"Kau tahu? Karena Ketua Jung gay, kudengar Nyonya Jung memutuskan untuk bercerai dan meninggalkannya bersama Tuan Muda Jaehyun."
"Ah, kasihan sekali Tuan Muda. Di umur segitu ia ditinggalkan oleh Ibunya."
"Tetapi, mau bagaimana lagi?"
"Bahkan kudengar Nyonya Jung tidak mau bertemu lagi dengan Tuan Muda Jaehyun."
"Hmm? Apakah karena Tuan Muda memiliki darah dari Ketua Jung?"
"Sepertinya iya."
Characters ;
- Jung Jaehyun of NCT
- Chittaphon Leechaiyapornkul/Ten of NCT
- Nakamoto Yuta of NCT
Note ; Ini adalah fanfict NCT Boyslove alias BxB alias Yaoi.
WARNING! Kalau tidak suka, tidak perlu membaca. Kalau suka, terimakasih banyak~
Selamat membaca!
Orang-orang selalu mengasihani diriku.
Karena Ibuku pergi meninggalkanku.
Aku yang saat itu masih berumur 7 tahun tidak mengerti apa-apa.
Ketika Ibu mendorong tubuhku, dan menatapku dengan pandangan jijik.
"Aku tidak mau melihat wajahmu ataupun wajah orang itu."
Ia berkata dengan suara dingin.
Tubuhku bergetar bukan main. Air mata mengalir membasahi pipiku.
Wajahku memerah karena terlalu banyak menangis.
Aku bertanya, "Apa salahku? Kenapa Ibu tidak mau bertemu lagi denganku?"
Para pembantu dikediamanku akan terlihat ragu-ragu, kemudian memasang senyuman yang sangat canggung,
"Tuan Muda—Tuan Muda tidak perlu mengerti. Ini masalah orang dewasa."
Mereka selalu menjawab seperti itu setiap aku bertanya.
Aku ingin cepat bertambah umur. Aku ingin cepat dewasa.
Dan ketika umurku sudah bertambah, aku menyesali permohonanku saat itu—
"Kau tahu? Karena Ketua Jung gay, kudengar Nyonya Jung memutuskan untuk bercerai dan meninggalkannya bersama Tuan Muda Jaehyun."
"Ah, kasihan sekali Tuan Muda. Di umur segitu ia ditinggalkan oleh Ibunya."
"Tetapi, mau bagaimana lagi?"
"Bahkan kudengar Nyonya Jung tidak mau bertemu lagi dengan Tuan Muda Jaehyun."
"Hmm? Apakah karena Tuan Muda memiliki darah dari Ketua Jung?"
"Sepertinya iya."
Kenyataan yang menyakitkan.
Aku mendengarkan percakapan beberapa anak buah Ayahku saat aku baru saja kembali dari sekolah.
Hingga detik ini, aku tidak pernah menyalahkan Ayahku. Karena aku yang begitu naif tidak mengerti kenapa Ibuku meninggalkan aku beberapa tahun yang lalu.
Aku menyalahkan Ayah.
Karena Ayah, Ibu memilih untuk pergi.
Hanya satu hal yang terlintas dikepalaku saat itu.
Ayahku menjijikan.
Saat aku menginjak tahun terakhir dimasa SMP-ku, seorang gadis dari kelas sebelah menyatakan perasaannya kepadaku.
Aku tidak tertarik dengan perempuan ini.
Aku tidak tahu namanya.
Menurutku, dia tidak cantik. Namun, banyak temanku yang bilang kalau ia termasuk gadis paling populer di SMP-ku.
Tetapi, aku menyetujui untuk berpacaran dengannya.
Karena apa?
Karena aku tidak akan pernah seperti Ayahku yang menyukai laki-laki.
Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti Ayahku.
Masa-masa terakhir di SMP berakhir dengan cepat.
Hubunganku dengan gadis populer itu tidak bertahan lama.
