Disclaimer : BLEACH by Tite Kubo
Aoi Sora
By
Poppukoo
Busan, Korea. 9.30 am.
Pria ber-syal merah itu terus menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk mencari kehangatan di musim dingin tahun ini yang mungkin sangat membahagiakan bagi semua orangtua siswa di Busan Junior High School. Tempat Ichigo menempuh pendidikan.
Senyum cerah ditunjukkan para orangtua siswa yang telah menerima hasil ujian anak-anak mereka. Seringkali Ichigo melihat mereka mengabadikan foto bersama untuk merayakan kelulusan. Tidak seperti pria berambut orange ini, ia terus berdiri sendirian sambil bersandar di dinding dengan hasil ujian yang telah ia terima digenggamannya. Tak jarang ia mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai.
"Lagi?" ucap Ichigo.
Dari arah timur seorang guru menghampirinya. "Kau masih disini Ichigo?" tanya guru berparas cantik itu.
"Guru Jung? Aku akan segera pulang. Sampai jumpa" jawab Ichigo berjalan meninggalkan guru itu.
Ichigo tidak habis pikir, hal yang terpenting dalam kehidupan sekolahnya sama sekali tidak dipentingkan ayah dan ibunya. Bahkan ia berusaha keras untuk ujian kali ini, agar orangtuanya bisa tersenyum dan menjadi lebih sayang padanya dengan nilai yang memuaskan.
Tapi mungkin Tuhan belum mengizinkan. Kelulusannya kali ini tepat di hari kelulusan SMA, Kaien Kurosaki. Salah satu orang yang tidak ia sukai dikeluarganya. Pria dengan postur tubuh yang sempurna dan kemampuan otak diatas rata-rata. Ichigo tak bisa menyainginya.
Wanita berwajah ke-ibu an itu sudah siap berdiri menyambut putranya di depan pintu dengan wajah yang cerah secerah pagi ini.
Ichigo dan Isshin keluar dari mobil. Putra orangenya masih memasang wajah masam. Sambil berjalan menuju rumah ia menatap Ibunya dengan kilatan warna merah, seakan ia akan menangis ataupun marah.
Masaki merasa khawatir menghampiri Ichigo. Langsung saja putranya ini melempar hasil ujiannya ketanah dengan keras. Tanpa mempedulikan Masaki yang terkejut ia terus saja berjalan kerumah dan menutup pintu kamarnya dengan kencang.
Masaki mengambil hasil ujian Ichigo. Perlahan air mata mulai tumpah. Isshin mencoba menenangkan Istrinya.
TOK TOK TOK
"Ichigo…." panggil Masaki dari luar kamar Ichigo. Pria itu tak menyahut sama sekali, bagai ditelan bumi. Hanya kesunyianlah yang Masaki rasakan sejak siang sampai malam ini. Ia terus memanggil dan membujuk putranya. Ia tak menyerah.
"Ibu tahu kau lapar, ayo kita makan bersama" bujuk Masaki yang masih tak menyerah atas kemarahan Ichigo.
Dalam kegelapan pria berambut orange it uterus memeluk kadua kakinya dan duduk terdiam disudut kamar. Matanya merah berkilau bening , cairan itu terus mengalir dari pelupuk mata hazelnya.
Panggilan 30 tak terjawab dan 20 pesan dari ponselnya. 15 panggilan dan 12 pesan dari Isshin, 10 panggilan dan 5 pesan dari Kaien dan lainnya dari teman-teman Ichigo.
Ia tetap pada pendiriannya, ia sama sekali tak peduli.
"Nak…."ucap Masaki dengan suara parau. Ia akan terima apa yang akan Ichigo perlakukan padanya asalkan putranya itu tak mendiamkannya. Baginya, diam Ichigo adalah hal terberat yang ia rasakan. Bagai seribu tombak yang menusuknya tapi sama sekali tak terlihat sedikitpun.
