KERANGKENG
Vocaloid bukan milik Yuki
Hari ini tetap seperti biasanya. Aku harus melarikan diri dari pelayan rumah yang memaksa mengantarku ke sekolah. Juga ban sepedaku yang kempes di depan toko tambal ban (aku yakin ada orang menyebalkan yang menebar paku supaya aku menambal ban sepeda di sana). Atau juga Meiko-sensei yang memelototiku dari pagar sekolah. Dan pelajaran pertama aku harus dijemur seperti pakaian kotor di tengah lapangan karena telat.
Mau gimana lagi. Salahkan orang yang menebar paku di jalan.
Yang jelas hari ini lebih buruk dari biasanya. Seorang perempuan sok dari kelasku membuatku kesal setengah mati di tengah lorong. Perempuan itu baru saja menyenggolku dengan keras. Sampai-sampai minuman kaleng yang ia bawa terciprat membasahi setengah seragam yang kupakai.
Perempuan itu membalikkan badannya, "oh, maaf." Ucapnya enteng.
Saat ia akan melanjutkan langkahnya, aku langsung menarik pergelangan tangan kirinya. "Heh, tanggung jawab." Sudut mataku melihat raut wajahnya terlihat sedikit meringis. Oh, ayolah! Bahkan aku tidak terlalu keras mencengkeramnya. Aku segera melepaskan pegangan tangan.
"Tanggung jawab apa? Aku buru-buru."
Wajahku memerah—kesal. Sebenarnya aku tidak mau mengatakan hal menggelikan ini, tapi... Ya sudahlah. "Kamu tidak tahu aku?" Aku menatapnya tajam.
Perempuan itu memiringkan wajahnya, menatapku dari atas ke bawah. Dengan wajah datarnya yang menyebalkan. "Ya. Aku tau. Kagamine Len. Kelas 2A—kita sekelas. Selalu telat setiap hari. Dan ayahmu merupakan pengusaha yang cukup terkenal di luar negeri..." Perempuan itu terdiam sejenak. "Tapi tidak terkenal di dalam negeri."
Oke. Aku setuju dengan ucapannya. Meskipun ia mengucapkan kalimat terakhir dengan nada yang ingin membuatku melemparnya ke bulan.
Lalu perempuan itu kembali berlari cukup cepat. Meninggalkanku yang masih basah kuyup akibat ulahnya. Aku mendecakkan lidah. "Dasar..."
Terpaksa aku harus mengganti seragam yang basah dengan baju olahraga yang memang selalu ada di loker. Aku mencuci baju yang terkena tumpahan minuman kaleng perempuan sok itu.
"Fuh.." aku menghembuskan nafas lega. Tanganku menenteng plastik yang berisi seragam basah.
"Wah, wah. Ada pasangan yang baru saja berantem, nih. Setiap hari selalu berantem. Jangan-jangan kamu..." Tiba-tiba Kaito datang sambil menyikut perutku.
Aku menepis tangannya, "dengan perempuan seperti itu? Yang benar saja..." Menyeringai kesal.
Kaito di sampingku tertawa. Aku segera berjalan meninggalkannya. Sekolah sudah sepi. Bel pulang sudah berbunyi 3 jam yang lalu. Kalau saja tidak ada kegiatan eskul, sudah dari tadi aku pergi pulang. Sekaligus tidak harus bertemu dengan perempuan itu.
"Len! Tadi pagi ada toko baru dekat jalan biasa kita ke sekolah." Kaito mengimbangi kecepatan berjalanku. Aku menaikkan alis.
oh, iya? Tadi pagi aku tidak melihatnya karena buru-buru ke sekolah (meski aku tahu tetap terlambat. Apa salahnya berusaha?).
"Di sana ada kue plus es krim, ada juga kue pisang-"
Telingaku berdiri. Di sana ada pisang? Makanan kesukaanku! "Ayo kita ke sana!" Potongku.
Kukira dengan makan sesuatu yang ada pisangnya bakal membuat besok-besok menjadi tenang. Tapi ternyata enggak, ya?
Hari ini memang seperti biasanya. Aku yang dipaksa pelayan, ban sepeda kembali bocor, berlari pontang-panting, disambut Meiko-sensei, berdiri di tengah lapangan. Tapi ada satu lagi. Yap benar. Perempuan sok itu kembali ribut denganku.
"Oke, semuanya. Keluarkan dan taruh di atas meja, PR yang kemarin Sensei berikan." Kalimat pertama yang diucapkan Meiko-sensei saat masuk kelas. Seisi kelas kompak langsung mengeluarkan bukunya masing-masing. Sementara Meiko-sensei mendekati setiap bangku dan memeriksa PR nya ditempat.
Aku menghela nafas. tanganku meraih buku tulis dari tas. Seketika aku membeku. Gawat-
AKU TIDAK MENGERJAKAN PR NYA!
