"Akashicchi mau kemana?"
Hari masih pagi dan si model pirang ternyata sudah terbangun dari mimpi indahnya. Akashi Seijuurou sama sekali tak menyangka kalau teman sekamarnya akan bangun sepagi ini. Ia memang berencana bangun lebih awal dan pergi sebelum temannya bangun. Tapi ternyata 'dia' malah menghancurkan rencananya.
Dia –Kise Ryota– seorang model majalah dengan surai pirang halus dan dikaruniai wajah cantik untuk ukuran seorang laki-laki masih menatap Akashi Seijuurou dengan pandangan menuntut jawaban. Badannya ia senderkan ke salah satu sisi pintu yang sedang terbuka sedang sebelah tangannya ia bentangkan guna sebagai penghalang akses keluar untuk Akashi.
Akashi Seijuurou tetap memperlihatkan wajah datarnya. Ia tetap tak mau memberikan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan si pirang. Tatapannya mengatakan agar si pirang segera menyingkirkan tangannya dan membiarkannya pergi. Tapi si pirang tak mengerti –pura-pura tak mengerti– maksud dari tatapan yang diberikan Akashi.
"Kalau Akashicchi tak mau kasih tahu, berarti Akashicchi tidak boleh pergi dari sini," ucapnya lagi posesif. Padahal hubungan mereka hanya sekedar teman sekamar. Tapi perhatian yang diberikan Kise terhadap Akashi benar-benar jauh dari kata teman. Apalagi segala bentuk sifat posesif Kise kepadanya.
"Aku-mau-pergi-Ryota," ucap Akashi dengan menekankan di setiap kata yang ia lontarkan. "Dan aku mau pergi kemana pun, itu bukanlah urusanmu," dengan segala kekuatan yang ia miliki, Akashi mendorong sebelah lengan Kise yang menghalanginya untuk keluar dari apartemennya. Dan berhasil –Akashi segera pergi secepat yang ia bisa. Takut kalau Kise akan menghalanginya lagi dengan cara lain yang ia punya.
Kise menatap datar punggung Akashi yang baru saja melewatinya. Namun sebelum Akashi benar-benar menjauh darinya, Kise kembali berbicara.
"Kau ketinggalan sesuatu yang penting, Akashicchi," dan kalimatnya berhasil membuat Akashi menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Kedua manik ruby-nya melebar mendapati sebuah benda persegi panjang dengan ukuran kecil yang seharusnya sudah ia simpan di dalam dompetnya. Kise masih memamerkan benda itu sambil menggoyang-goyangkannya perlahan. Kesal ia dapatkan ketika Akashi sama sekali tak bergerak kembali padanya untuk mengambil benda ditangannya.
"Kenapa Akashicchi?" Kise melangkah mendekat. Mata Akashi menajam mengamati setiap inchi dari pergerakan Kise. "Kau tak mau mengambil benda ini?" Kise masih memamerkan benda itu kehadapan pemuda berambut scarlet itu.
"Bukankah tidak boleh meminjam buku tanpa kartu perpustakaan ini?"
Kalau Kise tahu Akashi membutuhkan kartu perpustakaan itu. Berarti dari awal ia sudah tahu kalau Akashi akan pergi ke perpustakaan.
"Kau tahu. Tapi kenapa kau tadi tetap bertanya?" Akashi menatap Kise tak suka. Perbuatan Kise jelas-jelas membuang waktunya. "Dan darimana kau dapatkan benda itu? Bukankah aku sudah sering kali memperingatkanmu untuk tidak menyentuh barangku yang berbau privasi?"
Kise mengangkat sebelah tangannya. Meminta Akashi untuk menghentikan segala runtutan pertanyaan yang diberikan kepadanya. "Oke Akashicchi, biar kujelaskan satu-satu ya," Kise berujar, "Yang pertama, kenapa aku tetap bertanya meskipun aku sudah tahu kemana Akashicchi akan pergi. Jawabannya karena aku ingin Akashicchi jujur kepadaku." Jelas Kise. Langkahnya makin mendekat dan Akashi terpaksa mundur menghindari kontak badan langsung dengan si pirang.
"Dan jangan menuduh sembarangan, Akashicchi. Benda ini memang tergeletak di atas meja samping dompetmu semalam. Aku hanya iseng mengambilnya untuk sedikit menunda pertemuanmu dengan senpai kesayanganmu hari ini," Akashi makin melebarkan matanya mendengar penjelasan yang diberikan Kise. Ia tak menyangka Kise juga akan tahu tentang pertemuannya dengan Mayuzumi.
