I Love You

A Kuroko no Basket Fanfiction

Written By Gokudera J. Vie

Kuroko no Basket Tadatoshi Fujimaki

I Love You Gokudera J. Vie

AominexKuroko. Alternate Universe. Out of Character. (Possibility of) typos.

# # #

Chapter 1 : Kau dan Aku, Bertemu, Kita Jatuh Cinta

# # #

Kami telah berbeda jalan semenjak waktu yang telah lampau, waktu yang tak lagi ingin kuingat, waktu yang hanya dipenuhi rasa sakit dan frustasi, dimana kebahagiaan dibalikkan menjadi putus asa semudah membalikkan telapak tangan.

Kami telah berbeda jalan dan tak ada jalan kembali. Sesekali ingin rasanya aku menoleh ke belakang untuk mencari seberkas keberadaannya yang masih membekas dalam dada ini. Tapi aku tak sanggup, karena ketika aku menoleh ke belakang maka aku akan menyesali dan menangisi. Jadi aku berdiri di tempat, tak maju, tak mundur, dan hanya menunggu. Berharap akan ada seseorang yang datang dan menarikku pergi dari tempat ini.

# # #

Kuroko Tetsuya membuka matanya untuk menemukan bahwa dia tidak berada di dalam kamar flatnya di Shinjuku. Ditatapnya sekeliling dan menyadari bahwa ternyata dia sedang berada di Tokyo, mengunjungi keluarganya saat golden week.

"Nggh," erangnya, menegakkan tubuhnya dan menurunkan kakinya dari ranjang.

Kuroko berjalan menuju kamar mandinya dan langsung menatap pantulan dirinya pada kaca kamar mandi yang berukuran ekstra besar. Rambut baby bluenya berantakan seperti biasa kalau dia baru bangun tidur, wajahnya berekspreksi datar, dan terdapat garis hitam samar di bawah matanya.

"A-ah," ujar Kuroko, menyentuh bayangannya di kaca pada bagian mata. "Aku bermimpi," gumamnya pada diri sendiri. Tatapan matanya berubah sayu saat pikirannya mulai mengingat mimpinya semalam, mimpi akan waktu yang telah lewat, kenangan yang tak bisa pupus dan terus membekas bagaikan noda.

Dalam bayangannya di cermin seolah berganti menjadi sesosok lelaki, lebih tinggi beberapa centi dari Kuroko, berambut biru tua, bermata tajam, dan tersenyum. Perwujudan mimpi-mimpi buruknya selama beberapa tahun terakhir ini, sosok yang membuat tidurnya tidak nyenyak dan terkadang melamun melupakan dunia.

"Tetsuu!" seruan feminim terdengar dari lantai bawah. "Cepatlah bangun, jangan malas-malasan hanya karena sekarang adalah libur nasional!"

"Baik, kaa-san," seru balik Kuroko, membuka keran air wastafel kemudian membasuh wajahnya, mencoba menghilangkan jejak payah dari paras muda itu. Dalam hati berbisik kepada diri sendiri untuk melupakan segalanya dan jangan pernah menoleh ke belakang.

# # #

Taman di dekat rumah Kuroko tidak banyak berubah, masih tetap sama seperti terakhir kali dia melihatnya, penuh dengan permainan anak-anak dan Kuroko paling suka menggunakan ayunan di sana meski dia bukan lagi seorang anak-anak.

"Oh, Kurokocchi!" sebuah panggilan yang tidak asing dari orang yang tidak asing.

Kuroko menoleh dan mendapati seorang pemuda tampan penuh gaya sedang berjalan ke arahnya. "Selamat sore, Kise-kun," sapa Kuroko sambil tersenyum, atau lebih tepatnya membalas senyuman permanen Kise.

"Kapan kau datang, Kurokocchi?" tanya Kise, duduk di ayunan di sebelah Kuroko, satu-satunya ayunan yang tersisa. "Ah, kau benar-benar tidak pernah ada kabar ya. Semua bertanya-tanya lho bagaimana kabarmu semenjak bekerja di luar kota."

Kuroko ingin tertawa sebenarnya mendengarkan ocehan Kise. Pemuda, ralat, pria berambut pirang tersebut tidak pernah berubah sejak pertama kali Kuroko mengenalnya di SMA, masih saja ribut dan ceria. Tentu saja, masih tetap gaya, tampan, dan seorang model papan atas.

