Disclaimer : Naruto – Masashi Kishimoto
Pairing : NaruFemSasu
Rated : T
Warning : Gender bender, OOC, Typos, Alur kecepatan dan lainnya
Summary : Pria yang mengganggap file-file jauh lebih penting daripada kekasihnya sendiri, pria yang menganggap jika kencan itu sesuatu yang konyol. Pria yang terlalu sibuk bekerja dan menelantarkan kekasihnya sendiri. Membiarkan kekasihnya menghabiskan Sabtu malam sendirian. Dan itulah Naruto. Kaku dan terlalu serius, tapi Sasuke, entah kenapa begitu mencintai pemuda itu.
Dinner
By
Sentimental Aquamarine
Sasuke sedang menyesap mocca-nya sambil memandang foto seorang pemuda berambut pirang yang menjadi wallpaper di ponselnya. Sasuke memandang foto itu dengan tajam. "Kau benar-benar menyebalkan." geram Sasuke. Gadis cantik berambut hitam tersebut menghela nafas berat kemudian membenamkan kepalanya di meja.
"Ada apa denganmu, Sasu-chan?" tanya seorang pemuda yang baru masuk ke dalam dapur tempat Sasuke berada sekarang. "Jangan menggangguku saat ini, Aniki." ucap Sasuke. "Siapa yang ingin mengganggumu?" tanya pemuda yang ternyata adalah kakak laki-laki Sasuke.
Sasuke mengangkat kepala kemudian menatap sang kakak. "Biar kutebak, ini pasti tentang Naruto?" tanya Itachi. Sasuke mengangguk lemah. "Kau gagal mengajaknya berkencan lagi?" tanya Itachi yang dibalas anggukan oleh Sasuke lagi. Tiba-tiba Itachi tertawa membuat Sasuke geram dan melemparkan apel yang terletak di keranjang buah kearah kakaknya itu, tapi, dengan sigap Itachi mampu menangkapnya.
Sasuke mendengus sebal karena lemparannya tak berhasil mengenai sang kakak. Itachi tengah mengunyah apel yang dilemparkan adik perempuannya kemudian mendudukkan dirinya di kursi. "Sekarang ceritakan padaku, alasan apalagi yang dikatakan Naruto untuk menolak berkencan denganmu?" tanya Itachi kemudian menggigit apel merah itu lagi.
#Flashback
Sasuke sedang mengendarai mobilnya menuju kantor kekasihnya, Naruto. Ya, kau benar. Namikaze Naruto, pemuda tampan berkulit tan. Pengusaha muda yang sangat digila oleh wanita-wanita itu adalah kekasih seorang Uchiha Sasuke. Betapa beruntungnya Sasuke bisa mendapatkan si putra tunggal Minato dan Khusina itu. Mobil Sasuke sudah terparkir dengan rapi di parkiran gedung Namikaze Corp. Sasuke keluar dari dalam mobil, melangkahkan kakinya menuju gedung pencakar langit yang berada dihadapannya.
Sasuke berada di dalam lift, menekan angka 10 yang akan membawanya ke lantai tempat ruang kerja kekasih pirangnya itu. Pintu lift terbuka, itu berarti dia sudah sampai di lantai 10. Dengan santai Sasuke keluar dari lift kemudian melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang bertulis 'Presiden Direktur' di pintunya.
Ceklek!
Sasuke membuka pintu dihadapannya dengan perlahan, melihat sang kekasih yang sedang sibuk dengan berkas-berkas yang berantakan di meja kerjanya. Jari-jarinya pun tampak asyik menari-nari diatas keyboard. Sasuke menatap kekasihnya tersebut.
'Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku' batin Sasuke
Kaki jenjang milik Sasuke itu melangkah mendekati Naruto dan memeluk pemuda itu dari belakang. Tanpa melihat siapa yang berani memeluknya seperti itu, Naruto sudah tahu siapa pelakunya. Pemuda yang berstatus sebagai Presiden Direktur Namikaze Corp itu masih terus berkutat dengan laptop orange miliknya membuat gadis yang tengah memelukknya memasang wajah kesal.
"Ck! Kau menyebalkan Naruto." ucap Sasuke seraya melepaskan pelukannya dari leher sang kekasih.
Sasuke melangkahkan kakinya menuju kursi yang berada persis dihadapan meja kerja Naruto. Gadis Uchiha itu mendudukan dirinya dengan kasar di sofa berwarna merah maroon itu. Memandang tajam kearah sang kekasih, tapi yang dipandang hanya cuek saja. Sekan tak peduli dengan tatapan maut dari putri bungsu Fugaku itu.
"Dobe." panggil Sasuke
"….."
"Dobe."
"….."
"Naruto!"
"Ada apa Suke?" tanya Naruto dengan tampang tidak bersalahnya. Melihat kearah Sasuke sekilas kemudian kembali menatap layar laptopnya.