"Kau tahu kalau hasil ujian Kaien tidak akan keluar tanpa orangtuanya sendiri yang mengambilnya kan? Jika diambil besoknya, Ibu tidak yakin kalau walinya akan datang. Ibu juga harus mengambil Karin dan Yuzu dari penitipan… dan ayahmu, ada operasi mendadak dirumah sakit. Ayah juga sudah buru-buru Ichigo. Apa kau-"
"Tahun lalu juga" Ichigo mulai angkat bicara. Terdengar lirih.
"Waktu SD. Aku sudah lama sekali menunggu sampai malam dipagar sekolah. Padahal kalian tahu aku tidak tahu jalan pulang, aku juga takut sendirian dan gelap, kalian sama sekali tak ada yang menjemputku. Walau saat itu Kaien sedang sakit keras dan harus dioperasi saat itu juga, tapi setidaknya kalian bisa memikirkan aku satu menit saja. Apakah satu menit itu sangat lama?" lanjut Ichigo dengan suara bertambah lirih diikuti air mata yang tumpah dari matanya. Bibirnya bergetar seakan berat untuk melontarkan kata-kata itu.
Dari luar terdengar Masaki yang menangis sesegukan. Mendengar ucapan putranya yang sama sekali ia tak sadari dari dulu.
"Dan juga, saat ini. Aku berusaha, untuk mendapat nilai yang sangat baik. Aku bekerja keras belajar sepulang sekolah dan sampai larut. Untuk apa? Tentu saja untuk kalian, aku pikir nilaiku kali ini akan membuat kalian lebih memikirkanku daripada Kaien. Aku pikir, hari ini adalah hari bersejarah dalam hidupku. Dapat berfoto dengan orangtuaku. Sambil tersenyum dan tertawa" lanjut Ichigo diiringi tangis pecah dari kegelapan itu.
"I-Ichigo, apa kau pikir kami lebih memilih Kaien daripada kau?"
"Aku tidak tahu, dan aku tak ingin pernah tahu"
"Kami-"
Perlahan-lahan pintu bernomor 15 itu terbuka. Akhirnya Ichigo keluar setelah sekian lama. Pria ini masih dengan seragam sekolah yang tadi siang dengan rmbut acak-acakkan dan juga matanya yang merah menyala. Ia menatap tajam Masaki lalu pergi .
"Ichigo, kau mau kemana!?" tanya Masaki mengekor dibelakang putranya. Ichigo mengambil jaket yang berada digantungan.
Kaien menghampirinya dan menggenggam erat lengannya. Ichigo berbalik dan menatap Kaien.
"APA KAU TIDAK BISA BERHENTI BERTINGKAH MEREPOTKAN SEPERTI ITU HA!?" bentak Kaien. Isshin dan Masaki menyaksikannya dari ruang tamu. Ichigo hanya menunjukkan evilsmile pada Kaien dan menatap kakakknya itu tajam.
Ichigo menyentakkan lengannya dengan keras sehingga genggaman Kaien langsung terlepas. "Kalian sama saja" ucap Ichigo lalu melengos pergi. Reflek Masaki ingin mengejarnya tapi ditahan Kaien.
Kaienlah yang pergi mengejar pria berambut orange itu. "Ichigo!" panggil Kaien dari belakang yang agak jauh dari Ichigo. Walau malam ini sangat dingin, tapi hati Ichigo serasa terbakar.
"Jangan seperti anak kecil Ichigo!" teriak Kaien.
"Aku memang anak kecil lalu kenapa!?"
Kedua pria itu tak mempedulikan orang-orang yang memandang mereka. Mereka hanya berjalan dan terus berkejar-kejaran.
GREB
Akhirnya Kaien berhasil mendapatkan sasarannya dan memegang erat lengan Ichigo. Ichigo berusaha menyentaknya tapi tak berhasil. Kaien menggenggamnya erat-erat, takkan membiarkan tangkapannya lepas lagi.
"Ayo pulang" bujuk Kaien berusaha bersikap halus pada adiknya.
