180 Degrees
Summary: Ran berusaha bangkit dari kondisinya saat teman masa kecilnya, Kuroba Kaito, tewas dalam kecelakaan. Baru saja ia membulatkan tekad untuk menjadi tegar, seorang murid pindahan datang ke sekolahnya. Wajah murid itu persis dengan Kaito. Namun.. / Warning: author amatir. RnR please!
Disclaimer: Aoyama Gosho
Warning: author amatiran, OOC, OC, kadang OOT, cerita nggak jelas, maybe too much typo, summary nggak nyambung.
Fic ini memang milik Author, tapi chara tetap milik Aoyama Gosho. BAHKAN KID JUGA TETEP PUNYA AOYAMA GOSHO! #galau #okeabaikan
Happy reading!
Author's Playing (?): Revive – Mai Kuraki. Saya ngetik fic ini pake lagu ini.. meski nggak nyambung. Muahahahaha... #AsakoEror #skiptothenextparagraph
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Asako Fuji with proudly presents..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
180 DEGREES
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pagi itu, di SMU Teitan..
"Ohayou, Ran!" sapa seorang gadis berambut pendek yang memakai bando kepada gadis yang berada di depannya.
"Ohayou..," sahut Ran sambil tersenyum tipis lalu meletakkan tasnya dan duduk. "Apa kabar?"
"Buruk," keluh gadis yang ternyata bernama Sonoko tersebut sambil menghela napas. "Hari ini salah satu guru menyuruhku membeli beberapa ATK, dan aku lupa membawanya.. mau tidak temani aku ke toko sebentar?"
Ran berdiri lalu mengulurkan tangan kepada Sonoko. "Boleh.."
Mereka pun berjalan keluar dari kelas. Sonoko melirik Ran dengan ekspresi khawatir. Akhir-akhir ini sikap Ran berbeda. Biasanya Ran akan memandang sekeliling penuh minat dan menyapa setiap teman yang ia temui. Namun sekarang, Ran hanya menatap kosong ke depan dan harus disapa terlebih dahulu sebelum menyapa orang lain. Tentu saja Sonoko tahu kenapa Ran berubah, namun..
"Sonoko. Kita sudah sampai," kata Ran datar.
"Ah, gomen."
Sonoko pun masuk ke dalam toko sementara Ran hanya duduk di kursi depan toko dan mengamati orang yang lalu-lalang. Tanpa sengaja ia mendengar percakapan dua orang cowok yang berjalan di depannya.
"Kau dengar berita tentang.. Kuroba Kaito dari kelas 2-3?"
Deg!
"Ya.. kasihan." Temannya menggelengkan kepala. "Tertabrak mobil saat mengejar cewek.. sebenarnya apa yang ada di pikirannya?"
"Mungkin sebenarnya tidak ada cewek lain yang mau dengannya. Jadi dia mati-matian mengejar cewek itu."
"DIAM!"
Kedua cowok yang tengah bergosip itu terperangah melihat Ran yang tiba-tiba berdiri dan mengepalkan tangannya.
"KALIAN TIDAK TAHU APA-APA SOAL DIA! JANGAN MENYEBAR GOSIP YANG TIDAK PERLU!"
Sonoko yang berada di dalam toko mendengar sayup-sayup suara Ran. Firasatnya menjadi buruk. Ia meninggalkan antrian lalu pergi ke luar. Benar saja, Ran sedang dalam emosi. Ia menahan kedua tangan Ran.
"Ran, berhenti!" tegur Sonoko sambil sekuat tenaga menahan Ran. Ran memberontak, sementara kedua cowok yang tadi menyinggung Kaito langsung pergi.
"Mereka, Sonoko—mereka—Kaito.."
Bulir-bulir air mata berjatuhan menuruni pipi Ran.
"Kaito.. Kaito..," isak Ran sambil berbalik lalu memeluk Sonoko. Sonoko hanya diam.
"Kaito.."
.
.
.
Setelah berhasil menenangkan Ran, Sonoko membawanya kembali ke kelas. Di kelas sunyi senyap menatap mereka yang berjalan tak peduli ke kursinya masing-masing. Tiba-tiba bel berbunyi dan guru pun masuk.
"Ohayou, minna-san.."
"Ohayou gozaimasu, sensei," jawab murid-murid serempak.
"Pagi ini, kita kedatangan murid baru."