Sasuke bangkit dari posisi duduknya kemudian melangkah ke meja kerja Naruto, merebut paksa laptop milik kekasihnya itu kemudian menaruhnya diatas kursi. Menjauhkan benda laknat itu dari jangkauan sang kekasih.
"Apa yang kau lakukan, Suke?" tanya Naruto kesal pada gadis dihadapannya itu.
"Aku hanya melakukan sesuatu yang menurutku benar." timpal Sasuke.
Naruto menyandarkan punggungnya disandaran kursi kemudian menatap Sasuke datar. Jika kekasihnya datang berkunjung ke kantornya pasti ada sesuatu yang diinginkan kekasihnya itu.
"Kenapa kau datang ke kantorku, Suke?" tanya Naruto masih dengan memandang Sasuke.
"Kenapa? Kau tidak suka aku datang ke kantormu?" tanya Sasuke sinis.
"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."
"Aku ingin kita berkencan malam ini." ucap Sasuke to the point.
"I can't."
"Why?"
"I'm busy and you know that."
Sasuke mendengus kasar. "Omong kosong." ucap Sasuke. "Kau selalu saja sibuk dengan perkerjaanmu itu dan tidak ada waktu untukku." Ucap Sasuke lagi.
"….."
"Kau bahkan mengacuhkanku saat aku datang."
"….."
"Kekasih macam apa itu?"
"Kau kekanakan Sasuke."
"Apa?"
"Kau tahu posisiku di perusahaan ini, seharusnya kau mengerti akan tugas dan tanggung jawabku Sasuke." ucap Naruto pelan.
"….."
"Aku sibuk. Banyak file yang harus aku pelajari dan aku tidak punya waktu untuk sekadar berkencan denganmu." ucap Naruto memberikan penjelasan.
Sasuke menatap datar pemuda dihadapannya. Tangannya terkepal erat. Walau Naruto berucap sangat lembut tapi entah kenapa hatinya terasa sakit. Apalagi saat mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari bibi pemuda tan itu.
Tak punya waktu untuk sekadar berkencan denganku? Apa begitu sibuknya kau sampai untuk berkencan saja kau tidak bisa, dobe? Brengsek, raung Sasuke dalam hati.
"Hn." gumam Sasuke tak jelas setelah sekian lama terdiam.
Gadis itu berbalik, melangkah kearah sofa dan menyambar tas jinjingnya kemudian berlalu pergi meninggalkan ruang kerja Naruto. Sedangkan Naruto, pemuda itu hanya menatap kepergian sang kekasih dalam diam.
#Flashback end
Itachi mengangguk paham setelah mendengar cerita dari adik perempuannya itu. Putra sulung keluarga Uchiha itu beranjak dari balik pantry, mengacak rambut Sasuke sejenak yang tentu saja mendapat delikan tajam dari yang bersangkutan.
"Bersabarlah, imouto. Berpacaran dengan eksekutif muda seperti Naruto itu memang tidak mudah. Tapi, aku akan memastikan satu hal." ucap Itachi
"Apa?" tanya Sasuke
"Aku…. orang pertama yang akan menghajarnya jika berani mempermainkan adik tercintaku." janji Itachi seraya menyentil hidung mancung Sasuke.
"Jangan macam-macam." ucap Sasuke tajam.
"Tenang saja, aku tidak akan melakukan hal itu jika kekasih pirangmu itu menepati janjinya padaku."
"Janji apa?"
Itachi mengangkat bahunya tanda tak tahu. "Janji apa yang kau maksud aniki?" tanya Sasuke penasaran.
Itachi tak menggubris pertanyaan Sasuke, pemuda itu malah melenggang pergi meninggalkan Sasuke yang masih terus berteriak memanggil-manggil namanya.
.
.
.
.
.
.
Sasuke mengetuk-ngetuk meja kayu itu dengan jari telunjuknya. Sesekali diliriknya ponsel yang tergeletak disudut meja itu. Sasuke berdecak sebal, sudah 1 jam yang lalu dia mengirim pesan untuk Naruto tapi sampai sekarang pun kekasihnya itu belum juga membalas pesannya. Sasuke menghela nafas berat, kemudian menyandarkan punggungnya kesandaran kursi. Gadis itu memejamkan matanya sejenak, mendadak kepalanya terasa sakit. Menghadapi kekasih macam Naruto itu sangat melelahkan.
Pria yang mengganggap file-file jauh lebih penting daripada kekasihnya sendiri, pria yang menganggap jika kencan itu sesuatu yang konyol. Pria yang terlalu sibuk bekerja dan menelantarkan kekasihnya sendiri. Membiarkan kekasihnya menghabiskan Sabtu malam sendirian. Sasuke menelungkupkan wajahnya diatas meja.
