Warning! Warning! Warning!
Rate: M plus plus. Absolutely Porn. Plot penuh lemon. Yang belum cukup umur jangan coba-coba baca.
Yaoi abis. Yang gak suka Boy x Boy jangan memaksakan diri baca. Resiko tanggung sendiri.
Saya sudah menistakan diri dengan menulis yang beginian. Jangan salahkan saya kalau Anda ikut-ikutan jadi nista.
Saran saya: Kaburlah sebelum baca!
Oh iya… Disclaimer: Masashi Kishimoto… ini pairing yang diusulkan sendiri oleh beliau. Tapi saya gak berharap beliau memberi Sai, apalagi Sasuke, pada saya. Cukuplah saya mendamba Kabuto dan Sasori saja ^^
Sekali lagi, KABURLAH SEBELUM BACA!
NEGOSIASI
By: Konohafled
.
bagian SATU: TAWARAN
.
.
Pintu di hadapannya terbuka. Dia melihat seorang lelaki tidur di sana. "Diakah orang itu?" pikirnya ragu. Dia ingat bayangan yang ditemuinya tadi siang. Dia ingat suara angkuh yang datang dari bayangan itu. Dia ingat bola mata merah dan sosok tampan yang menembus keluar dari kegelapan. "Sanggupkah aku melakukannya?" Hatinya kembali ragu. Kalau saja dia tidak bertemu Sakura dan terutama Naruto, tentu tugas ini akan jauh lebih mudah dia lakukan.
Tapi dia sudah kepalang basah.
Pelan-pelan dia masuk ke kamar itu dan menutup pintunya pelahan. Ular-ular tintanya pasti masih menari-nari di samping tempat tidur targetnya, menunggu komando dari dirinya.
"Apa maumu?" suara angkuh itu mengejutkannya.
Dia berbalik. Sosok tampan itu sudah duduk di tepi ranjangnya. Gagah, seperti raja duduk di singgasana dan didampingi para pengawal yang siap siaga. Bedanya, pengawal itu adalah ular-ular tintanya yang masih menunggu komando yang entah kapan datang.
"Aku dikirim Danzou-sama," jawabnya, "untuk membunuhmu, Uchiha Sasuke."
Sasuke menyeringai. "Akhirnya ada juga yang bisa mengusir kebosanan di sini," pikirnya. Dia sudah bosan berlari dan bersembunyi demi gurunya, Orochimaru. Dia sudah bosan dengan serangan tanggung yang ditujukan ke tubuhnya. Tidak ada serangan serius. Tidak ada yang bertujuan membunuhnya. Tidak ada yang berniat melukai kulit dan tubuhnya. Semua hanya serangan yang membosankan.
"Aku merasa tersanjung. Seorang ANBU jauh-jauh dikirim ke sini untuk membunuhku. Lalu kenapa masih berdiri di situ? Kau tidak merasa terhormat mendapat tugas ini?"
"Aku punya tugas lain. Aku akan membawamu pulang ke Konoha," dia tersenyum, kedua matanya menyipit. Lalu dia melanjutkan, "hidup-hidup."
Sasuke bangkit dari tempat tidurnya. Dia berjalan ke arah si ANBU.
"Dilematis ya," dia menyeringai lagi, "lalu mana yang kau pilih…" dia berusaha mengingat satu nama yang muncul tadi siang, "…Sai?"
Sasuke kini berdiri di hadapannya, memandang mata hitam dan bibir yang belum lama belajar tersenyum itu. "Ayo kita bermain nyawa, Sai,"katanya dalam hati.
"Aku pilih yang kedua."
Sasuke menghela nafas. "Kau juga membosankan, Sai," pikirnya. Lalu dia berjalan mengelilingi Sai. "Sayang sekali," katanya.
Dia berhenti tepat di belakangnya, mengamati tengkuknya yang putih bersih. Lalu dia maju, mendekatkan bibirnya ke telinga ANBU muda itu.
"Padahal aku ingin kau…" tiba-tiba dia ingin mengubah arah permainan, "…membunuhku." Tepat setelah suku kata terakhir lepas dari bibir, Sasuke menugaskan kedua bibirnya sesuatu yang sama sekali tidak diduga oleh Sai, bahkan oleh dirinya sendiri. Dia mengecup tengkuk Sai.
Rasanya nyaman.
Sai terlonjak, tapi Sasuke menahan tubuhnya. Tepat di perut Sai yang terbuka. Sai menoleh ke wajah buruannya yang kini menyeringai puas. Tangannya membelai kulit mulus di perut rata itu. Matanya menatap lurus ke mata Sai. Tapi wajah dan mata Sai tidak berubah. Tanpa ekspresi sedikitpun.