"Bagaimana pekerjaanmu, Kise-kun?" tanya Kuroko.

Senyum Kise semakin lebar. "Tentu saja excellent," jawabnya sambil mengacungkan jempolnya. "Aku benar-benar dibuat sibuk dengan pemotretan di sana-sini, dan jerih payahku tidak tersia-siakan. Lihat betapa tenarnya aku sekarang. Kebetulan sekali hari ini aku sedang luang dan bisa berpapasan dengan Kurokocchi. Kalau Kurokocchi sendiri, bagaimana kabarmu?"

"Baik," jawab Kuroko singkat.

"Ah, kau tetap saja dingin seperti dulu. Padahal sudah lima tahun lebih kita tidak pernah bertemu. Apa pekerjaanmu?"

"Hanya pegawai kantoran biasa."

"Hmm," gumam Kise. "Ngomong-ngomong, kau tahu tidak, Kurokocchi? Murasakibaracchi sekarang benar-benar menjadi seorang pattisier lho. Aku tak menyangka impiannya benar-benar terwujud bagaimana dia lebih pantas sebagai pemakan daripada pembuat makanan," lagi, Kise berbicara panjang diakhiri tawa tertahan pada akhir kalimat.

Kuroko hanya tersenyum memperhatikan, hapal kebiasaan Kise yang senang berbicar a seperti monorail.

"Lalu, lalu, Midorimacchi sekarang adalah dokter dan sedang bertugas di Hokkaido. Ah, Midorimacchi benar-benar jauh sekali," katanya dengan ekspresi sedih, menerawang seolah dapat melihat sang sahabat masa SMA itu.

"Ah," tiba-tiba Kise terlihat seolah teringat sesuatu. "Sebaiknya kau berhati-hati dengan Akashicchi, kabar beredar bahwa dia bukan sekedar direktur perusahaan biasa, melainkan seorang direktur perusahaan yang memiliki relasi dengan mafia. Akashicchi dari dulu memang menakutkan," Kise berhenti sejenak untuk mengambil nafas. "Dan yang terakhir, dan kau pasti akan sangat kaget mendengarnya, Aominecchi menjadi orang pertama di antara kita yang menikah, apalagi istrinya sekarang adalah Satsuki-chan. Siapa yang menyangka?" decaknya.

Tubuh Kuroko mendadak kaku, senyuman yang sedari tadi dia pasang selama mendengarkan perkataan Kise itu luntur, meninggalkan ekspresi kaget tergambar jelas di wajah dan tatapannya. Kise yang melihatnya hanya tersenyum makin lebar tanpa prasangka apa pun.

"Sudah kubilang Kurokocchi pasti kaget mendengarnya. Sangat tidak bisa dipercaya, eh?"

Sama sekali tidak memiliki prasangka bahwa dia telah memutus jalan kembali Kuroko, menaburi luka hatinya dengan garam, dan membalikkan semua kenangan bahagia menjadi luka semudah membalikkan telapak tangan.

Andai Kise tidak sedang berada di hadapannya sekarang, Kuroko pasti akan membiarkan airmatanya jatuh, membiarkan setiap perasaan mengalir keluar dan tumpah dan kembali menodai hatinya.

# # #

Malam harinya, ponsel Kuroko berdering, sebuah panggilan masuk dari seseorang bernama Kagami.

"Whassup, Kuroko?" sapa seseorang di seberang sana.

Kalau Kuroko yang biasanya mungkin akan tersenyum mendengar sapaan aneh tersebut, tapi Kuroko saat ini sedang tidak dalam kondisi normalnya, bahkan untuk tersenyum saja susah setengah mati. Wajah yang biasanya memang datar itu kini seolah tanpa ekspresi dan hanya kosong.

"Ada apa..., Kagami-kun?" tanyanya lemas.

Kagami tampaknya menyadari kejanggalan dalam suara Kuroko. "Kau kenapa? Terdengar tidak bersemangat."

"Aku hanya lelah. Tadi berpapasan dengan teman lama dan kami mengobrol lama sekali," Kuroko tidak mengatakan kebohongan, meski tidak juga mengatakan kebenaran.