"Kenapa aku bisa menyukai pria sepertinya?" tanyanya entah pada siapa
Naruto melangkah penuh wibawa menuju ruang kerjanya. Pemuda itu baru saja menghadiri rapat bersama para karyawannya, membahas tentang kerja sama perusahaan yang ia pimpin dengan perusahaan milik keluarga Hyuuga. Pemuda itu meraih handle pintu dan membukanya pintu dihadapannya. Naruto melangkah menuju meja kerjanya, tangan berkulit tan itu mengambil ponsel yang terletak diatas meja.
Naruto mengernyitkan alisnya. Dilayar ponselnya itu tertulis 10 massages. Naruto membuka pesan itu. Pesan dari Sasuke, kekasihnya. Pesan itu berisi tentang Sasuke yang menanyakan keadaannya, apa dia sudah makan atau belum dan tentunya ajakan kencan dari gadis itu. Naruto sepertinya tidak berniat untuk membalas pesan dari Sasuke itu, terbukti dari pemuda itu yang kembali menaruh ponselnya diatas meja kemudian melangkah menuju pantry yang terletak disudut ruang kerjanya. Membuat kopi.
Sasuke melangkah anggun disepanjang lobi perusahaan milik keluarganya. Wajah cantiknya menarik para pria untuk memandang kearahnya penuh kagum. Sasuke yang menyadari hal itu hanya menyeringai tipis. Sasuke bergegas masuk ke dalam lift kemudian menghilang dibalik pintu lift yang mulai menutup.
"Berhenti memandanginya seperti itu, Suigetsu. Kau akan dipecat Fugaku-sama jika ketahuan memandangi putrinya dengan tatapan mesum-mu itu." ujar seorang gadis berkacamata pada seorang pemuda bernama Suigetsu itu.
"Dia terlalu mempesona, terlalu sayang untuk dilewatkan."
Gadis berkacamata tersebut memukul kepala pemuda disampingnya dengan buku. "Hilangkan pikiran kotormu bersama Sasuke-sama itu. Sekarang ayo pergi! Masih banyak hal yang harus kita selesaikan. Aku tidak mau Fugaku-sama memberiku ultimatum karena kau tidak fokus bekerja."
"Baiklah, baiklah. Dasar cerewet."
Sasuke melangkah keluar setelah lift yang membawanya ke lantai 15 terbuka. Gadis itu berjalan santai, dan sebuah senyum terkembang saat ia sudah sampai di depan sebuah ruangan. Tangan gadis itu terulur, meraih handle pintu.
"Tou-san!" serunya lantang
"Ketuklah pintu sebelum kau masuk, Suke." ujar Fugaku
"Hehehe, gomen." ucap Sasuke kemudian melangkah kearah sang ayah dan memberi kecupan singkat di pipi pria paruh baya itu.
"Dasar tidak sopan." ucap Fugaku seraya mengacak-acak rambut sang putri membuat yang bersangkutan bereaksi. "Kenapa putri ayah yang suka sekali tomat ini, berkunjung kemari?" tanya Fugaku.
"Apa aku tidak boleh datang berkunjung?"
"Tentu saja boleh, hanya saja tidak seperti biasanya kau datang dijam mengajar seperti ini. Apa kau sudah selesai mengajar?"
"Aku tidak ada jadwal mengajar hari ini, tou-san." jawabnya
Sasuke adalah guru disalah satu taman kanak-kanak di Tokyo. Awalnya keputusannya menjadi guru ini mendapat tentangan keras dari sang ayah, karena Fugaku berharap Sasuke dapat membantu Itachi menjalankan perusahaannya. Mengingat dia sudah semakin tua. Karena perbedaan pendapat ini, hubungan keduanya sempat renggang. Sasuke memilih untuk menyewa apartemen dan tidak akan kembali ke rumah jika sang ayah masih bersikeras untuk tidak merestui keputusannya dan tetap menyuruhnya menjalankan perusahaan turun temurun itu. Dua bulan tidak saling bertemu dan memberi kabar, akhirnya hati Fugaku luluh. Pria paruh baya itu tidak kuat juga dijauhi oleh putri satu-satunya itu.
Fugaku melirik alroji yang melingkar manis dipergelangan tangannya. Sudah waktunya jam makan siang. "Kau sudah makan siang, Suke?" tanya Fugaku yang dibalas gelengan kepala oleh sang putri. "Kalau begitu, ayo kita makan siang. Tou-san yang teraktir."
"Benarkah?" tanya Sasuke sedikit tidak percaya. "Tentu saja benar, kau tidak percaya pada tou-san?"
"Bukan tidak percaya, hanya saja terakhir kali tou-san mengajakku makan bersama, aku hampir kehilangan seluruh gajiku." ceritanya.
Fugaku tertawa mendengar penuturan sang putri, dia jadi ingat waktu itu. Saat dia makan siang bersama putrinya tapi ditengah acara makan siang bersama itu, dia mendapat telepon bahwa salah satu kolega bisnisnya datang berkunjung ke kantornya. Jadilah, ia meninggalkan putrinya disana tanpa membayar makanan itu terlebih dahulu dan itu membuat sang putri murka.
