Disclaimer:
Vocaloid © Yamaha
God Only Knows © Alfaribi
Re-edited by Adelia-chan
Genre: Romance/Friendship
Pairing: Len/Rin
Rated: T
Warning(s): Backsound, Typo, Dll.
.
Italic: Tulisan berbahasa asing, ucapan jarak jauh, suara benda/backsound, dll.
Chapter 1
First Meet
Aku Rin, gadis berambut kuning berumur 17 tahun. Memiliki mimpi yang cukup besar akan tetapi pupus begitu saja karena suatu penyakit.
Aku cukup cerdas di kelasku, tetapi aku lemah dalam keadaan fisik. Aku memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat mujarab sekalipun. Seluruh orang yang mengidap penyakit ini mungkin hanya tinggal pasrah dengan keadaan saja. Tetapi aku tidak, aku tetap karena satu alasan, alasan itu adalah aku ingin sekali menyatakan perasaanku kepada seorang lelaki yang selalu melindungiku semasa kecil hingga sekarang. Terkadang aku berpikir, mungkin aku tidak dapat bersama dengannya, tapi aku berdoa kepada Tuhan untuk dapat bersamanya meski hanya sebentar saja. Aku ingin sekali memberi kebahagianku kepada laki-laki itu.
Sekarang aku sudah berkuliah di Universitas International School, dan laki-laki itu juga satu Universitas denganku. Aku mengambil jurusan yang sama seperti dia. Oh ya dia adalah Len. Dia sangat tenang dalam segala hal. Dia cerdas, dia kuat, terkadang aku sangat iri dengannya. Sebenarnya dia dulu tetanggaku, aku sangat dekat dengan dia.
Pertemuan kami berawal saat aku masih berumur 6 tahun, atau waktu itu aku masih kelas 1 SD, kami baru saja pindah ke kota dimana Len juga tinggal di sana. Rumahku samping-sampingan dengan Len, orang tua kami juga sangat akrab.
Pagi itu kelas kami mengadakan acara di taman. Itu sudah biasa bagi kelas kami untuk belajar di luar, saat itu aku berangkat pagi-pagi sekali. Oh ya aku adalah gadis pemalu, jadi aku tidak punya banyak teman, sampai sekarang aku juga tidak punya banyak teman.
Aku kira saat itu hanya aku saja yang berangkat pagi. Aku melihat Len keluar rumah dengan sangat tenang sambil membawa buku kesayangannya. Tiba-tiba saja Ibuku memanggil diriku.
"Rin," panggil Ibuku.
Saat bersamaan Ibunya Len muncul dan menghentikan langkah Len sejenak. Terlihat ibunya Len memasukan bekal makanan kedalam tas Len, sedangkan Ibuku juga memberi bekal kepadaku. Karena aku terburu-buru, aku lupa membawa bekalku.
Setelah itu Ibuku berbincang dengan Ibunya Len.
Aku tidak terlalu ingat apa yang mereka bicarakan, soalnya aku terpaku dengan Len yang baru saja melangkah melewatiku.
Ibunya Len berpesan kepadaku untuk mengawasi Len, karena dia senang membaca buku saat berjalan sekalipun. Buku yang dibaca Len adalah buku Art of War.
Entah mengapa dia membaca buku seperti itu. Aku hanya mengikuti dia dari belakang.
Dalam perjalanan aku selalu memikirkan dia, karena aku khawatir jika dia terlalu fokus melihat buku, dan tidak melihat jalan.
'Bagaimana kalau dia tertabrak' batinku.
Sampai di tempat tujuan tidak terjadi apa-apa. Mungkin Len sudah terbiasa membaca sambil berjalan.
Karena aku selalu sendirian, aku sering menjadi korban jail.
Saat istirahat makan siang tiba, 3 orang anak-anak nakal yang sering menjailiku datang. Mereka mebuka tasku dan mengeluarkan seluruh buku-bukuku. Aku menangis ketakutan saat itu, akan tetapi tidak ada yang mendengar. Mereka juga mengambil bekalku dan membuang isinya.