"Ah, pasti disana sudah malam ya? Maaf, maaf, aku tidak begitu tahu perbedaan waktu sana dan sini," ujar Kagami.

Kagami adalah teman dekat Kuroko sejak masa kuliah, pernah juga menjadi kekasih untuk waktu yang singkat, dan sekarang yang bersangkutan sedang melakukan perjalanan bisnis ke Amerika bersama partnernya, Himuro.

"Tidak perlu khawatir, Kagami-kun. Jadi, ada apa kau menelepon?"

"Ah, aku Cuma ingin tahu keadaanmu saja," terdengar dari nada suaranya bahwa Kagami salah tingkah. "Oh ya, coba kau dengarkan aku, Kuroko! Tatsuya benar-benar menyebalkan, kau tahu. Dia seenaknya saja memerintahku hanya karena di antara kami akulah yang bisa memasak."

Setelahnya, tak satu kalimat pun dari curhatan Kagami yang terproses dalam otak Kuroko bahkan sampai keduanya saling mengucapkan selamat malam dan memutus sambungan telepon. Kemudian, baru saja sambungan telepon terputus, tak sampai sepuluh detik, ponsel tersebut berdering kembali. Kali ini dari seseorang bernama Akashi Seijuurou.

"Halo?" Kuroko mengangkat telepon tersebut, sekacau-kacaunya dia, dia masih tetap waras untuk tidak membuat masalah dengan sahabatnya yang satu itu.

"Senang akhirnya kau mengangkatnya, Tetsuya."

Alis Kuroko berkedut mendengar panggilan tersebut. Di antara semua teman dekatnya semasa SMA, hanya Akashi yang memanggil semuanya dengan nama kecil. Kuroko tidak bermasalah dengan hal tersebut, hanya sedikit tidak nyaman untuk momen ini, karena hal itu mengingatkannya pada seorang sahabatnya yang lain yang memanggilnya dengan nama kecil.

"Ada apa Akashi-kun menelepon malam-malam begini?" diliriknya jam dinding dalam kamar yang menunjukkan pukul 11.43 malam.

"Ah, ini sehubungan dengan kepulanganmu ke kota," jawab Akashi. "Karena kebetulan aku dan Atsushi juga kembali ke Jepang besok, bagaimana kalau kita adakan reuni? Ryouta dan Daiki sudah kuperintahkan untuk mengambil cuti kok, begitu pun dengan Shintarou, " ujarnya seolah dia sedang mengatakan hal yang wajar. Mau bagaimana lagi kalau memang bagi seorang Akashi Seijuurou, memerintah adalah hal yang wajar.

"Aku tidak masalah," ujar Kuroko. "Pukul berapa rencananya?"

"Tujuh malam di pavilliun milikku. Hanya kita berenam, kau, aku, Atsushi, Ryouta, Shintarou, dan Daiki. Aku menantikannya."

"Ya, aku juga."

"Kalau begitu sampai jumpa besok, Tetsuya. Selamat malam."

"Selamat malam, Akashi-kun."

Sekali lagi sambungan telepon diakhiri. Kuroko mengenggam benda mungil berbentuk persegi tersebut erat-erat dan mendekapnya di dada. Ya, dia sangatsangatsangat menantikannya, menanti bertemu dengan masa lalunya dan menghapus semuanya.

# # #

Pukul tujuh malam keesokan harinya, saat Kuroko sampai di pavilliun milik Akashi, tampaknya setiap orang sudah berkumpul. Kuroko bisa melihat kelebatan rambut dalam berbagai warna. Bahkan dia yang selalu dipikirkan Kuroko pun sudah datang, berdiri bersisian dengan sesosok berambut merah muda panjang bergelombang.

"Maaf aku datang terlambat," ujar Kuroko.

"Ah, selamat datang, Tetsuya," yang pertama kali menyambutnya adalah Akashi, sang pria berambut merah menyala yang sedang berdiri di samping Murasakibara, sosok berambut ungu panjang sebahu yang langsung mengacak-acak rambut Kuroko.

"Kurokocchi!" dapat diketahui dengan mudah siapa pemilik suara tersebut.