"Kali ini, tou-san janji hal seperti itu tidak akan terulang lagi." ujar Fugaku. "Baiklah. Ayo kita pergi." ajak Sasuke seraya menggandeng lengan sang ayah dan keluar dari ruang kerja itu.
.
.
.
.
.
.
Pagi-pagi sekali Sasuke sudah ada di rumah kediaman Namikaze, membuat Kushina selaku nyonya besar dikediaman itu memekik senang. "Kau kemana saja, Sasu-chan? Kenapa jarang datang berkunjung? Apa kau tidak tahu, bibi sangat merindukanmu?"
Sekarang mereka berdua sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan untuk kedua anggota keluarga Namikaze yang lain. "Maaf, bi. Tahun ajaran sudah hampir selesai, jadi para guru tengah sibuk mempersiapkan materi ujian, begitu juga denganku."
"Ya sudah tidak apa-apa, yang terpenting kau sudah ada disini sekarang. Dan rindu bibi sudah terobati." ucap Kushina seraya memeluk gadis raven itu.
Ditengah acara melepas rindu ala Kushina dan Sasuke itu, Naruto dan sang ayah muncul. "Suke." Panggil Naruto cukup terkejut mendapati Sasuke ada dirumahnya sepagi ini. Sasuke dan Kushina saling melepaskan pelukan mereka. Sasuke menatap Naruto sekilas kemudian mengucapkan selamat pagi kepada Minato dan membungkukan badannya sedikit.
"Ohayou jii-san."
"Ohayou Sasu-chan." ujar Minato kemudian tersenyum
Sasuke dan Naruto sudah menyelesaikan sarapan mereka dan meminta ijin untuk berangkat. Selepas kepergian kedua sepasang kekasih itu, Kushina berucap. "Kau lihat itu anata, mereka berdua serasi sekali bukan? Bagaimana kalau kita nikahkan saja mereka secepatnya, aku rasa keluarga Uchiha pasti juga setuju."
"Biarkan mereka berdua yang memutuskannya, koi. Kita tidak perlu terlalu mencampuri percintaan anak-anak kita, bukan?" timpal Minato
Sasuke hanya diam saja disepanjang perjalanan mereka, begitu juga dengan Naruto. Sejak di kediaman Namikaze tadi, Naruto sama sekali tidak mengatakan apapun. Pemuda itu hanya diam dan seakan tidak menyukai keberadaan Sasuke. Gadis itu melirik kearah Naruto yang tengah fokus mengemudikan mobilnya, mereka sedang diperjalanan menuju tempat Sasuke mengajar.
"Kau...tidak suka aku datang berkunjung ya?" tanya Sasuke, menyuarakan pemikirannya sejak kepergian mereka dari kediaman Namikaze itu pada Naruto. Tapi, sepertinya putra Minato itu tidak berniat untuk menjawab pertanyaan dari Sasuke.
"Kita sudah sampai, turunlah." ucap Naruto datar
Sasuke menatap keluar jendela mobil, bangunan sekolah berstandart internasional terlihat jelas dimatanya. Gadis itu menghela napas. "Terima kasih sudah mengantarku. Hati-hati dijalan, Naruto." ucapnya seraya membuka pintu mobil dan berjalan masuk ke dalam sekolah tempatnya mengajar, tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Beberapa menit, Naruto hanya diam memandang punggung Sasuke yang mulai menghilang. Pandangannya datar, tangannya meremas kuat kemudi setir mobilnya. Dan beberapa detik setelahnya, Naruto menekan pedal gas dan melajukan mobilnya, membelah jalanan kota metropolitan Tokyo.
Jam menunjukan pukul 11 siang, Sasuke baru saja selesai mengajar di kelas Himawari. Kelas dengan predikat murid nakal. Masih kecil saja sudah senakal itu, bagaimana kalau sudah besar nanti, begitu pikir Sasuke. Sasuke melangkah menuju ruang guru, disana sudah ada beberapa guru muda sepertinya. "Suke!" panggil seorang guru muda berambut merah muda.
Sasuke meletakan barang-barangnya diatas meja kerja miliknya, kemudian melirik kearah guru muda itu. "Ada apa Sakura?" tanyanya pada guru bernama Sakura itu. "Ayo makan siang bersama." ajak Sakura.
Sasuke mengernyitkan dahi heran, tumben sekali sahabat sekaligus rekan seprofesinya ini mengajaknya makan siang bersama. "Dalam rangka apa kau mengajakku makan siang bersamamu, Sakura?" tanya Sasuke.
Sakura hanya terkikik sendiri kemudian menyeret gadis raven itu keluar dari ruang guru. "Jangan menyeretku seperti ini Sakura." ucap Sasuke seraya menyambar tas miliknya. Kedua gadis itu kemudian melangkah menuju tempat parkir dimana mobil Sakura berada, kemudian pergi menuju restaurant terdekat.