Meiko-sensei sebentar lagi akan sampai ditempatku. Bagaimana ini? Mengerjakan sekarang? Mana cukup! Dari tempatku duduk, aku bisa merasakan deathglare.
"Kagamine-san? di mana PR mu?" Suara Meiko-sensei terdengar tajam. Aku menunduk. "A-aku tidak ngerjain PR, sensei..."
Meiko-sensei terdiam. Tapi sedetik kemudian nada suaranya berubah lebih mengerikan. "Kagamine-san pergi ke kantor guru setelah pelajaran hari ini." aku merinding. Keringat dingin membasahi wajahku. Meiko-sensei tersenyum mengerikan, suaranya terdengar dingin dan dalam.
Meiko-sensei lalu mengalihkan pandangan ke seisi kelas. "Siapa lagi yang tidak mengerjakan PR?" Seisi kelas terdiam, hening. Tapi ada tangan kecil yang terangkat takut-takut. Ternyata perempuan sok kemarin. Aku menyengir. Hoo... Ternyata dia bisa takut juga.
"Kamine Rin-" Meiko-sensei tersenyum manis—tepatnya kebalikan dari manis. "Nanti kutunggu di ruang guru selesai sekolah, ya." Perempuan sok itu menelan ludah.
Janji tetaplah janji. Aku harus mendatangi Meiko-sensei usai sekolah. Kabur? Tidak, lah! Kabur itu gak keren. Sebelumnya Kaito sudah 'menyemangatiku' dengan tawa menyebalkannya. Oke, terima kasih, Kaito. Di dalam kantor guru ternyata sudah terdapat perempuan sok itu. Namanya Kamine Rin. Perempuan itu menunduk, tetap dengan wajah datarnya. Meiko-sensei sendiri duduk dihadapan Rin. Aku mengucapkan salam lantas langsung duduk dikursi samping Rin.
"Tahu kesalahan kalian?"
Kami berdua menjawab kompak. "Tahu, sensei.."
Meiko-sensei menatap langit-langit, "hmmm... Kira-kira hukuman apa yang cocok untuk kalian berdua? Bagaimana dengan gudang sekolah? Kulihat kemarin banyak kecoa dan tikus mondar-mandir di sana. Kalian harus mengerjakannya berdua setelah ini. Pokoknya saat sensei memeriksa, kalian berdua harus ada di sana."
Rin menyela. "Tapi habis ini ada eskul..."
Meiko-sensei menjawab santai. "Kamu boleh mengerjakannya selesai eskul."
Lagi-lagi Rin menyela. "Bagaimana kalau besok pagi saja-"
"Kami tidak keberatan, sensei!" Aku langsung memotong.
"Tapi-" Rin tidak sempat membela.
"Kami bisa mengerjakannya selesai eskul!"
Meiko-tampak bingung. Tapi beliau menyetujuinya. "Oke, nanti sensei periksa."
Aku tersenyum menang, melirik Rin. Perempuan itu balik melirik. Tidak seperti biasanya, kali ini pandangannya muram setengah takut, mungkin? Yang jelas perempuan itu tidak jengkel dengan senyuman penuh kemenanganku.
Aku kecewa. Padahal niatnya mau mengganggu perempuan sok itu.
Acara membersihkan gudang berjalan lancar. Di sana cukup 'bersih' untuk seukuran gudang. Sama sekali tidak ada tikus ataupun kecoak seperti yang Meiko-sensei ceritakan. Walaupun jika 2 makhluk itu memang ada, aku yakin Rin tidak akan takut. Barusan ia melempar kecoak keluar gudang tanpa takut. Yah, tidak bisa dijailin.
Sudah jam 5 sore.
Aku mencuci tangan dikeran samping gudang. Begitu juga dengan Rin. Aku mengangkat tas, bersiap balik. Tapi perempuan itu tetap termangu di depan keran yang masih menyala.
"Kalau mau bengong, matiin dulu kerannya. Masih banyak orang yang butuh air, tahu." Aku menatapnya.
Rin menatapku sekilas, lalu cepat-cepat mematikan keran. Ia menggenggam kedua telapak tangannya. Ia masih terdiam. Entah kenapa sifat menyebalkannya hilang untuk sore ini.
"Kamu lupa arah rumah?"
Masih bengong.
"Penghapus kamu diambil Kaito?"
Apalagi. Tetap diam.
"Atau kaki kamu keseleo?"
Krik. Krik.
Aku sebenarnya gak peduli sama ini perempuan. Tapi penasaran kenapa mendadak Rin tidak banyak omong.
"Oh! Kamu mau di temenin pulang-eh?"
Tangan Rin bergetar samar. Aku terdiam. "...kamu takut?"
Rin mengangkat wajah. entah apa yang sekarang ia pikirkan, tapi ia baru merespon pertanyaan yang terakhir. jadi, ia takut? takut apa?