Di belakang Kise menyusul sosok berambut hijau dan berkacamata yang wajahnya benar-benar menunjukkan kelelahan. Entah kenapa Kuroko bisa merasakan perasaan simpati kepada sahabatnya yang tidak begitu akrab dengannya itu, Midorima Shintarou.

Tiba-tiba saja Kuroko merasakan sebuah tepukan di punggungnya. "Hei, Tetsu!" dan ketika suara yang sudah sangat dikenalnya tersebut memanggilnya, Kuroko bisa merasakan tubuhnya dirambati aliran listrik dan bulu kuduknya meremang.

Kuroko berbalik dan menemukan sosok itu, sosok berambut biru tua dan bermata tajam yang tengah tersenyum akrab ke arahnya, sosok bernama Aomine Daiki.

Kuroko menelan ludah dan memaksakan sebuah senyuman. "Lama tidak bertemu, Aomine-kun," sapa Kuroko. Kemudian melirik wanita di sebelah Aomine, yang juga telah dikenalnya sejak masa SMA, dan berkata, "Apa kabar, Momoi-san? Ah, maaf, maksudku, nyonya Aomine?"

Wanita berambut merah muda itu balas tersenyum dengan senyuman malu-malu yang manis dan membuatnya terlihat semakin cantik. Tapi yang paling menarik perhatian Kuroko adalah saat Aomine memandang wanita tersebut, yang adalah istrinya, dengan tatapan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tanpa sadar Kuroko mengepalkan tangannya erat-erat, sesuatu menggelegak dalam dadanya, tidak terima.

"Nah," suara Akashi membuyarkan pikirannya. "Karena semuanya sudah berkumpul, ayo kita bersulang?" di tangan sang pemilik rambut merah tersebut terdapat sebotol wine yang masih tersegel. "Atsushi telah menyiapkan sajian yang lezat untuk kita semua hari ini."

Berikutnya, champagne dituang, kue-kue dan makanan yang terlihat lezat dihidangkan di meja, semuanya menggerombol dan bernostalgia dan membicarakan kehidupan mereka sekarang. Topik bahasan yang tak jauh berbeda dari yang Kuroko dan Kise bicarakan di taman.

Malam makin larut, Akashi dan Murasakibara menghilang entah kemana, Midorima telah mengundurkan diri dengan alasan dia harus segera kembali ke Hokkaido besok, sementara Kise jatuh tertidur di sofa di ruangan tersebut, menyisakan Kuroko sedang berdiri menikmati angin di balkon seorang diri.

Sebuah tepukan ringan jatuh ke bahu Kuroko. "Tetsu," panggil Aomine.

Kuroko menoleh, menatap wajah tampan itu sekilas sebelum kembali melayangkan pandangan ke arah hamparan pohon yang mengelilingi pavilliun milik Akashi tersebut. "Ada apa, Aomine-kun? Dimana Satsuki-san?" tanya Kuroko setengah hati, tidak benar-benar ingin tahu.

"Satsuki sedang beristirahat di salah satu kamar tamu, sepertinya dia terlalu banyak minum," jawab Aomine dengan suara yang lembut, menunjukkan betapa pedulinya lelaki tersebut pada istrinya. "Kau sendiri, kapan kau akan menikah, Tetsu?"

Kuroko hanya diam, membiarkan hening menjawab pertanyaan Aomine, karena Aomine pasti mengerti makna dibalik diamnya.

Aomine tersenyum sedih. "Maaf," gumamnya, nada suaranya terdengar benar-benar menyesal.

Kuroko menggeleng. "Aomine-kun, apakah kau masih ingat saat pertama kali bertemu?" tanya Kuroko.

Senyuman sedih masih menetap di wajah Aomine saat dia mengiyakan. "Tentu saja, Tetsu. Mana mungkin aku bisa melupakannya? Kau dan aku bertemu...," Aomine sengaja memotong kalimatnya.

Yang kemudian dilanjutkan oleh Kuroko, "dan aku jatuh cinta."

Berikutnya mereka berujar bersama-sama, dengan nada sedih yang sama, dengan kenangan yang sama mulai diputar ulang dalam pikiran masing-masing.

"Kau dan aku bertemu, dan kita jatuh cinta."

To Be Continued

28th November 2012

Gokudera J. Vie