"Aku ingin sendiri, lepaskan!" suruh Ichigo dengan nada geram. Kaien menggelengkan kepalanya.
"Kau ingin marah? Marahlah padaku! Pukul aku, Ichigo!"Kaien meletakkan tangan Ichigo didada sebelah kiri. Seolah ia menyuruh Ichigo meluapkan amarahnya padanya walau itu akan membunuhnya. "Kenapa kau diam!? Kau takut aku akan mati!?" lanjut Kaien dengan nada sedikit meninggi.
Ichigo mendengus kesal dan melepaskan tangannya secara kasar. Ia berbalik membelakangi Kaien. "Ayo pulang" bujuk Kaien lagi.
"Jangan ikuti aku" ucap Ichigo lalu berlari menyeberang jalan. Saat ditengah-tengah Ichigo merasa ada sesuatu yang menyinarinya terang dari arah kanan. Ia menoleh. Begitu menyilaukan seakan waktu berhenti disaat itu juga.
"Ichigo! Cepat lari!" teriak Kaien dari seberang. Ichigo tersadar dan matanya membulat. Sebuah truk besar dari arah kanan. Sang supir melambaikan tangannya agar Ichigo cepat menyingkir dari situ. Sang supir berusaha menginjak rem tapi truk itu tak segera berhenti.
CKITTT
BRUAK
DUGH!
JESSSH
Akhirnya truk itu terhenti.
Tergeletak dua pria tepat disamping truk hanya dengan jarak 5 meter memisahkan mereka. Terlihat cairan merah mulai merembas dari bajunya . Semua orang yang melihat satu-persatu berdatangan untuk menolongnya. Pria itu tak sadarkan diri.
"Bagaimana keadaan mereka!?" tanya Isshin terlihat panic. Dokter berambut putih berkacamata itu hanya menghela nafas dan memasukkan kedua tangannya dalam kantong jas.
Ryuken angkat bicara. "Kaien. Tulang selangka-nya retak dan kakinya patah. Kalau Ichigo, lengan kirinya patah. Kalau kalian setuju, kami akan segera mengoperasi mereka"
Air mata Masaki tidak terbendung lagi. Ia jatuh terduduk. Seluruh badannya terasa lemas.
5 hari kemudian…
"Bosan" ucap Ichigo tidur sambil menatap langit-langit putih ruangannya.
"Kau ingin dibawakan apa?" tanya Masaki tersenyum sambil mengupas apel kesukaan Ichigo.
"Apa Ibu tidak bosan? Sudah 5 hari juga kita disini, aku ingin pulang…dan juga aku harus mendaftar SMA"
"Ayo bangun, apelnya sudah siap" ucap Masaki sambil membantu Ichigo duduk. Satu per satu apel itu mulai memasuki mulut Ichigo. "Ibu senang, kau sudah banyak bicara" imbuh Masaki tersenyum senang. Ichigo mengalihkan pandangannya ke jendela.
"Apa…. Ayah masih marah padaku?"
"Dia hanya butuh waktu, kau tenang saja. Oh ya, Ibu mau cari makanan dulu, hmm? " Ichigo mengangguk dan membiarkan Masaki pergi. Pria ini menunduk memikirkan sesuatu. 'Apa aku keterlaluan? Apa aku benar-benar menyusahkan?'
Ichigo bergegas berdiri dan pergi ke kamar Kaien. Dari kaca pintu terlihat Kaien sedang tidur lelap, seakan kedamaian menghiasi wajahnya. Ichigo masuk dan duduk disamping ranjang Kaien.
"Gomen" ucap Ichigo melihat luka-luka Kaien. Terlebih lagi kakinya yang patah. Serasa sesak ketika melihatnya. Semuanya adalah bukti pengorbanan Kaien yang rela tubuhnya ditabrak truk besar itu hanya untuk menjadi tameng bagi Ichigo yang sedang kalap kala itu.
