"One little, two little, three little Indians—"

"Berhenti nyanyiin lagu itu, Sas! Merinding, nih!"

Mata oniks Sasuke menatap heran si pirang bermata biru safir yang tengah mengelus tengkuk. Ekspresinya waswas, bibir membentuk garis lurus. Melihat raut ketakutan di wajah Naruto, Sasuke bertanya-tanya—Sebegitu penakutnya 'kah makhluk ini? Yang barusan cuma lagu anak-anak biasa? Masih ingin menguji apakah Naruto hanya pura-pura atau tidak, Sasuke iseng saja melanjutkan, "—four—"

Naruto terlihat seperti kucing yang berjingkat marah. Hanya saja, dalam kasus ini, ngeri. "TEME!"

Alis hitam naik satu. Sorot mata Sasuke belum berubah, masih menatap Naruto penuh tanda tanya. "Emangnya kenapa, sih? Itu 'kan cuma—"

"—lagu anak-anak biasa? Ember. Tapi coba pikirin lagi; lagu itu ngeri banget tau!"

"…heh?" Paranoidnya kumat lagi, ini anak satu… "Maksud?"

Naruto menggeram kesal, tangannya terkepal. Meski begitu, ada sepuhan merah samar di pipinya. "Dijelasin juga kamu enggak bakal ngerti, Teme!" Dan ia pun melangkah pergi, meninggalkan Sasuke yang masih heran sendiri. Masih dengan alis terangkat, masih dengan tanda tanya bertengger nyaman di atas kepala. Setelah sosok Naruto hilang di kerumunan siswa kelaparan, Sasuke bergumam pelan, "Maksudnya si bodoh itu apaan, sih?"

oOo

And Then, There Were None!

oOo

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto; And Then There Were None © Agatha Christie

Rate: M. Fix M, untuk deskripsi gore di pertengahan.

Warning: AU, Death characters, (kind of) OOC. Major friendship, romance kelewat minor.

Note: Republish fanfic lama, cuma ngedit beberapa bagian yang dirasa ada plothole.

oOo

#0| Prologue

oOo

Ruang perpustakaan itu damai dan tenang. Tidak ada murid yang berani masuk dengan membawa keributan atau makan sembarangan, juga tidak ada pula yang menyadari kalau bahaya sedang mengintai seseorang yang ada di dalam ruangan. Satu-satunya yang ada di dalam ruangan itu—selain deretan rak, buku, dan seorang penjaga perpustakaan yang menghadap layar monitor tanpa peduli pada lingkungan sekitar—adalah seorang remaja berwajah pucat. Kontras dengan kulitnya yang kelewat pucat, rambut dan matanya berwarna hitam. Sosok itu memakai seragam khas murid yang taat aturan. Saat ini ia sedang duduk di salah satu kursi kosong dengan buku (novel?) di tangan. Perhatian yang semula tertuju hanya pada deretan kata di buku teralih ketika sesuatu jatuh ke lantai saat ia membalik halaman.

Selembar kartu hitam. Bersampul plastik, ditulis dengan tinta jingga, dan berisi undangan untuk menghadiri pesta Halloween tanggal 31 Oktober nanti.

Sedemikian fokusnya ia pada undangan entah dari siapa itu, sampai tidak menyadari si penaruh undangan yang mengulum senyum mengerikan tak begitu jauh dari tempat Sai duduk sekarang.

Lokasi diadakannya pesta membuatnya seperti tercolek listrik: "…Wargrave Manor?"

.

"Ten little, nine little—"

"ASDFGHJKL TEMEEE! Udah dibilangin jangan nyanyi lagu itu tetep aja—"

"Mereka kenapa, sih?" bisik seorang gadis berambut pirang dikuncir tinggi pada gadis lain berambut pink di sebelahnya. Sakura mengangkat bahu pasrah, menyadari dirinya (yang biasa melerai pertengkaran duo rival-tapi-mesra) sudah tidak mampu lagi untuk menjalankan tugasnya. Jadilah ia hanya duduk tidak santai, lanjut membicarakan soal tugas yang dikumpul esok hari dengan Ino.

"—enggak sampai kamu ngasih tau kenapa mendadak takut sama lagu anak kecil, Dobe!" potong Sasuke, ikut kesal juga menghadapi kekeraskepalaan si pirang jabrik. Lawan bicaranya mendesis. "Udah kubilang; kamu kukasih tau juga enggak bakal ngerti maksudnya!" balas Naruto, tidak kalah sengit dari Sasuke. Si bungsu Uchiha mulai mengeluarkan aura suram, tetapi Naruto tetaplah Naruto—ia memilih untuk tidak peduli dan memohon maaf dalam hati pada teman-teman sekelasnya yang berjingkat ngeri. Yah, setidaknya sampai Sasuke berkata, "…mulai kepikiran buat batasi jatah ramenmu, Nar…"

Yang itu baru berhasil menarik perhatian Naruto. "Awas aja kalau berani, Sas!"

