~ Peringatan: Fic ini mengandung Levi versi wanita. Mau marah? Marah aja sama author, kalo bisa timpuk pake makanan sama duwit yaaa... *dirajam sama reader!*. Fic ini sangat OOC, AU, AT, dengan Typo dimana-mana, serta kaidah Bahasa Indonesia yang tidak baik dan benar. GENDERBEND INCLUDED!~
-Disclaimer: semua tokoh yang ada di sini adalah milik Eyang Isayama-sensei. dan saya hanya meminjamnya sebentar (ya... om...).-
Saran Penyajian: Bacalah fic ini dengan kotak tissue disebelah kalian (batu kalo perlu, takutnya garing, langsung lempar aja ficnya hehehe..). fic ini lebih nikmat jika dibaca sambil mendengarkan lagu Evergreen (HYDE), Hitomi o tojite (Ken Hirai), Coagulation (Suju), Kimi sora kiseki (Egoist), All I am (Heatwave), First Love (Nika Costa), One Sweet Day (Mariah Carey), Janji Kasih (Siti Nurhaliza), Setelah Kau Tiada (Cakra Khan), Merpati Putih (Chrisye), dan Something About Us (Daftpunk). Kalau ternyata garing, mening close en langsung cari fic yang lebih rame (jangan di lempar leptop ato ponsel pinternya, mahal!).
Prologue:
I never lived before your love
I never tought before your touch
I never needed anyone so make me feel alive
But that again, I wasn't really livin'
I never lived...
Before... Your love...
(Kelly Clarkson- Before your love)
~Enjoy!~
.
.
.
.
.
.
.
Chantalevisha Ackerman, nama yang indah bukan? Tapi kalian cukup memanggilku dengan Levi. Aku tahu itu nama yang cukup maskulin untuk seorang remaja putri berusia 17 tahun seperti diriku. Tapi aku suka nama itu, dalam Bahasa Ibrani 'Levi' artinya pejuang atau petarung. Ya, memang itulah diriku, aku memang petarung karena aku adalah andalan sekolah dalam bidang bela diri. Dalam waktuku selama 2 tahun di SMA, aku sudah mengalirkan banyak piala, piagam dan mendali untuk sekolahku, St Sina Academy, di bidang olah raga bela diri. Kalau kalian keberatan memanggilku dengan nama itu, cukup panggil saja aku Chantal.
.
"Kenapa kau tersenyum Petra? Ini upacara penulisan Diary baru!"
Ujarku sambil menatap foto sahabatku, Petra Ral. Kami bersahabat sejak kelas satu SD. Hingga akhirnya ia meninggal karena kecelakaan sebulan sebelum kenaikkan kelas kemarin. Itu-lah alasannya mengapa aku sangat takut dengan kematian.
.
"Kau tahu, semester baru akan dimulai hari ini, tahun ajaran pertama tanpa upacara foto dengan walikelas," aku bergumam lagi sambil memperhatikan foto-foto aku bersamamu sahabatku.
Di tahun ajaran baru seperti ini, kami biasa berfoto dengan walikelas bukan? dengan kamera canggih milkmu, dengan kemampuan fotografi-mu.
.
.
"Levi sayang, kalau sudah selesai turun dan sarapan bersama kami!"
.
.
Ahh... Suara lembut tapi tegas itu tiba-tiba memanggilku. Itu adalah ibuku, Mikasa Ackerman, seorang penyelidik kriminal dengan rambut bob sama sepertiku. Hanya saja rambutku lebih pendek dari rambut ibuku. Sudahlah, kini bukan saatnya aku berlama-lama di kamar, setelah mengambil tasku dengan terburu-buru, juga dengan diary baru-ku. Aku berlari menuruni anak tangga, menuju ruang makan keluarga.
.
Sudah ada Jean, adikku yang paling menyebalkan di dunia ini. Seperti biasa dia pasti sibuk dengan ponselnya, pacarnya banyak sih! Di seberang Jean ada ayahku Eren Ackerman, yang sibuk dengan korannya, beritanya pasti tentang politik! Kau tahu Petra, ayahku memang seorang dokter, tapi dia senang sekali dengan berita politik, keanehan yang belum pernah aku ungkap. Ibuku sudah berseragam polisi dengan rapi, sambil menyiapkan roti panggang untukku dan Jean, juga secangkir kopi untuk ayah.
.
.
"Pagi," sapa ku singkat.
.
.
"Levi sayang, kau mau selai coklat, strawberry atau blueberry?" ibuku menjawab sapaanku dengan pertanyaan dan kesibukkannya menyiapkan kami sarapan.
.
.
"Sayang, kalau kau terus memanggilnya seperti itu, dia tidak akan menjadi wanita yang feminim," cegah ayahku sambil mengangkat cangkir kopinya.
.
.