Akashi mengepalkan tangannya kuat. Sebelum mereka melakukan kontak fisik, Akashi segera membuat satu gerakan yang membuat Kise terdorong ke belakang dan sekaligus merebut kartu perpustakaan di tangan Kise. Tanpa berkata apa-apa lagi, Akashi segera pergi. Disana Kise mendecih tak suka. Masih ditatapnya punggung Akashi yang telah menghilang dari balik pintu.
.
.
.
'Dore?'
Kuroko no Basket by Fujimaki Tadatoshi
This Story by Akashiki Kazuyuki
Genre : Romance, Drama
Rated : M
Pairing : AoAka, KiAka, MayuAka
Warning : Adult Only. OOC (sangat). AU. Typo yang bertebaran. Bahasa yang berantakan. YAOI. Lemon.
.
.
.
~ Happy Reading ~
.
.
.
Akashi Seijuurou. Mahasiswa tingkat pertama jurusan bisnis yang namanya sering sekali dielu-elukan oleh para dosen dan para mahasiswa lainnya berkat prestasinya yang mengagumkan. Anak dari Akashi Masaomi dan Akashi Shiori ini sekarang tinggal mandiri di salah satu apartemen elit di ibu kota. Pada satu semester pertama ia memang tinggal seorang diri. Tapi di semester yang kedua, teman sebelah kamarnya –Kise Ryota- menawarkan untuk tinggal bersama dalam satu kamar dengan alasan untuk menghemat biaya pengeluaran mereka. Sebenarnya Akashi tak peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengan biaya ataupun uang dan segala jenis yang serupa. Toh meskipun ibunya sudah meninggal sejak ia kecil, ia masih punya ayah yang kaya raya yang bahkan mampu untuk membeli semua kamar di apartemennya. Tapi menurut pengamatan Akashi enam bulan belakangan ini, Kise Ryota sepertinya bukanlah orang yang buruk untuk dijadikan teman obrolan. Meskipun Akashi sendiri tak pernah mengakui kalau ia merasa kesepian.
Sayangnya pengamatannya selama enam bulan ini mengalami beberapa kesalahan. Pertama, ia baru menyadari kalau Kise Ryota adalah orang bermuka dua. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengira kalau lelaki tersebut manis, periang, kekanak-kanakkan, atau hal lain yang jelas bisa terbaca hanya sekali lihat di wajahnya. Tapi semua itu salah. Kise manis, tapi hanya di luar. Dan sebenarnya dia adalah orang yang menganut sadistis, bukan masochist seperti yang terlihat dari luarnya.
Akashi bisa saja pindah kamar atau apartemen, dia kan orang kaya. Tapi niat itu ia urungkan mengingat apartemen tersebut satu-satunya apartemen elit yang letaknya paling strategis dengan tempat kuliahnya dibandingkan apartemen elit lainnya. Alasan lain karena salah satu kakak angkatannya tinggal tak jauh dari sana, dan ia bisa bebas mengintai.
Ngomong-ngomong soal kakak angkatan, hari ini ia sedang ada janji dengan kakak angkatannya tersebut. Mayuzumi Chihiro namanya. Akashi sudah suka dengan Mayuzumi sejak pertama kali ia masuk kuliah. Pertemuan dengannya memang tidak seromantis seperti film-film yang sering ditonton teman sekamarnya. Ia tak sengaja bertubrukan dengan sang senpai di toilet dan sejak saat itulah Akashi menaruh hati pada pemuda cuek tersebut.
Sebenarnya bukan dengan Mayuzumi saja janjiannya hari ini. Sore ini ia juga sudah janji dengan teman sekelasnya untuk menyelesaikan tugas kelompoknya di rumah temannya. Tidak pantas sih kalau disebut tugas kelompok. Karena satu kelompok hanya terdiri dari dua orang. Entah kenapa waktu itu Akashi merasa sedang sial, makanya ia bisa dapat undian berpasangan dengan pemuda malas yang urakan. Akashi bisa memastikan kalau tugasnya kali ini akan dikerjakan dirinya seorang diri.
.
.
.
Raut muka Mayuzumi kesal. Sudah berapa kali ia melihat jam tangan silver yang melingkar di pergelangan tangannya sambil menghentakkan kakinya. Aneh. Padahal dia yang mengajaknya duluan. Tapi kenapa harus dirinya yang menunggu selama ini.