Tok.. tok..
Suara ketukan pintu terdengar di telinga Naruto. "Masuk." Serunya. Sosok yang sangat ia kenali muncul dari balik pintu. "Tou-san." ucap Naruto, heran melihat ayahnya berada di kantornya. Minato melangkah masuk dan duduk disalah satu kursi kosong dihadapan meja kerja putra semata wayangnya.
"Ini sudah jam makan siang, kenapa kau masih berada di kantor?" tanya Minato sembari
"Ada beberapa file yang harus aku periksa, tou-san."
"File itu bisa menunggu, Naruto. Makanlah, kau bisa sakit jika terlambat makan siang terus." ujar Minato mengingatkan putranya itu. Naruto menghela napas lelah, tidak mungkin ia membantah perkataan ayahnya.
"Baiklah, aku akan memesan makanan untuk kita berdua." ucap Naruto lalu mengangkat gagang telepon dan menekan tombol angka disana.
Sasuke meraih sendok dan garpu setelah makanan yang ia dan Sakura pesan sudah datang. "Lalu, acara traktir ini dalam rangka apa?" tanya Sasuke. Sakura terkikik. Sasuke mengerlingkan matanya bosan. "Berhentilah tertawa tidak jelas begitu. Kau seperti gadis gila."
Sakura berhenti tertawa kemudian memanyunkan bibirnya tanda kesal. Sedikit tersinggung akan perkataan gadis yang sewaktu SMA dulu dijuluki gadis sedingin es. "Aku mentraktirmu karena aku sedang bahagia." ucapnya seraya menusuk sepotong daging berbalut saus mayonaise.
"Kau memenangkan undian untuk terbang ke Seoul atau kau berhasil bertemu aktor berambut keongmu itu?"
"Bukan, ini lebih dari sekadar itu, Sasuke." jawab Sakura, gadis itu meletakan garpunya dan menggenggam tangan Sasuke erat. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" perintah Sasuke saat orang-orang di restaurant itu mulai memandangi mereka berdua. "Lepaskan tanganku Sakura! Jangan sampai orang-orang itu mengira kita memiliki hubungan."
Sakura tertawa lagi membuat Sasuke gemas. "Cepat katakan, kau membuatku muak pinky." ucap Sasuke mulai tidak sabar. "Baiklah, baiklah. Dasar tidak sabaran. Kau tahu Sasuke, kemarin malam Shikamaru...
"Kenapa dengan kekasih bertampang malasmu itu?" tanya Sasuke,memotong perkataan Sakura kemudian menyedot lemon tea miliknya.
"...Shikamaru, dia melamarku." sambung Sakura yang membuat Sasuke tersedak minumannya sendiri.
Naruto sedang melahap makan siangnya bersama sang ayah, mereka berdua tampak menikmati makanan mereka. Lima belas menit kemudian, ayah dan anak itu sudah selesai menyatap makan siang mereka. Kini Minato dan Naruto sedang duduk di sofa yang terletak di tengah ruang kerja presdir Namikaze corp itu. Minato meraih secangkir ocah yang tadi dibuatkan oleh putranya, menyesapnya dan kemudian menaruhnya kembali keatas meja.
Diliriknya sang anak yang tengah memejamkan matanya tidak jauh dari tempatnya. Sepertinya putranya itu kelelahan. Rasa khawatir menyergapnya, putranya yang sekarang tampak lebih tertutup dimatanya, tidak ada Naruto yang hyperaktif seperti dulu. Bahkan sekarang putranya itu jauh lebih pendiam dari biasanya. Terbesit rasa bersalah di hati Minato, andai saja penyakit jantung yang ia derita tidak ada, ia tidak perlu melimpahkan semua urusan perusahaan kepada putranya itu.
"Naruto." panggil sang ayah
Naruto membuka matanya saat didengarnya panggilan sang ayah. "Ada apa tou-san? Apa ada yang sakit?" tanyanya saat dilihatnya wajah sang ayah tampak pucat.
"Kemarilah, nak." perintah Minato yang langsung dituruti oleh Naruto. "Ada apa tou-san? Dada tou-san sakit lagi?" tanya Naruto yang dibalas gelengan kepala dari sang ayah.
"Tou-san hanya merasa bersalah padamu, Naruto."
"Bersalah padaku?"
"Iya, karena tou-san kau jadi seperti ini. Kau terlalu keras dalam bekerja sehingga kau melupakan kehidupanmu yang lain."
"Tou-san tidak perlu memikirkan hal itu. Aku bekerja untuk membuat tou-san dan kaa-san bangga, memajukan perusahaan kita sudah menjadi impian dan janjiku pada tou-san." ucapnya.
"Kau sudah membuat tou-san dan kaa-san mu bangga Naruto. Tou-san tidak ingin kau memaksakan dirimu. Berhentilah disaat kau merasa sudah lelah." pesan Minato, sedangkan Naruto hanya diam mendengar perkataan ayahnya itu.