"Hahahahaha, kau tidak pantas makan," ucap mereka.
"Ke-kenapa kalian kejam padaku? Apa salahku?" tanyaku.
Aku benar-benar putus asa saat itu, hingga Len datang.
"Hey, kenapa kalian hanya berani sama gadis lemah? Jika kau berani hadapi aku," ucap Len.
Mereka ber 3 menghadap ke arah Len.
"Hey, kau mau jadi sok jagoan yah?" tanya mereka.
"Hajar aja bos," salah seorang anak memakai topi hijau.
"Baiklah," ucap bos dari ke 3 anak-anak nakal tersebut.
Aku benar-benar ketakutan, aku menutup mataku dan tidak melihat kejadian tersebut. Aku hanya mendengar teriakan anak-anak yang menjailiku saja.
"Haa, kaau. Awas akan ku balas kau lain waktu," kata bos anak-anak nakal tersebut.
'Sepertinya mereka sudah pergi, tapi aku takut membuka mataku,' batinku.
Lalu seseorang memegang pundakku. Aku tidak membuka mataku, jadi aku tidak tahu siapa yang memegangku saat itu.
"Berhentilah menangis, mereka sudah pergi," ucap Len.
'Itu suara Len,' batinku.
Aku memberanikan membuka mataku.
"Ka-kau tidak apa-apa?" tanyaku.
"Tentu, kau tidak perlu khawatir kepadaku," ucap Len.
Aku merunduk sambil memungut buku yang disebar oleh anak-anak nakal tadi.
Tiba-tiba perutku bunyi.
Kreeek! Suara perut keroncongan.
Aku benar-benar malu sekali saat itu.
"Kkhh, a-ak," ucapku terputus-putus.
Tiba-tiba Len pergi.
'Dia pergi, sekarang dia pikir aku pasti anak yang aneh,' batinku.
Aku menghentikan aktifitasku mengambil buku sejenak.
Tidak terlalu lama Len kembali.
"Ini makan saja bekalku," ucap Len sambil menawarkan bekalnya.
"He?" ucapku spontan.
"Ka-kau tidak makan?" tanyaku lagi.
Dia menyerahkan bekalnya dan juga minumnya kepadaku.
Dia duduk di sampingku sambil membaca buku.
"Aku tidak perlu makan saat ini, hanya ilmu dari bukulah yang aku butuhkan saat ini. Dengan ilmu, aku akan dapat menemukan masa depanku," ucap Len dengan kerennya.
"Jadi, kau makan saja. Dan ini, kau sangat manis. Jadi aku pikir kau akan suka makanan yang manis juga," ucap Len lagi sambil memberikan permen kepadaku.
Aku benar-benar terkejut, sekaligus malu sekali. Wajah dia sangat tenang, selalu tenang dalam segala keadaan. Hatinya juga sangat baik, selalu membela yang lemah sepertiku.
Aku memakan bekalnya sambil menangis, menangis terharu.
"Berhentilah menangis, kau sangat terlihat lemah jika menangis terus," kata Len kepadaku.
"Hhhmm, aku akan berhenti menangis," ucapku sambil menanggukan kepalaku.
Dia tersenyum kepadaku.
Setelah selesai makan aku berbicara padanya.
"Kenapa kau melindungiku tadi?" tanyaku.
"Kau terlihat lemah, seorang pahlawan harus melindungi yang lemah," jawabnya.
"Jadi kau seorang pahlawan?" tanyaku lagi.
"Tidak, aku hanya ingin melindungi yang lemah karena itu prinsipku. Mulai dari sekarang aku akan melindungimu," ucapnya sambil berdiri.
Mendengar ucapan Len hatiku benar-benar terkejut. Dia sangat baik kepadaku, bahkan terlalu baik.