"Aku tidak se-tomboy yang ayah kira kok! Aku tetap putri keluarga ini, biar aku yang oles rotiku sendiri," jawabku sambil mengambil botol selai terdekat, "Hei kuda, kau mau selai apa?" tanyaku sinis pada adikku ini, sial dia menjawab pertanyaanku dengan gelengan kepala, dasar sombong!
.
.
"Baiklah putri ayah yang cantik... maafkan ayah ya," ujar ayah meminta maaaf padaku,
.
.
"Tapi ayah akan tetap memanggilmu dengan Chantal," lanjutnya,
.
.
"Di sekolah juga aku dipanggil Chantal, hanya beberapa teman saja yang memanggilku dengan sebutan itu," aku membalas ayah,
.
.
"Cih, dasar tomboy... pantas saja kau belum punya pacar," gerutu Jean,
.
.
"Apa urusanmu mengurusi pacarku hah? Kau sendiri dasar playboy!" aku membalas Jean. Ibu kemudian mengalihkan pertengkaran kami dengan menaruh dua gelas susu segar di hadapan kami. Ibu tersenyum padaku, sambil berkata
.
.
"Ibu sih setuju saja kalau kau berpacaran, asal kau tidak lupa dengan sekolah dan kegiatan beladiri-mu,"
Ayah-pun ikut tersenyum mendengarnya, seolah meng-iya-kan perkataan ibu. Aku hanya bisa tertunduk lemas, Jean ada benarnya, aku terlalu tomboy!
.
.
.
Sengaja aku berangkat ke sekolah se-pagi mungkin. Sebelum ke sekolah, aku niatkan diriku untuk mengunjungi makam Petra, sahabatku. Aku ingat di suatu pagi yang lalu, aku dan si rambut karamel itu berjalan menyusuri jalan sekolah yang sama. Kini aku sangat kesepian, rasanya ingin kembali ke masa lalu.
.
"Kau tega, membiarkanku pergi ke sekolah sendiri!" aku mengeluh pada nisan Petra, tentunya nisan itu tidak dapat membalas keluhanku.
.
"Tapi tak apa-lah, kau benar seorang perempuan yang jago bela diri sepertiku tidak usah takut pergi ke sekolah sendiri!" ujarku bersemangat.
.
.
.
Mendadak aku menundukkan kepalaku, aku ingat kembali peristiwa itu. Detik-detik dimana aku menyaksikan sendiri kau meregang nyawa, sahabat terbaikku. Aku sangat takut kematian sejak hari itu. Bukan rasa sakit ketika mati yang aku takutkan, tapi perpisahan yang aku takuti. Banyak orang berkata, jika kita ditakdirkan untuk seseorang, sahabat ataupun jodoh. Kita akan disatukan dalam surga dengan orang yang ditakdirkan itu. Akankah kita bertemu lagi Petra? Akankah kita bersahabat lagi? Akankah kita pergi ke sekolah bersama lagi? Karena ku dengar surga-pun mampu membalikkan hati para penghuninya.
.
"Petra... apa kau sudah di surga sekarang? Ceritakan padaku Petra, surga itu seperti apa?" aku bergumam, hingga tidak terasa sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Aku menerawang jauh, seolah aku ingin memandangimu lagi sahabatku.
.
.
.
Lamunanku terbang tiba-tiba, setelah aku melihat sosok itu! Bukan... bukan sosok hantu Petra! Ini lebih menyeramkan dari hantu! Rambut kuning blonde dibelah pinggir kiri 7:3, mata biru tajam seperti pedang es, tinggi 188 Cm berat 92 Kg. Tepat sebelah timur laut dari nisan Petra. Segera aku menyembunyikan badanku di balik nisan Petra,
.
.
"Petra... sembunyikan aku!" aku berharap agar tidak ditemukan oleh orang itu,
.
.
"Apa kau bilang? Kau ingin tahu siapa yang aku lihat tadi... sebaiknya kau melihatnya sendiri Petra! Sumpah aku tidak mau melihat matanya lagi!" bisikku pada nisan Petra,
.
.
"Kau sudah melihatnya bukan? apa...? ya...ya... kau benar, guru Bahasa Inggris yang baru itu loh..." aku terus saja bergumam pada nisan Petra, sambil terus ku perhatikan sosok pria tegap yang tengah berdo'a di depan makam.
.
.
"Ya... kau benar lagi Pet, setidaknya ini sudah tahun ketiganya mengajar di sekolah... tunggu Petra... kau jangan menyebutkan namanya di sini, kalau dia dengar bagaimana?" aku kembali berbisik pada nisan Petra yang masih dingin. Kalau nisan, rumput, batu, dan pohon bisa berbicara, mereka pastinya akan menertawai tindakkan ku ini.
.
.
"Petra! Sudah ku bilang jangan mengungkit peristiwa itu! Aku malu tahu, kau tahu aku ditolaknya habis-habisan!" aku menggerutu.
.
.
"Jangan Petra... jangan menyumpahi dia akan jadi wali kelasku!" aku mengancam nisan Petra. Tuhan, jangan biarkan imajinasi konyol ini terjadi!