Ketika Mayuzumi mulai menyerah menunggu dan berniat pergi dari tempatnya, manik keabuannya tak sengaja menangkap sosok berambut merah yang berjalan santai di seberang jalan. Mayuzumi mengurungkan niatnya untuk beranjak pergi. Ia mendengus, lalu mencoba bersandar di tiang listrik senyaman mungkin sambil mencoba kembali membuka Light Novel miliknya yang sempat terabaikan –pura-pura tak sadar atas kehadiran Akashi. Walau begitu, Mayuzumi benar-benar tak bisa fokus dengan apa yang ia baca. Maniknya tetap awas pada langkah Akashi yang kelewat santai.
"Maaf membuatmu menunggu, Mayuzumi-san," suara familiar menyapa pendengarannya. Mayuzumi melirik tak acuh, lalu kembali pada bacaannya. Menghiraukan Akashi yang ada disana. Walaupun Akashi sendiri sebenarnya sudah tahu kalau Mayuzumi sempat gelisah karena keterlambatannya. Itu semua bukan salahnya. Salahkan si pirang –teman apartemennya- yang membuatnya harus tiba disini lebih telat dua jam dari waktu yang dijanjikan. Akashi bisa saja berlari dari apartemennya kesini. Tapi ia takut, tergesa-gesa akan mengurangi image cool yang sudah ia junjung tinggi-tinggi sejak SMP.
"Bagaimana kalau kita langsung pergi saja sekarang?" Akashi memulai pembicaraannya kembali. Nampak orang yang diajaknya berbicara memulai pergerakan –menutup buku miliknya.
Tak berkata apa-apa lagi, Mayuzumi langsung berjalan mendahului Akashi. Ia sedikit senang mengetahui Akashi diam mengikutinya dari belakang. Mereka berdua masuk ke sebuah perpustakaan tak jauh dari tempat pertemuan mereka. Mayuzumi mempersilahkan Akashi berjalan lebih dulu setelah itu karena ia tak tahu buku apa yang sedang Akashi cari. Ia pun malas untuk menanyakannya karena moodnya sudah kelewat buruk.
Akashi mengitari rak buku dengan papan bertuliskan 'Bisnis' lalu pindah dari rak satu ke rak lainnya. Seperti tak menemukan yang cocok, Akashi berlalu menuju rak dengan tema lainnya dan berselang kembali menuju rak 'Bisnis'. Ini sudah tiga kalinya mereka mengitari rak bisnis yang sama dan mereka akan pergi lagi ke rak lain entah rak buku makanan ataupun politik. Mayuzumi lelah. Dia tadi sudah berniat enggan untuk bertanya dan tak peduli dengan sosok rambut merah.
"Sebenarnya kau mencari buku apa?" rasa lelah telah mengalahkan rasa tak pedulinya. Yang penting Mayuzumi bisa segera pergi dari sini dan lekas pulang untuk melanjutkan bacaannya yang tertunda. Lain kali ia akan menolak ajakan adik kelasnya untuk membantunya mencari buku jika tahu akan seperti ini.
Akashi tersenyum tipis. Ia memandang wajah Mayuzumi dalam. "Sebenarnya aku sedang mencari buku bisnis untuk bahan tugas kelompokku hari ini,"
Mayuzumi memutar bola matanya bosan. Akashi mencari buku bisnis, tapi kenapa pula ia mengitari rak buku yang jelas-jelas bukan buku bisnis. Mayuzumi tak tahu kalau sebenarnya adik angkatannya ini menaruh hati padanya. Akashi itu modus supaya bisa lebih lama bersama Mayuzumi di perpustakaan. Kapan lagi coba ia bisa pergi bersama Mayuzumi dengan alasan meminta bantuan mencarikan buku untuk tugas kelompoknya.
"Sepertinya kita sudah lebih dari tiga kali melewati rak buku bisnis deh,"
"Kupikir masih ada rak yang lain. Jadi aku coba berkeliling," jawab Akashi kalem. Kalau manusia di depannya bukanlah Akashi Seijuurou, Mayuzumi yakin sudah dari awal ia tinggalkan.
Mayuzumi tak tahu harus membalas apa lagi. Jadi ia memilih diam dan mengikuti Akashi yang kembali menuju rak bisnis. Setelah yakin dengan pilihannya, Akashi mengambil salah satu buku dengan punggung berwarna hitam. Ia membuka acak sebentar dan menutupnya kembali.