Tapi setelah kejadian itu, Orang tuaku memutuskan untuk pindah tempat tinggal lagi. Aku tidak bertemu dengannya kira-kira sudah selama 11 tahun lamanya. Aku mencari tahu keberadaannya dan juga mencari tahu di mana dia kuliah nanti. Lalu aku memutuskan untuk satu Universitas, dan juga 1 jurusan. Tetapi ini sebuah kebetulan juga, aku dapat 1 kelas dengan dia. Benar-benar bahagia rasanya hatiku dapat melihatnya kembali.
'Dia masih sama seperti dulu, selalu membawa buku tentang strategi perang,' batinku sambil tersenyum ke arahnya.
Universitas ini jauh dari rumahku, dan juga jauh dari rumahnya maka dari itu orang tuaku menyewa apartemen yang berada tidak jauh dari sekolah. Dan baru aku sadari Len juga menyewa apartemen di sana juga. Dia juga menjadi tetanggaku, kamarnya hanya sebelah-sebelahan saja.
Saat aku berada di kelas.
Aku menghampirinya dan bertanya.
"Namamu Len kan?" tanyaku.
Dia melihatku dengan tenang. Tetapi tidak menjawab pertanyaanku.
"Apa aku boleh duduk di sampingmu?" tanyaku lagi.
Kali ini dia menjawab.
"Tentu, kenapa tidak," jawab Len.
Lalu aku duduk di sampingnya.
Kami cukup hening seketika hingga dia membuka pertanyaan.
"Mengapa kau tahu namaku?" tanya Len.
'Mungkin dia lupa padaku,' pikirku.
"Haaa, kau cukup terkenal bukan? Aku yakin semua orang sudah kenal padamu," jawabku.
Memang benar, meski ini awal smester kami memasuki bangku kuliahan, Len sudah jauh terkenal bahkan sebelum dia masuk kesekolah ini. Nilainya sangat baik hingga dia mendapat beasiswa. Dia juga ahli dalam seni drama, dan juga beladiri. Bukan cuma itu saja, aku juga mendengar dia juara dalam turnamen catur International.
"Oh, kau benar, aku sudah cukup dikenal," ucapnya lalu kembali membaca buku.
"Apa kau kenal gadis yang kira-kira mungkin 11 tahun yang lalu. Yang pernah kau tolong sebelumnya dari anak-anak nakal?" tanyaku sambil menunduk.
Dia terdiam sejenak.
"Hhhmm, 11 tahun yang lalu ya," katanya.
"Maaf, sepertinya aku sudah lupa," jawabnya.
Jawaban yang benar-benar membuat hatiku sakit sekali, dalam sisi lain aku berfikir bagaimana dia bisa lupa tentang kejadian itu, aku saja tidak pernah melupakan kejadian itu. Tapi di sisi lain aku menyadari wajar saja kalau dia lupa.
"Ohh, hahahaha. Mungkin aku salah orang," ucapku.
Setelah itu ada seorang gadis berambut hijau pendek memanggil Len.
"Len!" sapa gadis itu.
Len sepertinya terusik dengan gadis itu.
"Ada apa?" tanya Len.
"Kenapa kau dingin sekali? Aku hanya meminta-" ucapannya terpotong.
Len langsung memberikan sebuah lembaran.
"Terima kasih sayang," ucap gadis itu lalu pergi.
'Sayang? Apa itu pacar Len?' batinku.
Setelah kejadian itu, hatiku benar-benar sakit sekali. Aku memberanikan diri untuk bertanya identitas gadis itu.
"H-hmm.. apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanyaku.
"Gumi Megpoid, dia kakak kelas kita, hanya tinggal 5 smester lagi dia lulus," jawab Len lalu pergi.
Sepertinya pertanyaanku mengusik dia.
Hari ini pelajaran berjalan seperti biasanya, karena besok sekolah libur karena tanggal merah, aku berencana setelah pulang sekolah ingin ke Rumah Sakit untuk memeriksa keadaanku.
