Author's Note : Please consider it as part of my 'come back.' I have my excuses, of course, but let's just call them trashes. Glad to finally be able to open once more (there was time when I just couldn't open the web, idk why). So this is it, "Man Next Door."
P.S. If you did read my other work "Game of Fate," I'll assure you that I'm currently working on it as well. Just saying, I'm not abandoning it. I'd say it needs research so the story will make sense. So if you don't mind to wait a bit more, that'll be awesome.
Disclaimer : Thank you for making such amazing story, Sir Arthur Conan Doyle-sama… for BBC's version by Steven Moffat dan Mark Gatiss, for making it real in the 21st century…
Man Next Door: Annoyance
Dokter John Watson menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Membuatnya terbungkus rapat hingga tampak seperti kepompong monster raksasa mengerikan. Di dalamnya, sang dokter meringkuk, membenamkan kepala dalam-dalam ke ranjangnya yang hangat. Bantal besar menutupi sebagian besar puncak kepalanya hingga ke samping kedua telinga.
Lima menit kemudian, ia telah terduduk tegak di atas kasur. Kedua mata nyaris hanya celah sempit yang masih erat direkat zat bernama kantuk. Kepala bergoyang-goyang tak jelas, seakan pria itu bisa ambruk kembali ke kasur kapan saja. Tapi sayangnya, ia tidak bisa. Tak peduli betapa ia telah mencoba membuat proteksi telinga, suara itu masih juga mengganggunya.
Suara biola jahanam dari balik dinding itu.
Kehabisan kesabaran, John berdiri limbung dari ranjangnya dan berjalan menuju salah satu dinding kamarnya. Dari balik sanalah suara biola itu datang tanpa henti, pagi, siang, malam…
Sebelah tangan John menggebrak dinding keras-keras. "Hey, Tetangga, bisakah kau berhenti memainkan biolamu itu sesuka hati subuh-subuh begini? Aku mau tidur!"
Tidak ada tanggapan. Suara biola tetap mengalun, melengking-lengking, nadanya naik turun dengan mulus dari balik dinding.
"Awalnya aku sudah berniat akan menoleransi bahkan tetangga sepertimu, tapi aku nggak tahan lagi," gerutunya marah sambil menguap sekali-sekali.
Tiba-tiba pintu kamar John diketuk tiga kali. Lembut dan tenang, seakan tidak siapa pun yang mengetuk itu sesungguhnya tidak ingin mengganggu sang dokter.
Siapa? John bertanya-tanya dalam hati. Sementara ia berhenti bersikap uring-uringan dan berjalan menuju pintu, John mulai menyadari bahwa suara biola sang tetangga sudah berhenti sama sekali. Yang tersisa, sekali lagi, tinggal atmosfer dini hari yang sunyi.
John melirik dinding, kemudian beralih pada pintu. Ia mengedikkan bahu sedikit kemudian mengulurkan tangan untuk menekan kenop dan menarik daun pintu hingga terbuka.
"Oh, Ny… Nyonya Hudson," John terbata. Ia tidak menyangka induk semangnya lah yang mengetuk pintu. Yah, tentu saja. Siapa pula yang akan mengetuk pintunya pagi-pagi buta begini dengan lembut? John hanya sempat berpikir, mungkin saja sang tetangga sebelah…
"Kau baik-baik saja, John?" tanya sang wanita paruh baya. Kekhawatiran menghiasi tiap keriput di wajahnya. "Aku mendengar suara-suara…"
"Oh, itu tadi… jangan khawatir, Nyonya Hudson, aku bisa mengatasinya. Bukan apa-apa," jawab John cepat.
Induk semangnya yang baik tidak perlu sampai cemas begini. Nyonya Hudson pasti sudah terpaksa bangun dari tidurnya yang nyenyak gara-gara gebrakan bodohnya di dinding.
John mengutuki diri sendiri dalam hati. Suara biola tetangganya pasti cukup keras sampai bisa terdengar sampai ke kamar Nyonya Hudson di lantai bawah, namun sejauh ini wanita itu tampak baik-baik saja. Kalau pun John memiliki pendapat yang berbeda, mungkin seharusnya ia tidak berbuat begitu bodoh dan membuat orang lain ikut-ikutan kena insomnia.
"Maafkan aku, Nyonya Hudson. Aku benar-benar tidak berniat membangunkan Anda, hanya saja suara biola dari kamar sebelah," John menghentikan kalimatnya sesaat—hanya untuk melemparkan tatap membunuh pada dinding—sebelum perhatiannya kembali pada sang induk semang, "lupakan saja. Sekali lagi aku minta maaf untuk keributannya..."