Ia memergoki aku berselingkuh dengan gadis lainnya dari SMA yang tak jauh dari SMP kami.
"Jung Jaehyun kau brengsek!"
"Bahkan anak SMA saja kau pacari?"
Ia berteriak, lalu menampar wajahku.
Dramatis.
Aku membuang muka, dan pergi meninggalkan gadis tersebut sendirian.
Tidak menarik.
Lalu aku memasuki sebuah SMA yang terletak tidak jauh dari kediamanku.
Saat tahun pertama, aku semakin liar dari sebelumnya.
Aku terus berganti pacar, tidak peduli dengan rumor yang tersebar mengenai diriku.
Tetapi, perempuan selalu datang kepadaku.
Walaupun mereka tahu aku adalah orang yang brengsek.
Waktu berlalu begitu cepat tanpa ada hal yang menarik.
Kebencianku kepada Ayahku tidak berubah.
Keinginanku untuk bertemu dengan Ibuku tidak berubah.
Takdirku untuk menjadi penerus dari Grup Jung tidak berubah.
Tetapi—saat aku menginjak tahun kedua, aku bertemu dengan dia.
Dia.
Kata salahsatu pengikutku dari Grup, namanya adalah Chittaphon Leechaiyapornkul.
Ia lebih sering dipanggil Ten.
Berasal dari Thailand.
Seorang part-timer disalah satu café yang terletak di Kota.
Dia begitu cantik. Bahkan kecantikannya mengalahkan para gadis-gadis yang pernah kupacari selama ini.
Aku menginginkannya.
Aku menginginkan Ten.
.
.
Pada siang itu cuaca memang tidak mendukung.
Aku menengadah, menatap kearah langit yang begitu gelap.
Sepertinya akan turun hujan, pikirku.
Aku melirik jam tangan yang kukenakan dipergelangan tangan kiriku.
Masih ada beberapa jam sampai supirku menjemput.
Aku menghela nafas.
Aku baru saja kabur dari sekolah.
Aku membolos.
Karena berada disekolahan semenjak pagi membuatku suntuk,
Aku memutuskan untuk kabur melalui gerbang depan.
Kenapa aku bisa kabur melalui gerbang depan?
Karena satpam sekolah tidak berani macam-macam denganku—ia tahu posisiku.
Tetapi aku tetap memperlakukannya dengan baik. Terkadang aku memberikannya sebuah donat yang kubeli diperjalanan menuju sekolah karena ia sering 'membantuku'.
Dan sekarang—apa yang akan kulakukan?
Aku memutuskan untuk kabur dari sekolah—namun aku tidak tahu akan berbuat apa.
Hingga tanpa kusadari langit mulai menangis dan membasahi seragamku.
Orang-orang yang berada dijalanan pun segera mencari tempat untuk berlindung.
Beberapa mengeluarkan payung yang mereka bawa dari dalam tas mereka, membukanya—dan berjalan seolah tidak ada hujan pada saat itu.
Aku termasuk dari orang-orang yang mencari tempat perlindungan.
Dan dilubuk hatiku yang terdalam aku berharap bisa menjadi salahsatu dari orang-orang yang membawa payung.
Aku mendengus.
Kalau tidak salah, tadi pagi, para pembantu dirumah mengingatkanku untuk membawa payung karena hari ini diramalkan akan hujan.
Oh?
Apakah mereka tahu aku akan membolos hari ini?
Padahal mereka tidak pernah mengingatkanku untuk membawa payung sebelumnya.
Atau itu merupakan sebuah peringatan—
Hm?
Bau kopi yang enak.
Aku menoleh kebelakangku,
Aku berlindung di teras café.
Apa sebaiknya aku masuk saja?
Aku meraih dompet yang kuletakan di saku belakangku.
Uangku masih banyak.
Dan selalu banyak.
Bibirku sedikit tertarik.
Aku pun memutuskan untuk masuk kedalam café tersebut.
"Selamat datang!"