"Bagaimana? Apakah kau mau…" Sasuke mendaratkan bibirnya ke bibir Sai. Menghisapnya pelan. Lalu dia kembali bertanya, "…berubah pikiran?"
Tak ada yang berubah dari ekspresi Sai. Tapi tubuhnya yang bicara sekarang. Dia berbalik, menghadap Sasuke dan melingkarkan satu lengan ke lehernya. "Tidak," katanya.
Sasuke mendesah. "Apa ini cukup..." dia mengecup bibir Sai lagi, "…. untuk…" lagi, "…mengubah…" dan lagi, "…pikiranmu?"
Kini Sai menekan kepala Sasuke ke kepalanya. Keduanya menyatu dalam ciuman lembut. Sai yang lebih dulu melepaskan diri. Bibir Sasuke mengejarnya, tapi Sai melengos. "Belum cukup."
Sasuke tersenyum nakal. "Belum cukup? Bagaimana kalau i---"
WUZZZ!
Tahu-tahu dia sudah terlempar ke ranjangnya sendiri. "Sialan!" katanya dalam hati, mengutuki keteledorannya sendiri. Dia hendak bangun untuk menerkam dan membalas Sai, tapi ternyata tangan dan kakinya sudah terikat. Ular-ular tinta Sai sudah melaksanakan komando tuannya dengan baik.
Sasuke panik, tapi dia berusaha tampak tenang. Sai mendekat. Senyum palsu yang sering ditampilkannya ikut mendekati tubuh Sasuke yang telentang.
"Apa kau selalu menghadapi pembunuhmu seperti ini, Uchiha Sasuke?"
Sai melepas sarung tangan yang membungkus ruas jari-jari putih pucatnya.
"Tidak," dia berusaha lepas dari belitan ular tinta di pergelangan tangan dan kakinya. "Cuma padamu."
"Aku merasa tersanjung. Kenapa aku begitu…" Sai mengambil pedang panjang Sasuke yang tergeletak di dekat ranjang. Dia mencabutnya, lalu menatap bilah pedang itu dari pangkal ke ujungnya, "…istimewa?"
"Kaupikir kau istimewa?" ejek Sasuke.
"Tidak," jawab Sai. "Aku bukan siapa-siapa. Aku tidak ada. Tapi kau, Uchiha Sasuke," dia menyentuh dagu Sasuke dengan ujung pedang panjang itu, "memang istimewa."
"Hn," Sasuke melengos, membiarkan ujung pedang merobek sedikit kulit dagunya. Dia bisa saja mengaktifkan Sharingan dan mengalahkan Sai dalam beberapa detik. Tapi entah kenapa, dia ingin tetap mendengar suara Sai yang dingin dan datar.
"Pantas Naruto dan Sakura mati-matian mengejarmu ke sini." Ujung pedang itu kini menyentuh leher Sasuke, turun menelusuri dada telanjangnya hingga ke simpul ikat pinggang besar yang menjadi ciri khas ninja Oto.
"Naruto anak bodoh," Sasuke mendengus. Sebagian dari dirinya was-was dengan gerakan pedang Sai di ikat pinggangnya. Sebagian lagi penasaran.
"Bodoh? Mungkin," pedang itu terangkat, memotong tali ikat pinggang menjadi dua. "Buat apa mengejar-ngejar ninja buron yang sombong seperti kau, Sasuke."
Pedang Sasuke tidak berhenti sampai situ saja. Sai memainkan ujung pedang itu dengan malas-malasan di celana Sasuke.
"Tapi Hokage percaya padanya. Bahkan dia mengirim ANBU ini untuk menjemputmu."
Celana Sasuke terkoyak-koyak. Parah.
"Sekaligus membunuhku."
"Ya. Aku hampir lupa," Sai mengangkat pedang seperti pelukis menorehkan coretan kuas terakhir. Sret!! Bagian tubuh Sasuke yang tadinya tertutup celana, kini terbuka tanpa perlindungan apa pun, "… perintah itu."
Sasuke tersentak merasakan angin yang kini bebas melewati tubuh bagian bawahnya.
"Oh, maaf Sasuke." Sai melihat paha dalam kiri Sasuke. Ada sedikit darah di sana, sisa sabetan ujung pedang. Sai mendekat dan menjilat luka itu. Hanya dua detik, tapi cukup membuat Sasuke kembali tersentak.
Sai mengamati luka itu. Menunggu.
Darah kembali menitik. Sai kembali mendekatinya dan kali ini menghisapnya. Sasuke memejamkan mata, berusaha menahan sensasi itu dan melarang tubuhnya berbicara di luar kemauannya.