Keduanya lanjut tengkar. Ino, berbeda dengan penghuni kelas lain yang berusaha untuk tidak peduli, berkedip heran beberapa kali sebelum nekat menyela, "Tunggu—lagu anak-anak? Sebenarnya ada apa ,sih?!"

Sasuke dan Naruto menatap Ino—yang dasarnya gampang penasaran—dengan kombinasi tatapan dingin dan kesal, sementara sasarannya sendiri merinding dan menyembunyikan wajah di balik buku yang ia ambil asal dari atas meja. Tidak sampai setengah menit kemudian, duo itu pun kembali berdebat tanpa peduli situasi kondisi sekitar.

"Sebenarnya mereka kenapa sih?" bisik Ino lagi. Sakura mendengus keras mendengarnya. "Kau saja tidak tahu apalagi aku?" Mendengarnya, Ino meringis kecil.

"Tadi Sasuke-kun nyanyi Ten Little Indians, 'kan?"

Beruntunglah sepasang sahabat dengan warna rambut 'cukup' mencolok itu tidak memekik ketika mendengar suara yang muncul tiba-tiba di dekat mereka. Kalau tidak, sudah mati gaya keduanya karena menjadi perhatian penghuni kelas yang sedang ramai-ramainya di jam istirahat ini. Si gadis berambut indigo yang menjadi pelaku utama tersenyum tipis. "Maaf, mengangetkan kalian?" ucapnya tanpa dosa, seolah apa yang ia lakukan barusan tidak membuat jantung siapapun nyaris meloncat keluar dari tenggorokan.

"Ten Little Indians? Emangnya kenapa sama lagu itu?" Ini Sakura yang bersuara. Ino masih sibuk menenangkan jantungnya yang bekerja ekstra sambil menghadap dinding kelas.

Hinata masih tersenyum. "Kalau dianalogikan jadi sepuluh orang yang hilang satu per satu…"

Ino, tujuh belas tahun, merasa dirinya harus memeriksakan matanya ke dokter. Karena—

"…lagu itu bisa aja berubah dari 'lagu kekanakan yang ceria' jadi 'lagu kekanakan yang mengerikan', 'kan?"

-sejak kapan seorang Hyuuga Hinata (iya, Hinata yang itu; Hinata yang pemalu tingkat dewa, berada di dekat Naruto saja mukanya sudah seperti kepiting direbus sampai matang ditambahi saus tomat dan seringnya membuat orang gemas ketimbang merinding seperti sekarang) bisa menyeringai menyeramkan seperti itu?

.

"SAI!"

Mendengar namanya dipanggil, si empunya nama yang agak mirip dengan Sasuke itu menoleh. Mata hitamnya menangkap sosok Naruto yang setengah berlari ke arahnya, sementara Sasuke sendiri berjalan di belakang Naruto dengan wajah masam. Di mana ada Naruto, di situ ada Sasuke. Geli sendiri Sai memikirkan frasa barusan.

"Ada apa, Naruto-kun?"

"Si Teme tadi—itu—dia—"

Bulir keringat imajiner menggantung di belakang kepala Sasuke dan Sai dalam waktu bersamaan. Sasuke menghela napas pendek, mengisyaratkan Sai untuk mengambil alih situasi. Raut wajahnya seolah berkata, "Kalau aku yang ngurusin, dia bakal jadi lebih gak jelas dari ini." Dan Sai, sebagai sepupu jauh namun tinggalnya cukup dekat dengan Sasuke, mengemban tugas itu dengan bertanggung jawab. "Tenang dulu, Naruto-kun. Tarik napas dalam-dalam, keluarkan lagi—yak, bagus, benar seperti itu…"

Setelah melihat blonde hiperaktif itu mulai tenang, barulah ia meminta Naruto untuk menjelaskan apa yang ingin ia katakan. Baru saja Naruto akan mulai bercerita ketika Sasuke tiba-tiba berkata, "Apa yang ada di tangan kirimu itu, Sai?"

Naruto bungkam. Matanya menangkap sesuatu yang dimaksud Sasuke; sesuatu yang berusaha disembunyikan Sai namun gagal, karena si bungsu Uchiha sudah terlanjur maju dan merebut kertas hitam dengan skema warna ala Halloween itu. Warna-warna yang, ironisnya, adalah warna favorit Naruto yang takut hantu. Dipandanginya sejenak kartu bertinta jingga dan berhias gambar labu itu sebelum bertanya, "Dari mana kau dapat undangan ini?"

Jeda untuk beberapa waktu, sebelum Sai kembali tersenyum seperti biasa dan menjawab, "Dilihat dari ekspresimu, kelihatannya Sasuke-kun juga dapat undangan seperti ini, ya?"

Kali ini, sepasang mata sewarna safir mengalihkan pandangan pada Sasuke yang berdiri diam dengan sorot mata tajam. Kepala bersurai pirang dimiringkan sedikit. "Kalian juga dapat undangan yang sama?"