"Sudah?" Mayuzumi bertanya acuh. Dijawab anggukan oleh Akashi. Mayuzumi menghela nafas lega. Akhirnya dengan ini ia bisa pulang ke apartemennya dan bersantai diri disana. Siapa juga mahasiswa yang mau hari liburnya terganggu seperti ini. Terlebih Mayuzumi adalah seorang jomblo yang statusnya hanya suka nangkring di tempat tidur sambil menikmati bacaan kesukaannya.
"Mayuzumi-san tidak mau pinjam buku atau ke suatu tempat dulu?" Akashi bertanya. Ia hanya ingin mengulur waktu pertemuannya dengan pemuda urakan yang menjadi teman sekelompoknya.
'Mana sudi aku berlama-lama denganmu?' Mayuzumi menggeleng. Akashi terlihat kecewa. Itu berarti ia akan semakin cepat bertemu dengan pemuda dim tersebut.
.
.
.
Detik jam terus berjalan. Akashi bisa mendengar jelas suara jarum jam itu berdetak. Hari sudah malam. Dan jika ia tidak pulang cepat Ryota pasti akan cemas. Tapi lelaki dim ini melarang Akashi untuk keluar dari rumahnya.
"Aku harus pulang," Akashi berdiri dari tempat duduknya. Ia memasukkan peralatan miliknya ke dalam tas dan merapikan sedikit kemeja merahnya yang sedikit kusut lalu berlalu menuju pintu rumah.
"Tunggu!" Aomine tidak akan membiarkan Akashi pergi. Ia menggenggam lengan Akashi erat –menahan Akashi agar tidak pergi.
"Sudah malam, Daiki," Akashi mencoba mencari alasan yang masuk akal. Sedikit merintih merasakan panasnya lengan yang Aomine pegang.
"Kalau begitu, bermalamlah disini,"
"Tidak bisa!" Akashi menjawab cepat. Nada bicaranya sedikit ia naikkan.
"Kenapa?"
"Ka-karena…" Akashi terdiam. Memikirkan alasan yang tepat agar Aomine mau melepasnya dan membiarkannya pergi. Tidak mungkin ia bilang, 'Karena Ryota menungguku di rumah,' bahkan ada pertanyaan yang lain jika ia menjawab seperti itu.
Aomine semakin mengeratkan pegangannya pada lengan Akashi. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk mencengkram bahu kiri Akashi yang membuat Akashi kembali merintih karena perlakuannya. Mereka saling berhadapan. Aomine menatap manik ruby milik Akashi dalam. Sedang sosok yang ia tatap hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Aomine mendorong pelan bahu Akashi. Menuntunnya pelan agar Akashi mau kembali duduk di tempatnya semula. Dengan sekali gerakan, Aomine berhasil membuat Akashi terbaring di lantai dan ia sendiri sudah berada di atasnya. Mereka kembali bertatapan. Akashi menggigit bibir bawahnya, jujur ia takut dengan situasi seperti ini. Ini mirip seperti adegan-adegan yang Ryota-nya suka tonton di film.
"Jangan digigit, nanti sakit," Aomine memegang bibir bawah Akashi. Menghalangi Akashi untuk kembali menggigit bibirnya. Ia mengelus pelan luka kecil di bibir mungil itu.
"Da…Daiki…" Akashi mengerang. Perih rasanya ketika luka di bibirnya tersentuh jemari Daiki yang sedikit basah karena salivanya. Tangan Aomine berpindah ke pipi Akashi. Kembali mengelus pipi itu lembut.
"Aku mencintaimu, Akashi," satu kalimat itu membuat Akashi membulatkan matanya. Namun sebelum Akashi berpikir lebih jauh, Akashi kembali dikejutkan dengan Aomine yang mendekatkan wajahnya sambil menarik bibir bawah Akashi hingga terbuka. Tanpa persiapan, Aomine mendaratkan bibirnya ke bibir mungil milik Akashi. Hanya kecupan ringan, bukan french kiss. Tapi itu berhasil membuat pemuda di bawahnya mendesah pelan.
Akashi tak bisa berpikir jernih. Ia tahu apa yang dilakukannya salah. Berciuman dengan Aomine Daiki bukanlah hal yang pernah terpikirkan olehnya. Ia tak suka dengan Aomine Daiki. Tapi kenapa ia tak menolak ketika laki-laki itu mencuri ciumannya.
"Hahh…Hahh…"Akashi mengatur nafasnya cepat sedetik setelah Aomine membuat jarak dengannya. Sedang Aomine menatap dalam diam pemuda di bawahnya. Ketika merasa Akashi sudah baikan, Aomine mendekatkan bibirnya ke telinga Akashi.