Belum sempat aku membuka mulut, perempuan itu sudah mengambil tas dan berjalan cepat menuju gerbang sekolah. aku menyeka anak rambut. aku sama sekali tidak mengerti dengannya. aku menongak menatap langit yang sudah berubah jingga.
aku juga harus pulang.
"gimana kemarin? ngapain kamu di sana?"
aku mendelik. Kaito sibuk dengan es krimnya.
"beresin gudang. yah.. untungnya lancar. tapi perempuan itu tidak bisa dijailin. jadi... yah, kau tahu. membosankan."
Kaito menghentikan langkahnya. aku mengangkat wajah. "kenapa berhenti?"
Kaito tetap terdiam. aku mengikuti arah pandangannya. ternyata ia melihat seorang perempuan yang berjalan di pinggir lorong. tidak ada yang aneh. aku menyipitkan mata. oh, itu si perempuan sok, Kamine Rin. pada saat berpapasan, Rin menyadari kami memperhatikannya. ia segera memberikan tatapan tajam. tapi kali ini tidak ada acara berantemnya. ia cuma memberikan tatapan tajam. tidak kurang ataupun lebih.
"dasar... perempuan ini menjadi aneh sejak kemarin." aku menggaruk kepala belakang.
Kaito melirikku. "kau sama sekali tidak sadar?"
"hah? apaan?"
"cara dia jalan."
Mataku kembali mengawasi gerak-gerik Rin. benar ada yang janggal. perempuan itu berjalan sangat pelan. langkahnya sedikit terhuyung, dan juga tanggannya selalu memegang dinding, seolah menjadi penopangnya.
apa yang terjadi kemarin?
Aku tidak begitu memikirkan kenapa cara berjalan Rin aneh. mungkin kemarin ia terjatuh dan keseleo. atau palingan keserempet motor. aku menghembuskan nafas kesal.
-kecuali cara berjalannya jadi aneh karenaku. itu beda lagi ceritanya.
ya... semoga saja tidak.
Rin sudah menghilang dari pandangan kami. Kaito menepuk pundakku, menyuruh kembali berjalan. "tidak usah dipikirkan, Len. mungkin kemarin ia terjatuh dan keseleo. atau palingan terserempet motor. kecuali dia seperti itu karenamu. itu beda lagi ceritanya."
aku menggerakkan sepedaku lebih lambat. hari sudah sore lagi. aku menatap sekeliling. rumah-rumah berbaris berdekatan. sesekali terdapat jalan kecil yang hanya bisa dilewati 1 orang dewasa di antara para rumah itu. ini pertama kalinya aku pergi ke bagian selatan sekolah. biasanya kalau ulang, aku lewat gerbang yang terletak di utara. jadi jalan yang tengah kulewati ini terasa lumayan asing.
terdengar suara pria dewasa bernada berat. aku mengangkat wajah, kakiku menapak pada tanah hingga menahan sepedaku berjalan. dari nada bicaranya aku menduga pria itu sangat marah. aku menatap sekeliling. suara itu datang dari gang kecil berjarak kurang lebih 10 meter dari hadapanku.
terdengar suara barang jatuh berdebam.
aku turun dari sepeda, ganti menuntunnya. aku hanya ingin memeriksa benda apa yang terjatuh itu.
gang itu terlihat cukup gelap. tapi aku bisa melihat pria itu tengah menyerang seorang perempuan bertubuh kecil. pria itu kembali memberikan pukulannya. sang perempuan kecil itu terbanting menabrak dinding. aku tersentak.
perempuan itu butuh bantuan!
"OI, YANG DI SANA!" aku melempar sepedaku ke sembarang arah. lalu aku berusaha berlari ke arah gang kecil itu. pria itu tampaknya menyadariku. ia sudah berjalan pergi dengan langkah tenang. siluet tubuh pria itu hilang di antara gelap. sebentar lagi aku dapat meraih tubuh pria itu. tapi, tiba-tiba aku tidak bisa berlari. kaki kiriku ditahan. aku menoleh ke belakang.
perempuan itu menarik kaki kiriku sementara tangannya yang satu lagi memegangi perutnya. ia terbatuk. "jangan-" ia berkata ditengah ringisannya. "-nanti malah kamu yang akan mati."
aku terdiam. perempuan itu sudah melepas cengkeramannya dari kakiku. di saat seperti ini bisa saja aku kembali berlari mengejar pria tidak tahu diri tadi. tapi mendengar ucapan perempuan kecil ini, aku urung melakukannya. perempuan itu jatuh tersungkur. aku panik. sontak aku langsung menahannya supaya tidak menghantam aspal.
perempuan itu mendongak. setengah wajahnya yang tertutup anak dahi terlihat. aku terpaku. perempuan ini-
TBC!