Pukul 5.30 sore.
Tapi hari ini tidak secerah dugaanku sebelumnya. Hujan turun sangat deras seakan dia tidak memperbolehkanku pergi kemana-mana.
Sialnya aku lupa membawa payungku, karena mengira hari ini tidak akan hujan. Memang apartemenku tidak terlalu jauh dari kampus ini, akan tetapi fisikku terlalu lemah. Jika aku kehujanan, aku bisa sakit. Terpaksa aku menunggu hujan reda.
Sekarang pukul 6.30, hujan belum juga berhenti.
"Mengapa hujannya deras sekali. Aku tidak bisa pulang jika begini terus," ucapku.
Tanpaku sadari ada seseorang yang dari tadi memperhatikanku. Aku tidak berani memandang balik mereka.
Sekarang puku 7.00 tepat, langit semakin gelap. Ruangan di tempat aku menunggu juga sudah sangat sepi sekali, dan hujan juga masih sangat deras. Aku benar-benar ketakutan karena aku merasakan seperti ada yang menatapku.
'Seperti ada yang memperhatikanku, tapi siapa?' batinku.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tetapi tidak ada siapapun di sana.
Aku mencoba menghapus paranoidku dengan mendengarkan musik. Aku pasang earphone ketelingaku, lalu ku dengarkan lagu kesukaanku dengan volume yang tinggi, agar paranoidku hilang.
Tidak berselang lama, muncul 3 orang laki-laki mendekatiku dari arah kanan. Aku menyadari itu, dan aku pikir mereka hanya ingin lewat saja. Akan tetapi mereka malah berhenti di depanku dan menggodaku.
"Hallo gadis manis," ucap mereka.
Aku menundukan kepalaku, dan tidak menjawab sapaan mereka.
"Hey jangan begitulah," ucap seorang yang menggunakan jaket putih, sambil mencolek daguku.
"Khh, ka-kalian tidak sopan!" kataku.
"Haa? Sepertinya kau gadis yang lugu, sini ikut denganku," ucap laki-laki yang baru saja mencolekku tadi.
"Ti-tidak, aku di sini saja," kataku.
"Di sini banyak hantunya loh," ucap pria berbadan kekar.
'Yaa, memang banyak hantunya. Kalian hantunya,' batinku.
"Ayolaah," ucap seorang yang menggunakan sweater hitam.
Aku hanya terdiam.
Tapi lama kelamaan mereka semakin brutal. Aku ditariknya, mulutku juga ditutup mereka agar aku tidak dapat berteriak.
"Heeh, kalian mau apakan aku, le-lepas-" ucapku terputus karena mereka menutup mulutku.
"Diam, kami akan merawatmu," ucap laki-laki yang menggunakan sweater hitam itu.
Aku ditariknya ke tempat yang cukup gelap, kali ini aku benar-benar pasrah sekali. Tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat familiar.
"Hey, lagi-lagi kalian. Lepaskan gadis itu," ucap seorang yang baru saja tiba.
"Haa, kau berkata seperti itu seperti kau mengenal kami saja," seorang dari anak-anak nakal tadi yang tidak aku ketahui.
Karena aku ketakutan, aku hanya menutup mataku.
Tetapi aku menjadi sangat ketakutan, karena aku mendegar suara perkelahian, kali ini aku berusaha membuka mataku tapi aku tidak punya keberanian, tidak berselang lama aku tidak sadarkan diri.
Saat aku terbangun aku sedang berada di sebuah ruangan, ruangan ini mirip seperti ruangan yang berada di rumah sakit. Samar-samar aku melihat seorang pria berada di sampingku.
Dia berkata, "Kau tenang saja, kau aman sekarang."
Lalu aku kembali tidak sadarkan diri.
.
Sementara itu.
"Kau, ini mirip seperti kejadian 11 tahun yang lalu bukan? Di mana aku menyelamatkanmu lagi," ucap pria itu.
.