"Boleh aku menyentuhmu, Akashi?" tanyanya lembut seraya mengecup cuping telinga Akashi yang memerah. Tak perlu berpikir dua kali, Akashi langsung menggelengkan kepalanya cepat. Ciuman Aomine turun dari telinga, pipi, ujung bibir, hingga perbatasan pundak dan lehernya.
"Ja…Jangan…Daiki…"ucapnya masih terengah-engah. Tapi Aomine tak peduli. Ia kembali mencium perbatasan leher dan menggigitnya keras hingga meninggalkan bercak kemerahan disana.
"Ngghh…Hen-Hentikan!" Akashi melenguh. Aomine semakin terangsang untuk melanjutkan kegiatannya. Ia menjilati bekas gigitannya dan menghisapnya kuat-kuat membuat Akashi kembali mendesah. Tangannya yang menganggur mulai mencoba membuka kemeja merah Akashi dari kancing yang teratas dengan gerakan pelan-pelan.
"Da-Daiki…ahh!"Akashi mendesah ketika Aomine kembali menjilati leher miliknya, sesekali mengecupnya pelan. Kedua tangannya yang bebas ia gunakan untuk mendorong tubuh besar yang menindihnya, namun sayang tak ada sedikit pun jarak yang ia hasilkan.
Semua kancing kemejanya sudah sepenuhnya terbuka. Namun kemeja merah itu masih melekat di tubuh Akashi –Aomine sengaja tak melepaskannya. Aomine menyikap sisi kanan kemeja tersebut, memperlihatkan tonjolan kecil berwarna pink yang menegang.
"Rileks, Akashi," Aomine mengelus puncak kepala Akashi. Surai merah itu ia bawa ke belakang agar tak menghalangi pandangannya dengan Akashi. "Tenang, aku tak akan menyakitimu,"
Aomine kembali melanjutkan kegiatannya. Diciumnya pelan tonjolan pink tersebut membuat Akashi kembali melenguh. "Ahh!"
Aomine kembali mencium tonjolan pink tersebut. Dicium, dihisap, dijilat –terus berulang kali ia lakukan. Tangannya yang menganggur kini ia gunakan untuk mencubit tonjolan pink lainnya, sedang tangan yang lainnya meraba-raba perut Akashi dan turun semakin ke bawah-
-Hingga meremas bagian bawah Akashi yang masih terbalut celana jeans dengan sempurna.
"Daiki…ku-kumohon….ngggh-ahh! Jangan!"Akashi memegang salah satu tangan Aomine –menghalanginya untuk bertindak lebih jauh dengan tubuh bagian bawahnya. Air mata mulai menggenang di ujung matanya.
Tapi Aomine tak peduli. Tangannya yang tadi sibuk mencubit tonjolan di dada Akashi kini menyingkirkan tangan Akashi cepat yang menghalanginya. Tangan lainnya yang sempat terhenti, kini lanjut dan mulai membuka resleting celana panjang Akashi pelan.
Akashi menarik napas ketika Aomine berhasil melepas celana panjang dan celana dalam miliknya. Udara dingin langsung menyambut kejantanannya yang sudah tak terlindungi apapun. Aomine memandang kagum kejantanan milik Akashi yang tak sebesar miliknya mulai menegang. Sebelum ia akhirnya mulai memainkan milik Akashi perlahan. Awalnya hanya pijatan pelan, namun lama kelamaan gerakan tangannya semakin cepat dan semakin keras.
"Ahh! Akh! Da-Daiki!" Akashi mendesah kesakitan. Kedua matanya terpejam menahan sakit atas perlakuan Aomine pada tubuh bagian bawahnya. Akashi terlonjak. Ia tahu ia akan mencapai klimaks pertamanya. Akashi melenguh kencang ketika cairan putih keluar dan membasahi tangan tan milik Aomine.
Dada Akashi naik-turun. Nafasnya masih terengah-engah akibat orgasme pertamanya. Namun Aomine tak memberi waktu untuk Akashi sejenak. Dengan cepat ia mencium bibir Akashi dan melumatnya kasar. Lidahnya bergerak liar mengajak lidah Akashi untuk menari bersamanya. Ketika Akashi terfokus pada ciumannya, itu adalah waktu yang tempat untuk memasuki dirinya ke dalam tubuh Akashi lebih dalam. Tanpa ada persiapan apapun, Aomine sudah mengeluarkan kejantanannya yang cukup besar dan memasukkannya ke dalam lubang Akashi yang sempit. Akashi melebarkan matanya merasakan ada benda asing yang besar masuk ke dalam dirinya. Sebelum ia mencoba mendorong dada bidang Aomine di atasnya, pemuda dim itu keburu mengunci pergerakannya dan memegang kedua tangan Akashi hanya dengan sebelah tangannya di atas kepala sang surai merah.