Ucapan Naruto barusan terdengar seperti pengumuman mengejutkan di telinga kedua remaja berambut hitam. Staring contest di antara mereka bubar, fokus teralih ke sosok Naruto yang mengeluarkan kertas yang sama persis dengan yang ada di tangan Sasuke sekarang. Hening menyelimuti tanpa izin, sampai Sai memecahkannya dengan berucap, "Sebenarnya sih, bukan diantarkan langsung padaku…"

"Memang siapa bilang kalau undangan ini diantar langsung sama pengirimnya?" sahut Sasuke jutek, yang membuatnya dijitak pelan oleh Naruto (Sasuke hanya mengelus dahinya tanpa berkata apa-apa; Sai, di sisi lain, menyesal tidak sempat mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen barusan). Mengabaikan Sasuke, Sai beralih pada Naruto. "Bagaimana caramu mendapatkannya, Naruto-kun?"

(Sai berusaha sekuat tenaga untuk tetap mengabaikan Sasuke. Berusaha menjadi kata kuncinya, karena geraman yang muncul dari sepupu jauhnya itu berpotensi membuat siapapun yang bukan Kakashi, Itachi, atau orang tua Sasuke sendiri mimpi buruk berhari-hari)

"Eh, ketemunya di laci mejaku. Kukira saah alamat, buat Gaara. Tapi yang namanya ada di sini malah…" Jeda lagi. Si pirang itu kembali memperhatikan nama penerima yang berwarna janggal disbanding warna tulisan lain di kertas hitam. Warnanya terlihat lebih kemerahan, sedikit lebih gelap dari tulisan lainnya. "…malah namaku."

Sai bergumam pelan, sementara Sasuke mendesis kesal. Karena diabaikan, tentu saja. Siapa bilang dia iri karena Naruto memilih mengabaikannya dan lanjut ngobrol dengan Sai tanpa mengajaknya? Tidak sama sekali, terima kasih. Barulah saat Naruto mengulang pertanyaan Sai tetapi ditujukan padanya, raut wajah Sasuke kembali normal (Sai memutuskan diam-diam untuk mentraktir Naruto seporsi ramen ukuran jumbo saat makan siang esok hari di kantin karenanya). "Diselipkan di lokerku. Ketemunya pagi buta waktu dihukum Kakashi supaya datang latihan lebih awal dari yang lain." Mata oniks melirik Sai, kali ini tanpa kekesalan. "Kau sendiri bagaimana, muka datar?"

Yang ditanya hanya tersenyum seperti biasa, tak peduli pada ejekan di akhir pertanyaan. Masih terlalu lega karena ia bukan sasaran kekesalan Sasuke lagi, mungkin. "Kutemukan di dalam buku waktu membaca di perpustakaan. Entah gimana caranya, pengirimnya tahu kalau aku sering baca buku ini tapi belum pernah kupinjam pulang," jawabnya jelas sambil menunjukkan buku yang dimaksud.

Alis pirang bertautan saat melihat sampul buku di tangan Sai. "Kukira kau lebih suka buku tentang seni, Sai. Ternyata maniak misteri juga, toh?"

Sai angkat bahu santai. "Yah, kurang lebih begtulah… Tapi sepertinya aku hanya suka yang ini saja." Pandangannya melunak saat menatap sampul novel misteri yang lumayan lama itu.

Melihat judul yang tidak asing baginya, Sasuke menepuk pelan pundak Naruto. "Oi, Dobe. Lihat judulnya."

"Udah, kok. Emang kena—eh." Kedip satu kali. "Eh." Kedip dua kali, mata Naruto melebar. Barulah saat kedipan yang ketiga, ia berteriak tanpa sadar. Tangan Sasuke melayang otomatis untuk menutupi mulut Naruto sebelum perhatian sempat teralih pada mereka lagi, untuk yang kesekian kalinya dalam sehari ini.

Di tangan Sai yang berjari kurus dan panjang, novel berjudul And Then There Were None memamerkan dirinya pada Sasuke dan Naruto. Seseorang menelan ludah dengan susah payah.


[to be continued]

Bacotan arwah gentayangan:

Um, halo? Ada yang masih ingat saya? /enggakada Uhuk, kalau gitu, perkenalan (lagi). Shinku Tsuu-ki di sini, panggil aja Tsuu atau Shinku (arwah pun boleh sebenarnya). Kalau ada yang ngerasa familiar sama judul fanfic satu ini, selamat, kemungkinan anda pernah baca novelnya Dame Agatha Christie yang twist ending-nya sesuatu sekali itu atau pernah baca fanfic ini sebelum saya hapus.

Sesuai note di atas, ini fanfic saya publish ulang setelah sebelumnya saya delete karena isu tertentu (coughsoalratingMcough). Pertama kali ditulis waktu saya kelas 9 (16 Mei 2012—nyaris empat tahun, uhuk), saya hapus waktu SMA (lupa kapan, tapi yang pasti ini fic udah tamat), dan sekarang saya posting lagi di sini saking pinginnya nulis tapi enggak ada ide. Sama sekali. Damn writer block.

Akhir kata, review/concrit sangat dinanti. Terima kasih sudah membaca (lagi). Sampai ketemu di chapter selanjutnya? (owo)/

~Shinku Tsuu-ki~