Seisi kelas berbisik-bisik penasaran. Sang guru hanya tersenyum, lalu melambai kepada entah siapa di seberang sana.
"Masuklah, Kudo-kun!"
Kreeek..
Pintu pun terbuka dan seorang pemuda masuk. Suara langkah-langkahnya yang kecil dan rapat memecah keheningan kelas. Sonoko terperangah lalu mengguncang bahu Ran yang sedang menatap ke luar jendela.
"Ran! RAN! Lihat dia!"
"Apa sih?" tanya Ran kesal sambil mengalihkan pandangannya dari jendela. "Kau tahu aku tidak ada minat dengan—"
Seketika hening. Ran menatap pemuda yang sekarang berdiri di tengah kelas itu dengan tatapan terkejut. Pemuda itu pun membuka mulutnya.
"Ohayou minna-san. Namaku Kudo Shinichi, salam kenal dan mohon bantuannya," ucap pemuda itu sambil membungkuk.
"Oke. Kudo-kun, kau duduk di..," mata sang guru menjelajahi seisi kelas, ".. sana. Di sebelah Mouri-san."
Di sebelah.. Ran?
Kudo berjalan dengan santai lalu meletakkan tasnya dan duduk di kursi. Menyadari tatapan Ran, ia menoleh dan berkata datar.
"Salam kenal. Mohon bantuannya."
Sejenak, dalam pandangan Ran, kembali terbayang wajah Kaito. Ia pun menggelengkan kepalanya dan menjawab datar, "Salam kenal."
.
.
.
"Bagaimana tadi, Ran?"
Sonoko langsung mencolek bahu Ran di depannya sambil tersenyum menggoda. "Tadi, pemuda itu.. siapa namanya? Kudo—siapa?"
"Shinichi. Kudo Shinichi," jawab Ran datar. Sonoko menepukkan kedua tangannya gembira.
"Ya, ya, itu! Shinichi!" serunya. "Wajahnya lumayan, kan?"
"Masih lebih cakep Kaito," kata Ran sinis. Sonoko meliriknya lalu menghela napas. Ran memang keras kepala. Sonoko pun melipat tangannya sambil menatap ke luar jendela.
"Di luar hujan," cetus Sonoko.
"Ya," sahut Ran datar. Sonoko cemberut lalu mengalihkan pandangannya kepada Ran.
"Tapi.. dia memang berbeda jauh dengan Kaito ya."
"Siapa?" tanya Ran, feelingnya memburuk.
"Dia. Kudo-kun," kata Sonoko. "Dari tingkah lakunya, sudah kupastikan dia kutu buku. Kaito, tidak begitu tertarik dengan buku dan lebih suka aktif dalam berbagai macam olah raga. Kudo lebih baik kan? Dulu kau selalu bilang suka dengan orang yang lebih kalem."
Ran hanya mengedikkan kepala sebagai tanggapannya pada kalimat Sonoko. Ia sedang tidak begitu tertarik dengan topik cowok. Ia tahu Sonoko berusaha mengalihkan perhatiannya dari kesedihan akan kematian Kaito, namun yang dilakukan Sonoko malah membuatnya ingin menangis. Sambil tersenyum datar Ran beranjak lalu meninggalkan Sonoko.
"Chotto matte!" teriak Sonoko. "Kau mau ke mana?"
"Perpustakaan.."
.
.
.
Suara langkah kaki memenuhi koridor lantai dua SMU Teitan. Karena hari ini hujan, semua lebih memilih diam di dalam kelas dan tidak ke mana-mana. Ran sendiri, bukan karena rajin datang ke perpustakaan. Kalau ia tidak mengembalikan buku tersebut hari ini ia akan didenda.
Krieeek..
"Konnichiwa," sapa petugas perpustakaan. Ran tersenyum.
"Konnichiwa.."
Setelah mengembalikan buku dan menuliskannya di kartu, petugas perpustakaan menghampirinya. Ia memberikan sehelai kertas kepada Ran.
"Mouri-san, tolong berikan ini kepada klub musik," katanya sambil tersenyum. "Ini adalah daftar buku-buku yang belum mereka kembalikan.."
"Ha'i."
Ran pun meninggalkan ruang perpustakaan ke ruang musik di lantai tiga. Makin dekat ia dengan ruang musik, makin terdengar suara piano. Mencoba mengabaikan rasa takutnya, Ran terus berjalan menyusuri koridor itu. Ah, terkutuklah semua film horor yang dulu Kaito belikan untuknya!