Tiba-tiba Nyonya Hudson memeluk John erat-erat, persis seperti pelukan ibunya saat John kecil baru saja mengalami mimpi buruk di malam hari. Di satu sisi ia merasa canggung, tapi entah bagaimana, ia juga merasa lega. Mungkin Nyonya Hudson sendiri telah menganggapnya seperti anak sendiri selama ini. Anak yang tak pernah wanita itu miliki.
"Maaf sudah membuatmu khawatir, Nyonya Hudson," bisik John. Ia membiarkan induk semangnya tetap memeluknya selama beberapa waktu, hingga mendadak John mendengar wanita itu terisak.
"Eh, Nyonya Hudson… kau baik-baik saja?" tanya John bingung.
Wanita itu melepas pelukannya kemudian mengembangkan senyum yang jelas tampak sangat dipaksakan. Telunjuknya sempat menyeka sesuatu di kedua sudut matanya yang kini telah memerah. "Oh, jangan hiraukan aku. Orang tua memang suka tahu-tahu sentimental begini."
Sekarang John jadi benar-benar merasa bersalah. "Sungguh, Nyonya Hudson, aku tidak bermaksud…"
"Aku mengerti," tukasnya sambil diselingi tawa masam. Ia menepuk lengan John yang masih berbalut piama lalu mendesah berat. "Aku hanya berpikir sudah berapa lama sejak kau jadi seperti ini. Kau harus melihat sendiri seperti apa wajahmu di depan cermin, John."
Spontan, jemari John meraba-raba wajahnya sendiri. Kaget, ia menemukan tekstur yang terasa seperti kantong tebal di bawah kedua matanya. Dahinya juga seperti telah dihiasi kerut-kerut baru, terutama di bagian atas alis. "Demi Tuhan, aku pasti terlihat seperti zombi."
"Kau berusahalah untuk tidur lagi sebentar. Aku…," kedua bola mata Nyonya Hudson bergerak-gerak ragu, "aku akan bicara pada penghuni kamar sebelah untuk… tidak memainkan biolanya... setidaknya sampai kau bangun nanti."
John tertawa hambar. "Anda baik sekali, Nyonya Hudson. Aku sangat menghargai bantuan Anda tapi percayalah, tetangga sialanku ini akan memainkan biola sialannya—lagi—segera setelah kau pergi. Jadi yah, mungkin aku akan menenggak beberapa pil tidur. Kurasa itu akan membantu."
Mendadak wajah Nyonya Hudson memucat. Ia tidak berani menatap John selama beberapa saat.
"Ada apa, Nyonya Hudson? Anda terlihat sedikit… gelisah?" John mencoba menebak.
"Aku hanya…" Kemudian wanita tengah baya itu menatap John lekat-lekat. Kedua kelopak matanya mulai berair lagi. "John, bisakah kau tidak meminum pil tidur lagi? Aku akan membuatkanmu teh chamomile atau sup dengan banyak pala, tapi tolong, jangan minum pil tidur lagi. Kau pikir kau bisa melakukannya untukku?"
Sebelah alis John terangkat tinggi. Ia mengerti seberapa besar Nyonya Hudson peduli padanya, hanya saja, bukankah ini sedikit… terasa agak… berlebihan?
"John, kau baik-baik saja?" Nyonya Hudson menyela.
"Eh, tentu saja," John tersadar dari alam pikirannya sendiri, "omong-omong, sampai di mana kita tadi? Ah iya, pil tidur…"
"Sebaiknya kau tidur sekarang, John. Aku janji akan membangunkanmu tiga jam lagi untuk praktik pagi," desak Nyonya Hudson sambil mendorong sang dokter kembali ke dalam kamarnya.
"Eh, tapi Nyonya Hudson…"
"Selamat tidur, John!"
"Nyonya Hud…"
Dan pintu tahu-tahu telah terbanting tertutup di depan muka John. Terdengar suara langkah kaki yang menjauh buru-buru, kemudian menuruni tangga kayu dengan tempo yang tidak kalah cepat. John memijat pelipisnya pelan kemudian berbalik menuju ranjangnya. Kakinya baru melangkah beberapa kali dan dalam sekejap John telah terdiam mematung.
Suara gesekan biola kembali mengalun di udara. John mendesah berat. "Tuh kan, mulai lagi."
Man Next Door chapter 1 - END
To be continued to chapter 2. Please
submit your kind review, thank you :')