"Terkadang aku berpikir….aku sangat menyesal karena akulah yang terlahir sebagai adikmu. Kau terlalu baik Kaien" ucap Ichigo seraya menghapus air mata yang perlahan mengalir dari matanya. "
"Kaien, tadi aku-….Kau?"
"A-ayah?" Ichigo menoleh kea rah pintu. Terlihat ayahnya masih diambang pintu. "A-aku akan segera pergi" ucap Ichigo menuju kea rah pintu. Hampir-hampir ia melewati Isshin tapi sang ayah menahan lengan kanannya dan menariknya masuk lalu menutup pintu kamar Kaien.
Ichigo tak berani menatap ayahnya.
PLAKKK
Perlahan kulit pipi Ichigo memerah. Isshin terlihat memalingkan pandangannya dari Ichigo.
"Kau bisa memukul ku lagi bila mau. Kau juga bisa memukul lengan kiriku kalau kau benar-benar ingin membunuhku" ucap Ichigo.
"Kenapa kau seperti ini Ichigo!?"
"Aku punya alasan atas semua kelakuanku"
"Ayah juga punya alasan mengapa kami seperti ini"
" 'kami'? 'seperti ini'? apa maksudmu?"
Isshin melengos pergi dari hadapan Ichigo. Ia duduk disamping ranjang Kaien yang tadinya diduduki Ichigo.
"Pergilah. Ayah ingin sendiri"ucap Isshin. Ichigo menghela nafas panjang lalu pergi. Isshin mulai menitihkan air mata.
"Kenapa ayah?"
"Ka-Kaien? Kau-" Isshin terkejut. Ternyata Kaien tidak tidur dari tadi.
"Aku mendengarnya dari awal sampai akhir"
Ichigo duduk disamping ranjangnya. Ia sebenarnya ingin bertanya apa maksud dari kata-kata ayahnya tadi. Tapi Ichigo mengerti, suasana hati ayahnya sedang buruk hari ini. Mungkin lain kali ia tanyakan. Ia mengambil ponsel di bawah bantalnya lalu menekan kontak seseorang. Lee Bo Jung.
"Paman Lee. Ini Ichigo. Boleh aku minta nomor ponsel paman Urahara?"
"APA!?" mata Masaki membulat sempurna mendengar pernyataan putra kecilnya. Bahkan ia belum siap hati untuk mendengarnya.
"Aku akan melanjutkan sekolah ke Jepang. Aku akan tinggal dengan paman Urahara dan bibi Yoruichi. Aku telah menghubungi mereka dan mereka setuju"
"Keadaan masih belum normal Ichigo. Ayahmu juga masih belum mau bicara denganmu, Kaien juga belum boleh dibawa pulang. Dan juga tanganmu belum sembuh total" jawab Masaki. Berusaha meyakinkan putranya agar tak buru-buru pergi sebelum keadaan membaik. Mungkin bagi Masaki, kali ini belum waktu yang tepat.
"Aku akan bicara dengan ayah. Dan aku yakin Kaien akan setuju, karena dia kakakku. Kalau tanganku, jangan khawatir. Aku akan minta beberapa obat dan aku juga akan rajin memerikakannya" ucap Ichigo kembali meyakinkan Ibunya. Mungkin dengan ia pergi ke Jepang, semuanya bisa berjalan sesuai takdirnya. Bagi Ichigo, ia hanyalah penghambat.
"Ibu akan ikut denganmu" jawab Masaki memegang tangan Ichigo.
"Jangan bercanda bu, siapa yang akan merawat Karin dan Yuzu? Kalau Ibu membawa mereka mungkin akan menyusahkan keluarga paman karena ia juga punya anak. Kaien dan Ayah pasti sangat membutuhkanmu"
"Besok aku dan paman Lee akan berangkat. Ketika aku sampai, aku pasti akan menghubungi kalian" balas Ichigo seraya tersenyum.
Tangis Masaki pecah dan langsung memeluk Ichigo. Sepasang mata telah mengawasi mereka sejak awal dari kaca pintu kamar Ichigo. Pria itu menutup matanya rapat-rapat.