Kaito?
Kaito..
Sambil menggelengkan kepalanya, Ran mencoba untuk lebih tegar. Ini bukan saatnya memikirkan Kaito. Ia memantapkan langkahnya lalu sampailah ia di ruang musik. Ia mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk membuka pintu tersebut.
Krieeeek...
Pintu terbuka, namun suara piano berhenti. Dengan perlahan Ran mengintip. Ternyata itu Kudo.
"Ah, Mouri-san," sapa Kudo.
"Kudo-kun..," Ran berjalan lalu mendekati Kudo yang sibuk mencoret beberapa not dalam score-nya. "Aku tidak tahu kau bisa main piano."
"Aku memang belum memberitahumu."
Ran kaget. Berbeda dari yang di kelas, Kudo yang ini dingin dan sama sekali tidak tersenyum. Benar-benar berbeda 180 derajat. Dengan kesal Ran menempelkan sikunya di bahu Kudo.
"Aku sedang mencoba ramah kepadamu, tahu!" kata Ran ketus.
"Tidak ada gunanya."
"Kau seperti memiliki kepribadian ganda."
"Ada yang bilang begitu."
"Menyebalkan, tahu."
"Terima kasih."
Ran terdiam lalu melihat score yang tengah ditulis Kudo. Belum diberi judul, baru berupa coret-coretan not. "Itu buatanmu?"
"Ya," jawab Kudo datar. Ran menghela napas panjang. Kudo ini, fisiknya saja yang mirip dengan Kaito. Kepribadiannya, 180 derajat terbalik!
"Ini benar buatanmu kan?" tanya Ran curiga. "Kalau begitu, mainkan."
"Baiklah."
Ran mengambil kursi, menggesernya lebih dekat ke piano, lalu menonton Kudo memainkan piano tersebut. Nada-nada indah mengalun lembut, mengutarakan perasaan sedih, bingung, namun anehnya juga mengandung harapan. Kedua mata Ran terpejam menikmati alunan musik itu.
Tanpa sadar, ia kembali ke masa lalu..
"Hontou ni gomenasai, Ran!"
Sesosok pemuda datang mendekati Ran yang duduk di bawah pohon di dekat toko bunga. Ran mengeluh sambil melipat tangannya.
"Lama sekali kau, Kaito!" ucap Ran. "Kau sendiri kan yang memintaku datang? Kenapa malah kau yang terlambat? Sekarang sudah jam dua sore! Kau terlambat setengah jam!"
"Kan sudah kubilang, gomenasai," balas Kaito cuek sambil berdiri di samping Ran. Sejenak hening, Ran masih menatap Kaito dengan jengkel. Kaito tersenyum jail sambil melambaikan dua lembar kertas di depan wajah Ran. "Tebak, apa ini?"
Ran melirik kedua lembar kertas itu dengan ekspresi tak tertarik. Setelah membaca kalimat yang tertera di atasnya, ekspresinya berubah. "Tiket konser penyanyi yang kutunggu-tunggu! Dari mana kau mendapatkannya? Tiket macam ini kan susah didapat!"
Kaito tersenyum puas sembari membiarkan Ran membaca kertas itu.
"Aku mengantri dari jam dua pagi tadi dan baru mendapat tiketnya jam sepuluh," jawab Kaito santai.
"Jam sepuluh?"
"Ya. Tetapi sewaktu aku pulang, aku tertidur sampai jam satu siang tadi."
"Dasar bodoh."
Kaito tertawa garing. "Ya, aku memang bodoh. Seharusnya aku tidak tertidur."
"Bukan itu," sela Ran tak sabaran. "Maksudku kau bodoh karena mengantri selama hampir sembilan jam untuk dua lembar tiket ini saja! Kau tidak perlu melakukan ini kepadaku hanya karena tahu aku menginginkan tiket ini kan? Kau jadi kurang tidur seperti ini!"
"Lho? Bukankah itu bagus?"
"Bagus dari mananya?"
"Bagus kan?" Kaito tersenyum. "Dengan pengorbanan tidurku, dua lembar tiket 'saja' ini.. akan semakin berharga kan?"
"Maksudnya?" tanya Ran tidak mengerti.