Saat aku tersadar kembali, aku sudah berada di sebuah ruangan VIP.
'Haaa? VIP? A-aku tidak sanggup membayar pengobatan disini,' batinku.
"Kau tidak perlu khawatir, biaya sudahku bayarkan. Kau istirahat saja," ucap seseorang di sampingku.
Aku tidak menyadari kalau ada seseorang di sampingku.
Aku menoleh kearah sumber suara, "L-Len?"
"Yo, ada apa?" tanya Len.
Len menungguku sadar sambil membaca buku kesukaannya. Aku benar-benar senang karena saat itu Len yang menolongku.
"Aku menemukanmu tergeletak di koridor bersimpah cairan yang tak tentu," ucap Len.
'Haa? Jadi yang tadi itu hanya mimpi. La-lalu aku?' batinku.
Lalu aku menunduk ingin menangis.
"Aku hanya bercanda. Aku menghabisi mereka semua," kata Len sambil mengelus kepalaku.
"K-kau membuatku-, ehm-"
"Takut?" tanya Len.
Aku hanya menunduk.
"Aku heran, mengapa kau tidak menatapku saat berbicara padaku?" tanya Len.
Aku meliriknya sesaat, lalu kembali menunduk.
"Ti-tidak apa-apa. Ini kebiasaan," jawabku.
"Hooh," katanya singkat.
"K-kau sangat kuat Len," ucapku sambil memberanikan diri menatap Len.
"Kuat? Tidak juga," kata Len membalas kalimatku.
"Kau sangat kuat, bahkan aku sangat takut jika berbicara denganmu," ucapku.
"Heemm, jadi sekarang kau tidak takut?" tanya Len.
"Ha-ehhh. Hhmmm," aku kehabisan kata-kata.
"Kalau begitu, aku pergi dulu sebentar," ucap Len sambil berdiri.
'Pergi? Padahal aku baru saja memberanikan diri berbicara padamu,' batinku.
"Tenang saja, aku akan kembali nanti, sambil membawa makanan untukmu. Saat itu kau boleh berbicara banyak padaku," ucap Len lalu pergi.
Aku bingung, sepertinya Len dapat membaca pikiranku.
Tidak berselang lama dokter masuk menemuiku, lalu dia segera memeriksa keadaanku. Dia mengatakan aku bisa pulang besok. Sebelum dia pergi aku bertanya sesuatu kepadanya.
"Dokter, kau tahu penyakitku kan?" tanyaku.
Dia menghentikan langkahnya, lalu kembali kearahku.
"Kau yang sabar, aku tahu perasaanmu sekarang ini," ucap Dokter tersebut.
"Ti-tidak masalah Dokter, berapa lama lagi aku dapat bertahan?" tanyaku.
Aku tidak pernah menyalahkan diriku yang terlahir dalam keadaan seperti ini. Bahkan aku mensyukuri ini. Aku sudah di vonis tidak akan bertahan hidup sampai umur 15 tahun. Tapi aku dapat bertahan sampai sekarang. Mungkin Tuhan akan menjemputku jika aku sudah selesai mengucapkan isi hatiku pada Len. Entahlah.
Dokter itu memberikan amplop putih kepadaku.
"Ini hasil tes yang kemarin, aku harap kau tetap tenang," ucap Dokter tersebut sambil menyerahkan amplop itu padaku.
Aku membukanya, seperti yang sudah aku duga. Aku tidak akan dapat bertahan lama.
"Dokter, aku mohon. Seandainya jika aku dibawa kemari lagi karena penyakitku ini. Jangan beritahu berita sesungguhnya pada lelaki yang membawaku kemarin," pintaku pada Dokter tersebut.
"Kau tau, pihak keluarga harus mengetahui ini. Meski dia seorang teman," ucap Dokter itu sepertinya tidak setuju dengan permintaanku.
"Aku mohon, biarkan waktu yang memberitahukan ini pada mereka," pintaku lagi.