Aku dapat mendengar sebuah sapaan dari counter café.
Aku tersenyum singkat lalu berjalan kearah counter.
"Mau pesan apa?" Penjaga counter tersebut bertanya.
Aku melirik kearah menu yang terletak diatas counter.
"Satu Meat Pie dan satu Americano."
"Totalnya sebesar 3000 won."
"Kalau begitu harap ditunggu sebentar—pesanan akan diantarkan ke meja anda. Terimakasih banyak!"
Aku pun memilih untuk duduk disebuah meja yang berada didekat jendela.
Pandanganku menerawang ke penjuru café.
Tempatnya bersih. Suasananya nyaman. Para pegawainya juga ramah.
Tidak seperti ;tempat-tempat' yang sering dikunjungi oleh bawahan Ayah yang memiliki hutang kepada Grup Jung.
Sepertinya aku bisa menjadi pengunjung regular disini.
"Permisi, ini pesanan anda—"
Aku mengangkat kepala, menatap kearah pegawai yang membawakan pesananku.
"Oh, terimakasih—"
"Satu Meat pie dan satu Americano, kan? Silahkan dinikmati." Ucapnya seraya tersenyum.
Ah.
Aku menganga.
Mataku melebar.
P, Pegawai barusan—
Cantik sekali!
.
.
Mataku tidak henti-hentinya menatap pegawai yang mengantarkan pesananku.
Tubuhnya slim.
Kulitnya putih.
Wajahnya bersih.
Rambutnya hitam panjang ia biarkan tergerai.
Ia tidak menggunakan make-up yang tebal.
Saat ia lewat didekatku, ia memiliki wangi seperti pelembut pakaian.
Sepertinya ia tidak menggunakan parfume dengan bau mencolok seperti perempuan-perempuan disekolahku.
Aku mengetuk meja didepanku berkali-kali,
Tetapi untuk ukuran seorang gadis—dia tinggi juga ya.
Mungkin ia blasteran? Atau tidak berasal dari sini?
Aku tertarik dengannya.
Aku ingin memilikinya.
.
.
"Dan pada detik itu juga, Tuan Muda Jaehyun dicap sebagai stalker."
"Yuta hyung, mulutmu ini minta aku jahit ya?" Aku memutar bola mata mendengar ucapan bawahan Ayah yang berasal dari Jepang, Nakamoto Yuta.
Yuta terkekeh, "Aku benar-benar terkejut ketika kau datang kepadaku dan meminta untuk dicarikan sebuah informasi mengenai part-timer dari café."
Aku membolak-balik kertas yang berisi mengenai informasi Ten—pegawai yang aku taksir di café.
"Hmm—rupanya ia berasal dari Thailand. Apakah itu alasan kenapa ia begitu tinggi?" Ucapku.
Yuta terlihat kebingungan, "Apa maksudmu?"
Aku menggeleng.
"Apakah akhirnya kau belok?"
Aku mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Yuta.
Yuta yang melihat ekspresiku, hanya tersenyum penuh misteri, "Bukan. Bukan apa-apa."
.
Tbc
.
[ Halo! ーーヽ(*'▽)ノ Akhir-akhir ini aku berfikir untuk menulis fanfiction lagi sambil menulis fanfiction lainnya! Awalnya aku bingung, aku ingin menggunakan pairing siapa ya~? Dan akhirnya aku teringat dengan Jaeten karena aku begitu menyukai mereka berdua saat NCT Life di Chiang Mai! Daaaaan, Tada! (づ ̄ ³ ̄)づ Akhirnya lahirlah fanfiction ini! Awalnya aku ingin membuat plot yang berbeda dari cerita ini, tetapi setelah aku memikirkannya lagi, akhirnya lahirlah plot ini! Oh, tentu saja kalau pembaca menyukai cerita ini jangan lupa untuk review ya! Terimakasih banyak! (⁼̴̀ .̫ ⁼̴́ )✧ ]