.
.
.
.
.
.
.
Sasuke merebahkan tubuhnya dengan kasar diatas ranjang, percakapannya dengan Sakura tadi siang masih terus terngiang di kepalanya. Raut wajah bahagia gadis pinky itu saja masih tergambar jelas dibenaknya. Bagaimana sahabatnya itu menceritakan momen-momen paling berkesan saat Shikamaru melamarnya dihadapan anggota kepolisian Tokyo, bagaimana kikuknya pemuda yang selalu dijuluki rusa pemalas di masa sekolah menengah atas itu untuk meminta Sakura menjadi istrinya. Bagaimana romantisnya pemuda dengan trendmerk merepotkan andalannya itu saat memasangkan cincin berlian itu di jari manis Sakura, bagaimana konyolnya si Nara itu berpakaian ala pemuda di drama korea dan membawa sebuket bunga mawar untuk Sakura. Rasanya Sasuke ingin menangis saat itu juga, dia kesal, dia iri, dia...dia merasa terdahului oleh Sakura. Ego Uchiha-nya tidak mengijinkan sang sahabat mendahuluinya.
Dia ingin Naruto melamarnya juga, dia ingin memiliki kebahagian yang dirasakan Sakura bahkan harus melebihi kebahagian yang dirasakan sahabatnya itu. Sasuke bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk ditepi ranjang. Kepalanya tertunduk, sebulir air mata menetes dari sepasang mata beriris onyx itu. Gadis itu menangis, menangis dalam diam.
Naruto menyesap kopi miliknya, pemuda itu menarik salah satu kursi dan mendudukinya. Hari sudah malam, tapi matanya sulit sekali untuk terpejam. "Kenapa kau belum tidur, sayang?" tanya Kushina yang baru saja memasuki dapur dan mendapati putra tunggalnya disana.
"Aku belum ngantuk, kaa-san. Kaa-san sendiri kenapa belum tidur?"
"Tou-sanmu haus, jadi dia meminta kaa-san untuk mangambil air untuknya. Dia itu manja sekali." keluh Kushina akan sifat suaminya itu dan direspon senyuman geli dari sang anak.
Naruto kembali menyesap kopinya. "Ne, Naruto." panggil Kushina membuat Naruto menoleh dan menatap ibunya. "Ada apa, kaa-san?" tanya Naruto saat dilihatnya raut wajah sang ibu tampak serius. "Ada yang ingin kaa-san bicarakan padamu." ucap Kushina seraya menatap wajah sang anak.
"Ini mengenai kau, sayang."
"Aku?"
"Kaa-san dan tou-san sudah sepakat untuk mencari sekretaris pribadi untukmu. Sekretaris itu nantinya akan membantumu dalam menyelesaikan tugas-tugasmu di kantor."
"Aku tidak butuh sekretaris kaa-san, aku bisa menghandle tugas-tugas itu sendirian."
"Kau tidak bisa menolak keputusan kaa-san dan tou-san. Kau sudah terlalu keras bekerja, dan itu tidak baik untuk kesehatanmu, sayang." ucap Kushina. "Jadi, kaa-san mohon, jangan menolak keputusan ini." pinta Kushina.
Hari berlalu sangat cepat, seminggu sejak pembicaraannya dengan sang ibu di dapur. Naruto mendapat kabar bahwa siang ini, sekretaris pribadinya akan datang. Ketukan pintu membuat Naruto terenyak. "Masuk." ucapnya.
"Permisi presdir, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sekretaris pribadi anda sudah datang dan menunggu di lobi."
"Bawa dia kemari."
"Baik presdir, kalau begitu saya permisi."
Sepuluh menit kemudian sekretaris pribadi Naruto datang. Seorang gadis berambut merah gelap seperti ibunya, mata yang agak sipit dengan sepasang iris berwarna gelap dan apa itu, sebuah tatto. "Kau agak pendek dari perkiraanku. Jadi, siapa namamu?" tanya Naruto
"Ameyuri Ringo." jawab gadis itu mantap
"Kudengar kau lulusan dari Columbia University, apa itu benar?"
"Uum!" gadis itu mengangguk cepat. "Saya lulusan dari Columbia University jurusan Business Management, pak."
"Berarti kau cukup mahir dalam berbahasa inggris."
"Ya, tentu saja." ucap gadis itu penuh percaya diri
"Kau percaya diri sekali, nona. Tapi, saya suka karyawan yang punya rasa percaya diri yang tinggi sepertimu. Dan satu hal lagi, hapus tatto itu jika kau ingin bekerja di perusahaan ini." ujar Naruto kemudian beranjak menuju kursinya.
"Baik pak."
