua anak disana?" Katanya berbisik padaku suatu hari.

Aku menoleh kearah yang ditunjuknya. Sepasang remaja laki-laki dan perempuan yang asik bercengkrama satu sama lain.

"Tapi, jangan pandang yang laki-laki!"

Aku terkekeh pelan. Astaga!

"Memangnya kenapa dengan mereka?"

"Kau lihat tangan bocah laki-laki itu memegang setangkai mawar liar yang disembunyikan di belakang tubuhnya?"

Aku mencoba menyipitkan kedua mataku, dan melihat objek yang dimaksud Neji.

"Iya… aku melihatnya…" bisikku setengah bingung.

"Saat ini kutebak dia sedang memandang kita iri." Seulas senyum jahil terbit di bibirnya.

Aku tertawa, bagaimana bisa dia berpikir seperti itu?

"Maksudmu?"

"Tentu saja, mana ada orang tua yang mengizinkan anaknya berpacaran di usia yang masih muda. Ya, 'kan?"

Aku tertawa lepas, sambil memukul pelan bahunya. Dasar, bahkan anak kecil pun jadi sasaran jahilnya?

Ah, aku benar-benar tidak percaya bahwa aku mencintai pemuda dengan segala pikiran gilanya ini!

.

.

Setelah itu aku sadar jika kedua anak kecil itu adalah tetanggaku. Dan tahun ini mereka akan melangsungkan pernikahannya.

Ah, waktu berlalu begitu cepat.

# # #

[20 Juli 2013]

Aku memasukan kertas itu ke dalam amplop dengan senyum puas. Hembusan angin musim panas menerpa wajahku. Cuaca panas yang menyengat siang itu terasa biasa saja bagiku.

Setelah itu, aku mulai merapikan barang-barangku dan bersiap menuju kampus.

Kuberitahu sesuatu, sekarang sudah tanggal 20. Dan sampai sekarang aku belum mengucapkan selamat ulang tahun atau apapun itu pada Neji. Haha. Kuharap ia tidak terlalu marah padaku gara-gara itu, karena demi apapun, aku lupa!

Lalu, apa isi amplop itu?

mudah saja.

secarik kertas pendaftaran pernikahan.

.

"Apa? Dia tidak berangkat?"

"Sepertinya begitu. Sudah beberapa hari ini dia absen kelas Fisika." ujar salah seorang kawannya.

"Kenapa?"

"Entahlah. Kupikir kau tahu, kau kan kekasihnya?" ia mengerutkan kening samar.

Aku hanya menggeleng pelan. Kugenggam erat amplop yang ada di tanganku.

Mungkin aku akan mengunjungi rumahnya setelah ini.

.

"Ah.. jadi begitu, terima kasih Baa-san."

Ibu Neji segera menutup kembali pintunya sesaat setelah ia mengatakan padaku, bahwa Neji sedang tidak ada di rumah.

Aku berjalan lunglai menuju ke rumah. Aku menimang-nimang ponsel yang tak pernah lepas dari tanganku. Ratusan email sudah kukirim untuknya, pun juga puluhan misscall yang tak pernah ia jawab.

Setitik air mata membasahi pelupuk mataku, sebelum akhirnya meluncur bebas di pipiku.

.

.

Aku sungguh-sungguh ingin memukulnya saat itu. Segala perasaan campur aduk menjadi satu.

Dasar Neji brengsek.

# # #

[30 Juli 2013]

Keadaan tidak membaik.

Aku sama sekali tak pernah menjumpainya sejak saat itu. Ia seolah menghilang begitu saja dari muka bumi.

Tidak di kampus. Tidak pula di rumahnya.

Tak kuhitung berapa kali aku menghabiskan waktu untuk menangisinya di kamar.

.

.

Satu-satunya yang berubah disini adalah, keinginanku untuk langsung memeluknya, alih-alih memukulnya seperti yang kukatakan sebelumnya.

# # #

[30 Oktober 2013]

4 bulan berlalu sejak hari dimana aku tidak lagi dapat menjumpai Neji dimanapun. Aku berubah menjadi sosok yang berubah 180 derajat dari sebelumnya.

Hatiku mati.

Semuanya mati.

Tak ada warna apapun di kehidupanku kini. Kuliah? Jangankan itu, hidupku pun aku tidak peduli.

Entah berapa kali teman-teman mengingatkanku untuk berangkat kuliah. Tak jarang mereka mengancam, dengan ancaman yang amat klise.

"Kau akan di D.O."

Cih.

Katakan pada mereka, aku tidak peduli!

Memangnya untuk apa aku kuliah? untuk siapa aku harus membanggakan diriku saat aku lulus?

Sepasang suami istri yang bertanggung jawab atas itu, kini sudah bahagia di surga sana.

Neji.

Semua itu karna lelaki itu. Lelaki yang menjadi satu-satunya alasanku kuliah, satu-satunya motivasiku untuk terus melanjutkan hidupku yang nyaris tak berguna ini.

Lantas dimana ia sekarang? Menghilang setelah menyumbangkan begitu banyak harapan untukku kedepannya?

.

.

Kau sangat jahat, 'kan?

# # #

[1 Desember 2013]

Salju pertama turun pagi ini. Menghantarkan hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang. Namun, hawa dingin ini tak seberapa dibanding papan kayu yang entah sejak kapan terpaku rapi di depan rumah Keluarga Hyuuga.

papan bertuliskan "For Sale" yang kini tampak usang, diterpa berbagai partikel perusak.

Ini.. pasti bercanda, 'kan?

Aku jatuh bersimpuh, menumpu pada kedua lututku. Mengabaikan dinginnya aspal musim dingin yang terasa menusuk lapisan tipis stocking milikku.

Air mata mengalir deras menyusuri garis pipiku. Dengan cepat aku menyeka air mata itu sebelum butiran liquid itu membekukan otot wajahku di suhu malam yang dingin ini. Kurogoh perlahan tas selempang milikku, mengambil sesuatu yang sudah lama kupersiapkan untuknya.

Sepucuk amplop putih berisi kertas pendaftaran pernikahan. Kuselipkan lewat celah dibawah pintu kayu berukir itu. Dengan setitik harapan bahwa ini akan sampai padanya.

.

.

Selamanya tak akan kulupakan dinginnya malam di penghujung tahun 2013 ini.


Tbc…

A/N :

Hai! Haii! Remember me?—siapa sih lo? Gapenting juga diinget— :') #akukuad

Jadi intinya aku kembali dengan judul baru yang… yah... rada-rada horror hehe.

Bagi yang tanya cerita lamaku—pede bat anj—mereka semua lagi di keep. Ngga tau kapan dilepaskan kealam liar(?). Bisa dibilang aku kehilangan feels, terutama yang Continue or End

tapi Insyaallah aku lanjutin lagi. Soalnya storyboardnya tu udah jadi sebenernya. Wkwkwk

Eumm… dan untuk cerita ini, enaknya dinext gk nih hehe. Aku post 1x24 jam nih, kalo reviewnya lumayan (dikira pembayaran daftar UTBK kali hahaha. Ketauan baru lulus wkwkwk)

Akhir kata..

Mind to RnR?