Aomine melepaskan ciumannya ketika dirasa Akashi sudah hampir kehabisan oksigen. Dilihatnya wajah sang surai merah memerah akibat semua perlakuannya. Aomine menggerakkan pinggulnya semakin cepat.
"Ngghh-Akh! Da-Daiki aku-"
"Sebentar lagi, Akashi," sepertinya Aomine juga mulai mendekati puncaknya. Ia memeluk Akashi erat dan gerakannya semakin ia percepat. Akashi bisa merasakannya ketika cairan hangat mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Begitu pula cairan yang membasahi daerah perutnya.
Akashi tak mampu lagi untuk membuka mata. Setelah mencapai klimaks, Akashi pun langsung terlelap karena kelelahan. Aomine mencium jidat Akashi lembut sebelum ia memindahkan Akashi ke tempat tidurnya dan ikut tidur di sebelahnya..
.
.
.
Beruntungnya pagi itu Akashi bangun lebih dulu dibandingkan pemuda yang tidur di sebelahnya. Setelah Akashi membersihkan diri, ia pun pulang tanpa membangunkan sang pemilik rumah yang masih tertidur pulas di atas ranjang.
Akashi mengingat-ingat jadwal pemrotetan teman sekamarnya pagi ini. Ia bersyukur karena ia tak harus langsung bertemu dengan pemuda pirang yang selalu ingin tahu urusannya. Karena kalau saja pemuda itu ada di apartemennya sekarang, ia pasti akan ditanya sederet pertanyaan dari hal yang biasa hingga hal yang berbau pribadi. Dan Akashi tak mau 'orang itu' mengetahui apa yang telah terjadi dengannya semalam.
Akashi membuka pintu apartemennya perlahan. Mencoba mengecek keadaan apakah si pirang benar-benar sudah pergi dari apartemennya atau belum. Ketika ia melewati ruang tengah, ia dikejutkan oleh suara seseorang-
"Sedang mencari siapa, Akashicchi?"
-Disana, si pirang sedang bersender di pintu ruang tengah sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Suaranya terdengar dibuat manis. Tapi Akashi tahu itu semua tipuan.
Akashi memundurkan dirinya ke belakang. Membuat posisi bertahan. Manik rubynya awas mengamati segala pergerakan yang dilakukan si pirang.
"Kenapa kau masih disini?" Akashi tahu kata-kata itu seperti terdengar mengusir. Tapi Akashi tak peduli.
Kise tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan Akashi. Ia mendekat ke arah Akashi membuat Akashi harus lebih mundur ke belakang.
"Lehermu kenapa, Akashicchi?" mata Kise memincing tajam melihat bercak merah yang menghias indah di leher pucat milik Akashi. Dengan sigap Akashi menutupi bercak merah di lehernya dengan telapak tangannya. Meskipun ia tahu kalau itu adalah perbuatan yang sia-sia karena Kise sudah terlanjur melihatnya.
Kise semakin mendekat, "Aku tidak ke pemrotetan pagi ini karena aku mengkhawatirkan Akashicchi yang tak kunjung pulang semalam," Akashi semakin mundur ke belakang.
"Dan ternyata Akashicchi malah berbuat nakal," Kise terus maju. Dan Akashi sadar kalau ia sudah tidak bisa mundur karena ada tembok yang menghalanginya.
Kise menarik dagu Akashi kasar. Ia memamerkan senyuman manis ke teman kamarnya. "Jadi, Akashicchi mau kuberi hadiah apa sekarang?"
.
.
.
TBC
Author Note :
MC saya masih banyak yang belum kelar, tapi saya membuat cerita baru lagi. Mohon jangan timpuk saya. Untuk Rin-san, maaf jika tidak memberitahu kalau saya publish cerita baru. Sebab disini ada pair lain selain AoAka dan saya takut Rin-san tidak menyukainya. Tapi saya senang jika Rin-san mau membacanya.
Dan di cerita ini, saya sengaja membuat Kise sedikit jahat. Karena menurut saya, Kise itu memang bermuka dua. Akhir kata, saya minta saran dan kritik yang membangun untuk cerita dan penulisan saya. Dan terima kasih bagi para pembaca yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita saya ini.
_Akashiki Kazuyuki_