"Segala hal, barang sekecil apapun, akan semakin terasa berharga bila ada pengorbanannya," jelas Kaito. "Semakin besar pengorbanan kita terhadap suatu hal, semakin berhargalah rasanya hal itu bagi kita."
Ran terdiam, sibuk mencerna kata-kata Kaito yang agak rumit dan berbelit-belit. Melihat ekspresi Ran, Kaito tertawa kecil.
"Ayo Ran, konsernya akan dimulai jam lima nanti," ujar Kaito sambil meraih tangan Ran dan menariknya ke halte bis.
"Mouri-san.."
"Mouri? Kaito, kenapa kau memanggilku seperti itu?" gumam Ran bingung.
"Mouri-san.."
"Nah, nah, Kaito. Jangan.. panggil aku dengan itu.."
"MOURI-SAN!"
Kali ini Ran terbangun. Ya, terbangun. Ternyata tadi ia tertidur mendengar suara piano Kudo.
"Hontou ni gomenasai..," kata Ran sambil mengucek-ucek matanya. "Mendengar suara pianomu.. aku jadi mengantuk.."
"Kau tidak seharusnya tidur di sini," ujar Kudo jengkel. "Kupikir tadi kau terkena penyakit apa."
"Memangnya kenapa?"
"Kau terus menggumamkan kata-kata yang tidak jelas." Kudo mengangkat bahu. "Tentang hal yang berhargalah, tentang—"
"KYAAAAA! Cukup, cukup!"
Kudo kaget setengah mati melihat reaksi gadis satu ini. Wajah Ran memerah. "A—ano..," Ran menjadi gugup. "Jangan bilang siapa-siapa tentang ini ya."
"Tidak masalah. Kalaupun kusebar, tidak ada untungnya untukku," kata Kudo sambil mengangkat bahu lalu menutup pianonya. "Oh ya, ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan.."
"Apa?"
"Orang itu.. Kaito, yang berkali-kali kau sebut namanya dalam tidurmu tadi.."
Deg!
"..sebenarnya siapa dia?" tanya Kudo datar. "Aku mendengar segala macam gosip.. apa dia Kuroba Kaito? Yang waktu itu kasusnya muncul di koran?"
Kata-kata Kudo menusuk hati Ran. Dalam. Apalagi.. wajah datar Kudo saat mengucapkan kalimat tersebut..
Kudo melanjutkan tanpa belas kasihan. "Apa dia ada hubungannya denganmu? Orang-orang terus meributkan hal itu.. tentang wajahku yang mirip dengannya.."
"DIAM! DIAM!"
Ran berteriak dengan seluruh tenaganya memotong kalimat Kudo. Kudo terperangah. Kali ini, sikap Ran memang tidak bisa ditebak.
"Jangan pernah!" Ran bangkit dari kursinya. "JANGAN PERNAH MEMBANDING-BANDINGKAN DIRIMU DENGAN KAITO! MESKIPUN WAJAH KALIAN MIRIP, DIA MASIH DUA RATUS RIBU KALI LEBIH BAIK DARI PADAMU!"
"Dua.. ratus ribu?" tanya Kudo bingung.
Tanpa mengacuhkan gumaman Kudo, Ran pun pergi melewatinya, membuka paksa pintu ruang musik, lalu membantingnya. Kudo menatap lurus ke depan sambil mendengarkan langkah-langkah Ran yang bergaung di koridor.
"Mouri-san.."
.
.
.
-To Be Continued-
Konbanwa minna-sama! Asako is here!
Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa saya menulis 'Shinichi' dengan 'Kudo'. ._. Kebenarannya adalah..
..saya sering keliru menulis 'Shinichi' dengan 'Shuichi'! Dan itu membuat saya setres sampai peng-upload-an fic ini tertunda sebulan! W( OAOW) #setreskumat #authorsinting
Kenapa dalam nama mereka ada enam huruf yang sama?
Oke. Abaikan curcol saya yang satu ini.
Sebenarnya juga ini pelampiasan galau saya yang nggak ilang-ilang selama empat bulan *bujubuset*. -_-v Dan jangan tanya kenapa.
Saya seorang author amatir yang belum punya pengalaman. Jadi, saran dan pendapat sangat dibutuhkan dari senpai sekalian!
Yoroshiku onegaishimasu!
And the last..
Mind to review or mind to flame? :D