"Kenapa…. Tuhan?" ucap Isshin lirih.
2 tahun kemudian…
Karakura. Japan. 10.10 am.
"Berhenti!" panggil seorang pria dari belakang. Pria yang ia kejar masih berlari dan tetap dengan kecepatan yang sama. Sama sekali tidak menurun walau sudah jarak beberapa kilo mereka tempuh. Akhirnya pria berjas hitam ini menyerah dengan nafas memburu. Ia jatuh terduduk.
"PAMAN! Keluar kau, brengsek!" panggil pria berambut orange ini. Ia menyusuri semua sudut ruangan untuk mendapatkan makhluk yang ia cari. Tapi tak ada dimanapun.
"Ichigo! Paman membelikanmu-"
BUGH! BRAKK!
Sebelum Urahara mencapai ambang pintu, kaki Ichigo sudah terlebih dahulu melewati ambang pintu. Dan berhasil menapakkannya diwajah sang paman. Urahara terpental berputar seperti baling-baling bamboo dan terdapampar beberapa meter. Ichigo menghampirinya.
"Apa kau tak membayarkannya ha!?" tanya Ichigo. Urahara masih meringis kesakitan.
"A-A-Aku menggunakannya untuk-"
"UNTUK APA!?" bentak Ichigo tak sabaran menerima jawaban pamannya.
"Minum dengan Dr. Kimoto. T-Tapi aku mohon jangan bilang bibimu ya? Dia akan membunuhku, Ichigo" mohon Urahara membungkuk 90 derajat dihadapan Ichigo.
BLETAK!
Ichigo malah menjitak kepala Urahara.
"OUCH!" keluh Urahara mengelus-elus kepalanya.
"Bukan bibi. Tapi akulah yang akan membunuhmu paman" ucap Ichigo geram dengan kelakuan pamannya.
Minum kemana-mana dan hutangnya dimana-mana. Hampir 2 minggu sekali ada debt collector yang mencarinya. Tapi untungnya Urahara sangat ahli dalam melarikan diri. Tapi na'asnya Ichigo yang harus berurusan dengan masalahnya. Urahara beruntung Yoruichi jarang dirumah karena harus menjaga tokonya di pusat kota.
Ichigo menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. "Aku sudah meminjamkan uang sekolahku minggu lalu, untuk seterusnya aku tidak akan meminjamkannya lagi. Aku sangat ME-NYE-SAL!" balas Ichigo penuh nada penekanan pada setiap kata 'menyesal'.
Urahara memandang Ichigo dengan puppy eyes andalannya. "Ichigooo"
"Baiklah. Jika kau berjudi ataupun minum sekali lagi, aku tidak akan membantumu. Kau juga harus membayar semua uang yang kau pinjam dariku. Kalau tidak, aku akan mengatakan pada bibi kalau kau telah memerasku" ancam Ichigo dengan deathglare dimana-mana.
"Hehe, baiklah keponakanku yang kejam. Tapi aku berjudi untuk menang, kalau aku menang pasti aku bisa membayar semuanya" sangkal Urahara.
"Tapi sayangnya kau selalu kalah, brengsek" balas Ichigo langsung menapakkan kakinya diwajah Urahara tanpa melepasnya. Urahara memukul-mukul kaki panjang Ichigo, berusaha melepaskan diri.
"Ayah, ada telepon dari !" panggil Jinta dari dalam. Urahara langsung lari secepat kilat.
Ichigo memandang aneh pamannya.
"Ku kira aku akan hidup damai disini. Tapi semuanya rumit seperti benang kusut"ucap Ichigo sambil memandang langit biru. Berharap hidupnya bisa sebersih langit pagi ini.
TBC
Gomen, kalo Rukia belum nampak. Mungkin chapter depan, hehe.
Ada keluhan? Kritikan? Saran?
Silahkan colek tombol REVIEW
Terimakasih...