Sai kembali mengamati luka selebar dua senti itu. Darah mengintip dari sana.
"Maaf, Sasuke. Aku tidak bisa menyembuhkannya. Bagaimana kalau aku panggil Sakura?"
"Jangan!!" desis Sasuke.
"Tapi bagaimana kalau," Sai melirik ke alat kelamin Sasuke, "pedangmu…" dan menekan telunjuknya ke sana, "…beracun?"
Kurang ajar sekali orang ini, pikir Sasuke. Aku tidak sudi kau permalukan seperti ini, jerit Sasuke dalam hati.
"Itu tidak beracun," kata Sasuke datar.
"Oh, baguslah kalau begitu," kata Sai sambil tersenyum. Telunjuknya menelusuri organ sensitive itu, "kau bisa pulang ke Konoha dalam keadaan sehat."
"Siapa bilang aku mau ke Konoha?" bentak Sasuke. Kenapa suaramu mesti seksi begitu sih Sai, katanya dalam hati.
"Oh, kukira…" Sai tampak kecewa. Tapi jari-jari tangannya tidak tampak kecewa, karena mereka sedang memijat alat kelamin Sasuke dengan lembut, "… kau mau pulang bersama kami."
"Hn," dengus Sasuke. Dia berusaha terdengar dingin seperti biasa, padahal jantungnya berdebar tidak keruan. "Aku sudah bilang, aku lebih suka kalau kau membunuhku."
"Sayang sekali, aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu, Sasuke," kata Sai yang kini memijat lebih keras lagi. Tangan kirinya sekarang ikut sibuk membelai dada Sasuke.
"Aku… akan… membuat… kau… berubah… pikiran," desis Sasuke, "nanti."
Sai tersenyum. "Aku yang akan membuat kau berubah pikiran, Uchiha Sasuke."
"Sia-sia saja, aku tidak sudi ---"
Kalimat Sasuke menggantung begitu saja ketika dia menyadari ada lidah menari-nari di pusarnya, lalu naik ke perut atas, dada dan berakhir di puting kirinya. Dia merasakan hisapan pelan dan lembut, lalu tiba-tiba berhenti.
"Sasuke, jantungmu berdebar-debar. Kau … tidak apa-apa?" tanya Sai, wajahnya kelihatan kuatir.
Itu gara-gara kau, tolol! Jerit Sasuke dalam hati. "Tidak apa-apa," jawabnya, berusaha sedatar mungkin.
"Oh, baguslah kalau begitu. Hm… sampai di mana kita tadi?"
Sasuke mendengus. Dia benar-benar ingin menampar ANBU muda itu. Menamparnya lalu melumat bibir pink ranum yang sok polos itu.
"Sasuke, kau tidak punya alasan untuk tidak pulang ke Konoha," kata Sai. Tangan kirinya kini membelai bekas bibirnya sendiri di dada Sasuke.
"Aku juga tidak punya alasan untuk tidak pergi dari sini," sahut Sasuke angkuh. Seketika itu juga, dia merasakan cubitan lembut di puting kirinya. Dia berusaha tidak mengaduh. "Dan kau juga tidak punya alasan untuk tidak membunuhku."
"Naruto ingin kau pulang bersamanya," sahut Sai yang kini mencubit kedua putting Sasuke bergantian dengan lembut. Tangan kanannya masih sibuk memijit dan mengelus bagian bawah sana.
"Ahh…a..aku ti..dak pe…duli dengan… aww.. anak bodoh… i… tu."
"Jangan kasar begitu, Sasuke. Dia sayang padamu." Jari telunjuk Sai meggambar bentuk jantung hati imajiner di dada Sasuke. "Dia menganggap kau saudara…"
"Aku tidak menganggapnya saudara," potong Sasuke. "Saudaraku cuma satu, yaitu orang yang akan kubunuh."
"Itu bukan alasan untuk tetap di sini, kan?" kata Sai lembut, selembut belaian tangannya ke tubuh Sasuke. "Kau kira teman-temanmu di Konoha tidak mau membantumu? Mereka pasti mau membantu. Termasuk aku. Aku akan senang mengganti namamu," katanya sambil menuliskan nama Sasuke di bawah pusarnya, "… dengan nama kakakmu," dan nama Itachi di dadanya.
Sasuke mengerang pelan, antara kehabisan alasan untuk membantah Sai dan menahan tubuhnya bereaksi berlebihan pada nikmatnya belaian ANBU muda itu.
"Jadi bagaimana, Sasuke?" Tanya Sai, dagunya diletakkan di dada Sasuke sekarang. "Kau akan pulang bersama kami, kan?" Lalu dia menggigit puting kanannya. Lembut. "Hm?"