Dokter itu menghela napasnya.
"Baiklah," ucap Dokter mengiyakan permintaanku.
Aku tersenyum.
"Jaga dirimu baik-baiknya, kau juga harus banyak makan agar kau lekas sembuh," Dokter itu berkata lalu pergi.
Aku sudah merahasiakan penyakit ini dari orang tuaku juga. Aku mengetahui penyakit ini saat aku berumur 14 tahun. Saat itu Dokter yang menanganiku sangat kebingungan. Aku berkata padanya, agar tidak memberi tahu ini kepada orang tuaku.
Aku mengatakan hal yang sama pada dokter itu, Biar waktu yang memberitahukan ini pada mereka.
3 jam berlalu dan akhirnya Len datang keruanganku. Dia menemui Dokter sebelumnya, dia berkata padaku bahwa menaruh curiga kepada Dokter tersebut. Aku hanya tertawa.
Aku memberi tahu dia kalau aku dapat pulang besok, Len hanya tersenyum.
Saat sedang asik-asiknya berbicara, aku memberanikan diri untuk menanyakan status Gumi.
"Ehm Len, Gumi-" ucapanku terpotong.
"Iya tentu, Gumi. Dia adalah gadisku. Tapi-" Len berhenti berkata.
"Tapi?" tanyaku.
"Jadi siapa namamu tadi?" tanya Len.
"Hee? Dari tadi kau tidak tahu namaku?" aku berbalik bertanya.
"Iya, hahahahaha," jawabnya sambil tertawa.
Aku tahu itu hanya untuk mengalihkan pembicaraan. Aku sangat sedih saat mengetahui Gumi benar-benar pacarnya.
"Kan biasanya di bawah tempat tidur ini terdapat nama pasien," ucapku.
"Hhhmm, sebentar aku cek," katanya.
Lalu dia mengecek.
"Mrs X, oh jadi itu namamu. Nama yang bagus," ejek Len.
"Heeee?" kataku.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan mengecek sendiri.
"Hahahahahaha," Len tertawa.
Aku mengecek, dan yang tertulis di sana adalah Rin.
"K-kau menipuku!" teriakku.
"Maaf, tapi setidaknya kau sekarang menatap wajahku," ucapnya.
Mataku dan matanya saling tatap menatap. Itu terjadi cukup lama.
Aku menundukan kepalaku lagi.
"Kau ini," kataku dengan wajah memerah.
Len hanya tersenyum.
Hari itu berlalu sangatlah cepat, rasanya aku ingin menghentikan waktu untuk berbicara banyak dengannya. Akan tetapi aku hanyalah gadis biasa. Tidak dapat menghentikan waktu.
Keesokannya Len menjemputku dan mengantarkanku pulang ke apartemenku. Dia terkejut karena kami satu apartemen. Aku sudah mengetahui sebelumnya, akan tetapi aku juga berpura-pura terkejut.
"Jadi kita sebelah-sebelahan saja," ucap Len.
"Sepertinya begitu," kataku.
"Baiklah, aku akan sering menemuimu, karena sepertinya kau tipe orang yang enak diajak berbicara," kata Len sambil tersenyum kepadaku.
Aku terdiam dengan wajah memerah. Aku sangat senang dia berkata seperti itu, sampai aku kehabisan kata-kata.
Setelah berbincang sedikit, kami berpisah dan masuk ke kamar kami masing-masing.
Aku menuliskan seluruh kejadian yang terjadi dari hari kemarin sampai hari ini di dalam diaryku. Aku sangat senang, suatu saat akan ku tunjukan diaryku kepada Len. Agar dia dapat mengenang masa-masa aku saat bersama dirinya saat aku pergi dari dunia ini.
'Kali ini, akan ku pastikan kau tidak melupakan hal demi hal yang kita lalui Len,' batinku.
.
.
.
To be continued...
A/N: Mohon review-nya.
.
.
Next Chapter: Lied and the Truth.