Sasuke melangkah mantap menuju ruang kerja kekasihnya dengan membawa semangkok ramen kesukaan Naruto. Dia merasa bersalah pada kekasih pirangnya itu karena tidak memberi kabar selama seminggu. Itu karena jadwal ujian anak-anak didiknya semakin dekat, jadi dia harus menyelesaikan materi ujian yang jumlahnya tidak sedikit itu. Beberapa hari yang lalu, dia mendapati nomor ponsel Naruto tertera di daftar tidak terjawad diponselnya. Dia senang, karena Naruto menelponnya, walaupun dia sama sekali tidak mengangkatnya. Itu sebuah kemajuan, berarti pria itu merindukannya. Sasuke jadi ingat terakhir kali Naruto menelponnya, 3 tahun lalu, saat hari kelulusan. Itu sudah sangat lama sekali.
Sasuke meraih handle pintu, membukanya dan berseru memanggil nama sang kekasih. Tapi, panggilannya terputus saat melihat seorang gadis asing tengah duduk didepan meja kerja Naruto. "Ketuk pintu sebelum kau masuk, Suke." Ucap Naruto mengingatkan.
"Hn. Siapa gadis ini, Naruto?" tanya Sasuke dengan nada tidak suka.
"Selamat siang, saya Ameyuri Ringo. Sekretaris pribadi, presdir." ucap gadis itu seraya tersenyum yang membuat Sasuke muak dan berniat untuk melemparkan high heels-nya ke wajah gadis itu.
"Sekretaris pribadi?" tanya Sasuke bingung kemudian melirik kearah Naruto. "Aku ingin bicara denganmu, Naruto." ucap Sasuke kemudian melangkah keluar dari ruangan itu dan disusul Naruto setelahnya.
"Apa maksudnya itu?" tanya Sasuke
"Seperti yang kau ketahui, dia Ameyuri, dan dia sekretaris pribadiku."
"Kenapa kau tidak memberitahukan hal ini padaku?"
"Untuk apa aku memberitahumu?"
"Untuk apa? Kau tanya untuk apa?! Tentu saja aku harus tahu, Naruto! Aku kekasihmu. Apa salahnya aku tahu kalau kekasihku memiliki sekretaris pribadi."
"..."
"Sebenarnya...kau menganggapku apa, Naruto?"
"..."
"Kau seakan tidak pernah menganggapku ada."
"..."
"Kau selalu mengacuhkanku dan menolakku"
"..."
"Aku tidak pernah tahu apa artiku bagimu, Naruto."
"..."
Sasuke mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk, menatap Naruto sendu. Gadis itu kemudian tersenyum. Menyerahkan bungkusan berisi semangkuk ramen itu kepada Naruto. "Makanlah, aku membuatkan itu untukmu." ucapnya kemudian berlalu pergi tanpa berpamitan pada Naruto.
Naruto menatap bungkusan berwarna coklat muda pemberian dari Sasuke itu cukup lama, sebelum akhirnya ia membukanya dan mengeluarkan isinya. Semangkuk ramen. Naruto membuka penutup mangkuk itu, seketika aroma khas ramen menguar dan tercium di indera penciumannya. Naruto meraih sumpit, dan mulai menyatap ramen pemberian Sasuke. Tangan Naruto berhenti menyumpit daging dalam ramen itu, pemuda itu menarik napas panjang, bangkit dari tempat duduknya dan kemudian melangkah keluar dari ruang kerjanya.
Sasuke menekan dadanya kuat, rasanya sakit sekali. Sasuke menundukkan kepalanya, air mata itu tumpah lagi. Sasuke tidak terisak, dia hanya menangis. Menangis dalam diam. Sendirian.
.
.
.
.
.
.
Sakura membawa nampan berisi makanan dan melangkah menuju tempat dimana Sasuke menunggunya. "Kau sebaiknya meminta kepastian padanya, Sasuke." ucap Sakura setelah dia mendudukan dirinya disamping gadis raven itu. "Jika seperti ini terus, kau yang akan terluka." ucap gadis itu, sedangkan Sasuke hanya mengaduk-aduk minumannya sembari melirik sekilas ponsel miliknya.
Naruto sedang duduk dibalik meja kerjanya. "Anda sakit, presdir? Wajah anda tampak pucat." tanya Yuri. "Aku baik-baik saja. Lanjutkan saja pekerjaanmu." jawab Naruto seraya bangkit dari kursinya. Tetapi sesaat kemudian, Naruto merasa pandangannya kabur, kakinya lemas dan setelah itu dia sudah tidak ingat apa-apa lagi. Hanya gelap. Pemuda itu terjatuh.
"Presdir!"
Sasuke berlari di sepanjang koridor rumah sakit, mengabaikan teriakan suster yang menyuruhnya untuk tidak berlari seperti itu. Dia sedang panik sekarang, tadi ibu Naruto menelponnya dan memberitahukan bahwa kekasih pirangnya itu pingsan di kantor dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Sasuke yang saat itu sedang mengajar tanpa pikir panjang langsung meninggalkan kelas dan meminta Sakura untuk menggantikannya.