"Hn. Ti…dak." Ah, aku berhasil juga bicara di tengah nafas menderu ini, batin Sasuke.
"Kamu tidak adil, Sasuke." Tangan kiri Sai kini bermain-main di garis bibir Sasuke, sementara tangan satunya masih sibuk di wilayah bawah. "Kau cuma bilang tidak melulu. Mana argumenmu?"
"Kau ke sini bukan diutus untuk adu mulut denganku, kan?" sahut Sasuke, kini dengan menyeringai nakal.
"Ck…" Sai menghela nafas, "kalau terpaksa… kalau itu bisa membawamu pulang, akan aku lakukan."
Dan mereka pun beradu mulut.
Awalnya lembut. Bibir saling gesek, mengenalkan tekstur dan kekenyalannya pada yang lain. Ludah saling bercampur. Hisapan lembut. Tolakan halus. Lidah datang mengundang. Menyapu lembut. Bibir menyambut. Selamat datang.
Lidah mengabsen gigi satu persatu. Semua hadir. Lidah menelusuri langit-langit mulut. Oh, aku suka tempat ini. Nyaman. Lidah menggelitik lidah. Hei, kenapa tidur melulu? Ayo, salami tamumu ini. Lidah tuan rumah malas-malasan menanggapi. Lidah tamu merangkak ke bawahnya. Ramahlah padaku, salami aku lebih erat. Lidah tuan rumah menurut. Lebih erat lagi. Lidah tuan rumah tidak menurut. Lidah tamu membelitnya. Aku cuma minta keramahanmu. Aku cuma ingin akrab denganmu. Mulut pun kini ikut menghisap.
Sai hampir kehabisan nafas. Dia mendongak, berusaha melepas seisi mulutnya dari cengkeraman mulut Sasuke. Hampir berhasil, tapi mulut Sasuke mengejar. Bibir bawah Sai tertangkap olehnya, terperangkap barisan gigi seri putih yang rapi.
Lalu lepas.
Sasuke menyeringai puas. Dalam kondisi terikat, dia masih mampu mendominasi Sai. Ditatapnya lekat-lekat wajah putih dan bibir yang kini merah akibat ciuman brutalnya. Tidak ada yang berubah dari ekspresinya. Tetap datar meskipun sedang merenungi bibir luka yang kini hampir meneteskan darah.
Dia mendekatkan bibir itu ke bibir penyerangnya, membiarkan tetesan darah pertama jatuh ke sana.
Tes.
Anyir tapi manis. Lidah cemburu, ingin ikut merasakan. Lidah maju mengusap bibir yang pasrah di atasnya. Kau manis, kau sungguh manis.
Sai menunduk, semakin mendekat pada wajah Sasuke. Satu tangannya membelai pipi Sasuke.
Bibirnya menyentuh bibir Sasuke. Kau memang istimewa, Sasuke.
Bibirnya menghisap darah Sai. Lembut. Kau terlalu manis untuk Konoha, Sai. Ikutlah denganku.
Lidahnya menyapu bibir yang menghisap itu. Tidak, Sasuke. Kau saja yang ikut aku. Orochimaru tidak berhak mendapatkan kau. Kau terlalu sempurna, Sasuke.
Bibirnya membuka lalu menjepit lembut lidah yang datang itu. Memijatnya. Tak akan sempurna tanpamu, Sai. Aku benar-benar hampa sebelum kau datang, sayang.
Bibirnya menutup, menyambut bibir yang memijat lidahnya itu. Pulanglah bersama kami. Kau tak akan pernah merasa hampa lagi, Sasuke.
Bibirnya mengecup lembut bibir yang datang itu. Tidak bisa. Aku punya hutang yang harus kubayar.
Bibirnya menjelajah bibir yang mengecup itu. Kami akan membantumu, Sasuke. Seluruh desa akan membantumu. Itachi adalah musuh kami juga.
Bibirnya sedikit membuka, pasrah. Tapi lidahnya mengintip, siap menyerang balik. Itachi milikku. Dia harus mati di tanganku.
Ujung lidahnya menyentuh lidah yang mengintip itu, mengundangnya untuk menyerang. Tentu saja. Kau akan kami antar padanya. Kau bisa bayar hutangmu. Balaskan dendammu. Puaskan dirimu. Aku akan menunggu dengan setia, Sasuke.
Dua lidah saling bergulat. Dua pasang bibir saling melumat. Kata sepakat telah dibuat.
.
--------------------- bagian SATU selesai -------------------
.
penasarankah dengan kisah nista ini?
mau ngasih komentar, kritik atau caci maki? silakan klik tombol di bawah ^^