Sasuke memperlambat laju berlarinya saat melihat ayah Naruto berdiri disebuah ruang perawatan. Penampilannya benar-benar sangat berantakan. "Jii-san." panggilnya. "Oh, Sasuke. Masuklah nak, Naruto ada didalam." ucap Minato. Sasuke melangkah masuk dan melihat Naruto terbaring dengan selang infus menancap dipergelangan tangannya. Sasuke mendekat, menatap wajah pemuda yang dicintainya itu. Kemudian mengelus surai pirang itu lembut.
"Dokter bilang, Naruto hanya kelelahan dan kurang tidur." ucap Kushina. "Dia hanya butuh istirahat saja, Sasu-chan." ucap Kushina melanjutkan.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, Sasuke masih setia terjaga untuk menjaga Naruto di rumah sakit. Gadis itu tidak mengubris permintaan Kushina yang menyuruhnya untuk pulang dan beristirahat, mengingat gadis itu sudah ada disana sejak siang. Sasuke menguap, mengucek matanya. Sial, kantuk mulai menyerangnya. Tapi, dia tidak boleh tidur, bagaimana jika Naruto bangun dan menginginkan sesuatu. Minum misalnya, jadi sehebat apapun kantuk itu menyerangnya, dia harus bertahan. Dia tidak boleh tidur.
Satu jam kemudian, Sasuke sudah jatuh tertidur dengan kepala berada disamping tangan Naruto. Selama gadis itu tertidur, ternyata Naruto sudah sadar. Awalnya dia sedikit bingung kenapa dia bisa berada di rumah sakit, tapi sesaat kemudian dia ingat jika ia terjatuh di ruang kerjanya. Pemuda itu menggerakan tangan kanannya, membelai surai raven milik Sasuke sebentar kemudian setelah itu dia kembali tertidur saat kantuk mulai menguasai dirinya lagi.
Dua hari sudah Naruto berada di rumah sakit dan selama itu pula Sasuke selalu menemaninya. Membawakan makanan, menyuapi pemuda itu dan selalu berusaha mengajak pemuda itu untuk keliling rumah sakit walaupun yang diterimanya hanyalah penolakan dari si pirang itu saja. Sasuke sedang mengemasih pakaian Naruto, hari ini kekasihnya sudah diijinkan pulang oleh dokter.
"Ohayou, presdir." sapa Ameyuri yang tiba-tiba datang membuat Sasuke menoleh tidak suka. "Ohayou, Yuri." ucap Naruto membalas sapaan sekretarisnya itu. Sasuke mendengus kesal, kekasihnya itu selalu bersikap manis pada gadis centil itu, tapi padanya tidak. Sasuke jadi heran, sebenarnya yang menjadi kekasih Naruto itu dia atau gadis itu.
"Wah! Presdir sudah mau pulang ya?"
"Ya, begitulah. Dokter sudah mengijinkanku untuk pulang hari ini."
"Syukurlah, kalau presdir sudah sehat, dengan begini, aku 'kan tidak perlu sendirian lagi di ruang kerja presdir yang besar itu." ucapnya seraya memamerkan cengirannya.
Sasuke memanyunkan bibirnya kesal. Sok akrab sekali gadis ini, batinnya. "Naruto, aku sudah selesai mengemasih barang-barangmu. Ayo, kita pulang." ajak Sasuke.
"Biar Yuri saja yang menemaniku pulang. Kau kembalilah ke sekolah."
"Apa?" ucap Sasuke dan Yuri bersamaan.
Yuri mengedipkan matanya tanda bingung, kenapa presdirnya itu meminta dirinya untuk mengantarnya pulang ke rumah, bukankah gadis yang ia ketahui bernama Sasuke itu kekasih presdirnya, kenapa tidak gadis itu saja. "Kenapa kau meminta gadis itu menemanimu dan bukan aku? Aku kekasihmu, seharusnya aku yang berhak menemani dan mengantarmu pulang bukan dia." ucap Sasuke kesal dan menunjuk kearah Yuri.
"Aku tidak ingin berdebat denganmu saat ini Sasuke. Yuri, ayo, temani saya pulang."
"B-baik presdir." ucap gadis itu seraya menggandeng lengan Naruto dan menuntun pemuda itu untuk keluar dari ruang perawatan yang sudah ditempati Nrauto selama dua hari itu.
Sasuke menatap kepergian keduanya dalam diam. Gadis itu meremas ujung dress selututnya dengan keras. Mendadak matanya memanas. "Don't cry, Sasuke. Don't cry." ujarnya parau pada dirinya sendiri.
To be Countinue
Pojok Suara :
Sebenarnya saya berencana untuk membuat one-shoot fic, tapi karena sangat panjang. Akhirnya saya memutuskan untuk membaginya menjadi dua. Ya, fic ini hanya terdiri dari dua chapter saja, dan chapter selanjutnya adalah klimaksnya.
So, what do you think about this fic?
